[ChanBaek] Half Beat

By bbbaekhyunie

391K 45.2K 12.4K

Chanyeol adalah seorang pangeran. Dengan keinginan sederhana, bisa melampaui dinding istana dan hidup diteman... More

Prolog
1. Neglected Prince
2. Two Kings
3. The Sun's Half
4. One Step Closer
5. Him Instead Me
6. Declared Cold War
7. Princess?
8. Lean On
9. I'm Not The One You Love Anymore
10. I Let You Go, Be Happy
11. I Went Crazy For You
12. I Wish You're Happy
13. Reverse
14. Power
15. Sorry For Being A Liar
16. Chaos Between Us
17. We All Breaking Down
18. Separated and Connected
19. Brand New People
20. Sad Love Story
21. Backfire
22. Tangled
23. The Truth Revealed
Explaination Chapter
25. Secrets
26. Downhill

24. Break Free

12K 1.3K 961
By bbbaekhyunie

7141 words. This is like the longest chapter I've ever write.


BAEKHYUN POV

Pagi itu, matahari bersinar terang sekali, seakan memberitahuku kalau hari itu adalah hari yang baik. Aku menggeliat nyaman di ranjang Chanyeol, hal pertama yang aku lakukan adalah tersenyum tipis, seolah-olah semua masalah dan beban lenyap dibawa angin.

Aku menoleh ke samping dan mendapati Chanyeol masih tertidur lelap. Kutopang kepalaku di tangan, menempatkan posisi terenak untuk menatapi wajah tidur Chanyeol yang begitu polos, nyaman, dan lelah. Perlahan kuraba dahinya, dan senyumku mengembang saat mendapati suhunya tidak sepanas kemarin.

Jika waktu itu aku bangun disisi Chanyeol dengan segala perasaan buruk yang menghantuiku, maka hari ini aku sepenuhnya tenang. Entah apa yang menyebabkan itu bisa terjadi, namun untuk kali pertama setelah sekian lama, otakku menolak diisi sesuatu yang lain selain Chanyeol.

Aku memainkan rambutnya yang jatuh terkulai di dahinya. Menyingkirkannya agar dahi indahnya terekspos. Aku sedang asyik-asyiknya memainkan itu saat tiba-tiba dia membuka kedua matanya pelan, menatapku tanpa ekspresi beberapa lama, seakan berusaha memproses sesuatu.

"Selamat pagi," ujarku, tersenyum manis padanya.

"Mimpi?" tanyanya polos, matanya mulai membasah. Entah bagaimana, aku merasa akhir-akhir ini ia lebih lemah dari Chanyeol yang kukenal.

"Tidak, aku disini." aku mengelus pipinya pelan, berusaha meyakinkannya. Saat Chanyeol menoleh dan mencium telapak tanganku dalam dan lama, aku tersenyum lagi.

"Tolong jangan bangunkan aku kali ini saja." bisiknya pelan yang lebih mirip sebuah igauan, karena ia menutup matanya lagi dan terus menuntut sentuhanku.

Aku tidak yakin bagaimana dengan Chanyeol, namun harus kuakui bahkan setelah melewati semuanya, bertahun-tahun lamanya, menaiki bukit dan menuruni lembah untuk berjuang deminya, sebercah perasaan meletup-letup itu masih ada setiap mataku bertemu dengan Chanyeol. Rasanya seperti perutku tergelitik dan mampu menerbangkan ratusan kupu-kupu saat kulitku bersentuhan dengan Chanyeol.

Dan aku mulai merasa bahwa itu tidak akan pernah hilang.

Katakanlah aku seorang bajingan yang menikahi perempuan, bahkan merenggut keperawanannya, namun malah berada disini berbaring dengan laki-laki lain yang juga memiliki seorang istri.

Namun, biar kuberitahu satu hal:

Cinta tidak mempunyai tombol on maupun off, atau change dan switch.

Saat aku mencintai Chanyeol, itu tandanya seluruh raga dan jiwaku mencintainya, dan itu tidak akan berhenti hanya dengan keputusan ragaku sepihak. Kau akan merasakannya sendiri saat kau mencintai seseorang, kau dibuat lemah olehnya, dan karena itupun, kau tidak bisa 'tidak' menyukainya.

Cinta adalah sebuah perasaan yang sangat kompleks. Ia membuatmu merasakan sakit, namun kau dibuat menyukai rasa sakit itu, karena ia datang dari orang yang kau cintai. Kau dibuat berharap pada orang itu, namun kau dibuat bisu saat ia menatap matamu, karena sensasinya tidak pergi bahkan setelah bermenit-menit.

Aku tidak sadar kalau aku telah menatapi Chanyeol begitu lama hingga ia membuka matanya lagi dan menatapku. Sensasi itu datang lagi dan menggelitikku. Kali ini, ia yang mengelus wajahku, matanya masih sangat mengantuk.

"Katakan sesuatu." suruhnya pelan. "Aku ingin dengar suaramu."

Aku tersenyum dan menatapnya penuh perasaan. "Aku mencintaimu."

Dia tersenyum mendengarnya, lalu menggigit bibir bawahnya. "Sungguh?"

Aku mengangguk. "Aku mencintaimu, Chanyeol." ulangku namun dengan disela tawa.

Chanyeol menutup matanya, namun bibirnya tetap tersenyum. Yatuhan, aku jatuh cinta dengan senyum itu.

"Oh, itu kedengarannya indah sekali."

Kami tertawa, mataku terfokus padanya yang terlihat begitu senang. Entah sudah berapa kali sejak semalam, aku menatapnya dan mengatakan 'aku mencintaimu' dalam hati, karena lidahku terlalu kelu untuk menyampaikan padanya yang sedang tertidur.

"Baekhyun, katakan sesuatu untukku,"

"Apa itu?"

"Katakan padaku kalau kau milikku."

Aku menatapnya penuh arti, senyumku sedikit luntur. "Hm?"

"Katakan padaku kalau kau milikku, Baekhyun,"

Chanyeol menatapku dalam, dan irisnya mulai melemah lagi. Saat aku berkata itu melemah, artinya itu berubah menjadi kelam lagi. Dengan kelamnya iris Chanyeol, hanya bisa membuatku menurutinya.

"Aku milikmu."

Chanyeol tidak bisa menahan ekspresi senangnya. "Apa?"

"Aku milikmu, puas?" godaku, merunduk padanya dan menyatukan bibir kami. Ia membalasnya dengan senyum yang enggan lepas dari bibirnya. Dan itu cukup membuat perutku berbunga-bunga.

Setelah kedua belah bibir kami terlepas, mata kami beradu satu sama lain, dan rasanya, seluruh perasaan yang membuncah tertumpah disana. Aku tidak tahan melihat tatapan penuh cintanya itu, jadi kukecup bibirnya sekali lagi.

"Aku akan membayarmu lima ratus juta won untuk sekali cium, Baek," candanya. "Itu membuatku ketagihan, dan aku kaya."

Aku tertawa, "Apapun yang kau mau, Yang Mulia."

Hari itu, aku mandi bersama Chanyeol. Kali ini kami benar-benar mandi, bukan 'mandi'. Aku menggosok rambut Chanyeol, mengeramasinya di bath tub, sedangkan dia asik memainkan busa. Aku tersenyum geli saat ia berbicara dengan busa-busa itu, mengeluh karena busa nya selalu menjauhinya.

"Bagaimana bisa mereka menjauhiku seperti ini? Mereka tidak tahu seberapa beruntung mereka karena bisa menyentuh tubuhku." gerutunya sambil menggiring busa-busa itu ke dekatnya, dan aku hanya bisa diam menahan rasa bahagiaku.

Setelah menyelesaikan aktifitas mandi yang melelahkan, aku hanya diam duduk di pinggir ranjang saat Chanyeol mengeringkan rambutku dengan handuk. Tepat didepan wajahku adalah pinggang Chanyeol yang tertutup sehelai handuk, sisanya ia benar-benar terlanjang bulat. Dari posisiku, aku bisa melihat dada Chanyeol yang sedikit basah karena aliran air dari rambutnya, dan aku hanya bisa terpaku.

"Kalau dilihat terus, kapan akan puas?" tanyanya dengan senyum miring. Aku hanya membalasnya dengan decihan, lalu memalingkan wajahku. Ia tertawa keras, namun tetap menggosok rambutku.

Aku memikirkan cara untuk membalasnya. Dengan hati-hati, kumajukan wajahku hingga hidungku menyentuh bagian handuknya yang menutupi bagian privatnya. Pergerakannya berhenti saat kurasa aku berhasil, lalu perlahan wajahku naik dan mengecup pelan abs-nya.

Kedua tangan Chanyeol turun untuk membuang handuk ditangannya, lalu dengan cara paling sensual, ia memasukkan jari-jarinya ke sela-sela rambut setengah keringku, sedangkan bibirku tidak tahu cara untuk berhenti. Aku menggenggam pinggang Chanyeol sambil terus menciumi lekukan-lekukan abs-nya, menahannya agar tetap ditempat.

"Baekhyun..." panggilnya tercampur desahan berat. Aku tersenyum dibalik aktifitasku padanya, kedua tanganku turun menyusuri paha Chanyeol yang tertutupi handuk.

"Baekhyun," tanganku tertahan oleh Chanyeol, yang membuatku berhenti lalu mengadah untuk menatapnya. Tak kupercaya bahwa kini pelipis Chanyeol sudah terdapat keringat, dan nafasnya agak memburu.

"Jangan buat aku kehilangan kontrolku lagi."

Aku menaikkan alisku mendengar alasannya.

"Sekali saja, biarkan aku berhasil menahan apa yang ingin kulakukan padamu."

Aku tidak menjawab, dan Chanyeol menatapku lama. Tangannya menyusuri sisi wajahku dan mengelusnya lembut. Ibu jarinya mengelus bibirku pelan, menatapinya terlalu intens sampai telingaku memerah.

"Bibir ini... ternyata hebat sekali."

Aku tidak tahu itu merupakan sebuah pujian atau apa. Ia menatapi bibirku seperti orang lapar, lalu matanya beralih ke mataku. "Tapi sayang, bukan aku orang pertama yang merasakan bibir ini ditubuhku."

Syarafku menegang saat mengerti maksudnya. Irene. Sedetik kemudian, kurasakan ia merunduk dan memagut bibirku keras, hingga nafas panasnya menerpa wajahku. Aku memegang bahunya dan berusaha mengimbangi ciumannya, namun Chanyeol bergerak terlalu cepat, kuat, dan ganas. Wajahku terkena tetesan air dari rambut basah Chanyeol, dan tubuh tingginya memaksaku untuk berbaring di ranjang, dengan dia diatasku.

"Ah..."

Bibir Chanyeol turun ke ceruk leherku, dan bukannya aku tidak punya tenaga untuk melawannya, aku malah diam dan pasrah membiarkan ia menguasaiku. Padahal, kalau ia mau tahu, jika ia bergerak sedikit lagi ke bawah, maka aku tidak yakin aku bisa mengontrol diriku sendiri.

Disaat-saat seperti ini, aku mulai bertanya-tanya darimana asalnya sifat dominan Chanyeol. Apa mungkin karena ia Raja? Setiap kata yang ia keluarkan terdegar seperti perintah, atau sugesti, yang mampu membuat orang yang mendengar merasa harus menurutinya. Ia bisa menguasai seseorang hanya lewat kata-kata dan matanya, dan itu membuktikan bahwa jatuhnya tahta kepadanya merupakan keputusan yang tepat.

Aku memejamkan mataku, menikmati semua pergerakan Chanyeol. Disaat yang sama, ia berhenti dan kehangatan di leherku menghilang. Wajah Chanyeol masih terbenam disana, nafasnya masih memburu dan menerpa bahuku. Namun ia diam, tidak melakukan apapun.

"Chanyeol?" panggilku lemas.

Lalu kurasakan kecupan singkat dititik sensitifku, sebelum Chanyeol menarik wajahnya dan menatapku dalam, masih berada diatasku.

"Segitu saja, ya?" ujarnya dengan tampang penuh kemenangan, dan disana aku merasa seperti telah dicurangi. Ia bangkit dari atas tubuhku, mengambil handuknya sambil tetap menatapku, lalu berjalan menjauh, kedua tangannya sibuk mengelap rambutnya sendiri.

Yatuhan, beri aku kekuatan untuk menghadapi manusia sialan itu.

.

Aku masih sebal padanya hingga aku tergeletak di sofa ruang kerjanya, membaca komik sambil sesekali meliriknya bekerja di mejanya, menatap berkas-berkas dan layar komputer dengan begitu serius, dengan kacamata yang bertengger di hidung luar biasanya. Aku mengulum permen stick-ku sedikit sebal.

Sosok serius Chanyeol seakan mengingatkanku bahwa ia adalah laki-laki yang penuh tanggung jawab. Selama lima tahun ini, masa pemerintahannya berjalan cukup baik hingga para warga begitu hormat padanya. Aku sering kali melihat wajah Chanyeol di halaman utama majalah kabar, isinya Chanyeol telah berhasil membangun kerja sama dengan negara lain, atau melakukan hal luar biasa lainnya.

Tanpa perintahku, mataku turun dan menatap dada atas Chanyeol yang terekpos karena kancing baju teratasnya tidak ia pasang, dan aku memalingkan wajahku karena kurasakan pipiku memanas.

Baekhyun, sekali-sekali ingatlah bahwa ia adalah seorang Raja, dan menatapinya atau menyentuhnya tanpa izin adalah suatu perbuatan yang melanggar hukum.

Aku menghela nafas, membolak-balik halaman komikku. Ini sudah jam dua siang, dan Chanyeol sudah duduk disana selama hampir empat jam. Kopi yang disajikan Suho bahkan tidak disentuhnya, ia hanya fokus bekerja saja.

Tiba-tiba, aku mendengar suara dari luar ruangan Chanyeol, suara yang cukup aku kenali. Suara Seohyun. Wanita itu agak berteriak, namun pengawal yang menjaga ruangan kerja Chanyeol terus berusaha menenangkannya.

"Chanyeol, kurasa aku mendengar suara Ratu diluar?"

"Biarkan saja," jawab Chanyeol tanpa menatapku. "Aku sedang menjalankan perintah borgol dari kemarin. Tidak ada yang boleh bertemu denganku."

Aku berfikir sebentar, "Lalu aku?"

"Tentu saja kau pengecualiannya," jawabnya enteng. "Kau 'kan pacarku."

Aku menatapnya dengan satu alis terangkat, "Kita sudah punya istri."

Chanyeol melirikku. "Tapi tidak ada yang melarang kita tidak boleh punya pacar, kan?"

Sebelum aku menjawab, pintu ruangan Chanyeol dibuka secara paksa. Seohyun muncul dari sana, dengan wajah sedikit kesal.

"Kau menjalankan perintah borgol, tapi pengecualiannya bukan aku?" tanya Seohyun kesal, dan itu membuat Chanyeol memijit pelipisnya. "Diamlah, Seo. Aku sedang pusing dan tidak mau bertengkar sekarang."

Seohyun menghela nafas pelan, lalu berjalan menuju meja Chanyeol. Tampaknya ia belum menyadari keberadaanku.

"Ini hasil tes DNA Ravel, kau bisa lihat sendiri." katanya, lalu memberikan Chanyeol berkas. "Aku tidak berbohong padamu, Chanyeol. Aku hanya tidak tahu kebenarannya. Aku memang pernah melakukannya dengan kakakmu, tapi Ravel benar anakmu, kau tahu kita pernah melakukannya."

Chanyeol hanya menatapi berkas itu, matanya memancarkan ketenangan. Lalu ia kembali berfokus pada komputernya, tanpa mengatakan apa-apa.

"Aku minta maaf, Chanyeol. Tapi aku tidak mau rasa sayangmu berkurang pada Ravel."

"Jangan minta maaf padaku," ujar Chanyeol dingin, lalu menuding ke arahku dengan dagunya. "Minta maaf padanya."

Saat itulah, Seohyun menoleh dan matanya bertemu dengan mataku. Ia terkejut, namun tatapannya didominasi oleh rasa sedih dan benci. Aku tidak tahu mengapa Seohyun bisa memendam rasa benci yang sebegitu kuatnya untukku, padahal mencoba untuk merebut Chanyeol darinya saja, aku tidak pernah.

"Oh, jadi dia pengecualiannya?" sindir Seohyun, kedua tangannya terlipat di dadanya. "Apa kabar, Baekhyun? Apa kabar istrimu?"

Aku tidak suka nadanya saat ia menyebut kata 'istrimu', jadi aku menjawabnya dengan tegas. "Dia punya nama, namanya Byun Irene, Yang Mulia."

Entah bagaimana, bisa kurasakan Chanyeol menatapi kami berdua. Namun, saat itu, aku sama sekali tidak memiliki rasa hormat pada Seohyun, terlebih saat aku mengingat apa yang ia lakukan pada Irene.

"Step out from the formality, Baekhyun," jawabnya. "Don't fake your respect to me."

"Seohyun," kali ini Chanyeol yang bersuara. "Keluar."

Bisa kulihat dari ekspresinya, harga diri Seohyun terluka saat Chanyeol mengusirnya. Aku hanya diam ditempatku, menahan agar jariku tidak terkepal. Aku berkali-kali mengingatkan diriku bahwa dia adalah istri Chanyeol, dan wanita yang dihormati negara ini. Karena bila mengingat wajah takut dan sedih Irene, rasanya ingin kulayangkan telapak tanganku pada pipinya, meski itu membuatku bukan laki-laki sejati.

Seohyun masih menatapiku lama sebelum dia benar-benar berjalan ke pintu dengan suara heels nya yang nyaring. Setelah dia pergi, Chanyol menghela nafas berat dan hanya itu suara yang terdengar di ruangan.

Aku hanya bisa diam. Aku tidak tahu apa yang harus lakukan.

"Baekhyun..."

"Ya?"

"Kemarilah."

Chanyeol memutar kursinya ke samping, lalu merentangkan kedua tangannya. Meski aku tidak mengerti maksudnya, aku berjalan menghampirinya dan berdiri didepannya. Lalu dengan pelan ia menggenggam tanganku, menatapinya dan mengecupnya pelan. Aku hanya tersenyum kecil merasakan kecupannya, karena setelah itu ia menghela nafas pelan, seolah melepas sesuatu yang berat.

"Aku senang kau ada disini," ujarnya halus. "Rasanya duniaku tidak seburuk itu."

Chanyeol menarikku pelan dan membuatku duduk dipangkuannya, tatapannya lurus dan tulus ke arah mataku. Mata itu mampu melemaskan lututku, menjungkir balikkan hatiku dengan cara yang aku sendiri tidak mengerti. Rasanya saat aku menatap matanya, aku butuh tahu segalanya tentang dia. Chanyeol adalah seseorang yang begitu dalam, hingga membuatku frustasi karena tidak bisa menjelajahinya.

Sebelum aku bisa keluar dari dalamnya mata Chanyeol, laki-laki itu memeluk pinggangku erat, membenamkan kepalanya di dadaku lama. Bisa kutebak, ia memejamkan matanya dan menikmati irama detak jantungku yang terasa begitu keras hingga ia bisa mendengarnya tanpa menempelkan telinganya ke dadaku.

"Kau duniaku, Baekhyun." bisiknya, dan aku merasakan sensasi itu lagi. "Saat kau disini, rasanya aku bisa diam berhari-hari, tanpa melakukan apapun selain menatapimu. Aku akan hidup, karena aku hidup untuk itu."

Aku mengangkat tanganku pelan, dan mengelus rambut belakangnya. Tatapanku turun ke bahu kuatnya, yang baru kusadari begitu berbeda dari lima tahun lalu. Kini, aku bisa membedakan Chanho dan Chanyeol dengan mudah. Chanho diingatanku akan selamanya berhenti disaat dia adalah seorang pemuda tegas berumur dua puluh tahun, sedangkan Chanyeol adalah pria dewasa yang tumbuh, dengan tanggung jawab yang membuatnya kokoh. Chanho bermata ambisius, sedangkan Chanyeol bermata dalam, penuh perasaan dan luka.

Aku hampir protes saat Chanyeol tiba-tiba melepas pelukannya. Ia tersenyum padaku pelan, lalu melepas kacamata kerjanya. Aku terus menatapinya, tanpa mampu berbicara apa-apa. Saat tak ada benda apapun yang menghalangi mataku dan matanya, aku terpana sekali lagi, dan aku tahu aku akan selalu terpana.

"Kau mau melakukan sesuatu yang menyenangkan tidak?" tanyanya, alisnya terangkat. "Meskipun itu agak merepotkan, karena aku."

Aku hanya mengangkat satu alisku, dan ia membalasnya dengan senyuman jahil yang aku lupa ia pernah punya.

.

Saat keluar dari kamar mandi, aku nyaris terpeleset kakiku sendiri melihat sosok didepanku, yang menghadap kaca dan memutar-mutar tubuhnya.

"Bagaimana?" tanya Chanyeol, dan menunjukkan pakaiannya. Ia tampak senang sekali, dan semoga dia tidak pernah tahu, kalau pakaiannya ditambah senyumannya itu bisa membuatku berada diposisi skakmat.

Chanyeol memakai ripped jeans hitam, dibagian lutut dan pahanya. Lalu ia memakai kaos abu yang mencetak bentuk badannya, dilapisi jaket jeans hitam senada dengan lengan digulung hingga siku. Sepatu converse hitam putih klasik memperlengkap penampilannya, dan rambutnya sengaja ditata membentuk model koma, mengekspos sebagian dahinya.

"Kita akan kemana?" tanyaku, masih menatapinya dari kepala sampai kaki.

"Bolos." ucapnya senang, membuka lacinya yang berisi puluhan koleksi jam Rolex, dan mengambil yang berwarna emas. "Dengan cara paling rusuh yang mungkin pernah dilakukan seorang Raja."

Aku tersenyum miring, memandanginya sambil menyenderkan tubuhku ke tembok. Chanyeol memakai jamnya dengan santai, lalu memakai kacamata hitam dan masker, tak lupa melempariku sepasang juga.

"Siap?" tanyanya, lalu merenggangkan ototnya. Aku menatapnya bingung. "Kenapa kau merenggangkan ototmu?"

"Karena kita akan berolah raga."

Aku belum sempat menjawab namun Chanyeol sudah menggenggam tanganku, dan menyeretku ke pintu. Bukan ke jendela atau ke lorong rahasia kamarnya, namun ke pintu. Ia menendang pintu itu sampai terbuka, lalu berlari sambil menyeretku melewati kedua pengawal yang berjaga di kamarnya. Aku mengimbangi larinya, menoleh kebelakang dan menyadari pengawal itu terkejut dan mengejar kami.

"Mereka mengejar kita, Chanyeol!"

"Memang itu serunya, hahaha," tawanya puas, lalu mengajakku berbelok ke lorong. "Buat apa mereka digaji hanya untuk berdiri diam sepanjang hari?"

Chanyeol berbelok ke lobi utama, lalu dengan gesit langsung berlari menuruni tangga. Ia mengaitkan jari-jarinya dengan jariku, mengabaikan dua pengawal yang terus memanggilinya. Saat kami sudah sampai di lantai satu, Chanyeol menyadari disana terdapat Kris dan Suho, sedang berdiri menjaga Kai dan Sehun.

"Hah, sial," umpat Chanyeol saat Suho dan Kris memergokinya, dan keduanya ikut mengejar kami. Entah bagaimana caranya, Chanyeol menyelip ke sebuah celah pintu yang tidak pernah aku masuki, dan menoleh ke belakang. Kini empat orang yang mengejar kami, dan sesungguhnya aku semakin menikmati ini.

Kami terus berlari menyusuri lorong yang panjang. Kakiku mulai lelah namun aku tersenyum senang, begitu juga Chanyeol, yang dengan semangat berlari dengan kaki panjangnya seolah-olah ia begitu merindukan hal itu. Kami berdua memasuki dapur istana, yang mengagetkan semua orang disana. Mereka mulai menjerit-jerit saat aku dan Chanyeol menyelip disela-sela mereka, dan itu menghambat mereka yang mengejar kami.

Keluar melalui pintu belakang dapur, kami tiba di gudang. Gudang itu begitu besar sampai aku ternganga, melihat kesana kemari sambil terus berlari. Saat kami menemukan jalan buntu, jantungku berhenti. Chanyeol terlihat agak panik dan menoleh ke belakang. Syukurnya, tim pengejar masih tersangkut di dapur, jadi aku dan Chanyeol masih memiliki kesempatan bersembunyi dibalik dus-dus tinggi.

"Sepertinya mereka akan menemukan kita disin—"

"Ssst!" Chanyeol menutup bibirku dengan tangannya, dan aku bungkam dengan sendirinya. Ia menatapi sekitar dengan panik, sementara aku terus memandangi wajahnya yang mulai basah dengan keringat.

Persis seperti waktu itu. Persis seperti lima tahun lalu, saat ia pertama kali aku bertemu dengannya di toko buku ayahku. Ia menutupi bibirku dengan telapak tangannya, dan matanya memancarkan rasa panik. Aku ingat sekali, saat itu aku mengiranya Chanho. Karena aku tidak pernah tahu bahwa pangeran di negaraku ada empat.

'Sssh, jangan berbicara. Aku sedang dikejar.' otakku meniru ucapannya, seolah hal itu terekam dengan begitu baiknya, hingga aku bisa mendengar suaranya di otakku.

Chanyeol melepaskan bibirku, dan aku tersenyum padanya.

"Kenapa kau tersenyum seperti itu?"

"Apa kau penjahat?" tanyaku, dengan tatapan jahil. Ia menatapku tidak mengerti selama beberapa detik, namun tampaknya ia mulai ingat, hingga ia tersenyum tulus lalu tertawa renyah.

"Aku?" ujarnya, terdengar begitu mirip dengan lima tahun lalu. "Tidak, aku pangeran."

Aku tertawa. "Kau Raja sekarang."

"Setelah itu kau bilang apa?" tanyanya. Aku mengangkat daguku bangga. "Kalau kau Pangeran, mengapa kau dikejar? Siapa yang berani mengejarmu?"

Aku mengucapkannya dengan lancar dan hafal, hingga ia terkesan. Lalu ia berdeham dan seakan bertransform ke dirinya lima tahun lalu. "Pengawal kakakku..."

Ia tertawa, mengingat bahwa ia keceplosan. "Maksudnya pengawalku. Aku hanya sedang... bermain-main."

Kami tertawa geli setelahnya, menyadari keadaan kami begitu mirip dengan waktu itu. Chanyeol sedang kabur dari istana, lalu ada bersamaku, dan dikejar oleh Kris. Bahkan, kini Kris benar-benar pengawalnya, sehingga itu membuat segalanya terasa lebih lucu.

Tawa kami berhenti saat rombongan pengejar memasuki gudang. Mereka berpencar setelahnya, membuatku dan Chanyeol bergeser pelan bersembunyi dari mereka. Kris berlari ke arah kami bersembunyi, hingga membuat Chanyeol memindahkan kakinya secara tiba-tiba dan menyandung kakiku, detik selanjutnya kami berdu terhuyung jatuh ke lantai, tertimpa dus kosong setelahnya, membuat bunyi gaduh.

"Sialan!" desis Chanyeol, dan Kris segera menoleh ke arah kami. Posisi dus itu menutupi kami sehingga ia masih belum bisa terlihat. Chanyeol memelukku erat, lalu ia melepas kaca matanya, dan melemparnya ke arah lain, agar perhatian Kris teralih.

Syukurnya, tampaknya itu berhasil.

Kris segera lari ke arah Chanyeol melempar kacamatanya, dan kesempatan itu kami gunakan untuk berdiri. Chanyol menyuruhku tetap diam, lalu kami setengah merangkak ke pojok ruangan, entah apa maksudnya. Aku baru mengerti saat Chanyeol dengan waspada memindahkan sebuah dus dari tempatnya, dan dibawah dus itu terdapat pintu yang mengarah ke bawah, seperti lorong menuju ruangan lain di lantai bawah.

"Gila," bisikku pada udara. Sebenarnya ada berapa pintu rahasia yang Chanyeol ketahui di istana ini?

"Aku akan turun duluan, oke?" kata Chaneyol sebelum menurunkan kakinya ke lorong, lalu menghilang saat merosot ke bawah dengan bebas. Oke, ini agak sedikit menakutkan.

"Itu mereka!"

Aku menoleh cepat ke belakang, mendapati kalau aku sudah terlihat oleh salah satu pengawal. Mereka berlari ke arahku dan dengan gesit, aku mengikuti langkah Chanyeol meski aku tidak tahu bagaimana aku akan mendarat di bawah sana.

Masa bodoh, asalkan Chanyeol ada disana.

Aku masih sempat menutup pintu diatasku saat tubuhku menluncur ke bawah, mirip seperti perosotan terowongan yang biasanya ada di water park, namun kali ini lorongnya gelap, sedikit lembab dan berdebu. Aku tidak bisa melihat apapun saat merasakan tubuhku terluncur ke bawah dengan asyiknya, lalu melihat penerangan sedikit sebelum tubuhku terlempar ke ruangan lain, yang membuatku menganga beberapa detik setelah aku menyadari ini dimana.

"Garasi istana?" tanyaku heboh. "Kita di garasi istana?" tanyaku pada Chanyeol yang sudah berada di lamborghini biru-nya, memanaskan mesin.

"Ayo masuk, kita harus cepat. Tik tok, waktu berjalan."

Aku tersenyum senang, lalu masuk ke mobil Chanyeol yang atapnya terbuka. Tidak repot-repot membuka pintu melainkan langsung loncat ke dalam. Ia memberiku tatapan bertanya setengah takjub, karena aku bisa melakukannya dengan lihai.

"Apa-apaan itu?"

"Hapkido, sayang." aku tersenyum jahil, mengedipkan mataku. Ia tertawa rendah, lalu memajukan wajahnya untuk melumat bibirku sekilas.

Chanyeol menggelengkan kepalanya sambil mengeluarkan mobil itu dari parking slot-nya, dan bibirnya terangkat di satu sisinya. "I love my boyfriend."

.

AUTHOR POV

Kyungsoo melirik ke arah Sehun yang berdiri beberapa meter darinya, seakan meminta kepastian dari laki-laki itu. Sehun menganggukkan kepalanya sekali, sebagai tanda bahwa Kyungsoo harus masuk.

Kyungsoo menghela nafas, agak kesal pada Sehun karena laki-laki itu menggunakan jabatannya untuk mengontrol Kyungsoo. Saat ini, ia sedang berdiri didepan pintu kamar Kai, membawa nampan berisi air hangat dan obat-obatan karena dibalik pintu itu, ada Kai yang sedang sakit.

"Masuk!" suruh Sehun, lebih seperti mengusir Kyungsoo.

Dengan pasrah, ia mengetuk pintu kamar Kai meski tidak mendapat sahutan dari dalam namun tetap dibukakan oleh pengawal, mengetahui Kyungsoo sedang membawa obat. Dengan pelan ia masuk ke ruangan, yang ia hafal betul isinya karena satu bulan lalu, ia masih tidur di ranjang kamar Kai, setiap hari.

Hal pertama yang Kyungsoo lihat adalah sosok Kai yang tertidur begitu lelap di ranjangnya, wajahnya pucat dan dahinya berkeringat. Dari yang ia dengar, Kai bergadang dua hari penuh untuk mengerjakan desain baru untuk fashion brand nya, yang juga merupakan salah satu alasan laki-laki itu minta dibuatkan kopi.

Ia meletakkan nampan berisi obat di meja nakas Kai, lalu menunduk untuk melihat wajah Kai lebih dekat. Anehnya, ia hanya bisa berdiri disana dan menatap, padahal ia tahu betul apa yang harus ia lakukan. Ia tahu betul apa yang harus ia lakukan saat Kai sakit.

"Yang Mulia, kau harus meminum obat."

Yang terdengar dari Kai hanya lenguhan berat, tidak sadar kalau yang membawakannya obat adalah Kyungsoo. Dengan berat hati, ia berbalik badan dan berjalan menjauh menuju pintu, melawan semua naluri nya untuk merawat Kai.

"Kyungsoo..."

Kyungsoo berbalik terlalu cepat. "Ya?"

Namun mata Kai masih terpejam. Alisnya mengerut, rautnya gelisah. Kai mengigau.

"Kyungsoo..." panggilnya sekali lagi, masih dalam igau. Dengan panggilan itu, Kyungsoo berdiri disana menikmati sensasi hangat yang menjalar ke seluruh tubuhnya, dimulai dari hatinya. Ia menatap Kai penuh sayang, melangkah mendekat perlahan-lahan.

Saat ia sudah berada didekat Kai, ia hanya berdiri disana. Ia hanya diam dan menatap Kai tanpa mampu melakukan apa-apa. Ia tidak mau diberi tatapan dingin oleh Kai, atau diperlakukan sebegitu bedanya. Bila Kai ingin menjaga jarak darinya, maka ia bukan siapa-siapa untuk menentang.

Lalu sesuatu yang bening itu turun dari salah satu sudut mata Kai. Air mata itu turun ke samping hingga berakhir jatuh di bantal, dan itu menyadarkan Kyungsoo bahwa laki-laki itu sedang menangis dalam tidurnya, sambil memanggil namanya. Tanpa keraguan, ia lalu duduk disisi ranjang, menggenggam salah satu tangan Kai yang terasa begitu panas.

Mata Kyungsoo membasah memikirkan bahwa pria didepannya terlalu lemas hingga ia tidak bisa bersikap dingin padanya. Bila Kai bangun, pria itu akan kembali menjadi dingin. Kembali menjadi Kai yang seolah-olah tidak pernah mencintainya.

Namun bila pria itu tergeletak tidak berdaya seperti ini, rasanya beratus-ratus kali lipat lebih sakit. Sejahat-jahatnya Kai saat ia bangun, lebih baik bagi Kyungsoo daripada harus melihat Kai jatuh sakit dan tidak mampu melakukan hal yang ia sukai.

Kyungsoo menempelkan punggung tangan Kai dipipinya perlahan, menghela nafas pelan dan memejamkan matanya. Jika bisa ia katakan pada dunia, ia akan katakan betapa menyesal dirinya pernah melepas laki-laki ini. Betapa menyesal ia pernah melukai hati Kai sedalam itu, sampai ia harus berbalik dan memberi punggungnya pada Kyungsoo. Atau lebih tepatnya, Kyungsoo tidak sadar kalau ia tidak pernah siap kehilangan Kai.

Ia baru akan melepas tangan Kai saat kedua mata pria itu terbuka perlahan, menempatkan Kyungsoo pada posisi setengah panik karena merasa aneh tiba-tiba berada disisi Kai dan memegangi tangannya.

Tapi Kai hanya menatapnya dalam, seakan berusaha untuk sadar dan berfikir. Kyungsoo masih diam disisi ranjang, menunggu Kai untuk mengatakan apapun padanya.

"Kyung?"

Sudah lama sekali sejak terakhir Kyungsoo mendengar nama panggilan Kai padanya itu. Dengan senyum sedih ia menjawab, "Iya?"

Kyungsoo berharap Kai mengusirnya secara halus. Atau setidaknya menuruti Kyungsoo dan meminum obatnya. Ia berharap Kai akan bertanya, 'Sedang apa kau disini?', atau pertanyaan dingin lainnya. Karena ia benar-benar tidak siap saat tiba-tiba Kai bertanya:

"Tidakkah kau merindukanku?"

Entah apa yang lebih sakit bagi Kyungsoo, mendengar suara lemas Kai atau menahan diri sekuat mungkin untuk tidak menjawabnya terlalu cepat. Atau mungkin sakit karena tidak bisa menjawabnya, karena sekarang ia bukan lagi Pangeran Kyungsoo. Sekarang, ia hanya putra dari Chef Do, sekaligus pelayan pria di istana.

Ia kehilangan Kai dan ia hampir kehilangan segalanya.

"Apa kau benar-benar tidak pernah mencintaiku dari awal?" tanya Kai, matanya menuntut jawaban. "Apa selama ini benar-benar hanya aku yang ada dihubungan kita?"

Kyungsoo menggeleng keras, menunduk dan beberapa tetes air matanya turun sekaligus. Melihat itu, Kai hanya diam dalam pilu.

"Apa kau senang sudah bebas dariku sekarang?" pertanyaan kejam itu meluncur dari bibir Kai dengan nada penuh kasih sayang, seakan itu pertanyaan normal.

"Aku menyesal, Jongin," lirih Kyungsoo. "Aku terlalu bodoh untuk menyadari bahwa aku telah lama jatuh cinta padamu, pada semua kenangan kita hingga semua waktu kita. Aku meremehkan fakta bahwa aku bisa kehilanganmu, dan itu salah besar. Saat aku menyadari kau bukan milikku lagi, aku juga tersadar aku kehilangan hampir segala-galanya, karena..."

Kyungsoo harus memberi jeda, karena nafasnya tercekat. "Karena kau adalah segala-galaku, Jongin."

"Aku menyesal tidak pernah menyadari itu dari awal, menyesal tidak memberikanmu segalaku, menyesal tidak pernah bertanya-tanya bagaimana jika aku kehilanganmu, aku menyesal—"

"Apa kau mencintaiku?" potong Kai. Ia menatap Kyungsoo lemah, dan tangis Kyungsoo pecah seketika.

"Sangat." jawab Kyungsoo, "Aku sangat mencintaimu, Jongin."

Kai hanya tersenyum kecil, lalu kembali memejamkan matanya. "Syukurlah, kalau begitu."

Selanjutnya Kai tidak mengatakan apa-apa lagi, atau mungkin bahkan tidak mendengar apa-apa lagi, karena ia kembali tertidur, meninggalkan Kyungsoo yang masih terisak disana, dan obat yang tidak tersentuh sama sekali.

.

Baekhyun tidak mengerti apa yang membuat Chanyeol bisa berjalan se kasual ini dijalanan Gangnam, melihat kesana kemari seolah ini adalah jalan yang setiap hari ia lewati. Tangan mereka menggenggam satu sama lain, sedikit terayun seiring mereka berjalan ditengah kerumunan.

"Ah, itu dia,"

Chanyeol menunjuk ke arah sebuah toko, dan Baekhyun mengikuti pandangannya. Itu adalah toko kacamata yang terletak di salah satu perempatan terbesar disana, gedungnya menjulang tinggi dengan desain interior terlalu mewah bila dibandingkan dengan toko sebelahnya.

"Aku butuh kacamata."

Dahi Baekhyun mengerut. "Kau akan membelinya? Disini?"

"Mmm." jawab Chanyeol mengiyakan, bergabung dengan rombongan orang yang akan menyebrang di zebra cross.

"Chanyeol, kau punya lima laci kaca mata."

"Ya, tapi itu semua tidak ada disini, kan," Chanyeol tersenyum. "Aku perlu benda penyamaran."

"Kalau begitu beli saja topi."

"Oh, ide bagus. Kacamata ditambah topi."

Baekhyun melotot. "Bukan begitu maksudku."

Chanyeol tidak menjawab, mungkin tidak mendengar juga, karena ia sudah mendorong pintu toko untuk masuk ke dalamnya. Baekhyun menahan nafas melihat merek-merek mahal yang terpampang berjejer dalam toko itu, mulai dari Cartier, Gold & Wood, Versace, Dolce and Gabbana, hingga Chopard.

Chanyeol berjalan menuju area Chopard, dan menunjuk salah satu kacamata hitam yang terpajang paling tinggi. Ia melihat pegawai yang tersenyum padanya, seorang wanita berambut pirang berwajah Canada.

"I'll take this one, please."

"Yes, sir."

Baekhyun hanya berdiri disana, melihat jejeran kacamata itu dengan takjub. Satuannya bisa mencapai 15,000 dolar Amerika, menjelaskan kenapa toko ini bisa terasa se-ekslusif itu. Bahkan lantainya terlihat begitu mengkilap, karena tidak banyak orang yang bisa belanja di toko ini.

"Ada yang kau mau?" tanya Chanyeol, dan Baekhyun menggeleng terlalu cepat.

Tak lama kemudian, wanita Canada itu kembali ke hadapan Chanyeol, lengkap dengan kacamata yang sudah ditempatkan, bill, dan mesin gesek kartu.

"How many months of installment would you like to choose, Sir?"

Chanyeol tersenyum miring, membuka dompetnya dan mengeluarkan kartu excecutive-nya, meletakkannya di meja, dan Baekhyun yakin ia sempat melihat wajah terkejut pegawai itu. "Full payment, please."

"S-Sure, Sir. Please wait a moment."

Chanyeol tersenyum lalu mengedipkan sebelah matanya ke Baekhyun, sedangkan pria kecil disampingnya hanya menggelengkan kepalanya.

Setelah mereka keluar dari toko, Chanyeol tidak menahan tawanya. Ia menggenggam tangan Baekhyun dan menggoyang-goyangkannya, menjelaskan betapa lucu kejadian tadi.

"Kau lihat wajahnya? Hahahaha."

"Kalau aku berada diposisinya, mungkin aku akan pingsan, Chanyeol." jawab Baekhyun menggerutu. "Tidak semua orang di negara ini bisa membayar 35 juta won sekali gesek, oke? Apalagi dengan kartu eksekutif."

"Kau juga bisa melakukannya, Baek," tuding Chanyeol. "Aku tahu uangmu banyak."

"Itu karena aku bekerja."

"Aku juga bekerja," balas Chanyeol, "Sampai kepalaku terasa mau pecah setiap harinya."

Baekhyun hanya menoleh menatapi Chanyeol, yang terlalu menikmati kegiatan jalan-jalan santainya. Selanjutnya mereka terus menyatu dengan kerumunan, hingga membuat Baekhyun sejenak lupa bahwa mereka adalah dua orang yang terpisah oleh begitu banyak hal. Sejenak saat itu, rasanya ia dan Chanyeol hanyalah dua insan yang saling mencintai, tanpa memiliki halangan apapun untuk bisa bersama-sama.

Chanyeol memasuki toko topi, lalu membeli dua buah, satu untuknya dan satu untuk Baekhyun untuk memperlengkap sarana penyamaran mereka. Meski kelihatannya tidak, namun beberapa orang mengenali Baekhyun. Bagaimanapun, ia adalah seorang Pangeran, meski tidak lewat darah. Mereka berkeliling mengitari distrik Gangnam, membeli es krim, bersalaman dengan maskot restauran, dan berdiri di kedai street food hingga tak sadar telah menghabiskan 50 tusuk odeng berdua. Sepanjang perjalanan mereka terus bergandengan, menaiki bis (yang membuat Chanyeol tampak seperti orang kolot karena tidak punya kartu transportasi dan malah memberi cek 1.000.000 won pada supir bis meski Baekhyun sudah memaksanya pergi ke minimarket untuk membeli kartu).

"Chanyeol, satu juta won itu bisa kau gunakan untuk pergi ke Jeju dengan pesawat lalu kembali lagi, oke? Itu tidak sedikit dan kau memberikannya begitu saja. Jika kau menurutiku sedikit saja, kita akan mendapatkan kartu transportasi di minimarket ujung jalan—"

Chanyeol menurunkan maskernya, lalu mengecup bibir Baekhyun, menghentikan omelan laki-laki itu. "Berisik."

Baekhyun cemberut, namun memutuskan untuk tidak menjawab. Tidak ada gunanya berdebat dengan Raja negara ini, sepertinya ia harus terus mengingat fakta itu.

Hari sudah mulai sore saat mereka tiba di mobil Chanyeol yang ia parkirkan begitu saja dipinggir jalan. Mereka meletakkan semua barang belanjaan (yang sebagian besar milik Chanyeol) di bagasi lalu masuk ke dalam mobil, akhirnya beristirahat setelah berjalan jauh.

Sepanjang perjalanan, Baekhyun hanya diam memandang ke luar jendela. Ia merasa enggan untuk kembali ke Istana, enggan untuk berpisah dengan Chanyeol, enggan untuk membuat jaraknya dan Chanyeol terasa begitu jelas. Matahari sudah berwarna oranye, dan Baekhyun menoleh mendapati wajah Chanyeol diterpa sinar matahari. Rambutnya sedikit terbang, matanya lurus ke depan.

"Chanyeol."

"Mmm?"

Baekhyun menggigit bibirnya. "Apa kita harus benar-benar kembali ke istana?"

Chanyeol menoleh, alisnya terpaut. "Huh?"

"Tidak." jawab Baekhyun sedikit muram. "Lupakan saja."

Selanjutnya, ia mendengar kekehan berat Chanyeol. "Baekhyun, coba buka laci mobil di dashboard-mu."

Dengan ragu, Baekhyun melirik Chanyeol sekilas lalu membuka laci seperti yang disuruh. Ia lalu melihat sebuah kotak hitam segi panjang, dan mengambilnya.

"Bukalah."

Baekhyun membukanya perlahan, lalu kedua matanya melebar. Disana terdapat sekitar 200 lembar free-pass untuk mengendarai helikopter, bebas kemanapun selama asal masih di dalam negeri.

"Itu hadiah ulang tahunku dari Jongin." kata Chanyeol. "Ia punya base helikopter di daerah Namhae. Kau mau kesana?"

Hanya dengan melihat mata berbinar Baekhyun, Chanyeol tidak perlu mendengar jawabannya.

.

Untuk yang kesekian kalinya hari itu, jantung Baekhyun dibuat hampir copot oleh Chanyeol. Ia melongo saat Chanyeol memakai headphone khusus dan duduk di kursi pengemudi helikopter, dengan serius mengatur beberapa hal dan memanaskan mesin.

"Kau bisa mengudarakan helikopter?" tanya Baekhyun, dan Chanyeol hanya mengangguk singkat.

"Kapan kau mempelajarinya?"

Bukannya Baekhyun tidak percaya pada Chanyeol. Jika helikopter itu terjatuh nantinya, ia rela mati bersama Chanyeol. Ia hanya bertanya-tanya mengapa ada begitu banyak hal yang Chanyeol bisa lakukan, terlepas dari kehidupannya yang dulu selalu terkurung di Istana. Ibaratnya, ia selalu dikurung dirumah, meski tetap saja ia tidak bisa membandingkan luasnya istana dengan rumah biasa.

"Diajari Suho."

Baekhyun kembali heboh. "Suho bisa mengudara helikopter?!"

Chanyeol tertawa karena Baekhyun terdengar begitu antusias. "Suho itu lulusan sekolah penerbangan, Baekhyun. Dia juga sudah keluar dari wajib militer. Bahkan dari base-nya, ia menerima gelar Jendral."

"Oh," jawab Baekhyun termenung. "Tapi, bukannya dia sudah bersamamu sejak kecil?"

"Yah, begitulah, nasibku tragis. Suho masih diperbolehkan sekolah di luar istana, sementara aku diajar guru-guru khusus di dalam istana. Guruku sama dengan guru Chanho hyung, namun untuk pelatihan dan tata etika Raja, hanya hyung yang mendapat pelajarannya."

Baekhyun menganggguk pelan setelahnya, bersamaan dengan baling-baling helikopter yang mulai berputar. Chanyeol tersenyum miring padanya, lalu menarik collective helikopter pelahan, membawa mereka secara indah melayang indah ke udara.

BAEKHYUN POV

Aku mau memberitahu kalian, sebuah pemandangan yang begitu sederhana namun dengan begitu hebatnya menerbangkan semua kupu-kupu, burung, atau apapun itu dari perutku.

Pemandangan seorang Park Chanyeol, yang wajahnya menghadap depan dengan sempurna. Hidung mancungnya sejahtera, telinganya tertutupi headphone hitam khusus yang kekar. Tangan kirinya mengendalikan kontrol collective, tangan kananannya mengendalikan cyclic. Alisnya sedikit terpaut, bibir tebal dan penuhnya sedikit terbuka karena konsentrasi. Rambut hitamnya yang tadinya rapi, kini diterbangi angin hingga terhuyung-huyung ke belakang, mengekspos dahinya yang seperti mahakarya. Ia begitu hilang dalam pengendaliannya, seolah-olah aku yang duduk disampingnya ini hanyalah debu yang kebetulan menyangkut saja di jok sampingnya.

Setelah puluhan atau bahkan ratusan buku yang kubaca, tidak pernah kutemukan sebuah perasaan memuaskan yang begini kuatnya. Biasanya, aku hanya membayangkan saja. Biasanya aku hanya menerka-nerka saja, biasanya aku hanya diam dan hanya berani berharap.

Tapi, Tuhan, alangkah maha kuasanya Engkau, karena telah berhasil menciptakan mahluk fana seperti Park Chanyeol. Alangkah maha kuasanya Engkau menghantarkannya ke bumi, bahkan memberinya kembaran, yang hampir sama sempurnanya bagiku.

Aku terlalu hanyut menatapinya, kadang sulit mengalihkan mataku dari kedua tangan Chanyeol yang berdekatan dengan paha kekarnya yang terbuka, uratnya bermunculan membentuk sungai tipis dibalik kulit, dan tanpa sadar aku menelan ludahku.

"Kau seharusnya melihat turun." ujarnya saat mendapati aku menatapinya dengan mata penuh rasa ingin. "Bukannya menatapiku."

Aku menopang kepalaku dan memiringkan badanku agar menghadapnya penuh. Ia melirikku gugup.

"Pemandangan dibawah tidak ada apa-apanya dibanding pemandangan pacarku menerbangkan helikopter."

Chanyeol mendelik sedikit ke arahku, sambil mengangkat alisnya. "Oh, jadi aku benar-benar pacarmu sekarang?"

Aku tertawa, menegakkan badanku dan menatap keluar. Tidak menjawabnya, dan ia juga tidak menuntutku menjawab. Kami terdiam beberapa saat, hanyut dengan pemandangan yang memang benar-benar indah. Laut biru terhampar luas dibawah kami, berayun-ayun tenang yang terlihat jelas hingga atas. Didepan kami, bisa kuliat ujung pulau Jeju yang seakan mulai mendekat.

Aku menutup mataku perlahan, memiringkan kepalaku ke luar hingga terhantam angin sepoi-sepoi. Aku ingin waktu berhenti disini. Otakku saking senangnya mulai memutar lagu-lagu secara automatis, seperti lagu Capital Letters yang dipopulerkan oleh Hailee Steinfeld, yang secara ajaib seakan menjadi soundtrack perjalanan singkatku ke Jeju ini.

I want to get louder,

I got to get louder, we 'bout to go up baby, up we go

We bout to go up baby, up we go

We blowin' out speakers

Our hearts a lil bit clearer

We bout to go up baby, up we go

We bout to go up baby, up we go

For once and for better, gonna give it to you

In capital letters

.

AUTHOR POV

"Kau harus berbicara mengenai ini pada Pangeran."

Irene menunduk dalam, memainkan kukunya lemah. Didepannya duduk seorang dokter wanita, yang mendesaknya sejak dua puluh menit lalu dengan wajah khawatir, panik, dan sedih bercampur menjadi satu.

"Irene." panggilnya lagi karena merasa diabaikan. Karena tidak juga mendapat respon setelahnya, ia dengan paksa mengambil tangan Irene dan menggenggamnya erat. Itu membuat kepala Irene perlahan terangkat dan balik menatap mata sang dokter.

"Jika kita menyembunyikan ini dari Pangeran Baekhyun, kita resmi melanggar hukum. Kau tahu itu, kan?"

Irene memejamkan matanya. "Aku tahu."

Dokter wanita paruh baya itu menatap Irene lama, lalu menghela nafasnya dalam. "Seharusnya, kita tidak pernah menyembunyikan fakta itu sejak awal darinya. Sekarang apa yang harus kita lakukan? Kini kau bukan lagi anak tiriku Bae Irene, tapi Putri Irene. Segalanya berbeda sekarang, sayang. Pangeran perlu tahu tentang ini."

"Beri aku waktu, Bu." ujar Irene dengan wajah sendunya. "Aku tidak mau mengatakan ini pada Baekhyun. Aku belum siap. Tidak sekarang."

Ibu tiri Irene, sekaligus dokter pribadinya itu menghela nafas pelan karena merasa tidak ada gunanya berdebat dengan Irene. Ia akan selalu kalah dan tidak bisa melawan kemauan anak perempuan yang tidak sedarah dengannya itu.

"Ibu hanya bisa melakukan ini, sayang. Kau tahu kau tidak punya banyak waktu lagi. Jangan biarkan Pangeran mengetahui ini dari orang lain, oke? Berjanjilah padaku kau akan segera memberitahunya."

Irene hanya mengangguk. "Aku janji, Ibu."

.

CHANYEOL POV

Sesampainya di Jeju, aku mengambil salah satu mobil sport Sehun di garasi rahasianya. Aku tertawa saat passcode garasinya adalah 140194, ulang tahun Jongin. Masih aku ingat sejarah garasi ini, saat Jongin begitu menginginkan tempat itu namun Sehun dengan brutal membelinya sebelum Jongin, menyebabkan Jongin dengan frustasi berusaha membobol garasi itu dengan cara menebak-nebak passcode-nya berkali-kali. Mulai dari ulang tahun Sehun, Luhan, Selir Oh, hingga ulang tahun ayah.

Jongin tidak pernah mengira bahwa passcode garasi itu adalah hari ulang tahunnya sendiri.

Ia juga tidak sadar, hingga sekarang, bahwa garasi itu sengaja dibeli Sehun agar ia bisa memberikannya pada Jongin sebagai hadiah ulang tahunnya yang ke-18.

Sudah dua tahun garasi ini belum sampai ke pemilik sesungguhnya, dan aku menyalahkan otak Jongin yang setengah jenius dan setengah idiot.

Aku berbagi ciuman panas dengan Baekhyun begitu kami memasuki mobil. Ia berada dipangkuanku, perlahan merebahkan kursi kemudi dan berada diatasku. Aku begitu menikmatinya sampai-sampai otakku nyaris tidak berfungsi. Kurasakan tangan Baekhyun yang merambat ke kemeja longgarku dan berusaha membuka kancingnya, namun aku harus menghentikannya karena aku benar-benar lemah jika harus melawan hormonku saat ini juga.

Entah bagaimana waktu berjalan secepat itu, matahari sudah hendak terbenam saat aku dan Baekhyun mengendarai mobil dengan atap yang digulung kebelakang, menyusuri jalan mengikuti garis pantai. Aku menoleh ke arah orang yang nyaris memegang seluruh duniaku, dan rupanya ia hanya menatap jauh ke laut.

Ia tampak begitu menikmatinya dengan raut wajah yang tenang dan senyuman kecil tersungging di bibir tipisnya, membuatku rela melakukan apa saja untuk menjaganya tetap tenang dan senang seperti itu.

Jeju adalah pulau dibawah pemerintahanku yang paling kusukai. Ayah menyukai pulau Nami, sedangkan Chanho hyung menyukai pulau Hongdo. Aku ingat sekali saat Chanho hyung berkata padaku bahwa ia akan mengubah Hongdo menjadi pulau yang lebih terkenal dari pulau Jeju saat ia memerintah, dan aku hanya tertawa sambil berkata, "Kalau aku jadi Raja, aku akan menjaga reputasi Jeju sayangku."

Menjadi Raja muda membuatku dipandang sebelah mata oleh beberapa kalangan masyarakat. Aku mulai memerintah saat aku berumur 20 tahun, tanpa dasar apapun tentang pemerintahan. Aku tidak pernah tahu budaya-budaya riil yang terjadi di masyarakat, atau sekedar mencicipi makanan jalanan. Hingga kini aku berusia 25 tahun pun, masyarakat masih menganggapku terlalu muda, padahal putraku sudah akan menginjak usia 5 tahun dalam beberapa bulan.

Hanya dalam 5 tahun, reputasiku berubah total. Aku terbiasa memerintah, aku terbiasa menyuruh. Aku terbiasa dihormati, dan berdiri tegap sepanjang hari. Aku harus tetap berdiri tegap karena jika aku menunduk, semua orang akan ikut menunduk dibawahku. Meski awalnya aku merasa kesal, namun lama-lama aku memahami salah satu aturan yang mengharuskan kepala Raja berada diposisi tertinggi. Jadi bila aku menunduk, orang-orang disekitarku harus mencari cara agar mereka berada lebih rendah dibawahku.

Sebelum kami ke resort pribadi kerajaan, Baekhyun ingin berjalan di pesisir pantai. Mungkin karena laut terasa begitu luas dan lepas, aku dan Baekhyun selalu merasa senang berada di pantai. Rasanya dengan begitu, jiwaku dan jiwanya tidak terkurung dan bebas menyatu dengan apapun yang ada. Aku berjalan beriringan dengannya yang mengaitkan jariku dengannya perlahan, membiarkan wajah indahnya tercium sinar matahari dari ufuk barat. Kami berjalan diatas pasir tanpa perduli ombak-ombak kecil menghantam dari bibir pantai, sesekali melirik kaki mungilnya, yang terkubur di pasir yang basah.

"Aku ingin waktu berhenti disini," kata Baekhyun tiba-tiba, bibirnya menyunggingkan senyum kecil. "Disini, dimana hanya ada kau dan aku."

Aku hanya diam menatapnya dari samping.

"Karena aku tidak tahu kemana masa depan akan membawa kita."

Baekhyun menoleh ke arahku, mata kami bertemu disela silaunya sinar matahari sore. Rambut hitamnya kini sedikit menutupi dahinya dan diterbagi angin, agak menutupi matanya. Ingatanku tiba-tiba melayang ke lima tahun lalu, saat aku beremu dengannya di pinggir jalan saat mencari pasangan untuk Chanho hyung. Seandainya saat itu aku tahu, betapa berharganya orang ini untukku...

Seandainya saat itu aku tahu bahwa dia akan terseret ke hal-hal yang menyakitinya, membuatnya menangis berkali-kali dan harus melewati semua itu demi aku, terpisah dariku dan menyiksa dirinya sendiri, tak akan kubiarkan ia masuk ke Istana yang kejam. Tak akan kubiarkan jiwa bahagianya rusak, tak akan kubiarkan ia melalui ini semua karena mencintaiku.

Aku mengelus pipinya pelan, tanpa bisa mengontol tatapan senduku. Kudekatkan wajahku dan kusatukan bibirku tepat diatas bibirnya, tanpa melakukan apa-apa, tanpa menuntut apa-apa. Kurasakan hangat nafasnya yang dengan gemulai dihapus oleh angin, kudekatkan diriku padanya hingga tidak ada jarak diantara kami. Itu adalah ciuman paling tulus yang pernah kuberikan padanya, sekedar memberitahunya bahwa aku begitu mencintainya, tanpa mau ia terluka sekalipun karena aku.

Jika memungkinkan, ingin kuambil semua deritanya dan kusimpan untuk diriku sendiri. Baekhyun mengalungkan tangannya ke bahuku, berjinjit dan mengimbangi ciuman yang diterimanya, mengisyaratkan padaku bahwa perasaan yang kumiliki tidak bertepuk sebelah tangan sama sekali.

Saat kami tiba di puncak bukit dimana resort pribadi kerajaan terletak dengan mengendarai mobil, matahari sudah jauh tenggelam dan Baekhyun tertidur lelap disampingku. Tangannya menggenggam tanganku selama aku menyetir, dan genggamannya masih kuat bahkan saat ia sudah jatuh tidur. Aku membuka pintu mobil dengan pelan, menghampiri Baekhyun dan menggendongnya ala bridal. Ia tertidur begitu lelap hingga tidak terbangun saat kugendong masuk ke dalam, dengan sepelan mungkin kubaringkan tubuhnya di ranjang.

Aku hendak melepaskan tanganku dari bawah tubuhnya saat tiba-tiba lengannya memeluk bahuku dan matanya terbuka perlahan. Aku sempat merasa dimanfaatkan karena sudah menggendongnya padahal ia tidak benar-benar tidur. Aku benar-benar akan protes saat ia berkata pelan,

"Kukira aku bermimpi," dan kedua matanya memerah, menatapku takut.

"Mimpi?"

"Ya, mimpi." bisiknya. "Kukira pertemuan kita sejak kemarin semuanya hanya mimpi."

Saat itulah, baru aku paham apa yang terjadi padanya. Aku hanya menatapnya lembut, lalu mengecup keningnya singkat. Ia begitu merasakannya hingga kedua matanya terpejam, lalu terbuka lagi dan bertemu dengan mataku.

"Bagaimana bisa semuanya hanya mimpi, saat segala sesuatunya terasa begitu nyata untukku?" jawabku, berlutut disisinya, yang masih belum berniat melepaskan leherku. "Bagaimana bisa aku merelakan itu semua hanya mimpi, kalau kau membuatku merasa begitu hidup hanya dalam dua hari?"

Hatiku remuk saat Baekhyun mulai menangis dalam diam, air matanya turun dari ujung kelopak matanya menuju pelipis. Ia melepaskan leherku perlahan, lalu menutup kedua matanya dengan telapak tangannya. Disana, aku terdiam mendengarnya menangis.

Aku dan Baekhyun sama-sama tahu, bahwa kami berdua sedang lari dari kenyataan yang sangat pahit. Bahwa kebahagiaan yang kami rasakan sekarang hanyalah pelarian, dan selama apapun ini bertahan, kami harus kembali. Kenyataan bahwa Baekhyun menghilangkan cincin pernikahannya dan aku membuang cincinku, tidak dengan instan melepas kami dari tanggung jawab masing-masing.

"Sial," umpat Baekhyun disela tangisnya. "Berat sekali rasanya."

Aku meremas rambutku, tidak kuat mendengarnya.

"Berat sekali rasanya melihatmu berada disisi orang lain, Chanyeol. Berat sekali rasanya harus jauh darimu dan menyadari bahwa aku bukan siapa-siapa. Mencintaimu adalah suatu hal yang begitu berat bagiku, menyakitiku hingga aku tidak tahu harus menjerit kemana, bersandar ke siapa."

Baekhyun terisak dalam. "Tapi aku tidak bisa berhenti. Sekeras apapun aku mencoba, sesakit apapun aku menahannya, aku tidak bisa berhenti. Aku masih menginginkanmu, merindukanmu, mengharapkanmu. Aku tidak bisa berhenti."

Diantara semua hal yang kubenci di hidupku, kenyataan yang paling kubenci adalah bahwa aku terlalu lemah. Terlalu lemah untuk menggapai Baekhyun, terlalu terkurung untuk berani menarik Baekhyun ke sisiku, meski itu adalah hal yang paling ingin kulakukan. Aku tidak tahu harus menenangkan Baekhyun dengan kata-kata apa. Aku tidak tahu harus bagaimana agar tangisnya berhenti. Aku tidak tahu cara membuatnya berhenti merasakan sakit.

Kami tidak bisa berhenti mencintai. Disaat yang sama, kami tidak bisa bersatu.

Rencanaku malam itu adalah membawanya pergi ke balkon dan menyiapkan makan malam terbaik untuknya, rencanaku malam itu adalah membuatnya senang dan melupakan apapun yang mengganggu pikirannya. Namun malam itu, aku hanya bisa diam menatap langit langit kamar saat nafas Baekhyun berhembus tenang, tertidur kelelahan disampingku wajahnya setengah menempel ke bantal dan sembab akibat menangis terlalu banyak.

Ajaib, bagaimana disatu sisi aku adalah lelaki nomor satu di dunia ini yang bisa melakukan apa saja, namun disisi lain, memiliki seseorang yang paling kucintai saja, aku terlalu lemah.




Haduh, gila. Chapter ini susah banget untuk 'disudahi'.

Jadi sesuai dengan request, aku sebisa mungkin memaksimalkan perfoma ChanBaek dalam chapter ini. Aku juga berusaha menjabarkan sebenernya perasaan keduanya itu gimana, meski aku bener-bener gabisa lepas sama yang namanya nulis angst.

Chanyeol dan Baekhyun adalah dua orang laki-laki yang paling aku sayang secara pribadi, baik sebagai author dan sebagai fangirl, dan sambil nulis chapter ini pun, aku nangis. I hope they never feel hurt, atau ditempatkan diposisi se-kacau dan sesedih mereka di ff ini:')

Dan dengan bahagia aku bisa bilang kalau FF Half Beat tinggal beberapa chapter lagi sebelum Final (background nya para reader bersorak bahagia karena akhirnya fanfic bobrok ini akan tersudahi), mungkin sekitar 3-5 chapter lagi.

Pssst, aku sudah dapet pencerahan mengenai endingnya, dan yah, aku cuma bisa bilang kalian gaperlu khawatir dengan endingnya, aku udah memutuskan keputusan terbaik yang menurutku gak akan bikin pembaca kecewa.

Aku akan update chapter selanjutnya kalau komennya udah mencapai angka yang aku targetkan dalam hati, hahaha, jadi kalian semangat komennya biar aku semangat nulisnya ya! Dikit lagi, udah mau ending kok!

Continue Reading

You'll Also Like

43.4K 4.2K 27
° WELLCOME TO OUR NEW STORYBOOK! ° • Brothership • Friendship • Family Life • Warning! Sorry for typo & H...
213K 17.6K 89
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
Mom? [ch2] By yls

Fanfiction

106K 11.2K 33
" Pada akhirnya akan selalu ada hal baik yang menerpa kita setiap harinya, biarlah takdir yang mengubah dan biarkan waktu yang menentukan , jangan ka...
67.7K 6.2K 73
Kisah fiksi mengenai kehidupan pernikahan seorang Mayor Teddy, Abdi Negara. Yang menikahi seseorang demi memenuhi keinginan keluarganya dan meneruska...