Chapter 1

35.6K 1.6K 120
                                    

Aku mengangkat kepala setelah hampir setengah jam membenamkan diri di bathube. Napasku sedikit tersengal. Sekarang aku sudah membuat rekor baru untuk tidak bernapas selama 23 menit sekian detik. Itu sudah menjadi kebiasaan yang bagiku cukup menyenangkan. Kulihat jam sudah menunjukan pukul setengah tujuh pagi. Ya, hari ini adalah hari pertamaku kerja di bar milik Bibi Elyana. Aku meraih piyama handuk setelah selesai keramas. Pagi yang segar sekali.

Sebenarnya aku ingin sekali melanjutkan kuliah, tapi orang tuaku tidak sanggup membiayainya. Namun—ya, mau bagaimana lagi. Aku tidak bisa memaksakan keadaan meskipun sebenarnya napasku sedikit sesak jika mengingat hal itu.

Saat aku membuka pintu kamar mandi, aku dikejutkan oleh sosok laki-laki yang sudah berbaring santai di tempat tidurku sambil membolak-balikkan buku novel kesayanganku. Dia Felix Adalbrectha, pemuda yang dijodohkan denganku. Aku hanya terdiam kaku saat melihatnya di kamar yang masuk dari entah mana. Aku baru melihatnya lagi setelah satu minggu aku berkunjung ke rumahnya bersama keluargaku.

“Felix?” panggilku lirih.

Felix hanya melirik sejenak lalu kembali fokus pada bukunya.

“Sejak kapan kau di sini?” Aku menatap pintu kamar sejenak lalu memutar kenopnya. Pintu itu masih terkunci sama seperti waktu aku belum mandi. “Bagaimana kau bisa masuk kekamarku? Apa orang tuaku tahu kau datang kemari?”

Felix meliriku lalu terbangun dengan malas dari pembaringannya sambil melempar bukuku yang yang sudah tampak usang ke tempat tidur.

“Lama sekali.” Felix melirik jam dinding yang terpajang manis di samping fotoku. “Kau mandi selama setengah jam lebih? Bagaimana jika kau terkena flu?”

“Aku sudah terbiasa berlama-lama di air, jadi kau tidak perlu khawatir,” jawabku malas. “Kau belum menjawab pertanyaanku.”

Felix terduduk di kursi yang berdekatan dengan meja kamar sambil menyendarkan punggung. “Aku masuk lewat jendela. Soal orang tuamu, aku tidak perduli mereka mengetahui kedatanganku atau tidak. Yang terpenting adalah menemuimu.”

Aku mendengkus tak percaya. “Kalau kau ingin menjadi menantu yang baik, kau harus menemui orang tauku dulu sebelum menemuiku. Tidak seperti ini caranya. Dasar tidak sopan!”

“Baik atau tidaknya aku, orang tuamu akan tetap mau menerimaku bukan? Bahkan jika wajah mereka kujadikan sebagai lap kaki sekalipun, mereka akan tetap menerimaku sebagai menantunya.”

Ucapan itu membuat emosiku meningkat tajam dalam sekejap. Aku mengepalkan tangan untuk menahan amarah yang hampir keluar. “Apa karena kau orang kaya, kau berbicara seenaknya seperti itu? Sombong sekali.”

Menyadari reaksiku yang tak suka, Felix terbangun dari duduknya dan mendekati. Namun, aku justru malah sebaliknya. Ia melangkah mundur hingga kurasakan punggung sudah menempel di dinding.

“Apa kau lupa, alasan apa yang membuat orang tuamu menikahkan putri bungsunya dengan putra Adalbrectha? Kau pasti menyadari hal itu, Ririn. Ibumu menamparmu karena hal itu, ‘kan? Kau menolak untuk dinikahkan denganku.” Felix menyeringai. “Dan sekarang aku menginginkanmu layaknya orang tuamu yang menginginkan harta keluargaku.”

Felix menempelkan kedua tangannya di dinding—memenjarakanku. Namun, aku sudah menyiapkan kakiku jika ia berani macam-macam.

“Orang tuaku mungkin tidak menyadari hal itu karena Ayahku dan Ayahmu adalah sahabat karib. Tapi aku bisa melihatnya dari mata kedua orang tuamu dan aku juga tahu tentang Grisa, kakakmu yang ternyata juga wanita matrealistis,” lanjutnya lagi.

Tanganku semakin mengepal dengan kecang seiring emosi yang meningkat dalam level mengerikan. “Jadi, kau menguntit keluargaku?”

“Tentu saja. Karena kau adalah calon istriku.”

Loizh III : ReinkarnasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang