BAB TUJUH
Ketika melihatmu jatuh, aku merasa seperti waktu berhenti berjalan. Dan itu membuatku merasakan perasaan takut yang teramat asing.
–Azeral Gilang Fahmi Prasetyo-
Gilang duduk diam memandangi Vanya yang terbaring di ranjang UKS. Gadis itu pingsan, dan ia merasa ada yang aneh pada hatinya. Gilang merasa sakit. Cowok itu menatap jam tangannya untuk yang kesekian kali. Sudah lima belas menit Vanya pingsan. Atau gadis itu sedang tidur? Entah, tapi Gilang tidak ingin menganggu sama sekali.
Ia kembali mengembuskan napas berat. Kejadian ini terpaksa harus membuat Gilang absen datang ke lapangan basket untuk mengontrol pertandingan. Tak ada yang lebih disyukuri cowok itu hari ini selain mengetahui bahwa sekarang bukan jadwal SMA Pancasila untuk bertanding. Jadi, ketidakhadiran Gilang tidak begitu memusingkan untuk teman-teman dan sekolahnya. Gilang sudah meminta Reza untuk mengontrol pertandingan ini.
Lagi-lagi ingatan Gilang kembali bada kejadian beberapa saat yang lalu. Tepatnya di parkiran sekolah. Saat itu kebetulan ia sedang ada di tempat kejadian. Gilang menuju mobilnya untuk mengambil ID Card panitia dan tiba-tiba ia mendengar keributan yang tidak jauh dari tempatnya berdiri. Gilang melihat Vanya yang menangis dan seorang cowok berperawakan tinggi, dengan kulit putih dan wajah yang…. -Yah, harus Gilang akui lumayan oke- sedang bersama Vanya. Sebenarnya Gilang merasa penasaran dengan apa yang sedang mereka lakukan. Tapi ketika menyadari bahwa si cowok yang bersama dengan Vanya itu memakai seragam basket kebanggan SMA Garuda, tiba-tiba saja alarm tanda bahaya berbunyi di kepala Gilang.
Gilang memutusku untuk menghampiri dua murid itu dan menyapa Vanya. Ketika Vanya menoleh, Gilang sejenak tertegun melihat ekspresi wajah gadis itu. Ada campuran ekspresi takut, tertekan, dan lega sekaligus. Saat ia sudah hampir mencapai tempat Vanya, namun tiba-tiba Vanya terhuyung dan pingsan. Untungnya dengan sigap Gilang berhasil meraih tubuh gadis itu tepat waktu sebelum Vanya mencapai tanah.
Gilang menggoyang-goyangkan tubuh gadis itu. Tidak ada respon. Ia bahkan sempat melupakan keberadaan cowok yang masih berdiri mematung di depannya hingga Gilang mendengar ada murid lain yang memanggil Thommas untuk segera bergegas menuju lapangan belakang. Oh, jadi namanya Thommas.
Dan sekarang disinilah ia berakhir. Di dalam UKS yang kebetulan dan jarang sekali tidak ada penjaganya. Mungkin mereka pulang sekolah? Atau bisa jadi sedang menonton pertandingan basket di lapangan belakang. Benar-benar tidak professional. Dan Gilang merasa sebal akan hal itu.
Melalui ekor matanya, Gilang dapat melihat tanda-tanda bahwa Vanya sudah bangun. Gadis itu langsung terduduk dan isakan pelan mulai terdengar dari mulutnya. Gilang hanya menonton kejadian itu beberapa menit hingga akhirnya memutuskan untuk bersuara.
“Lo baik-baik aja?” Gilang berjalan menghampiri Vanya.
Vanya tersentak dan segera saja menghapus air matanya dengan kasar. “Gue mau pulang.” Jawaban yang tidak cocok dengan pertanyaan Gilang.
Vanya menatap ke sekeliling ruangan, mencari tasnya. Dan ia langsung mengenali tas ransel warna navy tergeletak di atas meja di pinggir pintu. Gadis itu berdiri dan berjalan menuju tasnya dengan tergesa. Namun langkahnya terhuyung sebelum sempat mengambil tas itu. Gilang langsung menangkap tubuhnya dan tanpa aba-aba menggendong Vanya lalu didudukkannya kembali di atas ranjang.
“Lo baik-baik aja?” ia bertanya untuk yang kedua kalinya.
Vanya hanya diam. Air matanya kembali meleleh.
“Kalo lo mau pulang, gue anterin. Tapi sebelum itu, lo boleh habisin air mata lo dulu disini. Gue tungguin sampe selesai. Mumpung sepi. Jadi lo aman buat-“ ucapan Gilang terhenti saat mendengar isakan Vanya semakin kencang. Gadis itu benar-benar menangis. Dan tanpa sadar menubrukkan kepalanya di dada Gilang.
Gilang langsung membeku. Bukan karena Vanya yang memeluknya. Tapi karenaa ia langsung menyadari kejadian apa yang telah menimpa gadis itu. Gilang mengusap pelan punggung Vanya dengan perasaan yang tidak bisa digambarkan. Tapi yang jelas, sebagian besar perasaan yang mendominasi hatinya saat ini adalah rasa marah yang teramat luar biasa.
Setelah tangisan Vanya berhenti, Gilang akhirnya mengantar gadis itu pulang ke rumahnya dengan mengendarai sepeda. Vanya bersikeras tidak mau naik mobil dan tidak ingin meninggalkan sepedanya di sekolah. Jadi terpaksa Gilang yang harus mengalah. Gadis itu terus diam sepanjang perjalanan. Bahkan ketika sampai, ia masih diam dan menundukkan kepala. Enggan menatap mata Gilang.
“Nih sepedanya.”
Vanya maju selangkah meraih sepeda itu. Tetapi Gilang malah mundur dua langkah, memberikan jarak pada Vanya. Vanya mendongak, bingung.
“Jangan nunduk terus. Lo kayak maling yang kepergok nyuri di supermarket tau nggak.” Vanya hanya berkedip sekali kemudian memegang setir sepeda, hendak mengambil alih sepedanya. Tapi Gilang tetap bergeming, tidak ingin memberikan sepeda itu begitu saja.
“Jangan takut lagi.”
Vanya hanya diam menatap mata Gilang.
“Jangan pernah nangis lagi.”
“…”
“Nggak tau kenapa, tapi gue nggak suka kalo lo nangis kayak tadi.”
“…”
“Nanti setelah masuk, langsung istirahat. Jangan mikir yang aneh-aneh.”
"... "
“Jangan-“
“Kenapa?” potong Vanya cepat.
Kini gantian Gilang yang terdiam. Tampak kerutan di dahinya, menandakan bahwa cowok itu bingung dengan pertanyaan Vanya.
“Kenapa lo nggak nanya apa-apa ke gue setelah kejadian tadi?”
Perlahan kerutan di dahi Gilang menghilang, “Gue nunggu lo sendiri yang cerita.”
“Tapi gue nggak mau cerita.”
Gilang mengangguk, “Nggak apa-apa. Lagian gue juga udah tau semuanya.”
“Semuanya?”
“Hmm.” Gilang mengangguk lagi, “Di sini kita punya kesamaan. Kita sama-sama nggak suka kontak fisik dengan orang lain. Bedanya, kalo gue nggak suka kontak fisik sama siapa pun. Kalo lo cuma menghindari kontak fisik sama lawan jenis doang. Mereka bilang kita sombong karena hal itu. Tapi itu terjadi karena mereka tidak tau cerita kita. Baik lo maupun gue, kita sama-sama punya alasan kenapa nggak bisa kontak fisik dengan orang lain.” Gilang mengulurkan tangannya dii depan Vanya.
Vanya hanya memandangi tangan itu tanpa mau menjabatnya.
Gilang tersenyum kecil lalu menjatuhkan tangannya di samping tubuh, “Sekarang mungkin lo nggak mau salaman sama gue. Tapi gue pastiin nanti lo bakalan nyari tangan gue lebih sering buat lo genggam.” Gilang lalu benar-benar memberikan sepeda yang sedari tadi ia pegang kepada Vanya. “Gue balik dulu.”
“Tunggu.” Vanya tau, meski tidak suka, tapi ia cukup tau diri karena Gilang sudah mau menolongnya. Vanya melihat Gilang berbalik. “Lo baliknya gimana?”
Kali ini senyuman Gilang melebar. Dan itu berhasil menyadarkan Vanya tentang kejadian di UKS beberapa saat yang lalu. Tunggu dulu! Tadi gue nangis di depan cowok ini kan? Astaga! Dan gue meluk dia tanpa permisi. Ya ampuuuuuunnn! Ini gila!
“Kenapa? Lo khawatir sama gue?”
Vanya mengerjap. Dan cowok yang udah lancang gue peluk ini ternyata sangat percaya diri. “Enggak.” Jawab Vanya ketus, “Gue cuma mau bilang untuk kejadian tadi, bisa lo tutup mulut ke orang lain?” sepertinya gue udah minta terlalu banya.
“Kejadian yang mana? Pas lo nangis? Pas lo meluk gue? Atau pas lo gue boncengin naik sepeda?” entah hanya perasaan Vanya saja atau tidak. Tapi Vanya mendengar ada nada menggoda dari suara Gilang barusan.
“Semuanya.” Jawab Vanya gugup. Tunggu! Kenapa harus gugup?
Gilang tersenyum lagi. Lalu mengangguk, “Oke. Tapi ada syaratnya.”
“Syarat? Syarat apa? Lo kok pamrih banget sih nolongin orang.”
“Syaratnya cuma satu sih.” Gilang menatap Vanya dengan hangat, membuat gadis itu bertambah gugup. “Lo bisa bilang terimakasih ke gue untuk hari ini karena udah nolongin lo lari dari masa lalu lo.”
Deg!
Dia bilang apa barusan?