Nathan
Keterkejutan ku kala dia menciumku secara langsung di depan Haina membuatku jujur saja tidak bisa berkutik lagi.
Haina akhirnya memilih untuk sedikit banyak menjauhiku.
Padahal aku sudah berharap lebih dengan dia tapi kenapa dia seperti ini.
Tidak ada salahnya setiap orang ingin menjadi yang lebih baik bukan.
Meksipun Masa Lalu ku buruk, aku ingin Masa Depanku membaik kembali.
Haina lah yang menjadi tujuanku untuk meraih itu semua.
Tapi dengan keadaan yang seperti ini, bagaimana mungkin aku bisa mendekatinya apalagi harus menikahinya.
Dia mungkin sudah ilfil atau enggan berhubungan lagi denganku.
Ya bagaimana mau jika aku saja sudah tidak terlihat suci di depan kedua Matanya sendriri.
Semua ini karena Vanessa.
Ya tingkah gilanya dan diluar batas kenormalan Manusia dia lakukan dengan mudah tanpa berpikir dahulu apa yang akan terjadi nantinya.
Tapi yang ku pertanyakan bagaimana bisa seorang Vanessa ada di dalam Cafe mendapatiku bersama Haina lagi.
Apakah dia mengikutiku.
Atau dia memang tidak sengaja melihatku lalu melakukan hal kotor dengan menciumku secara bebas.
Arggh, ini benar-benar menyebalkan.
Hidupku menjadi kalang kabut tidak karuan.
Sulit sekali sepertinya hidup tenang tanpa ada gangguan dari dia.
Dia semacam Hantu yang selalu menguntitku kemana pun aku berada.
Memangnya apa salahku jika aku ingin bersama Haina?
Toh dia bisa kan bersama Pacar-Pacarnya yang sempurna dari segi apapun.
Fisik, Karir, Martabat, semua sempurna tidak ada celah sedikitpun untuk mencari kekurangan Lelaki-Lelaki itu.
Vanessa hanya kurang bersyukur saja.
Andai dia bersyukur, dia pasti akan mendapatkan salah satu yang terbaik diantara mereka dan yang jelas itu bukan aku hahaha.
Aku tidak termasuk hitungan saudara-saudara.
Jujur saja dari kasat Mata, aku tidak akan pernah bisa disandingkan dengan mereka semua.
Mereka yang ku maksud jelas sudah pasti adalah Para Lelaki-Lelaki Kekasih Vanessa.
Jangan memungkiri hal itu karena itu memang benar adanya.
Aku sangat mengakuinya.
"Than?" Tiara muncul di depanku tanpa ku ketahui sebelumnya.
Dia memainkan sepuluh Jemarinya seperti sedang cemas.
"Eh kamu Tiara. Kenapa?" aku bertanya kepadanya.
Mungkin sesuatu telah terjadi dan dia membutuhkan bantuanku.
"Kamu bisa bantu aku gak?" dia meminta bantuan kepadaku.
Tapi aku tidak tahu bantuan apa yang diminta olehnya.
"Bantu apa?" aku kembali bertanya kepada Tiara.
"Tolong belikan Obat Mual dan Pusing." dia meminta aku membelikan Obat untuknya.
Memangnya dia sedang sakit apa. Ku perhatikan dia baik-baik saja.
"Untuk kamu?" aku bertanya lagi.
"Bukan," tolaknya sembari menggelengkan Kepalanya kuat-kuat, "Untuk Bu Vanessa. Kasihan dari Pagi dia seperti itu terus. Aku tawarkan ke Rumah Sakit dia nya gak mau." tambahnya.
Apa yang diceritakan oleh Tiara membuatku sedikit takut.
"Dia sakit?" aku mulai mengkhawatirkan keadaan Vanessa.
Teringat kejadian di malam itu saat dia harus terguyur Hujan dan merasakan demam.
Itu semua jelas salahku.
"Eng, sepertinya begitu. Mangkanya aku ajak dia. Tapi dia menolak dengan alasan banyak pekerjaan. Sekarang kamu tolongin aku ya ke Apotik untuk beli Obat." dia kembali memintaku untuk membelikan Obat.
"Terus kamu sendiri ngapain?"
"Eng, aku mau temenin Bu Vanessa. Kasihan dia sendirian."
"Ya udah ya udah. Aku ke Apotik dulu."
Tiara keluar ruanganku dengan raut Wajah yang gelisah.
Jika melihat Wajah Tiara, dia sedang tidak berbohong kepadaku. Astaga, apa yang terjadi dengan Vanessa.
Jangan-jangan dia demam lagi seperti kemarin.
***
Mendengar Vanessa sakit, aku tidak pedulikan Pekerjaan ku dulu.
Ku tutup cepat Laptopku lalu berlari meninggalkan ruanganku untuk menuju ke Apotik.
Tadi sempat ada yang bertanya kenapa aku terburu-buru tapi tidak ku jawab.
Bagaimana menjawabnya jika aku sendiri tidak fokus untuk menjawab.
Sekarang aku sudah berada di Apotik sebelah Kantor.
Ada memang Apotik kecil tapi cukup lengkap menjual Obat-Obat.
"Mbak, ada Obat Mual dan Pusing gak?" aku bertanya kepada Mbak Penjaga Apotik yang terlihat masih muda tapi ku rasa usianya sudah banyak.
Mirip-mirip seperti Vanessa lah.
"Ada Mas. Mau berapa?" Dia bertanya kepadaku.
Tadi aku lupa bertanya kepada Tiara dia ingin aku membeli berapa.
Jika sudah seperti ini, membuatku pusing sendiri.
"Satu satu aja ya. Oh ya Mbak biasanya kalau Pusing, Mual, Muntah di Pagi Hari kenapa ya? Mungkin Mbaknya tahu." aku menduga dia sudah menikah. Mungkin dia tahu apa yang sednag terjadi dengan Vanessa.
"Siapa yang sakit Mas?"
"Emh, Teman saya." jawabku cepat.
"Perempuan atau Laki-Laki."
"Perempuan sudah dewasa kok."
"Mungkin dia Hamil. Biasanya Calon Ibu yang sedang Hamil suka seperti itu. Tapi kalau pengen tahu lebih lanjut ke Dokter aja Mas. Kali aja cuma Masuk Angin kan?"
Si Mbak Penjaga Apotik mengulurkan Obat yang ku butuhkan lalu aku membayarnya.
Dalam perjalanan menuju Kantor kembali, aku terus berpikir sampai Otakku penuh dan aku tidak mampu untuk memikirkan hal lain selain.
Vanessa Hamil? Benarkah?
***
Tok tok tok
"Permisi." aku mengetuk Ruangan Vanessa dan tidak ada siapapun yang ku lihat di dalam Ruangan ini.
Namun, sebuah suara terdengar dari Kamar Mandi di ruangan Vanessa.
Aku segera melangkahkan Kakiku mendekat kesana dan apa yang ku lihat, Vanessa mencekram kuat-kuat pinggiran Wastafel dan membusungkan Tubuhnya ke depan.
Di belakangnya ada Tiara yang memijit-pijit Tengkuk Vanessa.
"Assshh....." terdengar suara Vanessa menggeram kesal.
"Ibu, apakah Ibu mau Teh. Jika iya saya bisa mengambilkan Teh Hangat untuk Ibu." Tiara menawarkan kepada Vanessa dan Vanessa menganggukkan Kepalanya pelan.
Tiara yang ingin keluar dari ruangan Vanessa terkejut melihatku.
Tapi dia hanya diam dan melanjutkan keinginanya untuk membuatkan Teh Vanessa.
Sedangkan aku masih berdiri di tempatnya ku dengan Wajah Cengo.
Vanessa tidak memperhatikan aku ada disini karena Wajahnya tertutup dengan Rambut panjang miliknya.
Vanessa terus memuntahkan apa yang ada di dalam Perutnya melalui Mulut.
"Ness?" aku memanggilnya.
Sontak Vanessa berhenti dengan kegiatannya kemudian menormalkan Tubuhnya yang membusung sejak tadi karena sibuk memuntahkan apa yanga da di Perutnya.
Vanessa membenarkan tatanan Rambutnya sebentar yang sedikit berantakan kemudian berjalan cepat ke arahku.
Bruuk
Vanessa menubruk Tubuhku. Dia melingakri Pinggangku dan memelukku sangat erat.
Kini Kepalanya menumpu di Permukaan Dada ku yang terlapisi oleh Kemeja Kerjaku.
Tapi tidak beberapa lama, aku mendengar dia menangis sehingga mau tidak mau membuat Tangan ku terulur untuk memeluknya.
Ku belai Rambutnya, mengusap Punggungnya lembut, hingga mengecup Puncak Kepalanya penuh kasih.
"Don't Leave me, Athan!"
***
To be continue
***
Surabaya, 26 September 2016 ; 07. 25 WIB
Salam,
Denz91 ^_~