Love Me Harder (end)

Por finaha201_

436K 24.7K 621

# 7 dlm rendom (05-09-'17) # 15 (14-08-'17) # 18 (09-08-'17) # 42 (25-05-'17) #Iqbaale rank 2 Memang pernikah... Más

Part 1
part 2
Part 3
Part 4
Part 5
part 6
part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 20
Part 21
Part 22
Part 23
Part 24
Part 25
part 26 (a)
part 26 (b)
part 27 a
part 27 B
28
29
30 (yeyyyy!!!)
30 B
31
32
33
33 b
34
34 B
35
36
37
37 B
38
39 (a)
39 (b)
Ilustrasi....
40
41
42
43
44
epilog
Bonus
Thanks to you, guys...
Pengumuman!!!
pengumuman!!! (2)
Hallo!!!
Promosi
sapaan ajah

45

6K 327 26
Por finaha201_

Aku bela-belain otak kosong dan tangan lemes demi lanjutin LMH...

Jadi, maaf maaf aja kalo banyak typo atau mungkin cerita yang lalu lalang ga jelas, atau gimana lah, aku pusing jelasinnya.

Dan sebelumnya, mulai hari senin ini sampe rabu aku off yah, mau ikut kemah soalnya. Hehehe...

Moga kalian ga nyesel baca sampe kelar,
And, yeah...
Enjoy the story...

***

"Kamu pergi disaat aku bahagia bersama kita..."

***

Setelah 6 bulan full menginap di rumah sakit Jakarta untuk menyembuhkan kankernya, dan kankernya yang sudah ada di stadium 1, akhirnya Nk diperbolehkan untuk pulang, namun tetap harus menjalani terapinya sebulan sekali. Walau pun demikian, Nk tetap tidak boleh terlalu aktiv menjalani kegiatannya seperti biasa.

"Akhirnya bisa pulang..." gumam Nk dengan rasa bahagianya.

"Welcome back!" seru Iqbaale setelah menaruh koper dan tas Nk, lalu membalikkan badannya dan merentangkan kedua tangannya.

Bukannya memasang wajah bahagianya, Nk malah memasang wajah cemberutnya. Dan itu membuat Iqbaale bingung sendiri.

"Lho? Kenapa?"

"Kok kamu ngecat rumah tanpa pemberitahuan aku sih? Ini kan rumah aku juga, bukan cuma kamu sama anak-anak, baale." Gerutu Nk sembari menatap Iqbaale dengan tatapan kekecewaannya.

"Ya maaf, soalnya kalo ga kayak gitu, bukan suprise namanya." Jelas Iqbaale, namun respon Nk masih sama; cemberut.

Ya memang, slama Nk dirawat di Jakarta, Iqbaale menyempatkan diri untuk mengecat rumah mereka, terutama di ruang tengah dan kamar tidur Iqbaale dan Nk. Ini bukan rencana Iqbaale sebenarnya, tapi karna rekomendasi dokter untuk mengganti warna baru di rumah. Jadi beginilah penampakan warna baru di rumah lama mereka; ruang keluarga benuansa orange, kamar Diana dan Adrl berwarna pink fanta, kamar Efel berwarna hijau army, kamar Iqbaale dan Nk yang bernuansa merah marun. Iqbaale sengaja memilih warma-warna itu, agar saat Nk kambuh lagi dan mengenai matanya, seperti biasa, wanitanya tetap bisa membedakan kamar mereka dengan kamar anak-anak. Ini juga termasuk rekomendasi dokter Nk.

"Tapi kamu tetap suka, kan?" Tanya Iqbaale, memastikan bahwa Nk menyukainya walau dia tak menyukai cara Iqbaale itu.

Nk berpikir sembari berjalan kesamping Iqbaale dan tidak memutar badannya, dia tetap menatap sekitar ruang keluarga. Iqbaale menengokkan kepalanya ke arah sang Istri.

Dan hening melanda mereka beberapa menit, sebelum Nk ikut menoleh kearah Iqbaale, memberi senyuman terbaiknya, lalu mengangguk pelan. Dan jawabannya, membuat perasaan bersalah Iqbaale sirna.

"I love it, but..." keduanya saling memutar badan, hingga saling berhadapan, dan entah reflek mereka, Iqbaale memegang kedua pinggang Nk, dan Nk mengalungkan kedua tangannya dileher Iqbaale. "Kasih tau dulu kalo mau di cat, oke?"

Iqbaale tersenyum sembari mengangguk, "Oke, lain kali aku bilang kalo mau ngecat rumah kita lagi,"

"Jangan masalah ngecat rumah aja, semua hal harus kamu kasih tau ke aku, biar rumah tangga kita ini tetap utuh." Sela Nk cepat sembari merapihkan rambut Iqbaale yang cukup berantakan itu.

"Oke, aku bakal kasih tau semua rahasia dan masalah aku ke kamu, sampai kamu bener-bener kenal lagu sama aku." Ujar Iqbaale dengan astusias.

Nk terkekeh kecil mendengarnya. "Aku udah kenal banget sama kamu, Baale."

"Iya juga sih." gumam Iqbaale sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Tapi soal masalah, tetap harus dibagi, ga boleh ditutup-tutupin lagi." Ucap Nk sembari menempelkan dahinya ke dahi Iqbaale.

"Baik lah, madam..." Nk kembali terkekeh mendengar Iqbaale bersuara vulgar seperti itu. Lalu, wanita itu memeluk erat Iqbaale dan menenggelamkan wajahnya pada leher sang suami, dan menghiruonya dalam.

"Miss me?" Tanya Iqbaale, masih dengan suara vulgarnya.

"so much..." bisik Nk.

"ke kamer yuk, mumpung anak-anak belum pulang." Iqbaale balik berbisik, tepat ditelinga Nk.

Nk menggeleng dalam pelukan Iqbaale. "Belum dibolehin dulu sama dokter, baru minggu depan." Jelasnya dengan posisi yang sama.

"Ya udah, kalo gitu," Iqbaale melepas pelukan Nk dan menatap lekat matanya yang memancarkan kerinduan pada prianya. "give me one kiss..."

Entah kenapa, Nk terkekeh mendengarnya, mungkin karna jarang mendengar Iqbaale meminta kecupan, membuat dia merasa gelu mendengarnya kembali. Perlahan, Nk berjinjit hingga bibirnya sampai pada bibir Iqbaale. Tempelan biasa, namun diperganas oleh Iqbaale. Dan dengan sekuat, Nk melelas ciuman itu, "Jangan berlebihan, ah, nanti kamu ganas, bahaya." tuturnya yang membuat Iqbaale terkekeh.

"Iya deh, maaf. Kita istirahat di kamar aja gimana? Aku beneran capek, nih." Usul Iqbaale.

Nk langsung menatap Iqbaale dengan curiga. "Jangan bilang kamu bilang gitu buat modus. Iya kan?"

"Ya ampun, kok negativ thinking sama suami sendiri sih? Ya enggak lah, aku beneran capek, sayang. " Ujar Iqbaale, terlihat meyakinkan.

"Awas aja yah kalo modus, jatah kamu aku tahan sebulan!" Ancam Nk. Tapi Iqbaale tau, Nk pun tak bisa menahan nafsunya sendiri.

***

Seminggu kemudian....

Malam ini, Nk sengaja membuat makan malam kesukaan keluarganya; ayam goreng dengan sambal kesukaan Iqbaale dan Diana, sup makaroni kesukaan Adel, dan cumi asam manis untuk Efel. Nk sudah bisa dibilang ibu yang baik bukan? Ya, walau tak begitu memperhatikan ketiga buah hatinya, terutama pada Adel slama terapi ini, tapi Nk rajin bertanya dan meminta saran pada Rike dan Ody yang slama ini merawat ketiganya.

"Enak?" Tanya Nk meyakinkan kemampuannya pada keempat orang yang ia cintai.

"Enak bund!" Seru Diana bersemangat, disusul anggukan Adel.

"Mirip masakan oma Rike, bund!" Ujar Efel tak kalah seru.

"Masih sama enaknya, ga ada yang berubah." Kini giliran Iqbaale yang memuji kemampuan Nk yang tidak luntur sedikit pun.

"Syukurlah..." Gumam Nk dengan raut wajah leganya, sembari duduk diantara Iqbaale dan Adel.

"Nah, sekarang Bunda juga harus makan yah." Ucap Iqbaale sembari mengambil piring dihadapan Nk, mengambil nasi serta lauk pauknya untuk sang istri, dan menaruhnya kembali dihadapan Nk.

"Harus banyak, Nda, biar cepet sembuh." Sambung Diana dengan senyuman manisnya.

Nk ikut mengembangkan senyumannya, lalu mengangguk, menganggapi ucapan si sulung. Lalu memakan makanannya dengan perlahan, karna waktu yang ia habiskan, kebanyakan untuk menyuapi Adel dan mendengar cerita Diana dan Efel yang sudah duduk dibangku sekolah dasar.

"Yang bener dong, makannya, jangan setengah-setengah gitu." Ujar Iqbaale sambil menyuapi Nk, karna makannya kebetulan sudah habis.

"Iya deh, maaf, keasikan sama mereka bertiga nih." Nk beralasan.

Iqbaale hanya terkekeh kecil sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tau, betapa rindunya Nk pada anak-anak mereka, tapi harusnya Nk sadar, kesehatannya pun menjadi sorotannya kali ini.

"Oke, tapi kamu tetep habisin yah makanannya." Nk mengangguk, mengiyahkam ucapan Iqbaale.

Usai makan malam, mereka langsung berkumpul diruang keluarga, Nk menemani Adel bermain sembari membantu Efel dan Diana menghapal pelajaran mereka masing-masing, karna pekan ini, adalah pekan Ujian, sedangkan Iqbaale mengerjakan urusan kantornya.

"Baale..."

"heum?"

"minggu depankan anak-anak udah libur pasca ujian, kita liburan yuk." Usul Nk dengan nada riangnya.

Iqbaale mengalihkan pandangannya dan leptop kearah depan, kearah istrinya. "Ide bagus, kita kan emang belum pernah liburan berlima." Serunya sembari menaruh leptopnya disampingnya, ikut duduk diatas karpet berbulu dan menggendong peri bungsunya. "Bunda ada ide?"

"Aku pengen ke Ausie, sekalian nengok Diyanti sama Ara, kangen aku sama mereka." Ujar Nk, tanpa berpikir dua kali, tanpa berpikir kalo Iqbaale tak akan menyetujuinya jika alasan seperti itu. "Boleh kan, Yah?"

"Kamu mau ketemu sama dia? Setelah apa yang dia lakuin ke kamu slama ini?" Iqbaale menahan diri untuk tidak bersuara keras dan bernada marah, karna ada rasa takut Nk akan kambuh lagi.

"Baale, setiap orang pasti punya kesalahan, dan ga ada salahnya buat kita untuk memulai memaafkan. Iya kan?"  Nk slalu bijak menghadapi api amarah Iqbaale. "Lagian, kejadian itu udah berlalu hampir 7 tahun lamanya, buat apa, sih masih kita pendam gini terus?"

Ucapan Nk membuat Iqbaale kehabisan kata-kata. Istrinya seratus persen benar, Diyanti juga manusia, yang patut diberi maaf dari pada menjadi seseorang yang slalu dianggap salah dimatanya. Jadilah, Iqbaale mengangguk untuk menyetujui pendapat Nk untuk berlibur di negri kanguru.

Dan tau bagaimana ekspresi Nk? Tak terhingga kebahagiaannya. Bahkan saat Nk memberi Iqbaale 'jatah', Nk seperti tidak merasa nyeri atau semacamnya, ia tetap senyum bahagia.

"kamu beneran ga sakit?" Tanya Iqbaale meyakinkan kondisi Nk setelah melakukannya.

Nk menoleh kearah Iqbaale dengan binaran mata yang masih bersinar. "Sakit bagian apa maksud kamu?" Tanyanya.

"Itu kan. Ga sakit setelah sekian lama ga...."

"sedikit sih, tapi ketutup sama kabar kamu setuju kita liburan ke Ausie." Potong Nk cepat sembari memringkan tubuhnya kearah suaminya.

"Sebahagia itu kamu bakal berkunjung ke Diyanti?" Tanya Iqbaale, lagi-lagi memastikan kondisi hati Nk.

"Ya, gitu deh, aku juga bingung kenapa aku bisa seseneng ini bisa ketemu sama Diyanti nanti." Terang Nk.

Iqbaale hanya bisa menghembuskan nafasnya dengan berat, lalu menyelipkan beberapa helaian rambut yang menghalangi wajah cantik istrinya. Nk hanya diam sembari tersenyum, dan mulai memejamkan mata saat Iqbaale memeluknya dan mengusap lembut kepalanya hingga dirinya benar-benar terlelap.

***

Akhirnya Ujian usai, Diana maupun Efel bisa bernafas lega setelah melaksanakan Ujian mereka. Dan malamnya, mereka bersiap untuk berangkat ke Australia.

"Udah siapa buat besok, Na?" Tanya Nk sembari duduk diujung tempat tidur Diana.

Diana yang sedang melipat pakaiannya, hanya memberi gelengan untuk menjawab pertanyaan sang bunda. "Baju Ana ada yang lagi disetrika sama bi Nia, setengah jam lagi paling selesainya." Ujar Diana sambil duduk disamping Nk yang langsung mengelus kepalanya lembut.

"Ana masih ingat Ara ga?" Tanya Nk pelan.

"Ara? Diara anaknya tante Diyanti, maksud Bunda tuh?" Tanya Diana meyakinkan nama itu.

Nk mengangguk pelan. "Masih ingat?"

"heum, samar-samar sih, bund, tapi Ana pernah denger cerita ua Ody kok, katanya Ara temen kecil Ana yah?"

Nk mengangguk lagi. "Tadinya, Bunda sama Ayah kira, Ara tuh kakak satu Ayahnya Ana, tapi ternyata bukan." Jelasnya yang membuat mulut Diana membulat. "Nanti kalo ketemu Ara, Ana tetap harjs baik, yah sam dia, harus jadi teman lagi, oke?"

"Oke, bund." seru Diana pelan, disusul dengan senyuman lebarnya, senyuman yang menenangkan bagi Nk. Nk langsung memeluk tubuh tinggi Diana mengecup puncak kepalanya dan kembali mengusap kepalanya.

"Ah, bunda peking dulu yah, koper Bunda belum keisi." Ujar Nk melepas pelukannya. Diana hanya mengangguk, dan membiarkan sang Bunda berjalan lesu kekamarnya.

"Bunda kenapa yah? Ga biasanya cerita sedikit sama Ana, biasanya sampe lupa waktu kalau Bunda cerita." Gumam Diana menatap heran pintu yang setengah tertutul itu. "Bunda capek yah? Atau kambuh lagi?" Alibinya, yang kemudia ia tepis jauh-jauh pemikiran bodoh itu, dan berusaha kembali pada aktivitasnya.

Sementara itu, Iqbaale sedang membereskan koper istrinya saat Nk datang ke kamar, dirinya terlihat lemas saat melangkah mendekati Iqbaale, bahkan hampir ambruk saat dirinya sudah berdiri dihadapan sang suami.

"Kamu kenapa? Pusing?" Tanya Iqbaale lembut, meyakinkan kondisi Nk yang tak bisa dibilang baik.

"Obat aku, baale..." Hanya itu yang Nk ucapkan. Iqbaale mengerutkan keningnya, tak mengerti. "Baale, obat kankerku." bisik Nk lagi, memperjelas maksud obat yang akan ia minum.

Mendengar itu, Iqbaale cepat-cepat mengambil obat paling penting bagi Nk dinekas dekat mereka, membuka tutupnya, dan memberikan sebutir obar pada Nk dan segelas air putih. Tanpa berpikir panjang, Nk langsung meminumnya.

"Lupa waktu minum obat gara-gara peking tas Adel? Iya?" Tebak Iqbaale lembut, walau dengan kata-kata yang seakan memarahi Nk.

"Bukan lupa, tapi ga sempat." Elak Nk sembari menaruh kembali gelasnya diatas nekas.

"Nk, jangan ngada-ngada deh, kamu tuh lupa, bukan ga sempet!" Tegas Iqbaale.

"Ya udah, intinya sekarang aku udah minum obat, kan?" Iqbaale menghembuskan nafas beratnya saat Nk berkata seperti itu. "Jangan dipanjang-panjang lagi ah, ga suka!"

"Iya-iya, maaf. Tapi jangan keulang lagi, please. Aku ga mau kamu nge-drope lagi." Pinta Iqbaale dengan mata memohonnya.

Nk hanya memberi senyuman tipis denga  bibir pucatnya, dan mengangguk pelan. "Aku usahakan."

***

Sesampainya di Sydney, Nk merengek untuk langsung bertemu dengan Diyanti, namun Iqbaale melarangnya dengan alasan anak-anak yang sufah terlihat kelelahan.

"Ke hotel dulu lah, besok baru kita ke kantor dia, ya?" Bujuk Iqbaale saat melihat raut wajah cemberut Nk diperjalanan menuju hotel.

"Emang kamu tau kantor dia apa?" Gumam Nk, seperti menantang.

"Lokasinya sih kurang tau, tapi namanya aku tau, jadi bisa lah nyari di google." Jawab Iqbaalea santai.

Nk hanya menghembuskan nafas beratnya, dan memalingkan wajahnya keluar jendela.

Esoknya, seperti kata Iqbaale, sehabis bersiap diri dan memakan sarapan, mereka langsung melesat menuju pusat kota, dan mulai mencari salah satu gedung yang Iqbaale tunjuk.

Sesampainya di kantor yang sekiranya milik keluarga Diyanti, Iqbaale meminta Nk dan anak-anak untuk tunggu ditaman, awalnya Nk menolak, tapi karna bujukan Adel dan Efel yang tak bisa ia tolak, akhirnya Nk menurut.

"Nk?" Suara itu membuat Nk menoleh kesumber suara saat dirinya sedang menjaga anak-anaknya dari kursi taman dekat ketiga buah hatinya itu bermain. Mata Nk sedikit melebar, begitu pula dengan senyumannya yang mengembang sempurna.

"Hai, Diy." Sapa Nk dengan ramah, lalu melambai-lambaikan tangan, mengiisyaratkan agar wanita berrambut sebahu itu menghampirinya dan duduk disampingnya. "Apa kabar?" Tanya Nk, mulia berbasa-basi.

"Baik, kamu?" Diyanti balik bertanya.

"Alhamdulillah, baik juga." Jawab Nk dengan senyuman yang belum luntur dan kebohongan yang mutlak membuat wanita itu tertipu. "Ara? Baik?"

Diyanti memasang senyun kecilnya, dan mengangguk. "Kamu makin cantik yah pake jilbab kayak gini." Pujinya sambil mengusap bahu Nk sekilas.

Nk terkekeh kecil mendengar pujian itu. "Makasih..."

"Butik kamu juga makin sukses yah, aku dengar." Ujar Diyanti tiba-tiba.

"Iya, Alhamdulillah, sejak dipegang sama wakil ku, butik jalan terus." Terang Nk yang membuat Diyanti cukup terkejut mendengarnya.

"Lho? Kenapa ga kamu pegang lagi?" Tanya Diyanti, penasaran.

"setahun yang lalu, aku harus berobat di Jerman slama 3 tahun, setelah itu, aku baru bisa pegang lagi, yah walau masih jarak jauh karna masih harus berobat." Jelas Nk, cukup ditail.

"Sakit apa?" suara Diyanti terdengar khawatir.

"Kanker Otak stadium 3, alhamdulillah sekrang udah stadium 1." Jawab Nk.

"Tapi sekarang gapapa?" Nk mengangguk.

"Lebih baik setelah ketemu kamu, diy." Bisik Nk, yang membuat keduanya tertawa bersamaan.

"Bisa aja kamu, (nam...)"

"Diy..."

"ya?"

"Aku mau minta maaf yah soal belasan tahun silam, aku masih ga ngerti juga kenapa aku buat perjanjian bodoh itu, padahal udah tau kalian akan berbahagia." Ujar Nk dengan rasa bersalahnya.

"Enggak! Aku yang harusnya minta maaf, karna slama ini udah nyakitin kamu sama Iqbaale. Maaf yah..." Elak Diyanti dengan cepat dan rasa yang lebih bersalah lagi.

"Aku udah maafin kok, Iqbaale juga," Nk menengok kearah anak-anaknya yang sudah bersama Iqbaale dan Diara. Diyanti pun ikut menoleh. "Dan aku pastiin, Ana dan Efel juga maafin kamu, Diy."

Diyanti sedikit terkekeh mendengar kalimat terakhir Nk.

"Pengalaman adalah guru terbaik bagi setiap manusia," Diyanti menoleh kembali ke arah Nk saat wanita itu mulai bersuara. "Dan aku belajar dari kesalahanku yang dulu, kesalahan yang membuahkan hasil bahagia." sambung Nk dengan senyuman yang mengiringinya. "Dan dalam masa lalu ku itu, ada kamu, Diy." Nk kembali menoleh ke Diyanti.

"Aku yang salah slama masa lalu kita, sengaja nikung kamu dari belakang, sengaja ngaku hamilin anak Iqbaale segala lah, semua yang haram aku jadiin halal buat ngerebut Iqbaale dari kamu. Dan kamu, ga pernah salah dari dulu." Ralar Diyanti.

"Kita semua punya salah, dan kita tetap harus renunginnya, oke? Jangan salahin diri sendiri terus, kita semua punya salah, dan itu yang harus kamu inget." Diyanti tersenyum, marasa bahagia kembali bersama sahabatnya yang satu ini.

"Oke..." Sahut Diyanti pelan.

"Eh, besok temenin kita jalan-jalan yah? Kan kamu jadi orang Sydney sekarang." Celetuk Nk, yang dijawab anggukan dari Diyanti.

"Pasti..."

***

"Baale, maaf yah kalo aku ga bisa jadi istri yang baik buat kamu."

Iqbaale mengerutkan keningnya dengan bingung, sedikit bangkit dari tidurannya dan menatap wanitanya yang masih ia peluk diatas ranjang rumah sakit.

"Kamu ngomong apa sih? Dari kemarin minta maaf mulu, ga ke Bunda, ke Ayah, teh Ody, temen-temen, bahkan bela-belain ke Sydney cuma buat minta maaf ke Diyanti." Heran Iqbaale tak mengerti.

Nk melirik Iqbaale.

Sebulan setelah kejadian bertemu dengan Diyanti, saat ini Nk kembali terapi dirumah sakit langganan keluarganya. Dan malam ini, Nk sedang berbaring dipeluk Iqbaale diatas ranjang rumah sakit.

"Emang kenapa sih, baale? Salah juga kalo aku minta maaf ke semua orang?" Tanya Nk ikutan bingung.

Iqbaale terkekeh mendengarnya. "Ya enggak sih, cuma aku curiga aja." Jawabnya dan kembali memeluk Nk dan mengusap kepala Nk dengan lembut.

"Baale..."

"Heum?"

"Aku minta maaf yah, aku belum bisa jadi istri yang baik buat kamu, dan belum bisa jadi ibu yang baik buat Diana, Efel dan Adel. Maaf..." Ucap Nk lirih.

"Ga apa-apa kok, di dunia ini mana ada sih, yang sempurna?" Ujar Iqbaale.

Nk menghembuskan nafas beratnya, dan diiringi suara darurat pada monitor yang menunjukkan detak jantung Nk.

Iqbaale panik mendengarnya, lalu melirik monitor tersebut dan menjadi panik. Tidak mungkin Nk bisa lemah kembali, dia kan sudah stadium 1?

"Nk? Kamu kenapa, sayang?"

Nk menggeleng lemas. "Tolong jaga anak-anak aja dengan baik, ya?" Gumam Nk pelan.

"Nk?" Iqbaale mulai panik, namun tangannya masih memeluk tubuh Nk.

Nk memegang tangan Iqbaale yang tidak tertindih tubuhnya, mengecupnya pelan dan berbisik, "Jangan panik, aku gapapa."

"Gimana kamu gapapa? Kamu pucet banget sayang! Tangan kamu dingin, dan monitor..."

"Jangan diri kamu baik-baik yah," Potong Nk, mengecup singkat bibir Iqbaale, dan merengkuh dalam pelukan Iqbaale lagi.

"Nk?"

"Jangan panggil dokter, ku mohon. Aku cuma butuh kamu..." Gumam Nk lagi, sebelum memejamkan matanya.

Iqbaale diam, dan mengikuti keinginan Nk; memeluk tubuh dingin itu dan berusaha mengiklaskannya. Namun nyatanya nihil, malah air matanya yang mulai jatuh membasahi pipinya.

"Aku iklas, hiks, aku iklas kamu pergi."

'tuuuuuuuuut.....'

Mendengar monitor itu berbunyi panjang dan lama, serta merasakan kepala Nk yang terjatuh pada dadanya, tak membuat tangis Iqbaale berhenti, tangisan itu malah menderas dan hampir mengenaik kepala istrinya yang sudah tidak bernyawa itu, namun dengan cepat Iqbaale menepisnya, sepelan mungkin melepas pelukannya dan menekan tombol agar suster datang ke kamarnya.

"Tolong urus jenazah istri saya, sus..." Itulah kalimat yang Iqbaale lontarkan saat suster datang dengan paniknya.

"Biar saya panggil dokter dulu pak." Ujar salag satu suster dengan panik.

"Jangan, hiks, Istri saya yang minta untuk tidak dipanggilkan dokter. Hiks..." Suster pun kembali terpaku mendengar penuturan. "To, tolong, hiks..."

"Baik, kami persiapkan Almarhumah ibu Nk ketempat istirahat terakhirnya." Ujar suster itu, dan menghampiri alm. Nk. Sedangkan Iqbaale, keluar kamar dan mengirim pesan ke Bundanya dengan kabar duka ini.

Iqbaale tak sanggup lagi menahan tubuhnya sendiri, hingga ia ambruk dilorong rumah sakit dan bersandar kemas ditembok, menangis sejadi-jadinya tanpa bersuara, itulah yang bisa ia lakukan saat ini.

"Nanti kalo aku pergi, kamu jangan terlalu lama berkabung yah? Yang ada aku ga bakal tenang disana."

Suara lembut itu menggema ditelinga Iqbaale, kata-kata Nk yang pernah ia dengar disore hari di Jerman.

"Gimana bisa? Hiks... Cuma kamu, (nam...), cuma kamu penenang aku..." Gumam Iqbaale sembari menjabak rambutnya.

"Baale?" Kini suara itu membuat Iqbaale mengangkat kepalanya dengan mata yang masih berkaca-kaca.

"Nda..."

Rike menghampiri putranya, dan memeluk erat tubuh gagah itu.

"Nk pergi, nda, dia pergi..." Bisik Iqbaale dalam pelukan.

"Bunda tau, yang sabar ya, nak. Hiks..." Gumam Rike, menenangkan hati rapuh Iqbaale, padahal, dirinya sendiri pun rapuh.

"Itu alesannya? Hiks, alesan kenapa dia minta maaf? Alesan dia bilang sampai ajal menjemput, dan bukan sampai tua nanti? Hiks..." Tangisan Iqbaale kian pecah.

"Ikhlas yah, sayang, Nk udah tenang. Ya?"

Dan tangisan Iqbaale kian menjadi, hingga raungan menyakitkan memenuhi lorong rumah sakit dimalam hari ini.

Dan esok paginya, Nk dimakamkan disamping makam sang Bunda, almh. Diana. Dan Iqbaale ada disana, berusaha tak menangisi istrinya yang sudah tenang itu, malah ia berusaha menenangkan Efel yang terus memanggil Bundanya itu.

Usai mengantar Nk ketempat peristirahatannya yang terakhir. Semuanya kembali ke rumah duka, rumah keluarga Iqbaale hasil jerih payah Nk di Bogor.

Saat Rike dan Ody melayani para tamu, Iqbaale malah mendekam diri didalam kamarnya sembari melihat foto dirinya dengan Nk yang ada diatas nekas, dengan matanya yang sendu.

***

"Baale, sini deh!" Ajak Nk saat Iqbaale sedang mengemas koper Nk di rumah sakit di Jerman, sedangkan wanita itu, duduk diujung sofa sambil memperhatikan pemandangan luar.

"kenapa sih?" Iqbaale mengamhampiri Nk, dan duduk diatas meja kecil samping Nk.

"Cewek disana itu cantik yah?" Puji Nk pada salah satu pasien rumah sakit yang berada ditaman.

"Ah, cantikan kamu juga." Iqbaale malah memuji Nk dan bukannya wanita yang Nk tunjuk itu.

"Dia salah satu teman ku, namanya Yuki, asli Jepang dan dia tuh mantan model, berhenti karna kanker darahnya menyerang ganas, tapi dia cerdas, lho, baik lagi." Nk tak mempedulikan ucapan Iqbaale, dan malah menceritakan siapa wanita tersebut.

"Oh ya? Keren tuh." Iqbaale mulai tertarik dengan kisah Nk.

"Kenapa kankernya jadi ganas? Soalnya dia terlalu sedih atas kepergian pacarnya. Kasian yah." Jelas Nk.

"Pacarnya juga kanker?"

Nk menggeleng tanpa menoleh kearah Iqbaale dan masih memperhatikan Yuki diluar. "Kecelakaan kereta 2 tahun yang lalu."

"Harusnya, dia cari cara buat ngehilangin rasa sedihnya itu." ucap Iqbaale mengeluarkan pendapatnya.

Nk menoleh kearah sang suami dengan alis terangkat. "misalnya?"

"Cari cowok lain, mungkin, atau tekuni hobi baru." Jawab Iqbaale santai.

"Kalo kamu gimana? Gimana kalo nanti aku pergi? Kamu bakal ngelakuin apa?" Nk membopong dagunya dengan siku menumpuk dilutunya yang bersila.

"Aku? Heum, ngurusin anak-anak kali, atau ga, main gitar dan bikin lagu baru." Nk terkekeh mendengar jawaban Iqbaale.

"Harus yang bagus yah, biar nanti, pas aku denger dari alam lain, bisa nilai kamu 10. Oke?"

Iqbaale tertawa sambil mencubit kedua pipi Nk. Melepas cubitan itu dan menatap bahagia sang istri. "Iya deh, buat kamu slalu aku lakuin."

Nk hanya terkekeh mendengarnya.

"ceklik...'

Iqbaale maupun Nk menoleh bersamaan saat mendengar bunyi kamera dari arah Diana yang baru batang.

"Bagus, nda!" Lapor Diana sambil menghampiri kedua orang tuanya.

Nk melihat hasil jepretan peri sulungnya. "Wah, iya. Ana bisa jadi fotographer nih, kalo gitu." Pujinya yang membuat Diana memamerkan jejeran giginya.

"Tapi ana maunya jadi disiner, kayak Bunda. Boleh?" Ujar Diana.

"Boleh, asal positive, Ayah sama Bunda slalu dukung kok." Jawab Iqbaale, yang membuat Diana tersenyum cerah.

"Kalo Efel sama Adel? Kata Ana jadi apa mereka?"

"Apa aja deh, asal jangan disainer kayak Ana." Nk dan Iqbaale tertawa mendengarnya.

Dan itu masa-masa paling bahagia dihidup Iqbaale bersama Nk dan ketiga buah hati mereka, dan masih ada banyak kebahagiaan tak terhingga dimemorinya.

***

Iqbaale masih menatap hasil jepretan Diana beberapa tahun silam. Benar-benar seperti sepasang suami-istri yang amat berbahagia difoto itu. Padahal, difoto itu, mereka berdua masih berjuang untuk penyakitnya masing-masing.

"Kamu pergi disaat waktu yang salah, (nam...)." Gumam Iqbaale pelan. "Harusnya kamu bisa sembuh..."

"Kalo Tuhan berkehendak lain, kita bisa apa?" Suara itu membuat Iqbaale menoleh karah pintu masuk. Dan disanalah sahabatnya berada, dengan pakaian serba hitam dan mata yang membengkak. "Aku juga slalu yakin, Nk bisa sembuh total dari penyakitnya." Salsha, wanita itu menghampiri Iqbaale yang sudah terduduk sila diatas ranjangnya. "Tapi hanya ikhlas dan kepasrahan soal nyawa, baale." Ucapnya lagi setelah duduk diujung tempat tidur.

Iqbaale diam, dan kembali menatap foto tadi.

"Kita sebagai manusia, pasti kembali kepada-Nya, dan cuma amal baik yang bisa kita bawa." Entah efek apa, tapi mendadak saja, Salsha bisa sebijak ini. "Nk udah baik banget ke kita semua, dan aku yakin, dia bisa masuk surga dengan alam kubur yang cerah dan luas."

Iqbaale masih mendengarkan.

"Dan harusnya kamu tau itu, dan bukannya terlalu bersedih kayak gini."

"Slama ini, emang aku aja yang kurang peka, padahal, dia udah kasih tanda soal kepergiannya itu." Iqbaale angkat bicara.

Kini giliran Salsha yang mendengarkan.

"Aku juga yang salah, ga memberi waktu lebih bersamanya." Lanjut Iqbaale. "Dia istri dan ibu yang baik, tapi, dia dapet aku yang suami dan ayah yang kurang baik."

"ssst, ga boleh gitu, baale. Nk bahagia kok dapetin kamu." Salsha menangkup kedua pipi Iqbaale yang kembali menjentikkan air matanya. "Berhenti nyalahin diri sendiri, ga baik."

"Tapi emang kenyataannya gitu, Sal." Elak Iqbaale cepat.

"Ga ada yang sempurna di muka bumi ini, yang bisa bikin kita sempurna, adalah seseorang yang mau menerima kekurangan kamu dan bisa mencintainya seperti dia mencintai kelebihanmu. Itu yang harus kamu tanamin!" tegas Salsha.

Iqbaale diam, menatap kedua tangannya.

"Kamu boleh sedih, kamu boleh nyalahin diri sendiri, tapi jangan sampai bikin Nk susah buat pergi." Nasehat Salsha sebelum beranjak menuju keluarganga.

Iqbaale masih diam ditempat. Lalu menengok kearah kasur yang slalu Nk tempati untuk tidur disampingnya. Dan bayangan Nk terlihat disana, sembari memegang buku yang hendak ia baca, bersamaan dengan senyuman manisnya. "Udah selesai kerjanya?"dan itu pertanyaan yang slalu ia lontarkan kepada Iqbaale.

"I miss you..."

#end...

Sebenernya masih ada epilognya sih...

Gmn gmn? Ada yang nangis kah? Kalo ada, coment yah, aku pengen liat reaksi kalian....

Btw, hebat yah bisa ngepost 2 part slama seminggu?
Minggu depan, aku lanjut ke epilognya yah...

Udh deh, segitu dulu, udah ngantuk, bsk kemah lagi...

Jangan lupa tinggalkan jejak kasih sayang kalian....

Salam sayang,
Fina

Seguir leyendo

También te gustarán

3K 305 28
eros zannali sadana seorang dokter muda yg di jodoh kan dengan seorang gadis super manja bernama ilynara gustav. keputusan apakah yg akan di ambil ol...
195K 9.5K 31
Cerita ini menceritakan tentang seorang perempuan yang diselingkuhi. Perempuan ini merasa tidak ada Laki-Laki diDunia ini yang Tulus dan benar-benar...
278K 17.3K 31
Prilly Aliana Putri seorang wanita berumur 26 tahun,bekerja sebagai Dokter Anak disalah satu rumah sakit di Jakarta Wanita yang sangat suka terhadap...
240K 36K 65
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...