Senja

13.2K 1K 272
                                    

___Satu tahun kemudian___

Aku terduduk di konter kedai es krim dimana aku bekerja sambil mengelap meja agar selalu terlihat bersih dari debu dan bercak es yang tumpah walau hanya sedikit. Pagi begitu dingin dengan lapisan embun di kaca yang membuatnya terlihat buram. Ada banyak hal yang berubah dalam hidupku setelah apa yang terjadi di Loizh. Kedai es krim yang semula di kelola oleh Axcel dan Tuan Erick kini berpindah tangan dan saat ini aku adalah pimpinan kedai ini. Aku sengaja merahasiakannya dari keluargaku karena aku ingin menjaga apa yang telah di lakukan Axcel selama tinggal di Bumi fana ini. Aku tidak ingin keluargaku merusak semua hanya karena mereka tahu aku bos di tempat ini.

Hari-hariku kembali normal meskipun dukaku masih mengganjal. Keluarga Adalbrectha sampai sekarang tidak memberi kabar sedikitpun mengenai kondisi Felix, tapi aku tahu kisahku dengannya telah berakhir. Aku yakin sekali, pasti begitu berat bagi keluarga Adalbrectha memberikan kabar kematian putranya pada kami. Semua orang pasti penasaran dan bertanya-tanya, namun aku tahu bahwa Felix—telah tiada. Meskipun terasa pahit, tapi aku selalu mencoba untuk merelakannya.

Aku menatap cincin yang melingkar di jariku lalu menciumnya. Ini adalah cincin pernikahanku dengan Felix yang ia simpan di lemariku tanpa memberitahuku. Aku mengenakannya karena sebulan yang lalu seharusnya kami sudah menikah, sementara cincin yang seharusnya melekat di jari Felix sengaja kujadikan liontin. Terkadang aku menggenggam cincin yang menggantung di leherku sambil memejamkan mata sesaat hanya untuk merasakan kehadiran Felix di sisiku meskipun aku tahu dia tidak ada ketika aku kembali membuka mata.

"Selamat pagi bos. Maaf aku datang terlambat karena ada sedikit hambatan di jalan."

Viona Akins, sahabat SMP-ku yang paling rajin memberiku contekan beserta strategi konyolnya untuk mendapat nilai bagus. Saat ini ia adalah salah satu pegawaiku yang sangat rajin meskipun sifat konyolnya masih melekat dalam dirinya.

Aku tersenyum. "Terlambat lima belas menit, gajimu kupotong lima belas persen."

Viona langsung memasang wajah cemberut khas kekanakannya namun sedetik kemudian ia meringis. "Bagaimana kalau kupijat kepala dan wajahmu?" tawarnya kemudian berbisik. "Kau tahu, aku mantan terapis di salon kecantikan dan aku ahli dalam hal itu—" lalu merajuk lagi sambil mengatupkan kedua tangannya. "Kumohon jangan potong gajiku bos, demi biaya pendidikan kuliahku."

"Sayangnya tidak bisa, ini sudah peraturan dan—" Aku hendak meraih Kalkulator namun Viona langsung meraih Kalkulator di meja terlebih dahulu.

"Bos!" Viona masih merajuk.

"Sudah berapa kali ku bilang jangan panggil aku begitu." Aku mulai memelankan suaraku. "Jangan sampai ada orang lain yang dengar dan membocorkan statusku pada keluargaku."

"Baiklah, dengan satu syarat, jangan potong gajiku satu persenpun. Bagaiamana?" Viona meringis kaku sambil mengedipkan mata ala Ratu Judi yang biasa kulihat di iklan game judi online.

Aku mendengus menahan tawa. "Apa kau sedang mengancamku?"

"Aku tidak mengancammu." Viona mendekatkan wajah ke arahku sambil menyeringai. "Tanpa kuancam pun, kehidupanmu juga sudah terancam. Kalau tidak, kau pasti tidak akan kerepotan menyembunyikan statusmu Bos!" bisiknya merasa menang.

Aku menarik nafas panjang. Sebagai sahabat, mana mungkin aku setega itu lagi pula aku hanya bercanda. "Baiklah, tapi dengan syarat. Kau harus memberiku laporan kenapa kau bisa terlambat." Aku mengajaknya duduk. "Sekarang ceritakan padaku, apa dijalan kau bertemu pria tampan sampai harus menyita waktu hingga lima belas menit?"

Viona mulai bercerita sementara aku hanya menjadi pendengar yang baik sekaligus menjadi saksi bahwa saat ini ia menjalani hidup yang sangat menyenangkan meskipun berakhir kenangan. Kisahnya juga di iringi air mata namun tidak berakhir nestapa sepertiku.

Loizh III : ReinkarnasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang