Chapter 11

8.5K 864 47
                                    

“Kita mau kemana?” tanyaku dengan langkah terseret.

“Kau akan tahu nanti.”

Ya, jawaban yang sama. Setiap kali aku bertanya pasti ia akan menjawabnya seperti itu. Kenzie sama sekali tidak berubah, baik dalam wujud Manusia maupun saat menjadi Una. Kurasa memang seperti itu karakternya, ia suka memberi kejutan.

Aku terus berlari mengikuti gerakannya. Dulu aku juga pernah berlari seperti ini, bergandengan dengan Alex tentunya.

Aku tersenyum sejenak saat ingatan Karin dengan Alex berputar di kepala. Kenangan yang benar-benar manis dan terkubur oleh masa. Entah mengapa, saat aku melihat kepingan-kepingan kenangan itu, aku jadi merindukan Felix. Membayangkan kisahku dengan Felix akan semanis itu.

“Sebentar lagi kita sampai,” ucap Kenzie membuyarkan lamunanku.

Kulihat kami sudah memasuki kota Zarakh yang sudah seperti kota mati karena ditinggal penduduknya akibat perang. Sejenak, aku juga merindukan Roy, bahkan aku masih mengingat wajahnya yang membuatku terpesona sekaligus iri saat terakhir mengunjungi tempat ini. Mengingat Roy aku jadi teringat Axcel. Kira-kira apa yang sedang ia lakukan saat ini?

Saat ini aku akan menjadi Karin meski sadar diriku sebagai Ririn. Rasanya menyesal karena sudah meributkan masalah statusku di sini dengan Kenzie, seharusnya aku mengaku saja kalau aku Karin. Namun, jika mengaku, aku takut Kenzie akan mengejarku dan akan menyingkirkan Felix.

“Kita sudah sampai,” gumamnya lagi menyadarkanku.

Di hadapanku berdiri sebuah bangunan yang sudah lapuk di wilayah terpencil sudut kota. “Rumah hantu?”

Kenzie mendengus tertawa. “Yang benar saja, di Loizh tidak ada hantu. Ini hanya bangunan kosong.” Ia berbisik di telingaku. “Ada yang ingin kutunjukkan padamu.”

“Apa itu?”

“Ikut aku.”

Kenzie memasuki bangunan tua dan aku mengikutinya. Aroma lumut yang lembab langsung menyeruak. Keadaan di dalam begitu temaram dan tampak mengerikan. Namun, sepertinya Karin sudah biasa memasuki tempat-tempat seperti ini, aku merasa takut tapi juga seperti sudah biasa.

Kenzie membuka lantai dengan kemampuan telekinesisnya. Di bawah sana terlihat ada tangga gelap yang menurun ke bawah. Kenzie memberiku aba-aba agar aku mengikutinya dan lantai kembali tertutup saat aku ikut memasukinya.

Oh, aku jadi ingat sesuatu. Dari dulu aku ingin bisa Telekinesis, tapi selalu gagal. Apa aku bisa melakukannya dalam wujud Una?
Kenzie menggunakan Ulqi-nya sebagai penerangan saat kami menuruni tangga yang melingkar ke bawah. Saking gelapnya, aku sampai tidak bisa melihat dasar dari ujung tangga ini.

“Kenzie, tempat apa ini?”

“Kau akan tahu setelah kita sampai ke bawah.”

Lagi-lagi jawaban seperti itu yang kudengar. “Apa kau tidak bisa memberitahuku sedikit? Berhentilah membuat kejutan.”

Kenzie berhenti dan membalikkan badan ke arahku. “Apa kau takut? Bukannya kau sangat menyukai tempat yang temaram seperti ini?”

“Aku tidak takut, hanya saja ... aku penasaran.”

Kenzie tersenyum sambil mengacak-acak rambutku. “Kau akan menyukainya nanti.”

Kami melanjutkan langkah menuruni tangga. Hanya langkah kaki yang menggema di antara keheningan. Semakin lama, aku merasa jenuh oleh tangga tak berujung ini. Aku bahkan tak bisa mengira-ngira seberapa dalam tangga ini menembus tanah. Apa di dasar sana aku akan melihat magma atau sebagainya?

“Sedikit lagi kita sampai.”

Rasa lega langsung berhamburan menyerbu dengan ucapannya barusan. “Syukurlah.”

Loizh III : ReinkarnasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang