Loizh III : Reinkarnasi

By Irie77

300K 27.3K 1.4K

Sangat disarankan untuk membaca book 1 ( Loizh ) & book 2 ( Loizh II : Arey ) agar tidak menimbulkan kebingun... More

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Perang Yang Lampau
Musuh Baru
Tertangkap
Vinculum
Aura Hitam
Qlue
Cemburu
Jiwa Yang Di Pindahkan
Memulai Misi
Kekuatan Flou
Hutan Strix
Menjamah Masa Lalu
Dua Kota Yang Hancur
Ingatan Dan Kesedihan
Ilusi
Akhir Perjalanan Panjang
Senja

Chapter 6

11.9K 1K 41
By Irie77

Pagi yang dingin membuatku terpaksa memakai sweater tebal. Aku berlari menembus kabut menuju kedai yang terasa seperti rumah keduaku. Hujan semalam membuat embun menyelimuti udara yang sejuk menusuk. Tampaknya matahari enggan untuk membuka tirai awan yang tebal layaknya mantel.

Aku segera mendorong pintu kedai dengan harapan akan melihat senyum Axcel di awal hari ini yang temaram. Namun, meja counter nampak kosong.

Kulirik jam dinding sudah menunjukan pukul 07.18 dan yang membuatku heran Axcel belum ada di tempatnya. Aku melepas sweater dan meletakkan tas di loker bawah meja. Aku manatap lantai sesaat lalu mengetuknya perlahan.

“Axcel?” panggilku berbisik.

Tidak ada jawaban.

“Axcel, kau di sana?”

Masih tidak ada jawaban.

Aku mengetuknya sekali lagi. “Axcel—“

“Ririn, sedang apa kau?”

Sebuah suara mengagetkanku, membuat kepalaku terbentur meja. “A-Adelia?”

“Kau sedang apa di bawah meja?” Adelia menatapku penasaran.

“Oh hmm … aku sedang menaruh tas dan koinku jatuh.” Aku memalingkan wajah dan pura-pura mencari. “Tadi koinku menggelinding kesini tapi … kucari-cari tidak ada,” dustaku.

“Hmm … apa itu koin keberuntungan?” Adelia turut memasukkan kepala di kolong meja dan mengamati lantai.

“Hmm … iya. Itu hadiah dari seseorang.”

“Dari Felix?” Adelia menyeringai. “Kau tidak perlu menyembunyikannya. Kami di sini sudah tahu semuanya.”

Aku mengangguk kaku.

“Sebaiknya kau hubungi Felix dan meminta maaf padanya karena telah menghilangkan koin itu tanpa sengaja. Mungkin lain kali aku akan membantumu untuk mencarinya--.”

“Itu tidak perlu,” sergahku cepat. “Sebaiknya aku hubungi Felix dan meminta maaf.”

“Baiklah, tapi jika nanti aku menemukan koinmu, kau harus menraktirku makan siang.” Adelia tersenyum dan keluar dari bawah meja.

Aku hanya tersenyum mendengarnya lalu menyusul keluar meja.

“Adelia,” panggilku saat Adelia hendak melangkah ke dapur.

“Iya?”

“Kau melihat Axcel? Tidak biasanya dia belum datang.”

Adelia menggeleng. “Hmm … kudengar hari ini Axcel sedang tidak enak badan jadi untuk sementara Axcel tidak masuk kerja. Tuan Erick yang memberitahuku.”

“Axcel sakit? Apa yang terjadi?” gumamku dalam hati.

“Sepertinya hari ini kau harus bekerja ekstra keras, Ririn. Jika kau butuh bantuan dalam melayani pelanggan, aku siap membantumu dan menggantikan Axcel untuk sementara,” tawarnya ramah.

“Terima kasih. Mungkin aku harus mencobanya sendiri dulu tanpa Axcel,” tolakku tersenyum.

“Baiklah. Kalau begitu selamat bekerja.” Adelia berlalu ke dapur.

Aku menatap lekat lantai di bawah meja, membayangkan Axcel yang terbaring sendirian di bawah sana.

* * *

Tak terasa waktu cepat berlalu. Hari yang basah membuat pelanggan tak terlalu ramai. Sepertinya alam sedang berbaik hati padaku karena bekerja tanpa partner. Aku menghela napas sambil merapikan meja counter. Sesekali kulirik lantai di bawah yang tampak gelap pekat. Aku ingin sekali masuk ke sana, ingin tahu bagaimana keadaan Axcel sekarang.

Kulihat jam dinding sudah menunjukan pukul setengah empat sore. Setengah jam lagi jam kerjaku selesai. Aku merapikan meja sekaligus mengelap meja Axcel yang memang sudah rapi dari awal masuk.

Disela-sela itu, aku menyadari bahwa ada pola tipis yang tergambar di sana meja Axcel. Aku mengamati pola itu dengan saksama. Pola itu membentuk sebuah gambar daun semanggi berkelopak empat. Aku meraba garis-garis itu dengan jemari.

Tubuhku mengerjap seketika dan pemandangan di sekitarku berubah. Aku berada di antara sisa kobaran api yang mulai padam dengan aroma herbal yang menyengat. Sebagian dari yang terbakar itu masih ada yang bergerak dalam kobaran api. Aku mundur satu langkah sambil menatapnya nanar. Makhluk itu tampak merangkak dan menggeram. Namun, dalam geramannya aku mendengar ia berbicara sesuatu. Awalnya terdengar samar, tapi semakin jelas perlahan.

“Raja sudah dikalahkan. Ratu sudah dilenyapkan. Selamatkan Tuan Putri.” Suaranya terdengar serak. “Selamatkan Tuan Putri.”

Aku menyodongkan tubuh dan menatapnya. “Tuan Putri?”

“Putri Axcel dalam bahaya,” bisiknya lagi sebelum ia menjadi abu sepenuhnya dan mati bersama kobaran api yang padam.

“Axcel pasti ada di sekitar sini,” pikirku.

Aku berlarian sambil menghidari benda berapi yang berjatuhan. Sesekali merunduk dan bersembunyi jika ada yang lewat. Tujuanku adalah menyelamatkan Axcel, tapi aku tidak tahu harus mencarinya ke mana. Bukan hanya itu, para makhluk di sekitarku juga berbentuk aneh meski ada beberapa yang mirip dengan Manusia.

Aku terus mengedarkan pandangan dan berharap menemukan seorang gadis yang kucari di sekitar sini. Namun, nihil. Hanya puing-puing kayu yang terbakar berserakan.

Aku tersandung dan tersungkur. Di hadapanku ada sebuah daun aneh berbentuk sayap yang berantakan. Aku meraih dan memperhatikannya, itu benar-benar sayap. Terlihat garis-garis kecil yang menonjol acak, juga teratur.

“Apa ini sayap Peri?” gumamku.

Aku mengendusnya, aroma mint yang menyengat merasuki penciumanku.

“Ririn.”

Aku menoleh pada suara yang memanggilku. Aku terkejut melihat gadis dalam posisi tersungkur sama sepertiku—tepat di sebelahku.

“Ka-kau?”

Dia—Karin. “Jika kau ingin menemukan temanmu di tempat ini, kau harus masuk lebih dalam lagi,” bisiknya dekat.

“Ririn.” Seseorang meletakan telapak di dahiku dari arah lain.

Aku menoleh seketika dan pemandangan sekitar kembali berubah. Aku berada di kedai dengan bingung.

“Ririn, apa yang kau lakukan?” tanya Adelia.

“Oh hmm … aku … sedang … membersihkan meja,” jawabku seraya menegakkan tubuh.

Adelia menyipitkan mata. “Membersihkan meja? Dalam posisi seperti itu?”

Aku menjadi kaku karena tidak tahu posisi seperti apa diriku tadi. Jujur, aku bingung harus menjawab apa yang pada akhirnya membuatku hanya terdiam.

“Hmm … apa itu berlebihan?”

“Tentu saja. Posisimu tadi seperti seseorang yang hampir berciuman dengan meja.” Adelia menunjuk dahi lalu turun ke hidungnya. “Wajahmu terlalu dekat dengan meja.”

“Oh.” Aku tertawa kaku. “Benarkah?”

Adelia melipat tangan di dada lalu menatapku lekat, sedikit misterius. Untuk pertama kalinya Adelia memandangku seperti itu, membuatku takut jika teringat mimpiku di dapur saat itu.

“Ririn.” Adelia menyeringai dan mendekat, sementara aku masih terdiam di tempat.

“Ya?” sahutku hati-hati.

“Kau tak bisa membohongiku.” Adelia semakin mendekat, bahkan wajah kami sangat dekat. Aku bisa merasakan napasnya yang tenang, tapi menyimpan sebuah misteri. “Apa yang kau ketahui tentang Axcel?”

Napasku tercekat seketika dengan tubuh yang mendadak kaku. “Aku … tidak tahu,” dustaku lagi.

Adelia menyeringai lalu berbisik dengan mata kejam. “Jika sampai kau mengetahui sesuatu, aku akan membunuhmu.”

Aku mencoba untuk tak terpengaruh oleh ucapannya yang membuatku penasaran. Aku menarik napas panjang agar tenang. Jujur, ini untuk pertama kalinya aku melihat Adelia sangat menyeramkan.

“Apa kau mengetahui sesuatu?” tanyaku saat perasaanku sedikit membaik.

Adelia menarik kembali wajahnya dan duduk di kursiku. “Tidak.”

“Jika tidak ada misteri yang tersembunyi, kau tidak akan mengatakan hal itu bukan?”

Adelia menyeringai. “Apa kau takut?”

“Ya, aku takut.”

“Kalau kau takut sebaiknya kau tidak perlu tahu. Lagi pula ini hanya semacam cerita belaka.” Adelia berdiri dan melangkah tak acuh.

“Apa kau membenci Axcel?” tanyaku, menghentikan langkahnya.

Adelia memutar leher dengan sebelah alis yang terangkat. “Apa Axcel berbicara sesuatu padamu?”

“Bodoh! Kenapa aku bertanya seperti itu?” keluhku membatin.

“Kau tahu sendiri Axcel sangat pendiam, bahkan untuk saling mengobrol denganku pun sangat jarang. Itu saja, hanya masalah dalam pekerjaanku.”

“Benarkah?” Adelia kembali mendekati. “Lalu mengapa kau berpikir aku membenci Axcel?”

“Karena … hanya kau yang berbicara padanya dengan sindiran yang sinis.” jawabku mengarang.

Adelia tersenyum. “Oh, kukira apa. Ya, kau benar. Aku membencinya.”

Aku kembali bernapas lega karena Adelia tidak mencurigaiku. “Kenapa? Apa … Axcel begitu menyebalkan bagimu?”

“Tentu saja. Dia sangat menyebalkan.” Adelia menatap langit sore keluar jendela dengan tatapan menerawang. “Ia memiliki segalanya yang aku inginkan. Dia yang sekarang memang bukan apa-apa, tapi sebenarnya sosok yang paling disanjung banyak orang.”

“Hmm … dari penjelasanmu aku jadi membayangkan Axcel adalah seorang Putri dari kerajaan yang kaya.”

Adelia menatapku seketika. “Tentu saja. Ia memang seorang—“ Ucapan Adelia terhenti, seperti mengingat sesuatu.

“Seorang?” Alisku terangkat satu.

“Hmm … ya, seoarang penyiihir.”

“Penyihir?”

Adelia kembali tersentak dengan apa yang baru ia katakan. Kurasa ia keceplosan saat mengatakan ‘Penyihir’. Karena baginya, aku tidak tahu soal itu.

Sikap Adelia kaku dan salah tingkah lalu melirik jam dinding. “Oh, ya ampun! Sudah waktunya aku pulang.” Adelia berjalan ke arah dapur dengan buru-buru.

Kulihat jam sudah menunjukan pukul 16.03 dan Adelia bersama dua partnernya keluar dari arah dapur dengan membawa tas kerjanya.

“Kami permisi pulang dulu, Ririn. Pembicaraan tadi sebaiknya kau lupakan saja. Tadi aku hanya sedang bermijanasi karena membaca buku romantis dari negeri dongeng.” Adelia begitu canggung dengan gerak-gerik yang kaku.

“Kau sebaiknya cepat pulang dan ajak Felix untuk berkencan,” lanjutnya lalu membuka pintu dengan tergesa-gesa dan melambaikan tangan. “Sampai ketemu besok. Dah!”

Aku tersenyum dan balas melambai hingga Adelia lenyap dari pandanganku.
Sudah kuduga ada yang tidak beres. Aku kembali menatap meja Axcel dan pola semanggi itu masih terlihat di sana. Kusentuh lagi pola itu dan tubuhku mengerjap. Namun, tiba-tiba seperti ada yang menampik tanganku, membuatku kembali tersadar. Kulihat sosok gadis memakai piyama putih sudah berdiri di hadapanku dengan tatapan dingin yang menusuk.

“Axcel?” gumamku.

“Apa yang kau lakukan, Ririn?”

Aku menelan ludah dan menatap meja Axcel. Pola semanggi itu lenyap. Mejanya benar-benar mulus tanpa ada garis perak yang terukir di sana.

“Axcel.” Kini tatapanku tertuju pada Axcel. Sejenak aku merasakan aura yang mengerikan menguar dari tubuhnya. “Aku hanya—“ Aku memalingkan mataku dari tatapannya.

Axcel berjalan memutari meja dan kini ia sudah di sampingku. “Apa yang kau lakukan dengan mejaku?”

Aku kembali menatap wajah Axcel yang tatapannya sudah meredup dan aura mengerikan itu sudah menghilang.

“Tadi … aku melihat ada sesuatu di mejamu jadi—“ Ucapanku terhenti karena Axcel mendekapku seketika. “Axcel?”

“Kau seharusnya tidak melakukannya, Manis. Kau akan membahayakan dirimu.” Dekapan Axcel semakin erat. “Aku tidak ingin melibatkanmu.”

“Maukah kau berbagi denganku lagi? Hmm … tepatnya bolehkah aku tahu siapa dirimu?”

“Tidak mau.” Axcel membenamkan wajahnya di leherku.

“Kenapa?”

“Jika sampai terjadi sesuatu denganmu. Aku tidak tahu harus mengatakan apa pada Felix.”

Keningku berkerut seketika dan melepas pelukannya. “Hei, masalah ini hanya kau dan aku, tidak ada sangkut pautnya dengan Felix.”

Axcel tersenyum. “Kau salah. Dari sebelum kau dilahirkan, kau sudah terikat dengan Felix.”

Mataku menyipit. “Apa maksudmu?”

“Kau akan mengetahuinya suatu saat nanti.”

“Baiklah. Aku akan mencoba untuk mencari tahu nanti.” Aku berusaha untuk mengakhiri suasana tegang ini. “Sekarang aku mau tanya, apa kau sakit? Aku dengar kau sedang tidak enak badan.”

Axcel mendengus tersenyum. “Tidak. Aku hanya sedang ingin bermalas-malasan saja.”

Aku mengerutkan kening sejenak. “Lalu … kau habis dari mana? Aku tidak mendengarmu masuk dan kau juga tidak keluar dari lantai.”

“Aku lewat pintu dapur saat Adelia dan yang lainnya sudah meninggalkannya.”

Aku termangu. “Kukira … kau hanya memiliki satu pintu di lantai untuk keluar masuk.”

“Apa kau lupa? Ini rumahku.”

Aku termanggut. “Baiklah, sepertinya aku memang lupa.”

“Hmm … Ririn.”

“Iya?”

“Maukah kau menginap di sini malam ini?” Axcel menatapku penuh harap.

“Hmm …. tapi sepertinya aku harus pulang untuk meminta izin.”

Axcel menyeringai. “Dasar gadis baik. Itu tidak perlu. Aku sudah menelepon keluargamu bahwa kau akan menginap di rumahku malam ini dan Ibumu mengizinkannya.”

“Benarkah?”

Axcel mengangguk. “Masuklah. Kau harus mandi.”

Lantai di sebelahku bergerak dan membuka. Sebuah cahaya temaram terpancar dari dalam. Axcel sudah mendahuluiku berjalan masuk dan aku menyusulnya.

“Axcel.”

“Iya?”

“Maukah kau menceritakan sesuatu padaku?”

Langkah Axcel terhenti dan kini kami saling berhadapan.

“Tentang?” Axcel mengangkat sebelah alisnya.

“Dirimu.”

Axcel tersenyum. “Sebaiknya kau selesaikan masalahmu terlebih dahulu. Bukannya kau juga belum mengetahui tentang gadis itu?” Axcel kembali membalikan tubuhnya dan lanjut berjalan. “Kau tidak akan bisa menyelesaikan semua masalah sekaligus, Ririn. Cukup masalahmu yang paling kau utamakan sebelum kau dicap sebagai gadis sinting.”

_______To be Continued_______

Continue Reading

You'll Also Like

10.9K 290 14
Rana - pandu Amorgan series 2 Kembali ke indonesia sama saja siap kembali terluka. Indonesia adalah tanah kelahirannya yang memberikan nya bahagia da...
146K 9.5K 27
Minako Shizuka adalah seorang putri vampir dari kerajaan Cesteria. Saat kecil, Minako tinggal di bumi karena suatu hal. Saat ia tamat kelas 6 SD, Min...
6.2K 320 17
FOLLOW SEBELUM BACA!!! Revisi setelah [TAMAT] Sehalu halunya gue gak sampe masuk kedalam dunia kerajaan tapi kok kalo ini mimpi berasa lama banget...
8.4M 440K 77
ALDRICH ED STANFORD, sosok pria dengan kepribadian introvert (tertutup), pengalaman masa lalu menjadikan emosinya bagai buku yang tertutup rapat. Sua...