Loizh III : Reinkarnasi

By Irie77

300K 27.3K 1.4K

Sangat disarankan untuk membaca book 1 ( Loizh ) & book 2 ( Loizh II : Arey ) agar tidak menimbulkan kebingun... More

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Perang Yang Lampau
Musuh Baru
Tertangkap
Vinculum
Aura Hitam
Qlue
Cemburu
Jiwa Yang Di Pindahkan
Memulai Misi
Kekuatan Flou
Hutan Strix
Menjamah Masa Lalu
Dua Kota Yang Hancur
Ingatan Dan Kesedihan
Ilusi
Akhir Perjalanan Panjang
Senja

Chapter 5

11.7K 1K 58
By Irie77

Felix menyetir dengan kencang, membuatku sedikit mual. Mobil melaju tanpa hambatan.
L Daun-daun di jalan beterbangan setiap kami melewatinya hingga menimbulkan suara gemerisik yang kering. Aku melempar pandangan keluar jendela sembari mengamati pepohonan yang berdiri kokoh di tepi jalan-seperti mengiringi perjalanan kami.

Jujur, aku tak tahu kemana Felix akan membawaku. Jika dilihat dari jalanan yang kami lalui, bisa ditebak bahwa ia mengajakku ke wilayah terpencil. Entah apa yang dialaminya akhri-akhir ini sampai ia melakukan perjalanan sejauh ini hanya untuk menceritakannya padaku. Apa begitu penting dan sangat mengganggunya?

Mungkin begitu, kerutan di dahinya menunjukan bahwa ia sedang stres berat. Juga sepertinya-ia tidak ingin ada orang lain yang mengetahuinya kecuali aku. Cukup membuatku tersanjung.

Sinar senja di ufuk barat menembus kaca dan menerpa wajahku saat kami melewati sebuah padang ilalang yang terhampar luas. Aku tidak bisa berpikir untuk sekarang, kecuali hanya memikirkan 'Diriku yang lain' beserta gambaran-gambaran yang berkelebat di kepala.

Karin. Ya, ia terlahir bersamaku-katanya. Jika dia memang diriku yang lain, apa itu berarti aku memiliki dua kepribadian yang berbeda? Jika iya, ini akan menjadi hal yang paling memalukan jika sampai ada orang lain yang tahu bahwa aku mengidap DID.

Namun, sepertinya Axcel memiliki pandangan lain tentang itu. Sesuatu yang misterius dan sepertinya ia tak bisa menjelaskannya padaku. Malah dia memintaku untuk melakukan interaksi. Astaga, sebenarnya apa yang terjadi denganku?

Akhirnya aku bisa merasa lega ketika Felix memarkirkan audinya. Kami berhenti disebuah bangunan yang sepi dan satu-satunya di tengah hutan. Aroma pinus yang menyengat langsung merasuki penciuman. Kulihat hari mulai petang dan binatang malam terdengar berisik di tengah kesunyian yang agung.

"Masuklah, Ini villaku." Felix membuka pintu.

"Kenapa kau mengajakku ke sini?" Aku melangkah masuk dan mengedarkan pandangan sekitar.

Felix menutup pintu dan menguncinya. "Di sini suasananya tenang dan membuat pikiranku jernih. Dengan begitu, aku bisa menceritakan sesuatu padamu dengan tenang tanpa khawatir."

Felix menyalakan lilin dan memasukannya ke dalam tabung kaca yang di atasnya terbuka. Kemudian ia menggantungnya.

Bangunan ini tergolong kecil untuk dikatakan sebagai villa pada umumnya. Namun, bangunan ini sangat unik dengan bentuk lingakaran. Dindingnya menggunakan kaca berwarna putih buram secara menyeluruh dengan kayu yang dibuat seperti akar merambat dengan indah. Kursinya terbuat dari kayu, saling berhadapan dengan meja yang berada di antaranya. Di tepi ruangan ada tangga kayu yang melingkar menuju lantai dua.

"Inikah tempatmu untuk menyendiri?" tanyaku masih memperhatikan ruangan secara detil.

"Aku harap kau menyukainya." Felix melepas sepatu dan memasukannya ke rak. "Ayo naik," ajaknya.

Aku melepas sepatu lalu mengikutinya menuju lantai dua.

Di lantai dua, ruangannya sama seperti lantai utama, tapi tidak seluas lantai di bawah. Di sini hanya berisi satu tempat tidur kecil di lantai tanpa ranjang dan satu lemari meja di sampingnya. Felix menyalakan lilin lagi dan memasukannya ke tabung, sama persis sebelumnya. Kemudian menggantungnya.

Aku masih dibuat takjub oleh hunian ini. Rasanya seperti berada di rumah peri dalam versi besar. Benda-benda yang berada di tempat ini begitu unik dengan bentuk seperti ukiran klasik yang indah. Entah dari mana ia mendapatkan barang-barang seperti ini.

"Ririn." Felix berdiri tepat di depanku tanpa kusadari. "Apa kau menyukainya?"

"Ini benar-benar menakjubkan. Bagaimana ada benda berbentuk seperti ini?" Aku berlari dan meraih sebuah pena dari kayu yang tergeletak di atas meja. Pena itu juga memiliki ukiran dengan cat berwarna emas.

Sebenarnya aku sengaja menghindari Felix karena mendadak gugup saat jarak kami terlalu dekat.

"Syukurlah jika kau menyukainya. Sekarang istirahatlah." Felix mengacak-acak rambutku.

"Kau membawaku ke sini hanya untuk menyuruhku beristirahat? Kau bilang akan menceritakan semua yang mengganggumu." Aku menatap wajahnya lekat. "Ada apa? Apa yang terjadi?"

Bukannya menjawab, Felix langsung mengecup bibirku. Ada yang aneh dengan ciumannya. Ia seperti merindukan sesuatu. Jarinya gemetar ketika menahan rahangku, menyiratkan rasa takut yang teramat dalam.

Mataku terpejam sesaat. Dalam kegelapan, sebuah cahaya berkelebat dan melebar menjadi sebuah layar. Aku melihat Felix dalam versi lain yang pernah kulihat sebelumnya. Juga, kulihat gadis yang mirip denganku berciuman dengan ...

Aku terpental ke dinding, seperti ada energi yang mendorong kuat. Kulihat Felix juga sudah terjerembab di ujung sana. Wajahnya tampak nanar saat menatapku.

"Sudah kuduga ada yang tidak beres," gumamnya.

"Felix." Aku segera berlari ke arahnya. "Kau baik-baik saja?"

"Siapa kau sebenarnya?"

Itu adalah pertanyaan yang pernah ia lontarkan saat kami pertama kali bertemu untuk membahas pinangan di rumahnya.
"Harusnya aku yang bertanya seperti itu. Siapa kau? Kenapa kau ada dalam-" Ucapanku terpotong seketika. Apa aku juga harus menceritakan padanya apa yang kulihat?

"Apa? Kenapa berhenti? Apa kau mengetahui sesuatu?" Felix duduk dan bersandar di dinding sambil menatapku.

"Aku ... aku sendiri juga tidak tahu." Tanganku mulai gemetar.

"Jika kau tidak tahu apapun-" Felix meraih pipiku dengan tangan yang maish gemetar. "Maukah kau melakukannya lagi?"

"Tidak." Aku menjauhkan wajah seketika. "Aku ... takut."

Felix mendesah resah. "Ternyata kau juga ketakutan."

Aku menatapnya sekali lagi. "Tapi ada baiknya jika kita mencari tahu lebih banyak. Jawaban dari pertanyaanku tadi, sepertinya ada padamu. Begitu juga sebaliknya."

"Jadi?"

"Cium aku."

Felix menatapku sesaat dan mulai mendekatkan wajah sementara mataku mulai terpejam perlahan. Kecupan pertama, tidak ada reaksi apa pun begitu juga dengan seterusnya. Tampaknya Felix masih ragu dan ketakutan. Aku juga sama takutnya. Sayangnya, tidak ada orang lain yang bisa kutanyai tentang apa yang kualami.

Felix memeluk tubuhku ketika saling memagut. Pikiranku perlahan mulai kosong. Beberapa saat kemudian tubuhku mengerjap seperti ada yang menarikku ke sebuah lorong, begitu pun dengan Felix. Aku bisa merasakan tangannya gemetar di punggungku. Kami seperti melaju di udara yang gelap.

Aku membuka mata perlahan. Kebingungan melanda bertubi-tubi. Kulihat sekelilingku banyak pejalan kaki yang berlalu lalang. Butuh waktu lama bahwa aku berada di tengah-keramaian kota. Kulihat tangan kananku terikat rantai sepanjang setengah meter dan di ujung rantai sudah terikat tangan kiri Felix. Kami saling menatap dengan bingung.

"Kurasa inilah jawabnnya," ujarnya memecah kebingungan. "Tidak ada salahnya kan kita berkeliling sebentar?"

Aku tersenyum dan mengangguk. Meskipun kami dilanda kecemasan, kami tetap harus mencari tahu di mana kami berada. Kota ini nampak asing dan hampir dipenuhi oleh makhluk abnormal. Sebagian besar mereka berjalan dengan langkah patah-patah seperti boneka kayu. Wajah mereka sepertinya selalu tampak riang.

Kami berjalan entah kemana hingga aku tidak sengaja melihat sebuah gerbang besar. Di atas tulisan itu bertuliskan ZARAKH, sementara di bawahnya ada angka empat. Sebutir ingatan berkelebat. Tulisan itu-aku seperti pernah melihatnya.

"Itu pintu ke empat kota Zarakh," gumam Felix.

"Dari mana kau tahu?" Aku menatap Felix yang nampak kebingungan.

"Aku tidak tahu. Aku tiba-tiba saja ingin mengatakannya."

"Apa kau pernah kemari sebelumnya?"

Felix menggeleng lemah. "Belum pernah. Tapi ... kota ini tidak asing di mataku."

Tubuh Felix mendadak ambruk. Ia memagangi kepala dengan rahang mengencang. Ia memekik pelan seperti menahan sakit.

"Felix ada apa?" tanyaku khawatir-setengah panik.

"Is-istana," jawabnya sekuat tenaga.
"Istana? Hei, Felix!"

Aku semakin paniK, mencoba mencari pertolongan. Sialnya, aku lupa bahwa tanganku terikat dengan tangan Felix. Meminta tolong pun juga sia-sia karena tidak ada yang mendengar suaraku meski di tempat ramai.

Aku mendekapnya erat dan menyandarkan kepalanya di bahuku, berharap ia segera membaik. Beberapa saat, tubuhnya mulai tenang dengan napas terengah.

"Kau baik-baik saja?" tanyaku masih khawatir.

"Ririn." Felix menarik napas perlahan lalu menatapku dan segera menarik tanganku untuk berdiri. "Ikut aku."

Tanpa aba-aba, Felix langsung berlari menariku. "Felix kita mau ke mana?"

"Entahlah. Tapi ... aku seperti mengingat sesuatu."

"Apa itu?"

"Tidak tahu."

Kami terus berlari menyusuri jalan tanpa hambatan karena penduduk di kota ini tidak bisa melihat kami. Itu sedikit membuatku lega karena berarti kami tidak menjadi tontonan warga.

Felix terus berlari menggandeng tanganku dalam diam. Entah apa yang baru saja ia ingat, tapi aku merasa ada sesuatu yang berbahaya dalam ingatan itu. Sesuatu yang terlarang tentunya-sama sepertiku yang seharusnya tidak ikut campur dengan dunia aneh yang kami pijaki ini.

Embusan angin membuat rambutku melambai seiring peluh yang kian membasahi inci pori. Jujur aku lelah, tapi aku tidak ingin berhenti. Sepertinya Felix juga merasakan hal sama. Embusan napasnya yang tak beraturan menandakan bahwa ia sudah mencapai batasnya, tapi ia enggan berhenti seolah-olah ada sesuatu yang menunggu di depan sana.

Ya, ini dia yang ditunggu. Akhirnya Felix berhenti berlari dan itu membuatku lega. Aku berusaha menghirup udara sebanyak mungkin untuk melonggarkan dada yang sesak. Kami mengedarkan padangan sejenak. Butuh waktu untuk menyadari bahwa kami berada di halaman-istana.

Felix terdiam cukup lama saat menatap bangunan megah di hadapannya. "Ini istana yang sering kulihat dalam mimpiku."

"Benarkah?"

Felix mengangguk.

"Apa ... kau berniat untuk masuk?"

"Entahlah. Setelah melihatnya, rasanya ... aku merindukan sesuatu."

Aku memperhatikan keadaan sekitar. Hanya ada tukang kebun yang berwujud aneh yang sedang mengelus daun satu persatu. Entah apa maksudnya, tapi-sepertinya itu sudah menjadi kebiasaan. Rupanya posisi kami berada di taman belakang istana.

"Felix," bisikku sambil menunjuk sosok pemuda sedang bersandar di bawah pohon sambil mengamati gulungan perkamen.

Felix menoleh ke arah yang kutunjuk lalu perlahan mendekat.

"Hei, apa yang kau lakukan?" Aku menarik tangan Felix.

"Aku penasaran dengan pemuda itu."

"Tentu saja ia penghuni istana. Lihat penampilannya! Mungkin seorang Pangeran."

"Kalau begitu ayo kita sapa Pangeran."

Aku menarik tangannya lagi. "Bagaimana kalau dia melihat kita dan memanggil pengawal untuk menangkap kita?"

"Dia tidak akan melihat kita," jawabnya mengingatkan.

Entah mengapa aku menjadi gugup. Rasanya akan ada sesuatu yang terjadi dengan diriku setelah mendekati pangeran itu. Aku ingin berlari secepat kilat menjauhinya, tapi aku tak berdaya karena Felix pasti akan tetap menyeretku ke sana.

Kami berhenti dan berdiri sejauh satu setengah meter di sampingnya. Aku bisa merasakan tangan Felix gemetar lagi. Felix perlahan-lahan membungkuk untuk mengamati pemuda yang masih sibuk dengan perkamennya.

"Alex! Ayah menunggumu di ruangannya. Cepatlah kemari!" Seorang wanita memakai gaun anggun berteriak memanggilnya dari ambang pintu.

"Aku sedang belajar, Ibu. Apa tidak bisa ditunda nanti?" jawab si pangeran dengan nada malas.

Ternyata benar. Pemuda itu memang seorang pangeran. Ia baru saja memanggil wanita itu dengan-ibu?

Wanita itu mendesah resah. "Apa lagi yang harus kau pelajari?"

"Tentu saja menjiwai Manusia yang baru."

"Ayolah, Alex. Ini perintah!" ucap wanita itu tegas. "Ini juga demi keselamatanmu sendiri."

Si pemuda berdecak kesal dan menoleh. "Baiklah, aku segera kesana."

Aku terkejut dengan pemuda yang baru saja menoleh. Dia adalah-Felix versi lain yang pernah kulihat.

"Felix?" panggilku.

Felix begitu tegang di sampingku. Tabuhnya kaku seperti patung yang baru saja membatu. Aku tahu dia sangat syok dengan apa yang dilihatnya. Pemuda itu terbangun dari duduknya dan melangkah pergi, meninggalkan kami yang masih mematung.

"Felix." Aku mengguncangkan tubuhnya yang bergeming. Kulihat pemuda itu sudah hilang di ambang pintu bersama ibunya.

"Ririn," gumamnya. "Apa ... aku dulunya seorang Pangeran?"

Aku terdiam sejenak. Membayangkan pemuda itu yang pernah hadir dalam kelebatan ingatanku. "Aku ... tidak tahu."

"Aku bisa mersakan dirnya dalam diriku dan dia ... selalu mendatangiku setiap saat."

Kepalaku mendadak terasa berat seperti ada yang meremasnya. Aku mengerang menahan sakit dan ambruk ke tanah. Telingaku berdengung dengan padangan buram. Angin di sekitarku sangat berisik seketika dan membisikkan ragam dialog yang membuatku terasa pening.

'Loizh ... Apa itu Una? ... Peri ... Kami mejjiwai Manusia ... Jiwa yang kosong ... Mengikuti perdaban ... Aku adalah Una ... Merebut kerajaanmu ... Menurunkan tahtamu ... Menculik putramu .. Berperang ... Aku mencintaimu ... Terima kasih ... Selamat tinggal ... Ssshh ...'

Tubuhku semakin lemas dan Felix sudah mengakapnya. Aku menatap wajah cemasnya yang nampak kabur di mata. Wajah Felix berubah menjadi wajah Pangeran Alex secara bergantian.

Ya, aku mulai mengingat namanya saat wanita tadi memanggilnya. Dia-Alex, Felix dalam versi pangeran di negeri yang tak kukenal.

"Alex." Tanpa sadar aku menyebut namanya.

"Ririn, sadarlah! Kumohon sadarlah!" Suara Felix yang memanggilku 'Ririn' terdengar semakin mengecil dan samar seiring menggelapnya pandanganku.

"Alex," gumamku lagi.

"Aku merindukanmu, Karin." Sebuah suara yang amat kukenal dan kurindukan berbisik di telinga dengan lembut. Seperti suara Felix dalam versi lembut dan berwibawa.

Alex Reyneer. Nama itu sudah ada dalam ingatanku sejak lama, seperti sebuah prasasti kuno yang terkubur ratusan tahun oleh perpisahan yang menyedihkan. Kini nama itu mulai bisa kubaca dengan jelas meski masih ada sisa debu kelam yang menutupinya. Aku ingin meniup debu-debu itu agar bisa melihat ukiran namanya yang sudah tertoreh dan membekas abadi di sana.

Sekarang aku tahu bahwa hanya dia yang selama ini kurindukan, bukan Felix Adalbrectha yang selama ini kukenal sebagai tunanganku. Felix hanya sosok lain darinya yang mengobati hausku akan rindu pada Alex.

Pantas saja, meskipun aku belum bisa mencintai Felix sepenuhnya, tapi aku merasakan kehadiran Alex dalam sosok Felix dan kini aku tahu bahwa perasaan ini adalah perasaan milik Karin yang ada dalam diriku. Perasaan Karin yang selalu mencintai Alex dan sekarang aku juga sadar bahwa perasaan itu lah yang membuatku dekat dengan sosok Felix walau aku berusaha untuk menjauh.

Felix Adalbrectha adalah Alex Reyneer pada masa dimana aku hidup sebagai Ririn. Namun, apa yang sebenarnya membuat hubungan ini begitu menyayat hati?

Aku ingin sekali menyaksikan perjalanan Karin dan mengetahui sebab yang membuat mereka terpisah, tapi siapa yang bisa membantuku menembus dimensi itu? Aku yakin Felix juga ingin mengetahuinya lebih dalam lagi.

Satu cahaya melintas dalam pelupuk mataku yang terpejam lalu menjadi sebuah layar. Aku melihat ada seorang pria berlari sambil menggendong seorang gadis kecil. Ia nampak ketakutan, seperti dikejar sesuatu. Gadis itu hanya terdiam bahkan tak sadarkan diri dalam gendongan pria itu dengan wajah tertutup kain. Pria itu memberikan tubuh si gadis pada wanita lain. Sepertinya mereka berbicara melalui telepati. Gadis mungil itu kini terbaring lemah di atas ranjang. Kemudian pria itu pergi dalam sekejap, sementara wanita itu mengelus wajah si gadis tanpa membuka kain yang menutupi wajahnya.

"Demi menyelamatkanmu, mulai sekarang namamu adalah Axcel Achazia," ucap wanita itu. "Kau akan aman bersamaku, Tuan Putri." Wanita itu mengecup gadis itu.

"Axcel!" jeritku.

Butuh waktu untuk menyadari bahwa aku sudah duduk di lantai. Kuedarkan pandangan untuk ke sekian kalinya. Ya, aku ingat sekarang. Ini adalah villa milik Felix.
"Jadi yang barusan tadi kulihat hanya mimpi?" gumamku bingung.

Kulihat Felix tergeletak lemah di sisiku.

"Felix? Felix bangunlah!" seruku khawatir. "Felix!"

Felix menjerit sejenak dan terduduk seperti habis mimpi buruk. Napasnya terengah dan terlihat bingung.

"Ririn, apa yang terjadi? Barusan aku mimpi?"

"Kau baik-baik saja?"

Felix menelan ludah sesaat. "Ya, aku baik-baik saja. Kau sendiri?"

Aku hanya mengangguk.

"Syukurlah." Felix menarikku dalam rengkuhannya. "Aku kira aku akan kehilanganmu lagi."

Alisku berkerut. "Felix, apa yang kau bicarakan?"

"Entahlah. Aku hanya tidak ingin kehilangan untuk yang ke sekian kalinya."

Aku membalas pelukannya dan Felix mendekapku semakin erat.

"Apa kau melihat sesuatu?"

Felix hanya mengangguk.

"Baiklah, kalau begitu. Kurasa kau harus menceritakannya padaku, tapi jangan sekarang." Aku terdiam sejenak saat pikiranku kembali melayang pada Axcel. "Felix, aku ... ingin pulang."

"Apa kau ingin menemui Axcel?"

Aku menatap wajahnya sesaat. "Dari mana kau tahu?"

"Entahlah. Tapi ... aku jadi tahu apa yang ingin kau lakukan. Setidaknya begitu lah firasatku saat ini." Felix menarik napas dan melepaskan pelukannya. "Baiklah, kita pulang sekarang."

_______To be Continued_______

Continue Reading

You'll Also Like

148K 12.3K 21
[ORIGINA L] Juan Qiao Feng adalah seorang guru sd yang sangat menyukai drama china kerajaan. Tapi entah bagaimana tiba-tiba dirinya berada di dunia k...
9.6K 1.5K 10
Setelah satu tahun menyukai Renjun dalam diam, Jaemin akhirnya memulai langkah untuk maju lebih dekat dengan sang crush, dibantu oleh sahabatnya. Apa...
519K 41.3K 24
SERI PERTAMA GODDESS SERIES Apa kalian percaya kutukan??? Menurut kalian kutukan itu ada di zaman modern?? Fos Athena adalah sebuah negara fantasy ya...
161K 15.5K 179
- Novel Terjemahan - Author's : 青玉案否 English translate : https://www.novelupdates.com/group/volare-novels/ Dia ..... Keturunan dari garis jendral te...