FAIR UNFAIR

Od akhiriana_widi

40.2K 4.8K 439

*Pemenang Grassmedia Fiction Challenge 2020* Kata Praska, Maura itu bodoh dan selalu melakukan segala hal ber... Viac

1. Demi Planet Jupiter!
2. Pacarnya Pegangan Tangan
4. Gunanya Sahabat
5. Romantis Setahun Sekali
6. Bukan Playing Hard To Get
7. Annyeonghaseyo, Christopher Park!
8. Pengidap Narkolepsi vs Korban Cemburu Akut
9. Memulai Hidup Bersama Oppa!
10. Banyak Cinta di Indonesia
11. Matahari Terbenam di Gumuk Pasir
12. Dekat Bosan, Jauh Kangen Mati-matian!
13. Sering Jatuh Cinta, Tapi Jatuhnya Sendirian Saja
14. Dieng Itu Dingin, Ada Kamu Jadi Hangat
15. Chris vs Kuda Lumping
16. Chris and The Trance
17. Takut Kehilangan Warna Itu
18. Doa Yang Terbang Bersama Lampion
19. Masih Ingin Jadi Suami Kamu
20. Cerita Dari Kampung Naga
21. Cinta Yang Tumbuh di Hutan Mati
22. Filosofi Via Lactea
23. Memelukmu di Papandayan
24. Sekarat Karena Cemburu
25. Jatuh Sama-sama
26. Chris, Aku Pulang Duluan!
Peluk Chris dan Maura di Ujung 2022

3. Tidur Yuk, Sepuluh Menit Aja!

1.7K 199 18
Od akhiriana_widi

"Momol!"

Praska mengulurkan sekotak susu untuk Maura yang dengan cueknya sedang tidur terlentang sambil menutupi muka di bawah sebuah pohon di salah satu sudut Monas.

"Bangun ih!" katanya lagi sambil menendang-nendang pelan kaki Maura. Maura mengerang lalu menyingkirkan kedua tangan yang tadinya ia silangkan di depan muka. Sinar matahari menyeruak menembus sela-sela dedaunan dan menyinari dari belakang sesosok laki-laki dengan rambut rapi dan dibalut pomade sedemikian rupa.

Walau backlight, Maura masih bisa melihat bibir laki-laki yang kini berdiri menjulang di dekatnya itu menyunggingkan senyum semanis madu. Sesaat Maura lupa soal masalahnya, yang ada di otaknya saat itu hanya tiba-tiba semuanya menjadi melambat, tanpa ada suara. "Kamu kok jadi kelihatan ganteng gitu ya, Mas, kalo kena sinar matahari? Ah, jadi mirip malaikat."

Maura meneruskan ocehannya yang lama-lama menyerupai sebuah curhatan yang tumpah ruah di buku diary. "Kenapa kamu jadi begitu gagah, ya? Aku baru sadar kalau badan kamu bagus banget. Menjulang. Kayak tower. Sedangkan aku lebih mirip kayak karpet usang. Tergeletak gitu aja. Nunggu apakah bakal ada yang mungut dan nyuci supaya bisa dipakai lagi, atau malah akan dibuang dan diganti yang lain."

Alis Praska menyatu, agak bingung dia melihat Maura menggerutu seperti itu.

"Aku nggak pernah mempersiapkan diri buat ngalamin pengkhianatan kayak gini, Mas. Aku nggak siap. Cowok yang datang ke kantor siang itu bener-bener bikin hidup aku susah. Terus kemarin siang aku lihat kamu sa ... ah nggak lupain aja."

Praska semakin mengernyitkan dahi. Maura terlihat stres sekali kali hari itu. Kalau bukan karena dia diberi tahu Siva bahwa Maura sedang ada di Monas, pasti Praska tidak akan tahu bahwa gadisnya sekarang ini sedang merana sendirian. Sampai mengoceh begitu.

"Praska, andaikan masalahku itu sinar matahari, aku berharap kamu lagi ngelakuin itu buat aku. Berdiri, ngelindungin aku dari sinar matahari itu."

Praska mendengkus dan berkata, "Wake up, please."

Maura menggelengkan kepalanya pelan, tanda menolak uluran tangan Praska yang menyuruhnya bangun. "Aku heran. Tadinya aku rasanya pengen mati aja gara-gara masalah itu. Tapi kenapa, begitu aku lihat kamu, masalah itu seolah-olah jadi bukan apa-apa, ya? Kenapa masalah itu menghilang begitu kamu dateng? Padahal kamu dateng baru sebentar, kamu ngomong aja belum. Ngasih nasihat buat aku aja belum, tapi kenapa ... tapi kenapa ak ...."

Kotak susu di tangan Praska melayang dan mendarat di perut Maura yang langsung bergegas mendudukkan diri sambil menggerutu dan mendorong lengan Praska yang menyusulnya duduk. "Tega banget sih, Mas. Nggak bisa ya kamu pura-pura romantis kayak aku tadi? Aku kan udah usaha. Jadi sia-sia kan usahaku ...."

"Lagian kamu, tapi kenapa tapi kenapa tapi kenapa mulu. Yang tadi tuh bukan romantis tahu! Tapi norak!" Praska mencubit dengan sangat keras pipi Maura sampai gadis itu berteriak kesakitan. Sebenarnya dia tidak bermaksud untuk menyakiti gadis itu, Praska hanya ingin berusaha membangunkan Maura dari ruang gelapnya, ia curiga jiwa Maura sedang dirasuki roh kegelapan yang membuatnya terus menerus putus asa dan mengeluh.

Padahal ia kenal betul siapa Maura, Maura yang ia kenal adalah tembok baja yang nggak kenal roboh, kebal serangan, dan juga tidak tahu malu. "Maura, come on! Maura yang aku kenal bukan Maura yang kayak gini. Maura yang aku kenal adalah Maura yang menerima tantangan buat summit Semeru dalam waktu 10 menit, sekalipun kamu tahu itu adalah tantangan yang mustahil kamu taklukan. Sekarang sadar lah."

"Aku sadar kok hidup aku lagi di ambang kehancuran." Maura menekuk mukanya sampai tidak bisa dikenali lagi sebagai tanda bahwa dia sedang sedih bukan main. Sedetik kemudian ia membuang mukanya ke arah lain karena tidak tahan dengan tatapan kejam dari Praska.

"Bangun. Berjuang dulu, Ra. Perjuangin dulu hal yang menurut kamu pantas diperjuangin. Kalo kamu udah mati, baru kamu boleh nyerah!" Praska merengkuh pundak Maura, membuat gadis itu berbalik menatapnya lagi. "Aku yakin kamu nggak salah dan kamu nggak boleh nyerah!"

Kepala Maura mengangguk pelan tanpa mengangkat wajahnya lagi sebagai apresiasi atas perhatian dan motivasi dari Praska. Sekaligus menutupi debar jantungnya yang melaju cepat setiap kali ia melakukan eye contact dengan sahabat yang sudah ia kenal sejak umur 12 tahun pun orang yang menjadi kekasihnya selama 6 tahun ke belakang. "Kenapa lagi? Kamu mau aku omelin seharian ya biar nyadar, Ra? Angkat kepalanya, jangan kayak gini, jangan jadi lemah, kamu ha ...."

"Kamu ... masih kuat pacaran sama aku, Mas?" Maura memberanikan diri menanyakan perasaan Praska kembali setelah beberapa kali ia mengalami pengabaian. Praska dengan cepat menarik tangannya dari pundak Maura. Ia lupa bahwa ia harus berusaha menjaga perasaan dan hubungannya dengan Maura agar tetap sehat. Sekuat tenaga ia mengontrol ekspresinya supaya tidak berubah menjadi raut yang salah tingkah.

"Kenapa aku mesti nggak kuat?" jawabnya sambil memberi Maura sebuah senyuman hangat.

Maura mengembuskan napas panjang yang sedari tadi sudah ia tahan sambil memikirkan jawaban buat Praska. Tidak lama kemudian dia pun ikut melempar sebuah senyuman dan berkata, "Ah, nggak apa-apa. Aku cuma takut kamu mulai nggak kuat aja, Mas."

"Mana ada cowok ganteng kayak aku di dunia ini yang mau sahabatan sekaligus pacaran sama orang gila kayak kamu? Cuma aku, kan? Itu tandanya aku kuat." Praska menyeringai dengan mukanya yang sengaja ia buat menjadi terlihat sangat serius.

"Ralat. Kamu bukan cewek gila. Kamu cuma cewek yang terlanjur terlahir di dunia ini buat jadi sahabat sejati dan pacar aku, Ra. Hati aku udah aku kasih semuanya buat kamu dari dulu, jadi kamu nggak perlu mempertanyakan kekuatanku lagi."

Praska menatap Maura yang sedang sibuk menahan tawanya tanpa berkedip. "Apanya yang lucu?" hardiknya sambil mendorong lengan Maura sampai gadis itu jatuh terlentang. Sementara ia sendiri memutar posisi duduknya sehingga membelakangi Maura yang tawanya sudah mulai membuncah dan mulai meledak. Ceritanya, Praska ngambek.

Giliran dia serius, Maura malah ketawa-ketawa tidak jelas. "Mulai gila ya, Mol?"

Tubuh Maura berguncang mengeluarkan tawa yang menggaung ke mana-mana, tangannya mencolek-colek punggung Praska dari belakang. "Emmm, tukang php ngambek."

Ah, seharusnya, kalo emang hati kamu udah kamu kasih buat aku, kamu juga ngasih kesempatan buat aku memiliki hati itu sepenuh dan sebesar-besarnya, Mas. Jangan cuma setengah-setengah kayak kita akhir-akhir ini.

"Kalau aku cewek normal, aku nggak mungkin masih bisa berani muncul di depan muka kamu setelah berkali-kali dimarahin dan dicuekin, Mas." Maura menarik-narik kecil kemeja biru yang sedang dikenakan Praska sambil mencoba sedikit serius. Iya benar, dia memang segila itu sampai ia jatuh cinta pada sahabatnya sendiri dan mengutarakannya terus menerus walau ia tahu ia akan selalu mendapat balasan yang begitu dingin.

Praska bergeming membelakangi Maura tanpa Maura tahu bahwa ia sedang mencoba bertahan dari sebuah ketegangan yang luar biasa. Praska tidak ingin menyakiti Maura, tidak pernah bermaksud menyakiti Maura dengan semua rasa cueknya, tapi Praska cuma merasa waktunya belum tepat sampai ia benar-benar sudah merasa mantap dengan perasaannya.

Apakah dia masih cinta Maura seperti dulu, setulus-tulusnya?

Atau perasaannya yang sekarang hanya sisa-sisa dari rasa terima kasih tak bertuan atas nyawanya yang berhasil terselamatkan dengan mengorbankan nyawa yang lain?

"Aku harap kamu nggak kecewa karena tahu aku semakin lama semakin nggak pantes buat dijadiin orang terdekat kamu, Mas," lanjut Maura sambil menghentikan tangannya yang sudah membuat kusut kemeja biru Praska. Senyum nakal yang ia buat-buat selama beberapa menit ke belakang pun ikut menghilang.

Sebagai gantinya, sebuah raut penyesalan terpajang di wajahnya yang sudah sayu selama berhari-hari. "Jadi, kalau kamu udah mulai risih sama cewek gila di belakang kamu ini, jangan ragu buat bilang, ya. Aku bakal berusaha keras menyembuhkan diri kalo emang itu yang kamu mau."

Praska menelan ludahnya, ia punya firasat yang buruk. Ia sadar, mengabaikan Maura untuk kesekian kalinya di saat gadis itu sedang dilanda masalah yang besar bukanlah perbuatan yang bagus. Bersamaan dengan embusan angin yang membuat rambutnya sedikit bergerak, ia pun ikut mengembuskan napas dan menjatuhkan dirinya ke belakang dengan tiba-tiba.

Kepalanya mendarat tepat di perut Maura yang langsung berseru memaki-maki. Ujung bibir Praska mengulas sebuah senyuman lega, karena tujuannya berhasil. Membuat Maura berhenti sok serius.

"Mas Praska! Gila kamu yaaa ... ini perut aku, bukan kasur! Bangun nggak kamu?" Maura menggerak-gerakkan tubuhnya supaya Praska nggak betah, tapi nyatanya Praska menekan kepalanya sebisa mungkin supaya tetap menempel di perut Maura.

"Nggak mau," jawabnya kalem, tangannya yang panjang menjulur untuk menepuk-nepuk muka Maura, menyuruhnya diam. "Tidur yuk, sepuluh menit aja."

Bagai hewan peliharaan yang baru saja mendapatkan belaian dari si empunya, Maura berhenti bergerak dan terdiam. Ia menyerah, membiarkan Praska tertidur dengan perutnya sebagai bantal. Awalnya, ia mencoba untuk berpikir bahwa moment seperti ini sudah lebih dari cukup sebagai bukti bahwa Praska memang ia miliki.

Praska adalah segalanya. Siapa yang pertama datang walau tidak diminta di saat ia membutuhkan bantuan? Praska.

Siapa yang membuat ia tertawa di saat ia ingin sekali menangis? Praska.

Siapa yang menemaninya sepanjang malam hanya untuk berbicara tidak jelas tentang ini dan itu? Siapa yang mereparasi barang apa pun yang dirusaknya? Praska.

Siapa yang berdiri di depannya setiap kali ia menemui masalah? Praska.

Siapa yang tidak keberatan dengan semua keburukannya? Praska.

Sosok super sabar, super heroik, super pengertian sekaligus super nyebelin dan cuek di hidup Maura selalu Praska, Praska, dan Praska. Jadi Maura sama sekali tidak merasa bersalah ketika tiba-tiba dia sadar ada sengatan lain di hatinya selain sejumput pupuk persahabatan buat Praska.

Sialnya, Praska memang sangat pantas buat dicintai. Puncaknya, mereka akhirnya menjalin hubungan sejak Maura menjalani kehidupan sebagai mahasiswa baru.

"Aku bakal nembak kamu berkali-kali, Mas. Setiap kamu marah-marah, setiap kamu ngediemin aku, setiap kamu nggak peduli sama aku, di saat itulah aku bakalan nembak kamu lagi, Mas. Nembak terus sampai kamu bosen. Sampai kamu inget kalau Praska cuma boleh jadi milik Maura." Maura berlirih, dia nggak peduli Praska tidur betulan atau cuma pura-pura. Dengar syukur, tidak dengar ya sudah. Anggap saja itu sebuah nadzar yang harus ditepati Maura nantinya.

"Kamu nggak ada niat buat bangun nih? Ini kepala apa batu, sih? Udah keras, benjol-benjol, berat lagi."

Praska bergeming dengan napasnya yang teratur.

Jangan bangun, tidur aja terus kayak gini, Mas.

"Aku hitung sampai tiga nih, ya. Aku mau cabut. Ada yang harus aku beresin, Mas."

Praska tetap bergeming.

Aku gak akan pergi ke mana pun di mana nggak ada kamu di sana, Mas.

Tangan peri jadi-jadian Maura yang menyimpan kekejaman luar biasa di balik bentuknya yang mungil mendarat keras di jidat Praska yang langsung melonjak bangun sambil menggerutu. "Belum juga kamu ngitung, Mol. Kenapa kamu sekejam ini sih jadi cewek? Ini nih yang bikin aku ngeri kalo aku jadi suami kamu nanti. KDRT terus."

Praska bangun dari rerumputan, menepuk baju dan celananya yang sedikit kotor oleh tanah dan dedaunan yang menempel. Maura menyusul setelah mengikat tali sepatu kets-nya yang terlepas. Setelah beres dia melempar lirikan setajam samurai ke arah Praska yang langsung menampiknya dengan tatapan yang tidak kalah sangar. "Apa lihat-lihat?" sahut Praska.

"Aku mau balik. Kamu terserah mau kemana, Mas. Aku juga mau nggak ketemu sama kamu dulu buat sementara waktu. Tapi itu juga kalau kamu tahan dan nggak maksa-maksa buat ketemuan. Aku kelewat stres gara-gara kerjaan, gara-gara liat kamu jalan sam ... ah nggak-nggak. Jadi ya gitu deh ... bye." Maura berbalik badan secepat kilat dan berjalan seperti atlet yang sedang memulai pemanasan seperti biasa.

Semenjak sadar dia sayang Praska bukan sebagai sahabat, Maura punya hobi berlari. Lebih tepatnya lari karena dikejar sesuatu yang tak kasat mata. Dikejar perasaan.

"Maura!!!" Suara Praska di belakang sana terdengar memanggilnya, Maura mengerucutkan bibir, matanya terpejam sedikit, pura-pura tidak dengar.

"Momol!!!" Praska berteriak lagi, memanggil Maura dengan nama bekennya. Maura mendesah karena usahanya untuk tidak berbalik gagal total. Dengan lesu ia membalikkan badan tepat ketika sesuatu terbang dan hampir mendarat mengenai salah satu anggota tubuhnya. Kalau saja tangannya tidak reflek menangkapnya secepat kilat, pasti kepalanya jadi korban.

Sekotak susu ....

Ia mendengkus melihat benda itu dan begitu mengangkat wajahnya, Praska sudah mendekat dan berkata dengan penuh kelicikkan, "Aku beli susu itu buat kamu, bukan buat ditinggal di bawah pohon yang di sana tadi. Jangan lupa diminum susunya. Biar kamu kuat dan sehat selama usaha ngedapetin kerjaan baru lagi."

Maura menyeringai lagi, siap menerkam kalau saja Praska tidak buru-buru berlari menjauhinya. Praska sudah kelewat hafal setiap tindakan dan respon yang akan dilakukan Maura. Maura yang kini tertinggal di belakang segera mencoblos susu kotak itu, menenggaknya hingga habis dalam hitungan detik dan memasukkan sampah kotak ke tong terdekat.

Ia mengumpulkan tenaga dan berlari. Dia berteriak memaki Praska sambil memupuk mimpinya siang itu, menjambak rambut Praska sampai kulit kepalanya terlepas.

"Dasar ubur-ubur!!!"

***Fair Unfair***


Kalau belum mati, jangan pernah bilang nyerah.

Regards:
akhiriana.widi

Pokračovať v čítaní

You'll Also Like

137K 793 66
Beberapa penulis cerita wattpad yang aku suka dan cerita yang menarik untuk dibaca
17.7K 3K 25
Cerita yang akan membahas dunia kepolisian, pernikahan yang diabaikan karena sang suami menyukai pacarnya yang sesama jenis. ------------- AKBP Biren...
2.2K 495 23
Judul lama : LoveShip / Daylight Karkata atau biasa dipanggil Arka, menjalani hidup dengan terencana. Namun, ia tengah patah hati karena perempuan ya...
463K 27.2K 74
Ternyata memang benar, garis antara cinta dan benci itu nyaris tak ada. Dari yang bukan siapa-siapa bisa menjadi teman hidup.