Chapter 3

13.1K 1.1K 28
                                    

Aku bosan. Padahal baru tiga hari bekerja di kedai Tuan Frederick. Kulirik Axcel yang sibuk mengucir rambut lalu mengelap meja. Mungkin saja dia yang membuatku bosan. Seramah apa pun lingkungan di tempat kerja ta’kan mengubah sifat dinginnya. Ia tak terpengaruh oleh suasana sekitar yang menurutku jauh lebih hangat dari suasana di rumahku. Kukira dengan percakapan kami waktu itu, hatinya akan luluh dan mau terbuka denganku sebagai partnernya.

Axcel menguap sejenak, kepalanya terkulai pada sandaran kursi. Entah sampai kapan ia akan terus bersikap seperti itu.

“Axcel.”

“Jangan memanggilku jika tidak ada keperluan.”

Mataku terpejam dengan kening berkerut. Mencoba lebih sabar. “Kau benar-benar pendiam.” Aku duduk menopang dagu.

“Apa kau mau aku bicara dengan orang lain?”

“Kurasa mengobrol itu penting dan saling berbagi pengalaman. Apa kau punya masalah sampai kau jadi pendiam?”

Axcel memutar posisi duduknya hingga kami saling menatap. Sesaat ia mendesah lelah. “Kalau kau tidak suka dengan kepribadianku untuk apa kau bertahan di sampingku? Kau bisa pindah ambil bagian lain dalam pekerjaan ini. Kalau kau ingin tukar pekerjaan dengan karyawan lain, sepertinya bagian koki adalah suasana kerja yang kau inginkan. Di sana adalah kumpulan orang-orang yang berisik.”

“Tapi dalam pekerjaan ini, kita dituntut untuk ramah bukan?”

“Kau pikir aku tidak ramah dalam melayani pelanggan?”

Benar, aku melihatnya tersenyum ramah selama melayani pelanggan, terutama anak kecil. Dalam hal ini aku tak bisa membantah. Namun, senyuman itu seperti—terasa kosong.

“Baiklah. Aku akan menghubungi Tuan Erick untuk memindahkanmu ke bagian lain.”

“Bu-bukan begitu maksudku—“

“Kau tidak ingin memiliki partner kerja sepertiku, kan? Daripada kau merasa tidak nyaman, lebih baik aku meminta Tuan Erick untuk memindahkanmu.”

“Axcel.” Aku melonjak dari kursi dan memeluknya. Bisa kurasakan tubuhnya yang terkejut dengan tingkah spontanku. “Maaf, aku tak bermaksud menyinggungmu. Jujur … aku memang sedikit bosan, tapi bukan berarti aku tak menyukaimu sebagai partner.”

“Seharusnya kau tidak boleh sembarangan memeluk orang seperti ini. Bagaimana jika detik ini aku membunuhmu.”

Aku tahu dia hanya bercanda. “Aku tidak perduli,” sahutku.

“Kau akan mati.”

Aku menyeringai. “Itu lelucon yang dingin.”

“Mungkin aku harus membuktikannya padamu.”

Tubuhku terlempar ke dinding sebelum akhirnya terjerembab di lantai. Axcel menjambak rambut dan membenturkan kepalaku di lantai. Aku pusing seketika dan pandanganku mengabur. Tidak hanya itu, Axcel menyeretku ke dapur tempat di mana Adelia dan para koki pembuat es krim lainnya berkumpul.

“Apa yang kau lakukan, Axcel?” teriak Adelia panik.

“Bagianku sudah selesai. Sekarang terserah mau kau apakan dia,” jawab Axcel dengan nada dingin lalu melangkah pergi.

“Adelia,” lirihku menahan sakit. “Tolong aku.”

Adelia berusaha membantuku untuk bangkit, tapi sesuatu menghujam dadaku. Begitu tajam hingga menembus tulang rusuk.

“A-Adelia kau—“ Butuh waktu sesaat untuk menydari bahwa Adelia lah yang melakukannya.

Pisau itu ditarik kebawah hingga membelah perutku. Aku menjerit sekuat tenaga hingga menjadi pusat perhatian orang lain untuk menolong. Benar saja, seseorang dari luar langsung masuk ke dalam. Namun, bukan orang yang akan menolongku melainkan—Axcel.

Loizh III : ReinkarnasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang