Love Me Harder (end)

By finaha201_

437K 24.7K 621

# 7 dlm rendom (05-09-'17) # 15 (14-08-'17) # 18 (09-08-'17) # 42 (25-05-'17) #Iqbaale rank 2 Memang pernikah... More

Part 1
part 2
Part 3
Part 4
Part 5
part 6
part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 20
Part 21
Part 22
Part 23
Part 24
Part 25
part 26 (a)
part 26 (b)
part 27 a
part 27 B
28
29
30 (yeyyyy!!!)
30 B
31
32
33
33 b
34
34 B
35
36
37
37 B
38
39 (a)
39 (b)
Ilustrasi....
40
41
42
43
44
45
epilog
Thanks to you, guys...
Pengumuman!!!
pengumuman!!! (2)
Hallo!!!
Promosi
sapaan ajah

Bonus

4.7K 256 4
By finaha201_

Rambut coklat dengan sedikit pirang dibeberapa helainya sudah ia gerai, mata yang berbinar, wajah yang bersih, dan seragam putih abu-abu yang rapih. Yap, Diana Melody sudah siap berangkat ke SMA, dan tak lupa, senyuman manisnya yang sama seperti sang Bunda.

Akh, jika melihat pantulannya dengan senyuman andalannya itu, Diana menjadi rindu alm. Nk, apa lagi, kata Ayah, lekukan tubuhnya sangat persis seperti Bunda, yang membedakan Nk dengan dirinya hanya pada hidung, daerah mata, dan tentunya sedikit sikap keturunan Iqbaale. Sisanya, mirip Nk.

"Ana! Kamu sudah siap?!" Seru Iqbaale diluar kamar Diana.

"Sebentar, Yah!" Diana kembali merapihkan penampilannya, khususnya pipinya, karna tanpa sadar, dirinya menangis dihari bahagianya ini. Usai itu, ia meraih tasnya, dan keluar kamar untuk sarapan bersama kedua adiknya dan Ayahnya.

"Lama juga kamu dandannya." Celetuk Iqbaale sambil memberikan sepiring penuh isi nasi goreng buatannya kepada peri sulungnya.

"Namanya juga cewek, yah." Sahut Diana sembari menerima piring tersebut, dan duduk diantara dua pelindungnya; sang ayah, dan Efel.

"eh, besokkan peringatan kepergian Bunda, kosongin jadwal kalian yah, kita berkunjung ke Bunda, ok?" Ucap Iqbaale, membuka topik pada pagi hari ini.

"Pulang sekolah, yah?" Tanya Efel setelah menelan makanannya.

Iqbaale mengangguk. "Nanti Ayah jemput kalian, biar kita langsung ke Bunda."

"Duluan aja yah, Ana ada barang yang harus diambil besok, gapapa kan?" Ujar Diana dengaan muka bersalahnya.

"Ga bisa hari ini diambilnya? Atau lusa gitu?" Tanya Iqbaale meminta agar bukan esok Diana membuat janjinya.

Diana memasang senyum bersalahnya sembari menggeleng pelan, "hari ini Ana ada ekskul, lusa harus dikasih barang itu, jadi ga bisa, yah. Maaf." Jelas Diana, yang membuat Iqbaale pasrah, dan mengangguk.

"Cuma ngambil barang kan?" Diana mengangguk.

"Iya, habis itu Ana ke Bunda kok yah. Janji." Ucap Diana sembari menunjukkan jari kelingkingnya, dan Iqbaale melilitkan jari kelingkingnya yang tegas, dengan kelingking halus Diana.

"Oke. Jangan telat yah." Diana mengangguk, lalu kembali ke sarapannya. "Dan kalo bisa, Opal ikut. Oke?"

***

"Diana!" Suara itu membuat Diana tertoleh kebelakang, dan lengkungan senyum manisnya membuat siapapun terpaku untuk melihatnya, namun sayang, senyuman itu hanya ia tunjukkan kepada keluarganya, serta pria yang tadi memanggilnya.

"Hai, Pal!" Sapa Diana ramah, lalu menunggu pria itu mendekatinya dengan senyumannya yang belum luntur.

Nama pria itu Naufal Ramadhan, umurnya sama dengan Diana, tapi karna pria ini pintar, pria yang Diana panggil Opal ini bisa loncat kelas saat dirinya kelas 8, jadi saat ini, Opal adalah kakak kelas Diana sekaligus walketos sekolah. Tak hanya pintar, tinggi dan tampan menjadi daya tarik bagi siswi SMA Cahaya Pelita, dan tentunya, dia dikelilingi banyak cewek. Namun hatinya berlabuh pada Diana Melody.

"Pr yang loe bilang di-line, udah selesai?" Tanya Opal sambil memasukkan kedua tangannya kedalam saku seragamnya dan seberusaha mungkin untuk santai didepan pujaan hatinya.

"Tadinya pengen diselesein tadi malem, cuman yah," Diana menghembuskan nafas beratnya.

"Kepepet sama reading film yah?" Tebak Naufal yang membuat Diana mengangguk.

Diana memang sering dapat job memainkan film, awal berkarir karna dia sering mengupload banyak fotonya menggunakan baju hasil karya dirinya ataupun almarhumah Bunda di Blog atau instagram, dan seringnya dia membuat vidio di chanel youtubenya, membuat ciri khas yang membuat banyak sutradara ingin menjadikannya bintang. Awal naik daun, Diana sempat dilarang Iqbaale karna cukup menghambat sekolahnya, tapi Diana menunjukkan prestasinya di sekolah yang membuat Iqbaale akhirnya mengizinkan impiannya itu. Dan juga, Naufal sering mengantar Diana jika Iqbaale tak bisa mengantarnya ke audisi.

Diana dan Naufal menghembuskan nafas beratnya secara bersamaan sembari menurunkan bahu mereka, lalu saling melirik. "Ya udah, gua bantu." Ujar Naufal.

"Emang itu kan tugas loe sebagai guru private gue." Sahut Diana pelan.

Naufal mengacak rambut Diana dengan gemas. "Enak aja, gua sahabat sekaligus meneger loe! Camkan itu." Ujarnya cepat dengan pelan. Sebenarnya, Naufal berat dengan kata "Sahabat" yang tadi ia ucapkan, namun, ini lah kenyataan antara mereka berdua. Friendzone.

"Sahabat gua aja, meneger tetep bokap gue, cuy!" Ralat Diana sambil memulai langkah santainya menuju kelasnya dilantai dua.

"Iye, asisten pribadi loe lebih tepatnya." Gumam Naufal sambil mengangkat sesaat bahunya. Diana terkekeh mendengarnya, lalu ia mengacak poni Naufal yang sebenarnya sudah berantakan itu.

"Tau aja loe."

Sesampainya di Kelas Diana, X IPS 3, Diana menaruh tasnya dipojok kelas dan duduk dengan nafas tersenggalnya, sedangkan Naufal, memutar kursi dihadapan Diana, dan membuka tas gadis itu untuk mencari buku ekonomi yang ada PRnya.

"Halaman berapa sih?" Tanya Naufal sambil membulak-balikkan halaman demi halaman dibuku paket Ekonomi Diana.

"Kalo Bunda masih ada, aku ga bakal ikut begituan, deh, kayaknya." Gumam Diana tiba-tiba.

"Maksud kamu dunia entertaiment?" Diana mengangguk pelan dengan nafas yang masih tak beraturan dan pandangan kedepan, namun bukan ke pria dihadapannya. Naufal menghembuskan nafas beratnya lagi, merasa cukup kasihan dengan gadis ini karna sudah kehilangan Ibunya saat kelas 6.

"Walau pun Bunda lembut dan slalu sayang sama anak-anaknya, tapi beliau juga bisa ngatur masalah-masalah kayak gini, Pal." Ujar Diana, seperti ingin mengenalkan alm. Nk pada sahabatnya ini.

"Ibu slalu tau yang terbaik untuk anak-anaknya, slalu bisa ngatur waktu dan memecahkan masalah yang Ayah ga bisa," Naufal memindahkan kursinya kesamping Diana, merangkul bahunya dan mengusapnya lembut. "Aku tau rasanya kehilangan seseorang tercinta dalam hidup, tapi ga baik kalo kita terlalu lama besedih kayak gini, Na." Lanjutnya pelan.

Entah kenapa, atau memang Diana merindukan sesosok Bunda, air matanya jatuh begitu saja kepipi meronanya. "Aku sendiri ga tau, Pal. Ada saatnya aku gapapa tanpa kehadiran Bunda, tapi ada saatnya pula, aku pengen dia hadir lagi dihidup aku, kayak dulu." Ucapnya dengan sedikit isakan yang berusaha ia tahan, namun tetap muncul diakhir kalimatnya.

Naufal kehabisan kata-kata, yang bisa ia lakukan, mengusap lebih lembut kedua bahu Diana, sesekali mengecup pelipisnya, dan diakhiri pelukan hangat untuk tubuh mungil itu. "Aku emang sok tau soal kehilangan, karna aku cuma pernah kehilangan kakak perempuanku, dan itu pun udah ku temukan beberapa bulan setelah dia menghilang, bukan kehilangan kayak kamu gini. Maaf." Bisiknya dalam pelukan.

"hiks, gapapa kok, pal. Gua ngerti." Bisik Diana sambil menghapus air matanya dengan sedikit kasar, melepas pelukan itu, mengambil tisue didalam tasnya dan menghapus sisa air matanya.

"Jangan sedih lagi, yah? Gua ga bisa liat cewek nangis. Please." Ucap Naufal sambil menyelipkan rambut Diana kebelakang telinganya.

"Hiks, iya. Aku usahain."

"Ya udah, kita bikin PR loe aja yah? Jangan galau-galau lagi. Ok?" Usul Naufal sambil kembali membulak-balikkan buku Diana.

"Oke." Seru Diana pelan, lalu mengambil pouchnya, untuk mengambil penanya. Lalu mereka mulai mengerjakan PR gadis ini.

***

"Ana, jadi ambil proposal di photocopy-an, kan?" Tanya Rani, sekertaris OSIS, memastikan tugas sekertaris MPK, Majelis Permusyawaratan Kelas, yang dipegang oleh Diana.

"Jadi, tapi baru besok bisa aku kasih, gapapa yah, Kak?" Jelas Diana dengan mata bersalahnya itu.

"Iya, gapapa, asal jangan lupa diambil aja. Oke?"

"Siap, nanti aku kabarin lagi."

"Ya udah, aku duluan yah, bebeb udah nunggu."

"Hahaha, iya kak, hati-hati yah. Dadah." Diana melambai pada kakak kelasnya yang mulai menjauh, dan melangkahkan kakinya kesalah satu kelas dilantai dasar, dan kembali bertemu dengan Naufal.

"Rapatnya udah selesai?" tanya Diana, memastikan rapat OSIS yang Naufal hadiri.

Naufal mengangguk. "Rani aja udah cabut tadi, jadi otomatis, rapat kelar." Terangnya sanbil mulai melangkah beriringan dengan Diana.

"Tapi masalahnya udah selesai?" Tanya Diana lagi.

"Ya, belum kalo proposalnya belum loe ambil, Na." Jawab Naufal yang hanya diberi anggukan dari sahabat disampingnya.

Lalu, keduanya berjalan lebih cepat menuju parkiran motor, menghampiri vespa merah modern milik Naufal, dan mereka meluncur menuju tempat tujuan untuk mengambil tugas Diana tanpa banyak pembicaraan.

"Mau gua anterin ke pemakaman Bunda loe?" Tawar Naufal setelah menganbil proposal ditukang photocopy-an.

Diana memasang senyun tipis, dan menggeleng pelan. "Biar gua naik taxi aja, loe harus pulang cepet kan buat jagain kakak loe?" Tolaknya dengan halus, sekaligus mengingatkan kewajiban Naufal dikeluarganya.

Pria ini memasang senyun kecutnya, dan mengangguk pelan. "Tapi itu bisa ditunggu sampe sejam, Ibu juga pasti ga bakal marah kalo nyangkutin kamu dipermasalahan kayak begini." Ujarnya terdengar santai.

Diana menghentiian langkahnya dan menatap tak suka sahabatnya sendiri, dan itu membuat Naufal ikut berhenti dan menoleh bingung Diana. "Kenapa?"

"Jangan cuma gara-gara aku, tugas kamu jadi lalai, Pal." Ucap Diana lembut, tapi masih terdengar tegas. "Aku ga suka kalo kamu kayak nunda-nunda gini, yang ada kamu kena marah Ayah kamu terus, lho." Kata Diana yang membuat Naufal sadar dengan keluarganya."Lagian, aku bener-bener ga apa-apa kok kalo kamu tinggal juga,"

"Tapi Ayah kamu yang minta aku buat jagain kamu. Dan itu pun tugas aku juga, Na!" Potong Naufal dengan cepat.

Diana terdiam.

"Pas kamu mulai dikontrak sama salah satu industri entertaiment, Om Iqbaale yang nyuruh aku jagain kamu slama ini, itu kenapa aku slalu bela-belain dimarahin Ayah cuma buat kamu, Na!" Jelas Naufal seperti orang marah-marah, kelakuan penolakan Diana seperti ini, bukan lah hal yang pertama kali Diana lakukan, melainkan sering ia tindak saat Naufal berusaha untuk menjaganya.

"Ayah, minta tolong kamu?" Tanya Diana memastikan.

Naufal diam, berusaha mengontrol emosinya. "Apa harus gue ulang omongan gua?" Nadanya memang biasa, namun, kata-katanya cukup membuat nyali Diana sedikit menciut, sekaligus merasa bahwa Ayahnya keterlaluan untuk menjaganya.

"Dan selain itu..." Diana kembali menoleh saat Naufal bersuara lagi. "Emang perasaan gua yang terlalu gede buat jagain elo slama ini."

Diana mengerutkan keningnya, tak mengerti maksud ucapannya. "Hah?"

Naufal menundukkan kepalanya, lalu melirik Diana dengan ragu. "gua sayang loe..." Gumamnya, amat pelan. Dan kebetulan pula, motor dengan knelpot yang berisik melewati mereka, dan itu semakin membuat Diana sulit mendengar Naufal.

"Hah? Loe bilang apa tadi?" Tanya Diana, meminta Naufal mengulang lagi ucapannya.

Bukannya mengulang ucapannya, Naufal malah menghembuskan nafas leganya. "Bakal gua ulang diwaktu yang tepat, sekrang," Naufal langsung menarik pergelangan tangan Diana menuju motornya, menaikinya, memakaikan helm pada gadisnya yang terlihat pasrah diperlakukan seperti itu. "Kita ke makam Bunda loe sebelum gua dimarahin bokap loe dan bokap gua. Oke?" Lanjutnya sambil memakai helm untuk dirinya sendiri.

Diana menghembuskan nafas beratnya, dan menaiki motor merah itu dengan jengkel, memegang bahu Naufal saat pria itu mulai melajukan kendaraannya. Diperjalanan pun, Diana tak membuka percakapan, ia hanya meminta singgah sesaat di toko bunga, untuk ditaruh diatas batu nisan sang Bunda.

"Nih..." Diana kembali mengerutkan keningnya saat Naufal memberikan setangkai bunga tulip putih kesukaannya, seusai dirinya membeli seikat bunga Mawar putih dan sekeresek kelopak bunga untuk Bunda.

"Apaan nih?" Tanya Diana bingung, sembari menatap bunga itu dengan ragu.

"Salah saya kasih ini ke kamu?" Sahut Naufal yang cukup membuat Diana terkejut dengan kosa katanya yang tiba-tiba berubah.

"Dalam rangka apa?" Tanya Diana lagi.

Naufal memasang senyum miringnya, "Ngehibur kamu, kan kemarin habis nangis." Jawabnya santai. Dan mengangkat bunga itu kebawah dagu gadis ini. "Biar senyum lagi." Lanjutnya yang disusul dengan senyuman lebar yang membuat beberapa wanita tergila-gila melihatnya.

Diana cukup ragu untuk menerimanya, namun, tetap ia raih bunga tulip itu, dan memasang senyum andalannya. "Bunda pernah bilang, yang gampang itu tersenyum, yang susah itu, tersenyum karna bahagia." Ujarnya menatap lekat sahabatnya. Dan kembali memasang senyumannya, namun kali ini, senyuman itu merekah sedikit kebahagiaannya. "But, thanks, you make me happy again." Gumam Diana yang dijawab anggukan dari lawan bicara. Lalu ia mulai menaiki motor Naufal.

"Anytime for my favorite girl." Gumam Naufal, amat pelan.

"Apa loe bilang tadi?" Tanya Diana penasaran.

Naufal melebarkan matanya, karna kelepasan menyebut kalimat tadi. Jadi dia cepat-cepat menggeleng kaku. "Enggak, bukan apa-apa kok." Jawabnya, dan mulai melajukan motornya tanpa menggunakan helm, karna memang lokasinya tak begitu jauh dari toko bunga.

Sesampainya ditemoat tujuan, Naufal langsung pamit untuk pulang saat mereka sudah bertemu Iqbaale depan pemakaman keluarga.

"Hati-hati yah, jangan ngebut, lho." Pinta Diana yang dijawab anggukan dari Naufal seusai menyalami Iqbaale.

"Iya, jangan lupa PR! Oke?" Kini giliran Naufal yang memberi pesan pada Diana.

"Oke." Diana mengacungkan jempolnya. Naufal melambai ke Diana, Iqbaale maupun Efel dan Adel, dari barulah ia pergi kerumahnya.

Sedangkan Iqbaale, Diana, Efel dan Adel, berjalan menuju makam alm. Nk.

"Hai sayang, apa kabar?" Usai berdoa, anak-anak mulai mencabuti rumput-rumput liar, memberi air dan menaburi kelopak bunga diatas makam sang Bunda, sedangkan Iqbaale, mulai mengajak bicara batu nisan yang bisu itu. "Kami disini baik, kian membaik setelah Ana sering dapat job main film dan ngelanjutin bisnis kamu." Diana menghentikan aktivitasnya dan melirik sang Ayah yang ada dihadapannya dengan rasa sedihnya.

Ayah memang lebih baik, dibandingnya beberapa tahun kebelakang setelah Bunda meninggal, tapi tetap saja, Diana merasa kasihan kepada Iqbaale yang sering menyebutkan nama sang Bunda ditidurnya, atau kadang bengong diruang kerjanya sembari menatap foto pernikahan mereka. Diana tak tega melihat Iqbaale begini terus, dipaksa untuk memilih calon pengganti Bunda pun, beliau tidak mau.

"Efel sering jadi juara kelas dan sering ikut lomba olimpiade Matematika, Inggris, atau pun IPA, hebat yah jagoan kita." Puji Iqbaale sambil merangkul Efel yang ikut menghentikan aktivitasnya dan menatap tak tega Iqbaale.

"Ayah..." Panggil Diana pelan sembari menggenggan tangan Iqbaale.

"Hiks, Adel harus pakai kacamata karna efek prematurnya, tapi ga begitu besar kok, cuman minus 0,5, dan kata dokter, hiks, kemungkinan bisa sembuh." Lanjut Iqbaale tanpa mempedulikan panggilan peri sulungnya.

Diana diam seribu bahasa, menatap tak tega sang ayah sembari meraih tangannya dan mengelusnya lembut.

"I miss you, Nk..." Bisik Iqbaale dengan air mata yang membasahi kedua pipinya.

Adel mengambil tisu ditas selempangnya, dan memberikannya kepada kedua kakaknya, Efel mengambil beberapa lembar dan menghapus air mata dipermukaan wajah Iqbaale.

"Bunda, mampir lagi yah ke mimpi kami, kangen soalnya." Kini Efel yang bersuara.

"Bunda, Ana udah ngisi diary Bunda lho, kapan-kapan Ana bawa dan bacain, yah? Hiks..." Diana ikut bercerita. Adel yang lebih banyak diam, tapi paling tidak bisa menahan air matanya slama perjalanan.

"Pulang yuk," Ajak Iqbaale, setelah sejam berada ditempat peristurahatan terakhir Nk.

Diana menengok kearah sang Ayah, dan mengangguk pelan, Efel dan Adel hanya mengikuti. Dan mereka berlalu menuju rumah. Sesampainya di rumah pun, mereka berempat kembali melamun diruangan favorit masing-masing; Iqbaale di ruang kerjanya, Diana di balkon kamarnya, Efel ditaman belakang sembari merendamkan kakinya dikolam renang, dan Adel meringkuk disofa ruang tengah.

"Kangen Bunda, yah?" Suara berat itu membuat lamunan Diana buyar dan menengok kesumber suara.

"Slalu..." Sahut Diana pelan, dan kembali menatap kearah depan dengan tatapan kosong.

Pria itu duduk disamping Diana dan menyodorkan bunga tulip putih, seperti tadi siang. Diana hanya meliriknya datar bunga itu, menghembuskan nafas beratnya tanpa berniat menerimanya. "Aku bahagia kok, cuma ga pengen senyum aja." Ujar Diana pelan.

"Kenapa?" Tanya Naufal sambil menaruh bunga tulip diatas meja samping kursi kayu tempat mereka duduki.

Diana mengangkat kedua bahunya sesaat. "Cuma pingin, menggambarkan hati kecil aku aja," Ucapnya dengan nada terdengar riang, namun wajahnya berkata sebaliknya.

Lalu hening melanda keduanya, Diana masih menatap pepohonan dengan tatapan tanpa arti, dan Naufal menatap wajah Diana dengan tatapan berharap, berharap gadis ini mengetahui dan mau menerima perasaannya.

"Kapan kamu datang?" Tanya Diana, memecah keheningan saat Naufal mulai mendekatkan bibirnya kepipi tembem Diana.

Seketika saja, Naufal menjadi salah tingkah, dia jauhkan wajahnya, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sembari menatap malu pepohonan didepan. "sekitar 15 menit yang lalu lah," Jawabnya, masih terlihat salah tingkah.

"Ga jadi ngurus kakak kamu?" Tanya Diana lagi, meyakinkan kewajiban Naufal selain menjaganya.

"Disuruh Ibu kesini, katanya kak Nadine sama Ibu aja, aku disuruh bikin kamu senyum malahan." Jelas Naufal dengan raut wajah yang terlihat tenang.

"Ayah kamu ga marah?" Tanya Diana lagi, namun sekarang sembari menoleh.

Naufal menggeleng sembari tersenyum kecil. "Ayah belum pulang." Jawabnya singkat.

Diana hanya mengangguk pelan, lalu berusaha meraih rambutnya yang dikepang sempurna, dan melepas ikatan rambutnya, dan mengacaknya asal. Naufal membantu melepas ikatan rambutnya dan ikut mengacak rambut gadis itu, bahkan dia sengaja menjambak pelan rambutnya, dan memutar-mutarkan kepala gadis itu sembari terkekeh geli, hingga Diana memekik karna pening.

"OPAL, AH!!!"

"Ganteng...." Sambung Naufal sembari merapikan kemeja seragamnya yang tidak ia kancing, dan memperlihatkan kaos polos hitamnya.

"Najis..." Gumam Diana sembari menyisir rambutnya dengan tangannya sendiri.

"Awas lho, nantu naksir." Celetuk Naufal sambil mendorong bahu Diana cukup kuat.

"Emang iya...." Diana langsung menutup mulutnya dengan kedua tangannya, menyadari kebodohan mulutnya yang ga bisa kekontrol soal perasaan.

Menyadari sahabat wanitanya bergumam demikian, layaknya seperti mimpi. Naufal menundukkan wajahnya sehingga wajah mereka berhadapan, mata bulatnya disipitkan, dahi dan dagunya ia kerutkan, memastikan ucapan Diana tak salah ia tangkap. "Gua ga salah dengerkan? Tadi kamu bilang...."

Diana terdiam masih dengan posisi tangan menutupi mulutnya, namun ekspresinya yang slalu tidak bisa ia tutupi; mata melebar, pipi bersemu merah, deru nafas yang mulai tak beraturan, dan gelengan kakunya, menandakan ucapannya, atau lebih tepatnya, keceplosannya tadi benar.

Naufal terkekeh melihatnya, lalu ia acak rambut bagian depan Diana sehingga wajahnya tertutup sempurna dengan rambutnya sendiri, namun Diana tidak peduli akan hal itu.

"Aku juga kalo gitu..." Ujar Naufal dengan wajah bahagianya dengan nada riangnya sembari kembali menegakkan tubuhnya. Mendengar itu, Diana membuka wajahnya dari rambutnya, dan menengok kearah pria itu tak percaya. "Bolehkan?" Tanya Naufal sambil menengok kembali kearah Diana dengan alis terangkat pula.

Diana menatap lekat lekat pria yang sebenarnya selama ini dia sukai dengan khusyuk. Naufal pun demikian, seperti keduanya tak butuh orang lain, hanya berdua di muka bumi ini, itu sudah lebih dari cukup.

Setelah sekitar tiga menit mereka berdiam diri dengan posisi yang sama, Diana memasang senyum simpunya, dan mengangguk pelan. Dan Naufal, pria itu memasang senyum leganya, dan menyingkirkan rambut yang menggangguk dari wajah cantik Diana, dan langsung meraih tengkuknya, mulai mendekatkan kedua wajah mereka, dan hendak berciuman, sampai....

"ekhem...." Suara batuk yang sangat dibuat-buat menbuat niat Naufal terkurung, dan mata terpejam Diana, kembali terbuka.

"Ayah..." Bisik Diana dengan muka tak enak hatinya. Ia kembali menarik kepalanya, memutar badannya kearah kamarnya dan tersenyum kikuk kearah Iqbaale yang memasang wajah tegas andalannya dengan kedua tangan ia masukkan kedalam saku celananya. Naufal melakukan hal serupa seperti Diana, dia bahkan mengangguk sesaat dengan sopan.

"Om..." sapa Naufal yang malah disambut tatapan tajam dari orang yang ia sapa. Dan Naufal menerima perkataan pedas dari ayah sahab–Kekasihnya.

"Ayah, jangan om!" Ucapan Iqbaale sukses membuat Naufal maupun Diana terkejut, ekspetasi mereka terhadapnya, benar-benar diluar dugaan. "Udah jadian kan?" Tanya Iqbaale sembari mengangkat kedua alisnya dan menunjuk keduanya dengan telunjuknya.

Ditanya seperti itu, muka Diana yang awalnya sudah biasa saja, kembali bersemu merah. Apa Ayah nya menyetujui hubungan mereka?

Beda halnya dengan Naufal, dia malah berdiri dari duduknya, kedua tangannya berada didepan sembari saling memegang, dan memasang senyum terbaiknya, "Kalo Om, eh, Ayah maksudnya, membolehkan kami jadian, mulai hari ini, saya akan menjaga raga dan hati Diana." Ujarnya dengan binaran mata yang pertama kali Diana jumpai. Seserius itukah dia?

Iqbaale berpikir sembari menatap peri sulungnya, merasa salah tingkah dengan tatapan ayahnya sendiri. "Diana? Perasaan kamu gimana?" Tanya Iqbaale terdengar tegas.

Diana sedikit menggigit bibir bawahnya, menengok kearah Naufal yang masih memasang senyumannya sembari menatapnya pula. Diana bingung, Hatinya berkata 'ya' untuk menyukai, bahkan mencintai Naufal, sahabatnya sendiri, namun dia merasa takut yang pernah ia alami, menggrogoti kepercayaan hatinya lagi.

"Kalo Ana masih ragu, jangan..." saran Iqbaale, kini mata dan suaranya menjadi lembut dan menenangkan.

"Ana, ragu yah..." Gumam Diana yang masih Iqbaale dengar. Mengerti maksud Diana. "Menurut ayah?" Diana meminta saran.

Iqbaale melirik Naufal yang kini menatapnya sendu, seakan ia sudah ditolak saja. Iqbaale berpikir ulang sebelum mengangkat kedua bahunya. "Itu sih, terserah Ana, Ayah ngerestuin kok..." binar wajah Naufal seketika berubah saat Iqbaale merestui hubungan mereka yang belum menentu. "Ana pikirin dulu baik-baik, ok?" Diana mengangguk sebelum Iqbaale membalikkan badannya dan pergi menemui kedua buah hatinya yang lain.

Naufal kembali duduk disamping Diana, menatap menyelidik gadis itu. "Ragu kenapa? Takut aku nyakitin kamu?" Tanyanya meyakinkan.

Diana melirik bingung Naufal, dan menggeleng pelan. "Suatu saat aku bakal ceritain." Sahutnya, dan kembali merenung sembari menatap pepohonan dihadapannya. Naufal melakukan hal yang sama.

Lama berdiam, tiba-tiba Diana menyandarkan kepalanya kebahu Naufal, memejamkan matanya dengan damai. Naufal tak keberatan dengan dua hal yang Diana lakukan itu, namun, saat gadis itu mengangguk, mata Naufal sedikit melebar. "Ya udah, ayok kita jalani." Jawab Diana santai. Dan kata itu, kian membuat Naufal tak percaya bahwa ini bukanlah mimpi.

"Hah? Jalanin apa?" Tanya Naufal, meyakinkan ucapan Diana itu sembari menundukkan kepalanya dengan wajah bingungnya, untuk menatap wajah manis gadisnya.

Diana terkekeh kecil, sebelum membuka matanya dan kembali menegakkan tubuhnya, menatap lembut pria disampingnya dan tangannya berusaha menggenggam tangan pelan pria yang sama, senyumannya melengkuk seperti pelangi sehabis hujan, matanya berbinar indah, pipinya pun kembali memerah. Dan semuanya sudah bisa Naufal tebak... Diana menerimanya....

#End

Ya, cuma sebentar sih bonusnya, tapi moga kalian suka 😊

Note,please baca.... :

Anyway....
Aku pingin bikin sequelnya,
Ceritanya soal Diana dimasa remajanya, dan alasan apa yg ia sembunyiin sampai ia ragu menerima Naufal tdi, sampai perjalanan cinta Diana bersama Naufal, apa seperih perjalanan kedua ortunya, namun berakhir manis? Ato malah sebaliknya? Ato perih trs? Ato manis trs?

Ada yg setuju???

Coment sampe 50+, aku bakal bikin sequelnya, oke???

Dan mungkin, ini adalah part terakhir bgt di cerita LMH ini....

Kl kalian mau nanya apapun, blh...
Nnt aku jawab kl ada waktu 😊

Oh ya, sebelum lupa nih....
Ada yg Soniq Bandung g disini? Ikut gethnya yuk, buat tgl menyusul, kalian bisa cek di Ig nya @soniqbandung_
Ok? Nnt kita bisa ketemu....
Yg disekitar Bandung jga boleh...

Udh deh, segini dulu endingnya...

Bye bye...

Doain uts ku lancar yah :))

Salam sayang,
Fina

Continue Reading

You'll Also Like

48.9K 2.7K 21
Follow dulu sebelum baca:))) Kim jeonsa (ocha) remaja 18 tahun yg di jodohkan dg seseorang oleh orang tuanya,apakah ocha akan menerima perjodohan itu...
51.2K 2.8K 21
"Aku ingin wanita itu! "Seru Iqbaal sambil menunjuk pada layar ponsel. Di ponsel tersebut terdapat foto wanita cantik yang telah meluluhkan hati Iqba...
837K 10K 12
iqbaal itu suka banget susu tapi bukan susu kotak
95.3K 5.4K 11
"apa sih yang bikin lo mau sama bokap gue? Lo kan masih muda, masih banyak cowok-cowok seumuran lo yang mau sama cewek kaya lo." "Karena Papa kamu...