.
.
Kamu bakal maafin aku dan kasih aku kesempatan lagi. Iya, kan?
.
.
***
"ERIKA!! AKU BILANG TUNGGU!!" pekik Yoga lantang.
Erika mengacuhkannya dan terus berjalan cepat hingga mendekati pintu kaca. Lobi itu bukan lobi utama hotel, melainkan lobi selatan yang memang diperuntukkan untuk tamu ballroom. Saat ini suasana lengang, karena orang-orang masih berkumpul di dalam ballroom.
Yoga akhirnya berhasil menahan tangan Erika, tapi Erika menepisnya segera. Yoga terkejut. Baru kali ini Erika semarah ini padanya, sampai-sampai tak mau disentuh.
Erika masih menangis. Dia bicara dengan nada tinggi, "PERGI! AKU MAU PULANG SENDIRI AJA!!"
Yoga berusaha melunak. "Erika, kenapa kamu marah?? Aku tadi berusaha membelamu. Orang itu pantas dimarahi!" ucap Yoga memelankan suaranya.
"AKU GAK PERLU DIBELA!! AKU GAK PERNAH MINTA DIBELAIN KAMU!!" bentak Erika.
"Erika, sayang," rayu Yoga berusaha meraih tangannya, tapi Erika menolak.
"KAMU HARUS TAU, YOGA! HIDUP INI BUKAN TENTANG MOBIL MEWAHMU!! BUKAN TENTANG UANGMU! BUKAN TENTANG STATUS KEDUDUKANMU!! BUKAN TENTANG SEBERAPA BANYAK KONEKSIMU!! HIDUP INI BUKAN HANYA TENTANG KAMU!!!" kata Erika dengan mata merah sembab.
Mata Yoga melebar. Selama hidupnya, yang berani menasehatinya hanya Gito. Tapi tidak seperti ini.
"BUKA MATAMU DAN LIHAT SEKELILINGMU BAIK-BAIK!! JANGAN MALAH KAMU BIARKAN MATA HATIMU BUTA!!" lanjut Erika, kali ini lebih terdengar sedih ketimbang marah.
Alis Yoga mengerut. Dia tidak begitu yakin apa yang dimaksud Erika dengan kalimat itu.
Erika berlari keluar pintu kaca.
Yoga mengejarnya. "ERIKA!! KAMU MAU KE MANA??"
Erika tidak menjawabnya. Di teras lobi ada seorang staf hotel berdiri. "Mas, tolong panggilkan taksi untuk saya," pinta Erika pada staf hotel itu.
"Baik. Sebentar," sahut pria itu mengangkat telepon yang ada di meja kecil dan menghubungi seseorang.
Yoga menarik lengan Erika hingga mereka berhadapan.
"Erika, buat apa kamu pesan taksi?? Aku akan antar kamu pulang!" kata Yoga.
Erika menjawab dengan nada ketus, "ENGGAK PERLU!!"
Yoga berusaha merayunya, "ayolah, Erika. Aku udah janji sama Ibumu bakal antar kamu pulang. Aku udah janji sama Ibumu untuk jagain kamu."
Erika terdiam saat Yoga mengatakan kalimat itu. "Aku sudah janji sama Ibumu untuk jagain kamu." Air matanya menetes lagi.
"Kamu bisa lupain aja janji itu," kata Erika menatap lurus ke mata Yoga.
Yoga terbelalak. Dia tidak yakin dengan yang didengarnya. Janji mana yang dimaksud Erika? Janji untuk mengantar Erika pulang ke rumah, atau --
"Erika, apa maksudmu?" tanya Yoga gamang.
Taksi limosin berwarna hitam datang dan berhenti di depan mereka. Staf hotel membukakan pintu, dan Erika buru-buru masuk ke dalamnya. Pintu ditutup dan taksi melaju menjauh.
Yoga berdiri terpaku tak bergerak. Dalam tiga detik dia tersadar dan segera merogoh kantung celananya, mengeluarkan ponsel.
"Jemput saya di teras lobi! SEKARANG!!" titah Yoga pada supirnya.
Jarinya mematikan sambungan telepon.
Detak jantungnya semakin cepat. Ingatannya tak bisa lepas dari kata-kata Erika.
"Kamu bisa lupain aja janji itu."
Enggak. Enggak mungkin, pikir Yoga menyangkal. Pasti maksud Erika bukan seperti dugaannya.
***
Ponsel Yoga menempel di telinganya. Sudah sembilan kali dia mencoba menghubungi Erika. Tapi tak ada satupun panggilannya yang diterima. Pandangannya tertuju ke taksi yang ada di depan mobilnya.
Dia bisa melihat sedikit siluet kepala Erika di bangku penumpang.
Sorot matanya dipenuhi kecemasan. Erika ... ayolah. Angkat. Angkat!
Ponsel Erika bergetar. Erika membuka tas mungilnya dan melirik ke layar ponsel.
Dia lagi, batin Erika. Tombol power ditekan agak lama oleh Erika, dan layar ponselnya gelap seketika.
Yoga terhubung ke nada jawaban otomatis, "nomor yang anda hubungi tidak aktif."
Yoga mematikan sambungan telepon dengan kesal. Tangannya menyisiri rambut panjangnya dan diremasnya di belakang kepala. Kebiasaannya jika dia gelisah. Sebentar kemudian, dia menutup wajah dengan kedua telapak tangan.
Erika! Erika, kamu gak serius, 'kan?
Kamu bakal maafin aku dan kasih aku kesempatan lagi. Iya, kan?? ERIKAA!!
***
Erika menghapus air mata di pipinya, tapi setiap kali dihapus, air mata yang baru, kembali menetes.
Alisnya berkerut. Kenapa dia merasakan senut-senut di pergelangan tangannya? Dia menyentuh pergelangan tangan kiri, lalu dilepasnya.
Erika terperanjat melihat bekas merah seperti memar ringan di sana, berbentuk jemari yang mencengkeram. Dia tidak menyangka, sekeras itukah Yoga menarik tangannya?
Erika terdiam menatap bekas memar itu, lalu sesaat kemudian dia menutup bibir dan menangis tersedu. Erika bahkan tak menghiraukan tatapan iba supir taksi yang mengamatinya dari pantulan cermin.
Tangisnya semakin memilukan. Dia menyadari sesuatu.
Inilah 'tanda' itu. 'Tanda yang jelas' yang dimintanya di dalam do'a.
***
Taksi sudah berhenti di depan gerbang rumah Erika. Erika sudah membayar supir taksi sejak mobil taksi belum berbelok ke blok rumahnya. Begitu ban mobil taksi berhenti sempurna, Erika buru-buru membuka pintu mobil dan berlari membuka pintu pagar tanpa menutupnya kembali. Dia tahu, mobil Yoga sedari tadi mengikuti persis di belakang taksinya.
"ERIKA!!!" panggil Yoga yang baru keluar dari mobilnya, yang kini mengejarnya dari belakang. Erika tak peduli. Dia masuk ke pintu utama dan menguncinya.
Langkah Yoga terhenti persis di depan pintu. Bimbang. Merasa tidak enak pada Ibu dan Bapak Erika, kalau dia mengetuk pintu itu di jam istirahat malam seperti ini.
Yoga berjalan gontai keluar pagar. Dia berdiri di tepi jalan sambil mendongakkan kepala ke atas. Mengamati kamar Erika. Lampu kamarnya baru saja menyala.
Yoga mengambil ponsel dan mencoba menghubungi Erika lagi.
Ah sial! Masih gak aktif! misuh Yoga dalam hati. Yoga berjalan tak tentu arah sambil memegang ponsel.
Tidak bisa! pikirnya. Yoga tidak punya pilihan lain! Dia harus bicara pada Erika SEKARANG!!
Jari Yoga menekan tombol bel di dekat pagar. Tak lama, Ibunya Erika muncul. "Lho? Nak Yoga? kok di luar? Enggak mampir?" tanya ibunya Erika ramah.
Yoga segera menghampirinya. "Maaf, Tante. Malam-malam begini saya mengganggu."
"Ah enggak apa-apa," sahut wanita itu tersenyum iba. Dia bisa menangkap kegelisahan Yoga. "Ada apa? Apa kamu dan Erika bertengkar?" tebaknya langsung.
Yoga tak berani menatap mata wanita di hadapannya. Ibu dari orang yang sangat dicintainya. Yoga menundukkan pandangan, ragu menjawab.
"Tadi begitu pulang, Erika langsung naik ke atas sambil menangis," kata ibunya Erika, tak terdengar emosi.
"Em ... itu, Tante. Kami lagi ada masalah. Saya perlu bicara dengan Erika, tapi Erika mematikan hapenya," kata Yoga, secara tidak langsung meminta bantuan pada wanita di hadapannya.
Wanita itu kembali tersenyum. "Oh gitu. Kalo gitu, biar Tante bicara sebentar sama Erika. Nanti kamu coba telepon dia lagi, ya."
Yoga merasa lega mendengarnya dan berterima kasih pada ibunya Erika, sebelum wanita itu kembali masuk ke dalam rumahnya.
***
Erika terkesiap saat pintu kamarnya diketuk. Dia sedang tengkurap di atas kasur sambil membenamkan wajahnya ke bantal. Segera dihapusnya air matanya, dan menjawab suara ketukan pintu kamarnya dengan suara sengau.
"Ya?"
"Erika, ini Ibu. Ibu boleh masuk?"
Erika segera duduk di tepi kasur. "Iya, Bu. Masuk aja."
Ibunya membuka pintu, dan menatap penuh pengertian pada putri tunggalnya yang matanya sudah sangat sembab.
Erika tersenyum walau terlihat dipaksakan. "Ya, Bu? Ada apa?"
Ibunya berjalan dan duduk di samping Erika dan mengelus punggungnya.
"Erika, Ibu gak akan ikut campur urusan pribadi kalian. Tapi kalau boleh Ibu kasih saran, sekesal apapun kamu sekarang, cobalah untuk bicara padanya."
Erika menunduk, pandangannya menyapu lantai.
Ibunya mengelus rambut Erika. "Yoga mau bicara sama kamu. Kalau kamu gak mau ketemu dia, setidaknya nyalain hapemu, supaya dia bisa hubungin kamu."
Erika diam tak menjawab.
"Selesaikan masalah kalian," lanjut ibunya.
Satu kata melekat lama di pikiran Erika. 'Selesaikan'.
Ya. Aku harus selesaikan semuanya malam ini juga, pikir Erika dalam benaknya.
"Iya Bu. Aku akan selesaikan," kata Erika mengangguk.
Ibunya meninggalkan Erika sendiri di kamarnya. Erika membuka tasnya di kasur dan menyalakan ponsel. Kakinya melangkah ke pintu balkon dan membuka pintu geser.
Erika berjalan ke tepi balkon. Yoga ada di bawah. Melihat Erika menampakkan dirinya, raut bahagia bercampur harap terlihat di wajahnya. Tangan Yoga segera menekan tombol di ponselnya.
Erika melihat nama orang yang dicintainya di layar ponselnya. Dia menarik napas.
Mari kita selesaikan, Yoga.
***