Ting tong... Ting tong... Ting tong...
Aduh, siapa, sih, hari libur gini pake ngebel segala!
Aku beranjak dari kamarku menuju ke gerbang depan rumahku.
"Hai, Ta."
Mampus mantan gue napa di sini.
"Boleh masuk?" tanya Darrel sambil tersenyum.
Aku mengantar Darrel menuju ruang tamu rumahku.
"Gu... gue ambilin minum dulu, ya..." Aku segera beranjak menuju dapur.
"Tunggu, Ta." Darrel meraih tanganku.
Jantungku bagai berhenti sesaat. Darahku seperti langsung loncat dari nadi ke vena.
"Gue, mau minta maaf sama lu. Gue mau kita balikan."
Darrel memegang kedua tangannku lembut.
"Ba... Balikan?"
"Gue mau lu bangun, Ta."
"Ba... Bangun?"
"Bangun, Ta! Bangun!"
"Hah?"
"BANGUN, TA! MAMA UDAH BANGUNIN KAMU 10 KALI! AYO MANDI! UDAH DITUNGGUIN, TUH!"
"I... iyah, Mah. Si... Siap!"
Inikah yang dinamakan morning shock?
Eh, tadi gue mimpiin Darrel! Ya, Tuhan, kenapa di saat aku mau lupain dia, eh, malah kebawa mimpi!
Okay, lupakan. Aku harus mandi.
***
Aku mengambil tasku lalu beranjak keluar kamar.
"Mah, aku berang--"
"Sarapan dulu, Ta. Tuh, Nak Dirga juga sarapan dulu. Sarapan bareng, sini." ucap Mama yang sedang sibuk membuat kue.
"Kak Dirga, ngapain jemput? Kan, saya bilang saya bisa pergi sendiri!"
"Kan, saya bilang saya mo jemput kamu. Ga ada penolakan." ucap Kak Dirga dengan senyum miringnya.
Aku menyantap pancake buatan Mama sambil terus menatap tajam Kak Dirga. Eh, tunggu, di mukanya, ada luka gores!
"Sarapan, bukannya ngeliatin orang ganteng." ucap Kak Dirga.
Ih.
"Itu muka kenapa?" tanyaku singkat.
"Oh, ini. Kecakar Dennis." ucap Kak Dirga sambil memegang lukanya.
"Dennis?"
"Kucing saya."
"Namanyasamakayaanjingnyadarrel."
"Hah? Darrel? Apa tadi kamu bilang?"
"Engga, itu tadi ada cicak melahirkan."
"Ooh, dikira gajah bertelor."
"HIH! Kalian, nih, apa, sih, ngobrolnya! Mama jadi geli sendiri!" mamaku tiba-tiba nyeletuk.
"Mama denger aja, deh!"
***
"Makasih, ya, Nak Dirga sudah disempatkan mampir!" Om Hartmann menepuk pundak Kak Dirga.
"Iyah, Om, sama-sama." ucap Kak Dirga.
"Ya, sudah, Om ke dalem dulu, ya, Nak Dirga, Natalia." Om Hartmann beranjak masuk ke dapur toko.
Aku dan Kak Dirga mengangguk lembut.
Masih ingat tempat ini?
Olivia's Dessert and Ice Cream
"Kita ke belakang, yuk?" tanya Kak Dirga padaku.
"Saya, sih, ikut aja."
Kak Dirga membawaku ke taman belakang toko.
"Kamu tunggu sebentar. Saya mo nunjukkin sesuatu." Pak Dirga menuju gudang kecil di pinggir taman.
Semenit kemudian ia kembali dengan membawa patung kucing kecil dari tanah liat.
"Ini adalah hadiah pertama dari Oliv waktu saya ulang tahun. Tepatnya waktu SMA. Dan hari ini, adalah ulang tahun Oliv, saya tiba-tiba inget sama patung kucing ini. Lucu, kan?" Pak Dirga sangat bahagia melihat patung kucing itu.
Kuakui itu memang lucu.
"Ini Kak Oliv buat sendiri?" tanyaku sambil memegang patung kucing itu.
"Iya, waktu study tour sekolah ke Jogja."
"Wih, kalo gitu patung ini-- AAAAAAA! LABA-LABA BERACUN!"
Aku mencoba menjatuhkan laba-laba yang ada di tanganku dan akhirnya dia berhasil kuusir.
"Ta." Kak Dirga menoel bahuku.
"Iya?"
"Patung kucingnya jatoh." Pak Dirga melihat ke arah bawah.
"YA AMPUN!!!!"
Aku berjongkok dan memunguti pecahan tanah liat itu.
"Kaaaaakk, saya bener-bener gak sengaja. Saya salah. Maafin saya. Ini pasti berharga banget buat Kakak, tapi saya pecahin gitu aja. Saya emang bener-bener ceroboh. Maafff Kak. Plis jangan marah, saya ga tau harus gimana. Saya ga bisa gantiin..."
Tak kusadari air mataku mulai mengalir.
Pak Dirga berjongkok.
"Nata, kok, nangis, sih?"
"Kak, saya bener-bener ga sengaja... Plis jangan marahin saya... Saya bakal lakuin apapun, apapun!"
"Wait, wait, wait. Gapapa, Ta. Kamu kenapa? Kalo emang pecah, ya, gapapa. Udah nanti lagi beresinnya. Kamu jelasin kenapa kamu tiba-tiba nangis gini." Kak Dirga mengelus-ngelus pundakku.
"Sa... Saya... Saya, tuh, cuma bisa ngerusak. Ngerusak kenangan berharga orang, yang ga bisa saya gantiin." Aku tak berani menatap Kak Dirga.
"Ta, dengerin. Patung kucing itu cuma barang. Kenangan itu yang penting. Kenangan gak akan pernah hilang, kenangan selalu kita simpen, di sini."
Pak Dirga memegang tanganku lembut, menaruhnya di dadanya.
'Kenapa gue selalu nyaman dan tenang kalo di deket Kak Dirga...' batinku.
"Pokoknya, saya ga mau liat lagi kamu panik kayak gitu."
Aku hanya melihat Kak Dirga sebentar.
"Senyum, dong."
Entah kenapa aku belum bisa tersenyum.
"Liat muka ganteng biasanya bisa bikin senyum." Kak Dirga menghadapkan wajahnya padaku.
"Dasar narsis!" kataku sambil mencubit singkat hidung Kak Dirga.
Kulihat Kak Dirga tersenyum.
"Udah, ah. Saya mo ngambil es krim lagi. Good luck, Nata, semoga tidak kehabisan!"
Kak Dirga segera meninggalkanku.
"KAK DIRGA! AWAS YA!" aku menyusulnya.
***
Aku harap, kamu seperti dia, yang punya pintu maaf besar bagiku. Tapi dia bukanlah kamu yang aku tunggu.
Terkadang aku berpikir apakah aku bisa memutarbalikan waktu ke masa lalu, saat badai itu belum datang, saat aku dan kamu masih menjadi kita.