Love Me Harder (end)

By finaha201_

436K 24.7K 621

# 7 dlm rendom (05-09-'17) # 15 (14-08-'17) # 18 (09-08-'17) # 42 (25-05-'17) #Iqbaale rank 2 Memang pernikah... More

Part 1
part 2
Part 3
Part 4
Part 5
part 6
part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 20
Part 21
Part 22
Part 23
Part 24
Part 25
part 26 (a)
part 26 (b)
part 27 a
part 27 B
28
29
30 (yeyyyy!!!)
30 B
31
32
33
33 b
34
34 B
35
36
37
37 B
38
39 (a)
39 (b)
Ilustrasi....
40
42
43
44
45
epilog
Bonus
Thanks to you, guys...
Pengumuman!!!
pengumuman!!! (2)
Hallo!!!
Promosi
sapaan ajah

41

2.5K 283 17
By finaha201_

Sebelum mulai...

Aku mau minta maaf krn minggu kemarin ga sempet next LMH ini...
Maaf banget....

Alesannya?
Aku udah mulai sibuk sama tugas, ada acara ini itu, ga ada ide, plus lagi kemarin-kemarin emang lagi galau. Hehehe...

Jadi, untuk permintaan maaf lainnya.
Part ini aku bikin sampe 3000+.
Moga kalian ttp happy yah^^

Ok deh, dari pada kalian makin lumutan,

Enjoy the story...

***

"Kita harus sehat, biar bisa bahagia lagi, kayak dulu..."

***

Nk sedang diperiksa dengan teliti oleh dokter yang baru beberapa menit lalu datang ke rumah. Iqbaale yang kini duduk disofa dekat jendela, menatap dengan khawatir istrinya, tentunya sambil menunggu hasil pemeriksaan.

"Bagaimana?" Bisik Nk pada dokter bernama Tia itu, dengan rasa takut yang masih menyelimuti hatinya.

Nk tak yakin dengan pandangannya, namun dirinya rasa, Tia memasang wajah berpikirnya. "Aku ga yakin dengan penyakit yang kamu alami, (nam...). Ini harus di scan, maaf." Tutur Tia dengan nada rasa bersalahnya.

Senyumannya ia kembangkan sedikit. "Gapapa, biar nanti Iqbaale yang anterin aku ke leb." sahut Nk terlihat tenang, walau kenyataannya tidak.

Tia mengangkat kepalanya untuk menatap Iqbaale sekaligus memanggilnya.

"Sakit apa?" Tanya Iqbaale langsung pada intinya.

"Nk harus scan seluruh tubuhnya, aku ga bisa ambil kesimpulan kalo pemeriksaannya sesimple ini, harus dengan ditail." Ujar Tia, masih dengan nada bersalahnya.

"Maaf, tapi kayak Nk memang punya penyakit keturunan yang cukup parah. Cuma itu yang bisa aku simpulkan." Tia bersuara kembali saat melihat muka tanpa tujuan hidup Iqbaale.

"Makasih," Gumam Iqbaale pelan, lalu langsung melangkah kesamping Nk, dan duduk dipinggir tempat tidur. Disamping wanitanya. "Masih pusing?" Tanyanya lembut.

Nk mengangguk pelan, sangat oelan dan samar, bahkan Iqbaale tak yakin itu adalah sebuah anggukan untuk pertanyaannya. "Tapi suara kamu jadi jelas, sekarang." Ujar Nk meyakinkan Iqbaale bahwa dirinya lebih baik.

"Syukur lah kalo emang udah lebih baik." Iqbaale tersenyum tipis. Lalu mendaratkan kecupan menguatkan kepelipis Nk. "Jangan sakit yah, aku butuh kamu..." Bisiknya pelan, dan itu membuat Nk tersenyum kecil.

"I need you more..." Nk balik berbisik lirih.

Melihat dirinya sudah tidak dibutuhkan, Tia pun keluar dari kamar dan menghampiri Rike yang baru saja membersihkan pecahan piring akibat Nk yang ambruk.

"Tante, Tia permisi pergi kerja dulu yah." Pamit Tia dengan sopan.

"Eh, gimana keadaan Nk? Sakit apa dia?" Tanya Rike pada intinya.

Sebelum menjawab, Tia menggigit pipi bagian dalamnya dengan rasa bersalah. "Belum keliatan jelas Nk punya penyakit apa, Tan. Tapi kalo Tia perkirakan, memang ada masalah serius dengan panca indranya." Terang Tia sedikit gugup, tapi seberusaha mungkin ia menutupi kegugupannya.

Rike menghembuskan nafasnya dengan berat. Lalu berterimakasih, dan mengantar anak temannya kedepan pintu.

***

Malam telah tiba, hari ini mereka tak berempat lagi, tapi Rike dan Harry menemani mereka slama beberapa hari kedepan. Dan malam ini pula, Iqbaale berniat membongkar satu rahasia yang slama ini ia sembunyikan dari Nk.

"Hati-hati, hati-hati..." Gumam Iqbaale saat membantu Nk berbaring diatas tempat tidur.

"Protektiv banget sih, Baale." Sindir Nk yang diikuti kekehan dari keduanya. "Aku gapapa kali, kaki aku masih bisa digerakin nih." Ujar Nk meyakinkan suaminya sembari menggerakkan pelan kakinya yang sudah diselimuti.

"Ya harus, udah 7 bulan gini kan termasuk rentan, (nam..)." sahut Iqbaale sambil mengusap perut buncit Nk.

"Belum 9 bulan kok, santai aja." Ucap Nk kelewat santai.

Iqbaale hanya menanggapi dengan senyuman kecil, lalu mengelilingi kasur, dan mulai berbaring disamping Nk yang langsung menengokkan kepalanya kearah suaminya, ia sudah tak bisa berbaring menyamping lagi sekarang. "Gimana? Udah mendingan?" Tanya Iqbaale mayakinkan.

"Lebih baik." Jawab Nk pelan. "Yah, walau mata masih burem, sih." sambungnya dengan senyuman pilunya.

"Aku masih ga tega ninggalin kamu dengan keadaan gini." Gumam Iqbaale sembari mengelus kepala Nk dengan lembut.

Mimik wajah Nk berubah menjadi raut kebingungan. "Maksudnya?"

Sebelum menjawab, Iqbaale menghambuskan nafas beratnya. Lalu berkata: "Aku bakal bilang pada waktu yang tepat."

"Ini waktu yang tepat, Baale." Sela Nk cepat sembari bangkit dengan susah payah dari tidurnya, beberapa kali ia meringis kecil saat berusaha untuk duduk dan bersandar pada kepala tempat tidur. Iqbaale pun ikut duduk, namun tak bersandar, agar tetap bisa menatap mata sendu istrinya. "Please. Jangan pernah ada yang ditutupi dari aku." Pintanya menatap sendu Iqbaale.

"kamu masih lemah, dan aku ga mau memperburuk keadaan kamu ini, Nk." Iqbaale tetap keukeuh untuk menutup rahasianya itu.

"Dengan kamu nutupin sesuatu dari aku kayak gini, mungkin malah lebih memperburuk keadaan aku dibanding kamu kasih tau yang sebenernya." Ucap Nk cepat, seperti tidak ada jeda disetiap katanya. "Baale, jus't tell me."

Sungguh, Iqbaale ingin mengatakannya, tapi mendengar jawaban tak pasti terlontar dari mulut Tia, membuat dirinya ragu untuk mengungkapkan keadaannya. Ia takut Nk malah menjadi kritks dikehamilannya ini. Iqbaale benar-benar takut kehilangan ratu hatinya, lagi.

"I am yours. I'm your wife. Please tell me."

Iqbaale sedikit menundukkan kepalanya, menatap kosong tangan kanannya yang menggenggam erat kedua tangan Nk yang kelihatan gelisah. Iqbaale tau Nk tak akan tidur dan akan terus begini sampai Iqbaale mengatakannya.

Mau, tidak mau. Siapa, tidak siap. Berani atau pun takut. Iqbaale beranikan untuk menjawab dengan resiko yang akan ia tanggu pula.

"Aku ada penyakit usus buntu dan masalah lambung," Ucap Iqbaale pelan dan bernada bersalah. "cukup parah pula dimasalah lambung itu."

Nk menatap tak percaya Iqbaale. Ia raih pipi kanan Iqbaale, mengusapnya pelan dengan ibu jarinya dengan mata berkaca-kaca.

"Kamu ga usah khawatir, i'm fine..." Gumam Iqbaale meyakinkan kondisinya yang sebenarnya tidak pernah baik. "Kamu harus lebih khawatir dengan diri kamu sendiri," Iqbaale menurunkan tangan Nk dari pipinya secara lembut, dan beralih mengelus perut buncit Nk. "Dan tentunya calon adek untuk Efel. Itu yang harus kamu perhatiin sekarang. Ok?"

Nk menjetikkan air matanya sembari menggeleng pelan, tak peduli dengan denyutan cukup kuat dari bagian belakang kepalanya, ia hanya ingin membantah ucapan Iqbaale lewat tindakan dan bukan ucapan. "Salah aku ga perhatiin kesehatan kamu. Maaf..." Ujarnya dengan suara gemetaran.

"ssst... Bukan, salah aku ini tuh." Iqbaale memeluk Nk erat nan lembut, berusaha untuk menenangkannya, lagi, sembari berulang-ulang membisikkan kata-kata yang sekiranya membuat Nk tak terlalu memikirkan kondisi Iqbaale.

"Jangan pergi..." Bisik Nk dalam pelukan.

Iqbaale tersenyum kecil, mengecup puncak kepala Nk. "I always be side you..."

Dalam pelukan, Nk untuk terus tetap tenang dan memasang senyun kecil, lalu mengajak Iqbaale untuk berbaring, dan sama-sama pergi ke alam mimpi.

***

Beberapa hari kemudian....

Iqbaale mengantar Nk ke laboratorium untuk mengscan seluruh tubuh Nk, seperti saran Tia.

Namun....
Kehamilan Nk membuat dirinya tak bisa scan seluruh tubuhnya dengan sempurna, Nk pun diminta untuk menunggu, bahkan menentukan tanggal kelahirannya agar cepat di scan.

Nk menolak tentunya, ia ingin melahirkan normal lagi dan tanpa dipaksa. Tapi Iqbaale berusaha membujuknya. Namun, Nk tetap keras kepala.

"Baale, terlalu dini buat dia keluar. Enggak ah!" Elak Nk memberi alasan yang menurutnya masuk akal.

"Udah banyak metode-metode biar anak kita ini tetap normal meskipun dia prematur. Percaya, (nam...), dia bakal baik-baik aja!" Iqbaale tak kalah membujuk Nk.

"Ya akunya yang ga mau, Baale! Jangan maksa dong!" Nk tetap pada keinginannya.

Iqbaale menghembuskan nafas beratnya sembari mengusap kasar permukaan wajahnya.

"akh..." ringisan pelan Nk sembari memegang kepalanya membuat Iqbaale kembali panik.

"Kenapa lagi?" Tanya Iqbaale panik.

"Ga tau, shh..." Gumam Nk pelan.

"Udah lah, kali ini jangan cuma aku yang nurut ke kamu, kamu juga harus nurut sama aku. Ok?" Iqbaale masih berusaha membujuk Nk ditengah-tengah kepanikan Nk. "Ini bukan cuma buat kebaikan kamu, untuk kebaikan anak kita juga, sayang."

Nk terdiam sembari meremas sedikit jilbabnya, berusaha untuk meredakan denyutan hebat dikepalanya. Tapi ia tetap menyimak ucapan Iqbaale.

"Ayolah, please. Biar kalian selamat."

Nk berpikir cukup keras untuk membuat pilihan berat ini. Lalu beberapa saat kemudia, atau beberapa menit ia berpikir, ia mengangguk pelan. Dan itu membuat Iqbaale tersenyum kecil. "Tapi sampai usianya 8 bulan, jangan deket-deket ini, ok?" Nk memberi sarat. Dan dijawab anggukan dan persetujui penuh dari sang suami.

***

Nk cukup menyesal menjawab pertanyaan sebulan yang lalu dengan anggukan. Harusnya ia tetap menggeleng, bukan? Tapi, ya, sudah lah, lagian jika anaknya tidak cepat-cepat keluar, ia pun akan terus-terusan gelisah karna belum mengetahui penyakitnya itu.

"Aku tetap disamping kamu kok." Bisik Iqbaale sembari menggenggam tangan Nk yang sejak tadi memegang lesu perutnya sendiri.

Tatapan kosongnya ia berikan kepada pria disampingnya yang malah memberi senyum terbaik padanya. Kadang Nk bingung, hati Iqbaale bisa setegar itu menghadapi setiap rintangan ini, padahal Nk sendiri sudah seperti ingin menyerah.

"Jangan khawatir." Kata Iqbaale masih meyakinkan Nk untuk tenang.

Nk memasang senyum tipis, lalu mengangguk kecil. Dan kembali menatap taman didepannya yang menurutnya secara pribadi; sangat buram dan tidak jelas. Sedangkan Iqbaale, masih betah menatap istrinya dengan kagum.

Siang tadi, Iqbaale memutuskan untuk membujuk Nk ke rumah sakit, hanya untuk memeriksa, apakah anaknya sudah siap atau tidak untuk hadir didunia. Awalnya Nk tidak mau karna sedang asik menggambar, tapi lagi-lagi bujukan Iqbaale membuatnya luluh, dan akhirnya mengiyahkan ajakan tersebut.

Usai diperiksa, dokter malah meminta secepatnya Nk melahirkan secara sesar. Dan tanpa berpikir panjang, apalagi musyawarah seperti biasa dengan Nk, Iqbaale langsung mendaftarkan Nk ke rumah sakit tersebut untuk operasi sesar besok siang. Dan itu membuat Nk cukup tertekan, tapi dirinya malah hanya berpasrah diri.

Sore harinya, Diana dan Efel yang terlihat bosan, meminta kedua orangtuanya untuk bermain ditaman rumah sakit. Nk pun tak kalah bosannya dengan kedua buah hatinya.

Jadi disinilah mereka, Nk dan Iqbaale yang sedang duduk berdua dibangku taman sembari berpegangan tangan, sedangkan Diana dan Efel yang bermain bersama penderita kanker yang tinggal dirumah sakit itu.

Iqbaale tiba-tiba tertegun saat genggaman Nk tiba-tiba menguat. lebih kuat dari yang tadi, dan itu membuatnya cukup khawatir, apa lagi ngingat kondisi Nk yang amat lemah itu.

"Ada apa, sayang?" Tanya Iqbaale berusaha terlihat tenang, padahal hatinya terasa gelisah.

"Jangan pergi...." Gumam Nk pelan dengan suara paraunya, seperti ingin menangis.

"Ga bakal kok. Aku tetap disamping kamu." Ujar Iqbaale sembari mengelus kepala Nk dengan lembut, yang lalu menggeleng pelan. Kening Iqbaale berkerut samar dengan respon Nk.

"Jangan pergi jauh-jauh." Kening Iqbaale kian berkerut dalam, masih tak mengerti maksud Nk. "Please, jangan sakit. Jangan pergi sebelum kita bahagia bener-bener." Lanjut Nk, dan akhirnya Iqbaale bisa tersenyum kecil karna mengerti maksud Nk.

"Sebegitunya kehilangan aku." Gumaman Iqbaale membuat Nk memanyunkam bibirnya. "Enggak akan, kita bakal pergi sama-sama kalo perlu."

***

Malam ini, Diana dan Efel menginap bersama nenek dan kakeknya. Jadi otomatis, Nk dan Iqbaale berdua kembali di kamar rumah sakit ini. Menyebalkan sih, tapi mau bagaimana lagi? Nk sudah harus oprasi esok siang.

Nk menatap Iqbaale sembari memegang erat kedua tangan suaminya, rasa akan kehilangannya masih terasa dilubuk hatinya.

"Jangan banyak pikiran dulu," Ujar Iqbaale sembari mengelus oelan dahi Nk yang tanpa wanita itu sadari, memasang kerutan yang cukup dalam. "Kasian Adeknya."

"Udah minum obat?" Tanya Nk pelan, siratan kekhawatiran terdengar jelas disuara dan sorot matanya.

Iqbaale mengguk pelan dengan senyuman kecilnya.

"Antibiotiknya?"

"Udah sayang, udah semua."

Nk menghembuskan nafas leganya. Walau matanya masih terlihat khawatir. "Bulan depan kamu harus oprasi yah." Ucapnya tiba-tiba.

"Ga usah, obat juga udah cukup." Elak Iqbaale lembut.

"Baale," Tegur Nk membuat Iqbaale mengetupkan bibirnya. "Jangan bandel lagi dong,"

"Iya, Maaf."

"Cukup aku yang sakit berat, kamu harus sehat. Oke?" Ucap Nk tak mebghiraukam permintaan maaf Iqbaale.

"Kamu jga harus sehat." Sela Iqbaale cepat.

"Tapi kita kan ga tau aku punya penyakit apa. Jadi minimal kamu dulu yang sehat. Ya?"

Iqbaale menyerah, ia tau Nk lagi masanya keras kepala. Jadi dia hanya mengguk pelan sembari mengulas senyuman kecil.

***

Nk sudah berbaring di ruang oprasi slama hampir setengah jam lamanya, bersama Iqbaale disampingnya yang terus mengecupi pelipisnya, kadang kala ia berbisik sesuatu yang manis agar Nk tak terlalu tegang. Hingga suara bayi mungil berjenis kelamin perempuan terdengar jelas dan lantang diseluruh ruangan. Tangis haru Nk mulai membasahi pipinya yang merah.

"Slamat yah, putrinya selamat." Ucap Dokter memberi selamat.

Tak ada satu kata pun terlontar dari mulut Nk, hanya seutas senyuman kecil yang bahagia yang ia berikan. Sedangkam Iqbaale bergumam amat pelan berkata "Makasih....", lalh kembali mengecup pelipis Nk, setiap permukaan wajah istinya, dan tak lupa bibirnya yang ia kecup singkat. "Lengkap sudah...." Bisiknya tepat ditelinga Nk.

Usai dijait, Nk kini menyusui putri kecilnya yang bernama 'Adelia Faranisa Dhiafakhri' diruang yang sama. Walau pun tubuh Adel ini amat mungil, dan memiliki berat 2,4 kg, Dokter tak mengharuskan Adel mendapat perlakuan khusus seperti bayi pratur lainnya. Tapi Iqbaale tetap ingin putri bungsunya mendapatkannya.

"Besok lusa kita scan lagi yah." Ajak Iqbaale sembari mengelus pelan kepala Adel yang masih bersembunyi didada Nk.

Nk hanya bergumam pelan. Mengiyahkan ajakan, atau mungkin perintah dari sang suami.

***

Sudah seminggu Nk dan Adel dirumah sakit. Adel dirawat karna perlakuan khusus bayi prematur, sedangkan Nk, memulai terapi Otaknya.

Terapi otak? Ya, Nk positiv memiliki penyakit keturunan, kanker otak yang berasal dari keluarga alm. Ayahnya. Reaksi Nk maupun Iqbaale? Tentu saja terkejut, apa lagi diketahui kanker itu sudah hampir menuju stadium 3. Tanpa berpikir panjang, Iqbaale langsung meminta kedokteran untuk memulai terapi Nk.

"Tapi kamu juga harus oprasi." Ucap Nk sembari mengangkat jari telunjuknya sebagai tanda persyaratannya juga.

"Iya itu gampang." Elak Iqbaale cepat sembari bangkit dari sofa yang mereka duduki. Dengan cepat Nk memegang lengan Iqbaale dan menatapnya dengan tatapan meminta kepastian.

"Aku terapi, Adel perawatan khusus, kamu oprasi. Oke?" Ujar Nk saat mata Iqbaale sudah menatapnya kembali.

Iqbaale menghembuskan nafas beratnya. "Jangan barengan lah, nanti siapa yang jagain kalian kalo aku ikut dirawat juga?"

"Ayah, Bunda, Om Ben, temen-temen kita. Banyak Baale! Asal kita bisa sembuh bareng. Ok?" Jawab Nk terlihat santai. "Ayo lah Baale. Kalo ga diginiin, pasti kami nunda-nunda terus. Aku pastiin kamu kek gitu deh." lanjut Nk dengan suara memohon.

Iqbaale nampak berpikir.

"Lagian, kalo kamu ga cepet oprasi, yang ada kamu makin sakit. Kita makin takut saling kehilangan." Ucapan Nk membuat Iqbaale sadar dengan tantangan besar yang sedang mereka lewati ini.

"Ya? Kamu oprasi, yah?" Nk belum lelah untuk memohon.

Hingga akhirnya, Iqbaale pun mengangguk pasrah. Dan Nk langsung memasang senyun senangnya.

Dan bertepatan Nk yang baru seminggu diterapi, Iqbaale melaksanakan oprasi usus buntunya. Yang menjaga Nk untuk seharian penuh hari ini adalah Rike.

"Jangan terlalu berpikir keras," Nk menengok kearah Rike dengan tatapan khawatirnya. Matanya kian burem akhir-akhir ini efek kanker otaknya.

"Iqbaale pasti baik-baik aja, bahkan mungkn jadi lebih baik setelah oprasi." Lanjut Rike menenangkan menantunya.

Nk menghembuskan nafas beratnya, dan memaksakan senyum manisnya, walau ia tau, Rike masih bisa melihat rasa kekhawatirannya.

"Kita berdoa yang terbaik aja yah, semoga oprasinya berhasil dan Iqbaale lengkas sembuh."

"Amin...."

"Semoga Nk juga cepat sembuh, biar bisa kembali bahagia bersama Iqbaale dan anak-anak."

"Amin ya robbal 'alamin..." Gumam Nk sembari mengusap permukaan wajahnya.

"Sekarang zikir, biar hati kamu lebih tenang. Oke?" Usulan Rike, Nk lakukan. Dan memang benar, hati Nk yang terasa risau dan penuh kekhawatiran, menjadi lebih tenang dan damai.

"Makasih, Bunda." Gumam Nk dengan senyuman tulusnya.

"Istirahat yuk, kita ke kamar." Ajak Rike tiba-tiba saat keduanya sedang diam menikmati hembusan angin sore hari di taman rumah sakit.

Nk menoleh, memasang senyum kecilnya, dan mengangguk. Dan barulah Rike bangkit dari duduknya, dan mulai mendorong kursi roda Nk menuju kamarnya.

"Bunda," Panggil Nk ditengah perjalanan.

"Ya, ada apa sayang?" Rike menepi.

"Nk boleh minta tisu?" Tanya Nk sembari menutup mulut serta hidungnya.

"Boleh. Untuk apa?" Rike balik bertanya sembari mengeluarkan tisu dari tas tangannya. Lalu langsung diberikan kepada Nk yang menerimanya, dan menutup mulut serta hidungnya dengan tisu tersebut. Rike terus memperhatikan Nk dengn rasa penasaran dan bingung. Rike berlutut dihadapan Nk dengan wajah bingungnya.

"Nk kenapa?" Tanya Rike lembut.

"Gapapa kok, Bund. Efek obat kanker aja, Nk jadi sering mimisan." Ujar Nk meyakinkan Rike bahwa dirinya baik-baik saja.

"Serius? Apa perlu Bunda panggilkan dokter?" Tanya Rike, masih meyakinkan kondisi Nk yang terlihat memburuk.

Dengan lemas, dan kekuatan yang ia punya, Nk menggeleng, amat pelan.

"Ya udah, kita cepet-cepet ke kamar yah, supaya kamu bisa cepet istirahat. Oke?" Usulan Rike tak Nk tanggapi. Dirinya malah memandang kearah depan, bukan kearah Rike, nafasnya seketika seperti orang memburu, ia memegang kepalanya dengan tangan yang masih memegang tisu berbercak merah darah, sehingga membuat hijab biru langitnya ternodai.

"Nk? Kenapa?" Rike mulai terlihat panik.

Nk masih dengan kondisi yang sama, sampai tubuhnya lemas, matanya terpejam rapat, dan tak sadarkan diri.

Rike kian panik saat melihat Nk tak sadarkan diri. Ia terus memanggil nama Nk dan mengguncang tubuh mungilnya. Namun tak ada respon. Sampai akhirnya, Rike meminta tolong suster.

Disisi lain, diwaktu yang bersamaan.

'Tiiiiii....' Suara monitor dengan garis panjang terpampang jelas disana. Dan membuat seluruh orang didalam ruang oprasi ketakutan dan mulai panik.

"Denyut nadinya tak terasa dokter!" Itulah laporan yang suster berikan kepada sang dokter.

"Siapkan kejut jantung!" Teriak Dokter, spontan tanpa mengingat nama asli alat tersebut. "Ayo Iqbaale, ayo! Istri dan anak loe nungguin kesehata loe!" Gumam Rafto pada sobatnya itu.

"Baale, ayok. Berjuang, jangan pergi dulu!" Rafto terus saja bergumam, mendukung sahabatnya agar terus berjuang.

"Pak Iqbaale kembali, Dok!" Seruan itu membuat Rafto bernafas lega. dan oprasi kembali berlanjut....

***

Esoknya...

Mata Iqbaale mulai terbuka dengan perlahan, setelah lebih dari 12 jam lamanya matanya tertutup efek obat bius.

"Iqbaale gapapa?" Suara itu, suara yang lembut dan seperti suara anak kecil, menyambut dirinya.

"Iya, Iqbaale udah gapapa." Jawab Iqbaale pelan, seperti bisikan.

"Iqbaale harus kuat yah," Kening Iqbaale berkerut samar, rasanya pernah ia dengan kalimat-kalimat itu.

"Kalo Iqbaale kuat dan sehat lagi, nanti Iqbaale bisa main lagi sama Nk." Lanjutnya dengan suara yang sama, namun terdengar parau, membuat seulas senyum kecil terukir diwajah pucat Iqbaale. Dia masih cukup mengingat kejadian puluhan tahun silam, saat dirinya jatuh dan pingsan, dan saat terbangun, gadis sebaya berwajah sembab habis menangis, menyambutnya dengan kunciran kuda yang berantakan dn serajam merah putih yang sangat nge-pas, lalu berkalimat seperti tadi. Persis sama.

"Iya, Iqbaale bakal sehat lagi." Ucap Iqbaale sembari meraih tangan kurus istrinya yang mulai menangis, lagi, namun diberi senyuman kecil, menguatkan bagi Iqbaale.

"Jangan pergi, hiks..." Isak Nk.

"Enggak bakal, aku ga bakal pergi dari kamu. Janji." Kata Iqbaale sembari menghapus air mata yang membahasi pipi Nk. "Kamu juga, jangan pernah pergi tanpa seizin aku. Oke?"

Nk hanya mengangguk pelan sembari mengecup lama punggung tangan suaminya. "Iya, pasti, hiks..."

"udah jam berapa sekarang?" Tanya Iqbaale, tiba-tiba.

"Hiks, setengah lima pagi." Jawab Nk sembari mengusap kasar air matanya yang bandel tak mau berhenti.

"Kok kamu masih disini sih? Ga istirahat?" Tanya Iqbaale dengan nada khawatir.

"Baru juga lima belas menit disini, udah ditegur aja!" Gerutu Nk sambil berusaha menegakkan tubuhnya. Iqbaale hanya terkekeh mennggapi jawaban Nk. "Aku tuh baru disini sesudah sholat tahajut, buka dari tadi malem, tau!"

"Oh, kirain kamu kayak drama-drama, nungguin pasangannya disebelah padahal sendirinya juga sakit." Gumaman Iqbaale membuat Nk memanyunkan bibirnya.

"Aku emang khawatir sama kamu, tapi aku tau, kalo aku terlalu khawatir sama kamu, yang ada aku kena marah sama Bunda gara-gara ga mikirin diri sendiri. Dan kamunya jugakan yang repot kalo aku makin sakit?" Elak Nk cepat.

Iqbaale hanya tersenyum, tak bisa tertawa apa lagi terkekeh. "Iya, kamu bener."

"Ya udah kalo gitu, aku panggilin suster yah?" Ujar Nk sambil berusaha bangkit dari kursinya.

"Eh, ga usah, ga usah." Cegah Iqbaale sembari menarik lengan Nk lembut.

"Lho? kenapa?" Tanya NK bingung.

"Kan aku udah ketemu dokternya." Ucap Iqbaale terdengar serius.

Nk kian bingung dengan maksud Iqbaale, bahkan dirinya sampai memperhatikan kamar Iqbaale yang terlihat kosong, hanya ada dirinya dan tentunya Iqbaale. "Ga ada Rafto tuh. Dokter Trian juga ga ada. Apalagi Dokter Mikel, nihil tuh." Kata Nk bingung dan terlihat polos.

"Kan kamu dokter hatiku..." Mau sakit atau sehat, Iqbaale tetap lah Iqbaale yang membuat jantung Nk terus berdebar cepat, dan membuat pipi Nk merah merona.

"kamu nih..."

***

Akhirnya!!!

Terungkap sudah yah penyakit yg Iqbaale atau Nk alami.....

Semoga kalian g nyesel juga baca part yg ini.

Disini jga aku mau kasih pelajarannya sih.
Kasih soal rumus aljabar, sama fotosintenin pada tumbuhan, sama cara berbahasa yang baik dan benar.....

Ga deng, aku mau kasih pelajaran hidup aja kok.
Jadi jangan pada kapoknya lanjutin lmh nya^^

Jangan lupa tinggalkan jejak kasih sayang kalian...

Salam sayang
Fina💋

Continue Reading

You'll Also Like

174K 1.8K 9
Bercerita Tentang Kehidupan Nindiya Alisia Yang Rela Berkorban demi Kesembuhan Ayahnya dan Harus Menjalani Kontrak dengan seorang pria kaya bernama A...
80.6K 7.8K 23
Brothership Not BL! Mark Lee, Laki-laki korporat berumur 26 tahun belum menikah trus di tuntut sempurna oleh orang tuanya. Tapi ia tidak pernah diper...
62.3K 5.6K 48
Sebuah cerita Alternate Universe dari tokoh jebolan idol yang banyak di shipper-kan.. Salma-Rony Bercerita mengenai sebuah kasus masa lalu yang diker...
4.7K 330 25
[ TELAH DIREVISI ] Setiap orang akan merasakan jatuh cinta. Namun, tidak semua cinta terbalaskan. Seperti halnya cinta seorang gadis pada laki laki b...