ANXI (SEDANG REVISI)

By wins1983

250K 19.4K 3.8K

Jika kamu sedang mencari novel Islami/syar'i, mohon maaf kamu salah alamat, zheyenk :) ANXI mungkin bukan unt... More

Prakata
Prolog
Bagian 1 (Reuni)
Bagian 2 (Reuni)
Bagian 3 (Catatan Erika)
Bagian 4 (Catatan Erika)
Bagian 5 (Catatan Erika)
Bagian 6 (Catatan Erika)
Bagian 7 (Catatan Erika)
Bagian 8 (Catatan Erika)
Bagian 9 (Catatan Erika)
Bagian 11 (Catatan Erika)
Bagian 12 (Catatan Erika)
Bagian 13 (Catatan Erika)
Bagian 14 (Malam Prom)
Bagian 15 (Malam Prom)
Bagian 16 (Malam Prom)
Bagian 17 (Malam Prom)
Bagian 18 (Perpisahan)
Bagian 19 (Catatan Yoga)
Bagian 20 (Catatan Gito)
Bagian 21 (Catatan Gito)
Bagian 22 (Catatan Gito)
Bagian 23 (Catatan Yoga)
Bagian 24 (Catatan Yoga)
Bagian 25 (Amarah)
Bagian 26 (Melarikan Diri)
Bagian 27 (Catatan Yoga)
Bagian 28 (Pelanggaran?)
Bagian 29 (Pelanggaran?)
Bagian 30 (Kesempatan kedua?)
Bagian 31 (Reuni)
Bagian 32 (Reuni)
Bagian 33 (Reuni)
Bagian 34 (Harta Karun Yoga)
Bagian 35 (Kecemasan Erika)
Bagian 36 (Kecemasan Erika)
Bagian 37 (Catatan Farhan)
Bagian 38 (Catatan Farhan)
Bagian 39 (Catatan Erika)
Bagian 40 (Catatan Yoga)
Bagian 41 (Catatan Yoga)
Bagian 42 (Hari yang baru)
Bagian 43 (Hari yang baru)
Bagian 44 (Foto Rahasia)
Bagian 45 (Foto Rahasia)
Bagian 46 (Foto Rahasia)
Bagian 47 (Anak Angkat)
Bagian 48 (Catatan Yunan)
Bagian 49 (Catatan Yunan)
Bagian 50 (Catatan Yunan)
Bagian 51 (Panti Asuhan)
Bagian 52 (Hidup Baru - Yunan)
Bagian 53 (Hidup Baru - Yunan)
Bagian 54 (Life Goes On)
Bagian 55 (Life Goes On)
Bagian 56 (Life Goes On)
Bagian 57 (Menyambung Tali Yang Terputus)
Bagian 58 (Menyambung Tali Yang Terputus)
Bagian 59 (Pengakuan)
Bagian 60 (Pengakuan)
Bagian 61 (Pengakuan)
Bagian 62 (Renungan)
Bagian 63 (Renungan)
Bagian 64 (Pesantren)
Bagian 65 (Kejutan)
Bagian 66 (Kejutan)
Bagian 67 (Kejutan)
Bagian 68 (Kejutan)
Bagian 69 (Akhir Masa Penantian)
Bagian 70 (Raesha Akhtar)
Bagian 71 (Suluk)
Bagian 72 (Suluk)
Bagian 73 (Suluk)
Bagian 74 (Suluk)
Bagian 75 (Suluk)
Bagian 76 (Suluk)
Bagian 77 (Suluk)
Bagian 78 (Suluk)
Bagian 79 (Suluk)
Bagian 80 (Suluk)
Bagian 81 (Suluk)
Bagian 82 (Suluk)
Bagian 83 (Suluk)
Bagian 84 (Suluk)
Bagian 85 (Suluk)
Bagian 86 (Suluk)
Bagian 87 (Suluk)
Bagian 88 (Suluk)
Bagian 89 (Suluk)
Bagian 90 (Suluk)
Bagian 91 (Suluk)
Bagian 92 (Suluk)
Bagian 93 (Suluk)
Bagian 94 (Suluk)
Bagian 95 (Suluk)
Bagian 96 (Suluk)
Bagian 97 (Suluk)
Bagian 98 (Suluk)
Bagian 133 (Suluk)
Bagian 134 (Suluk)
Bagian 135 (Suluk)
Bagian 136 (Suluk)
Bagian 137 (Suluk)
Bagian 138 (Suluk)
Bagian 139 (Suluk)
Bagian 140 (Suluk)
Bagian 141 (Suluk)
Bagian 142 (Suluk)
Bagian 143 (Suluk)
Bagian 144 (Suluk)
Bagian 145 (Suluk)
Bagian 146 (Suluk)
Bagian 147 (Suluk)
Bagian 148 (Suluk)
Bagian 149 (Akhir Suluk)
Bagian 150 (Akhir Suluk)
Bagian 151 (Akhir Suluk)
Bagian 152 (Akhir Suluk)
Bagian 153 (Akhir Suluk)
Bagian 154 (Sampai jumpa lagi, Padang. Insyaallah)
Bagian 155 (Ke Jakarta Aku Kan Kembali)
Bagian 156 (Ke Jakarta Aku Kan Kembali)
Bagian 157 (Danadyaksa Corp.)
Bagian 158 (Haflah)
Bagian 159 (Pesta C.E.O Baru)
Bagian 160 (Pesta C.E.O Baru)
Bagian 161 (C.E.O Baru : Sistem Baru)
Bagian 162 (C.E.O Baru : Sistem Baru)
Bagian 163 (Guncangan Keras di Danadyaksa Corp.)
Bagian 164 (Guncangan Keras di Danadyaksa Corp.)
Bagian 165 (Guncangan Keras di Danadyaksa Corp.)
Bagian 166 (Guncangan Keras di Danadyaksa Corp.)
Bagian 167 (Bertahan)
Bagian 168 (Bertahan)
Bagian 169 (Bertahan)
Bagian 170 (Bertahan)
Bagian 171 (Bertahan)
Bagian 172 (Bertahan)
Bagian 173 (Bertahan)
Bagian 174 (Bertahan)
Bagian 175 (Bertahan)
Bagian 176 (Bertahan)
Bagian 177 (Harapan)
Bagian 178 (Reach The Limit)
Bagian 179 (Reach The Limit)
Bagian 180 (Reach The Limit)
Bagian 181 (Rahasia Hati)
Bagian 182 (Rahasia Hati)
Bagian 183 (Rahasia Hati)
Bagian 184 (Foto Model)
Bagian 185 (Foto Model)
Bagian 186 (Anak pertama : Ilyasa)
Bagian 187 (Foto Model)
Bagian 188 (Kegalauan Remaja)
Bagian 189 (Dermawan)
Bagian 190 (Rahasia Antara Dua Lelaki)
Pengumuman untuk Pembaca ANXI
Bagian 191 (Khataman Shahih Bukhari)
Bagian 192 (Hadrah)
Bagian 193 (Mengharapkan Keajaiban)
Bagian 194 (Ziarah)
Bagian 195 (Hari Pasrah Sedunia)
Bagian 196 (Pria Bersetelan Putih)
Bagian 197 (Kun Fa Ya Kun)
Quotes 1
Quotes 2
Quotes 3
Quotes 4
Quote 5
Quote 6
Quotes 7
Quotes 8
Quotes 9
Quotes 10
Quotes 11
Quotes 12
Quotes 13
Quotes 14
Quotes 15
Quotes 16
Quotes 17
Quotes 18
Quotes 19
Quotes 20
Quotes 21
Quotes 22
Quotes 23
Quotes 24
Quotes 25
Quotes 26
Quotes 27
Quotes 28
Quotes 29
Quotes 30
Quotes 31

Bagian 10 (Catatan Erika)

1.7K 89 1
By wins1983

.

.

"Kalo gitu, kita ntar nikahnya di restoranku aja ya? Gimana?"

.

.

***

Yoga tersenyum melihatku muncul dari belokan tempat les. Dia membukakan pintu mobil untukku. Sesaat kemudian, mobil sudah melaju di jalan raya.

"Malam ini, kamu kuculik sebentar kira-kira boleh gak ya, sama Ibumu?" tanya Yoga.

"Ha? culik?" kataku balik bertanya.

"Iya. Aku 'kan lagi perlu survei tempat makan. Untuk bahan meeting bisnis restoran baru, punya Ayahku. Selama nungguin kamu selesai les, aku selalu ngelewatin satu restoran yang baru mau buka. Mereka lagi siap-siapin interiornya. Nah, kemarin aku liat restoran baru itu ternyata grand opening hari pertama. Boleh gak kalo malam ini kamu kuajak makan di sana? Tadinya kupikir mau nunggu akhir minggu, tapi aku udah gak sabar nih," jelas Yoga antusias.

"Kok tumben kamu minta izin dulu? Biasanya 'kan langsung aja ambil keputusan tanpa tanya-tanya aku," kataku menatapnya tak percaya.

"Yee ... bukan! Aku minta izin sama Ibumu! Kalo sama kamu sih, ngapain minta izin? Langsung aja kuculik," jawab Yoga tertawa.

Bibirku manyun. "Aku kasih tau Ibuku dulu," kataku sambil mengetik pesan singkat di ponsel. Beberapa menit kemudian, Ibuku membalas pesanku. Memberi izin kami berdua makan di luar.

"YES!! Asiikk!" seru Yoga girang.

Aku tertawa geli melihat tingkahnya yang seperti anak kecil.

"Restorannya sebagus apa sih? Kamu kok pengen banget ke sana," tanyaku.

"BAGUUUSS buanget! Interiornya cantik! Aku udah ngintip dikit kemarin. Kalau dari luar keliatannya kayak rumah biasa. Gak nyangka deh, pokoknya. Kamu pasti suka!" kata Yoga dengan mata berbinar senang.

Aku tersenyum. Yoga ... Yoga. Mood-nya benar-benar mempengaruhi mood orang di sekitarnya. Saat dia sedang berbunga-bunga, aku juga jadi tertular bahagia.

Yoga bersenandung riang. Sementara aku cemas saat menyadari sesuatu.

"Tunggu dulu. Ini tempat makannya resmi? Kita masih pake baju seragam gini, gak apa-apa nih?" tanyaku ragu. Khawatir penampilan kami timpang dengan restoran mewah.

"Ah gak apa-apa. Ini suasananya kayak kuring gitu, kok. Bukan restoran di hotel atau ballroom," jelas Yoga.

Aku menyentuh kulit pipiku. Agak berminyak sedikit. Wajar. Aku sudah beraktifitas seharian sampai malam. "Aduh ... aku belum siap-siap. Enggak dandan sama sekali. Rasanya risi," ujarku malu.

Yoga tersenyum menggoda. "Udah deh, sayang. Kamu gak perlu dandan segala, udah cantik, kok. Beneran deh. Gak bohong," katanya.

Kutolehkan wajah ke jalanan. "Gombal aja kamu," sahutku.

Yoga cekikikan. Dia tahu persis efek kalimatnya tadi bisa membuat mukaku tersipu malu. Nyebelin!

***

Mobil sudah berhenti sempurna di parkiran. Aku tertegun melihat bangunan itu dari luar. Seperti kata Yoga, restoran itu terlihat seperti rumah biasa. Rumah berwarna putih dengan atap pelana. Jendela berbingkai kayu coklat muda, beberapa lubang angin di atas jendela, dan satu lubang angin yang lebih besar berbentuk segi lima di dekat puncak atap. Bangunan baru ini ber-arsitektur bangunan lama ala Belanda-Betawi.

Kami berjalan memasuki lorong dengan deretan tiang hitam di kanan kiri. Ada lampu lampion kotak yang diletakkan di lantai di antara tiang. Begitu keluar dari lorong, aku terkejut melihat ruang terbuka hijau yang luas. Padahal dari luar kelihatannya tidak seluas ini. Di sisi kanan ada kolam renang, di sisi kiri area meja kursi di ruang terbuka dinaungi pohon rindang. Dan ada gazebo memanjang dengan atap semi transparan. Meja-meja bulat dari kayu, dipasangkan dengan kursi-kursi rotan. Lampion-lampion cantik dengan nyala kuning bergantungan di batang pohon.

Aku refleks menutup bibirku takjub. Ini adalah tempat paling romantis yang pernah kulihat.

Yoga tersenyum menatapku. "Kamu suka?"

Aku masih terpana dengan yang kulihat, dan aku menjawab seperti orang yang kehabisan napas. "Ah ... iya. Restorannya cantik sekali," pujiku.

"Aku gak bohong, 'kan?" kata Yoga dengan senyum menawan. Dia menggenggam tanganku dan kami berjalan ke sebuah meja bulat di tepi kolam renang. Yoga menarik kursi, mempersilakanku duduk. Seperti biasa, dia memperlakukanku a la tuan putri. Dia sangat jago dalam hal ini.

Yoga terlihat seperti akan memanggil seorang pelayan berseragam hijau-hitam, dan aku segera teringat sesuatu.

"YOGA!" panggilku tiba-tiba, mengejutkan Yoga.

"Kenapa?" tanya Yoga.

"Mm ... biar aku aja yang panggil pelayannya," kataku dengan senyum yang kuharap tidak terlihat dipaksakan.

Walau bingung, Yoga membiarkanku memanggil pelayan wanita itu. Pelayan itu menghampiri kami, dan memberikan daftar menu. Setelah dia mencatat pesanan kami, pelayan itu pun pamit pergi.

Fase satu : urusan dengan pelayan restoran, aman, pikirku. Tiba-tiba aku teringat Gito yang telah berusaha mengajariku cara mengatasi emosi Yoga yang kadang lepas kendali, terutama kepada orang kecil seperti pelayan, tukang parkir dan lainnya. Jadi, ternyata aku seharusnya tidak memberi kesempatan SEDIKIT PUN untuk Yoga berinteraksi dengan mereka. TIDAK SEDETIK PUN! Akan kucatat itu.

"Kamu tau, Erika? Aku dan Ayahku berencana akan membuat restoran ikan yang BESAR! Mungkin yang TERBESAR yang pernah kami buat!" cerita Yoga penuh semangat.

"Oh ya? Di mana? Maksudku, di kota mana?" tanyaku.

"Di sini! di Jakarta! Kami sedang cari tanahnya. Ada tim yang masih sibuk dengan studi kelayakan."

Aku melihat api semangat di mata Yoga. Senang sekali melihatnya seperti ini. Dia tidak pernah menganggap pekerjaan yang diberikan ayahnya sebagai beban. Dia jelas menikmatinya.

"Oh begitu? Kamu sudah punya bayangan, seperti apa restoran itu nantinya?" tanyaku turut tertular semangat Yoga.

"Iya. Aku udah bayangin suasana ruangannya. Interior etnik Jawa modern pasti bakal keliatan cantik. Di tepi area makannya, ku pikir bagus kalau ada kolam ikan paaanjang. Nanti dari kolamnya akan ada lampu-lampu. Ada dek kayu di pinggir kolam, jadi orang-orang bisa duduk di sana, sambil menunggu pesanan mereka datang".

Aku tersenyum membayangkan apa yang Yoga coba jelaskan padaku.

"Aku yakin restoran itu akan jadi cantik sekali, Yoga," kataku.

"Ah iya. Semoga realisasinya bisa persis seperti yang kubayangin. Ah ya! Rencananya, bakal ada ruang VIP di sana!" imbuh Yoga, masih dengan api semangat di matanya.

"Ruang VIP? Semacam ruang meeting yang bisa disewa?" tanyaku.

"Iya. Kalau mau ke ruang VIP, orang harus lewat koridor semi terbuka, dan nanti ada semacam jembatan kayu yang dililit terowongan tanaman jalar. Ntar kalau malam, terowongan itu bakal cantik banget, karena ada lampu lilit kecil-kecil mirip bintang. Trus aku gak mau suasana ruang VIP-nya kaku, jadi kupikir bagus juga kalau di samping area VIP ada kolam ikan. Kalau malem, ada lampu sorot dari dalam kolam. Orang bisa duduk-duduk di dek kayu di tepi kolam sambil lihat ikan berenang," papar Yoga menjelaskan dengan tangannya turut bergerak-gerak.

"Wah. Aku bisa bayangin suasananya pasti rileks. Kalau sudah gitu, orang mungkin bakal susah konsentrasi sama meeting-nya," kataku tertawa geli.

Yoga spontan ikut tertawa. "Gampang. 'Kan ruangannya bisa ditutup pakai pintu lipat. Kalau meeting sudah selesai, atau pas tea break, pintu dibuka lagi," ujar Yoga memberi ide.

"Oh iya ya," ucapku mengangguk.

Yoga celingukan mengamati taman di belakang meja kami. "Sayang, aku denger tempat ini bisa disewa untuk acara nikahan, lho," bisik Yoga tiba-tiba.

Rasanya aku tau ke mana arah pembicaraan ini. "Terus?" tanyaku dengan tatapan datar.

"Kamu gak mau kita ntar nikah di sini?" kata Yoga balik bertanya dengan ekspresi menggoda di wajahnya.

Di bawah meja, aku menginjak kakinya.

"Aw! Kok kakiku diinjek sih?" kata Yoga sok mengaduh kesakitan.

"Kamu kumat lagi deh! Jangan bahas yang masih jauh! Bahas tuh yang deket-deket aja, kenapa?" omelku.

"Ih, aku serius! Coba liat di belakangmu, deh!" kilah Yoga seraya menunjuk ke belakangku. Aku menoleh ke arah yang dia tunjuk.

"Pelataran kayu yang bentuknya U itu, pas banget buat jadi panggung pelaminan. Terus di taman bawahnya itu, bisa ditaruh air mancur. Dijamin cakep deh!" ujar Yoga mengedipkan mata.

Aku diam dan menatapnya dengan ekspresi malas.

Yoga memasang wajah sedih. "Emangnya kamu segitu gak maunya ya, nikah sama aku?" tanyanya lesu.

Aku gemas bercampur kesal mendengar tuduhan itu. Baru saja akan menjawab, tapi tidak jadi karena staf restoran datang membawakan makanan pesanan kami. Soto dan bandeng kremes. Aku mengucapkan terima kasih pada pelayan itu, sebelum dia meninggalkan kami.

Yoga masih diam dengan wajah cemberut. Hanya terdengar suara sendok dan garpu di antara kami.

"Aku mau," ucapku tiba-tiba.

Yoga melotot ke arahku. Sementara mataku tertunduk ke arah meja makan.

"Aku mau, tapi jangan dibahas sekarang. Nanti kalau aku sudah selesai kuliah, baru kita bahas lagi, ya," lanjutku.

Aku melirik Yoga yang kini nampak gembira.

"NAH! Pas kamu lulus kuliah, itu PAS banget! Mungkin restoran yang mau kubuat bareng Ayahku udah selesai! Kalo gitu, kita ntar nikahnya di restoranku aja ya? Gimana?" ceplos Yoga kembali bawel membahas nikah.

"YOGA!!! UDAAHH!!" kataku mengayunkan garpu ke arahnya.

*****************************************************

Kami sudah selesai makan dan Yoga khawatir kemalaman, sehingga memutuskan sebaiknya segera mengantarku pulang. Padahal aku masih betah di restoran itu.

Saat kami mendekati mobil, seorang tukang parkir menghampiri. Dia sudah siap membantu kami untuk keluar dari tempat parkir. Yoga memberi isyarat dengan tangannya, bahwa kami berencana berbelok mundur ke kanan, supaya bisa mudah masuk ke jalur kiri. Laki-laki yang nampak berusia sekitar 30-an itu mengangguk.

Yoga membukakan pintu mobil untukku. Tapi aku merasa ragu untuk masuk. Aku melihat tukang parkir, lalu melihat Yoga. Apa sebaiknya aku berdiri di luar, setidaknya sampai mobil berbelok mundur dengan sempurna? Hanya sekedar berjaga-jaga.

Yoga melihatku dengan heran. "Kamu ngapain sih? Ayo cepat masuk!" titahnya padaku.

Kalau dia sudah memerintah begini, aku tidak punya pilihan lain. Aku masuk ke dalam mobil. Yoga menutup pintu, lalu dia sendiri duduk di kursi kemudi, menyalakan mesin dan memundurkan mobil perlahan. Aku menoleh ke belakang, memastikan tak ada rintangan apapun di trotoar dan jalanan.

Tukang parkir itu meniup peluitnya sambil memberi aba-aba supaya kami terus mundur. Beberapa saat kemudian tiba-tiba ada suara yang cukup keras. Sepertinya bemper belakang menabrak benda logam. Aku dan Yoga saling tatap. Melihat ekspresi kesal di wajah Yoga, perasaanku tidak enak.

"GIMANA SIH TUH ORANG??" seru Yoga murka. Dia keluar dari mobil dan membanting pintu. Aku menyusulnya. Dan benar saja, dia langsung 'menyemprot' tukang parkir itu. Ternyata di dekat batas antara trotoar dengan jalan, ada semacam pipa besi yang muncul dari bawah, entah apa. Mungkin ada hubungan dengan drainase, karena posisinya dekat dengan tutup saluran air. Tentu saja kami tidak melihatnya dari dalam mobil. Karena pipa itu pendek. Pendek, tapi karena posisi mobil mundur agak ke bawah, jadi kena bemper. Kondisi bemper lecet, tapi tidak terlalu parah sebenarnya.

"KAMU GIMANA SIH?? KOK NGGAK KASIH TAU KALO ADA PIPA BESI DI SITU??" bentak Yoga pada tukang parkir.

Pria itu kelihatan panik.

"Maaf, maaf, Mas. Saya tadi sempat lihat ke belakang sebentar karena ada mobil lain yang baru mau masuk," jelasnya.

Yoga berjalan mendekati tukang parkir itu sambil membusungkan dada. "URUSIN DULU MOBIL SAYA DONG! SAYA KAN DULUAN!!" protesnya dengan suara keras.

Tukang parkir itu menundukkan kepalanya beberapa kali. "Iya. Maaf, Mas. Saya bener-bener minta maaf," ucapnya memohon.

Aku menahan tangan Yoga dan berusaha menenangkannya.

"Yoga, sabar," kataku menengahi.

"Ini nggak bisa dibiarin gitu aja! Dia udah bikin kesalahan besar! Masa tugas kayak gini aja dia gak becus?" kata Yoga masih misuh-misuh sambil menunjuk-nunjuk sang tukang parkir.

"Maaf banget, ya Mas. Pipanya pendek, jadi saya gak begitu ngeh kalo ada pipa itu di sana," kata bapak tukang parkir dengan tangan bersedekap.

"MAKANYA DIPAKE DONG MATANYA!! KAMU TAU BERAPA BIAYA PERBAIKAN LECET MOBIL SAYA?? GAJI KAMU SETAHUN JUGA BELUM TENTU BISA BAYARIN!!" omel Yoga lagi.

Tubuhku gemetar. Ini dia. Yoga mulai lagi. Dia selalu menjadikan uang sebagai ukuran kemarahannya. Aku tidak mengerti. Dia dan keluarganya kaya raya, tapi kenapa dia harus mengungkit gaji orang kecil untuk disetarakan dengan biaya perbaikan?

Tukang parkir itu cuma bisa menunduk ke lantai. Wajahnya terlihat sedih. Tentu saja. Yoga mengungkit penghasilannya yang mungkin tak seberapa. Itu 'kan hal yang sangat sensitif.

Aku menarik tangan Yoga, isyarat agar dia berhenti mempermasalahkan bemper mobilnya yang lecet.

"Yoga. Sudah, yuk. kita pulang," pintaku.

Yoga seperti tidak terpengaruh dengan rengekanku.

"Tunggu! Aku belum selesai dengan orang ini!" tukas Yoga.

"INI PELAJARAN BUAT KAMU!! PERCUMA JUGA SAYA MAU MINTA GANTI RUGI, KAMU GAK AKAN BISA GANTI, 'KAN? ATAU KAMU MAU SAYA LAPORIN KE ATASANMU BIAR KAMU DIPECAT SEKALIAN?" kata Yoga nyaris berteriak.

Mataku panas, rasanya ingin menangis. Kenapa dia harus mengancam sampai seperti itu?

"Jangan. Tolong jangan laporin saya, Mas. Saya bener-bener minta maaf," kata tukang parkir itu memelas.

Suaraku mulai bergetar, "Yoga, aku mau pulang. Sekarang."

Yoga menyadari perubahan suaraku. Dia melihatku sebentar, lalu kembali menoleh ke tukang parkir yang nampak lesu.

"Kamu beruntung sekarang. Lain kali kalau terulang lagi, saya laporin kamu. Inget itu!" ancam Yoga.

Aku masuk ke dalam mobil duluan dan tidak menunggu Yoga membukakan pintu mobil untukku. Tak lama, Yoga masuk dan membanting pintu. Kami akhirnya pergi dari tempat itu. Tak ada satupun dari kami yang bicara. Tak ada musik. Hanya ada hening.

Setelah sampai ke depan gerbang rumahku, aku tidak menunggu Yoga membukakan pintu mobil, dan langsung berlari memasuki rumahku.

Yoga terkejut. Dia keluar dari mobil. "ERIKA!!! TUNGGU!!" jeritnya.

Aku tidak menghiraukannya dan langsung memasuki pintu depan rumah. Dari restoran itu ke rumahku makan waktu sekitar sejam. Menahan air mata selama satu jam, bukan hal mudah buatku. Aku tidak mau dia melihatku menangis.

Malam itu dia berusaha meneleponku belasan kali, mengirimiku sepuluh pesan. Tak satupun yang kubalas.

.

.

***



Continue Reading

You'll Also Like

4.7M 283K 60
[ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] Hana di deskripsikan sebagai gadis nakal pembuat onar dan memiliki pergaulan bebas, menikah dengan seorang pria yang kerap...
35.5K 4.6K 76
Adeeva Humaira Laskar Khaizuran. Seorang wanita yang jauh dari kata agama dan tidak mengenal apa itu agama, selain tidak ada niat untuk berubah dia j...
480K 30.2K 31
SELESAI [PART MASIH LENGKAP] [𝗪𝗪𝗖𝟮𝟬𝟮𝟬 𝗪𝗜𝗡𝗡𝗘𝗥] [𝗦𝗽𝗶𝗿𝗶𝘁𝘂𝗮𝗹-𝗥𝗼𝗺𝗮𝗻𝗰𝗲] 𝗔𝗪𝗔𝗦 𝗘𝗠𝗢𝗦𝗜 ⚠️ 𝗙𝗼𝗹𝗹𝗼𝘄 𝗮𝗸𝘂𝗻 𝘄𝗮𝘁𝘁�...
6.1M 429K 57
Apakah seorang anak Kiai harus bisa menjadi penerus kepemilikan pesantren? Ya. Namun, berbeda dengan seorang Haafiz Alif Faezan. Mahasiswa lulusan sa...