Loizh III : Reinkarnasi

By Irie77

300K 27.3K 1.4K

Sangat disarankan untuk membaca book 1 ( Loizh ) & book 2 ( Loizh II : Arey ) agar tidak menimbulkan kebingun... More

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Perang Yang Lampau
Musuh Baru
Tertangkap
Vinculum
Aura Hitam
Qlue
Cemburu
Jiwa Yang Di Pindahkan
Memulai Misi
Kekuatan Flou
Hutan Strix
Menjamah Masa Lalu
Dua Kota Yang Hancur
Ingatan Dan Kesedihan
Ilusi
Akhir Perjalanan Panjang
Senja

Chapter 4

11.4K 1K 38
By Irie77

Aku mengenakan kemeja saat Axcel baru keluar dari kamar mandi seraya mengibaskan rambutnya yang basah. Pagi ini tenagaku seperti terkuras habis. Kulihat diriku yang tampak mengerikan dengan kantung mata hitam seperti panda. Ini lah efek samping yang terjadi saat aku kurang tidur. Semalam aku tidur dini hari dan itu belum cukup untuk mengobati kantukku.

Mandi pagi hanya memberi efek kesegaran beberapa persen saja. Itu pun kantukku hilang hanya saat aku menyentuh air dan setelahnya, mataku kembali sayu dan terasa berat. Kulihat Axcel malah sebaliknya, nampak bugar dan cerah. Apa dia jarang tidur sampai terbiasa?

Aku menguap untuk kesekian kali. Rasanya aku ingin membanting diri ke tempat tidur dan menarik selimut lagi lalu terlelap. Namun, sayangnya waktu terus berjalan. Seandainya saja aku bisa tidur beberapa jam lagi.

“Tidak ada toleransi membolos untuk karyawan baru,” ucap Axcel membaca pikiranku.

“Axcel, aku benar-benar butuh tidur,” pintaku.

“Kau sudah tidur semalaman, itu pun sudah ditambah dengan waktu pingsanmu. Masih kurang?”

Aku mengangguk lesu.

“Tidak. Pokoknya tidak. Kau harus bekerja, Ririn. Gajimu akan dipotong jika kau bolos.”
“Lima menit saja.”

“Tidak”.

“Baiklah, bagaimana kalau 15 menit?” candaku.

“Lima menit saja kau tidak diizinkan apa lagi 15 menit.”

“Ya sudah, 30 menit kalau begitu.”

Axcel menghela napas dan melipat tangan. “Ririn!”

“Ayolah, Axcel. Aku mohon beri aku waktu tambahan untuk tidur. Satu jam saja.”

“Apa? Satu jam? Kalau aku tahu kau akan seperti ini, aku tidak akan mengizinkanmu tidur di rumahku,” jawabnya dingin.

“Kenapa—“

“Kedai dibuka sepuluh menit lagi. Jika kau keluar dari kamar satu jam ke depan, mereka akan melihat kemunculanmu dari bawah meja.” Axcel menatapku lekat. “Aku tidak ingin mereka tahu bahwa kedai ini adalah rumahku. Jika mereka tahu terutama Adelia, mungkin kedai ini akan ditutup. Mereka akan takut menginjakan kaki di tempat ini karena rumah seseorang yang mereka anggap penyihir.”

Aku beranjak dari tempatku dan melangkah menuju ke wastafel. “Indigo bukan penyihir. Kenapa kau harus takut?”

Axcel mengikat rambutnya menjadi ekor kuda seperti biasa. “Itu memang benar. Tapi kenyatannya tidak sesederhana yang kau pikirkan.”

Aku membasuh wajah untuk ke sekian kali agar kantuknya berkurang. Kemudian mengelap dengan handuk dan kembali memakai bedak tipis di wajah.

“Pagi ini kau mau sarapan apa?” tanyaku sambil memakai pita kecil untuk menghalangi poni yang jatuh ke dahi.

“Aku tidak biasa dengan sarapan pagi.”

Aku menoleh seketika, refleks menatap perutnya yang memang tampak mengempis dan selalu ramping.

“Kau sehari makan berapa kali?” tanyaku sambil memperhatikan Axcel yang sedang merapikan pakaiannya.

“Sehari sekali cukup.” Axcel balas menatapku. “Makan sehari sekali tidak akan membuatku mati.”

Lagi-lagi Axcel mambaca pikiranku.
“Bukan begitu. Kalau makanmu tidak tertatur, kau bisa sakit.”

“Buktinya dari kecil sampai sekarang aku tidak pernah flu.”

“Apa kau terbiasa hidup seperti itu?”

“Kau tau? Terlalu banyak makan akan membuat pikiranmu tidak jernih.”

Aku terdiam sejenak lalu mengangkat bahu. “Terserah kau saja. Aku mau beli makanan.”

“Kau sudah tidak mengantuk?” tanyanya.

“Berdebat denganmu cukup mujarab menghilangkan kantukku.”

“Syukurlah. Dengan begitu, kau tidak akan merepotkan.”

“Axcel kau—“

“Sebaiknya kau duluan ke atas. Aku harus membereskan kamar,” potongnya.

“Baiklah. Aku naik dulu,” ujarku akhirnya.

Aku berjalan menyusuri tangga dan lantai di atasku mulai bergeser terbuka.

“Telekinesis,” gumamku.

Kulihat seorang gadis sudah duduk di sofa setelah aku menginjakan kaki di lantai atas. Aku memicingkan mata dan mendekatinya perlahan. Kulihat pintu kedai masih terkunci rapat dan Axcel masih di bawah sana. Lalu siapa dia?

“Permisi!” sapaku. “Maaf kedainya dibuka sembilan menit lagi. Apa kau mau menunggu?”

Gadis itu mendongak ke atas dan tersenyum. Aku terperanjat seketika dan mundur satu langkah. Aku menatap lekat gadis itu dan butuh waktu untuk menyadari bahwa ia mirip denganku.

“Ririn.” Ia berkata. “Aku adalah dirimu.”
“Tu-tunggu. Kau gadis—“

Kalimatku terpotong karena pikiranku mendadak kosong. Namun, aku berusaha agar tubuh ini tetap dalam kendaliku. Aku menarik napas perlahan dan mencoba untuk tenang.

“Kau dan aku begitu dekat. Tidakkah kau merasakannya?”

Aku memicingkan mata seketika. “Aku tidak mengerti.”

Gadis itu berdiri. “Kalau begitu, sentuh aku.”

Aku menggeleng kaku. “Tidak.”

“Sentuh aku.”

“Tidak.”

“Kubilang sentuh aku. Agar kau mengerti,” pintanya memaksa dengan nada lembut.

Napasku tercekat sejenak dengan jantung berdegup kencang. Mataku menatap nanar pada gadis yang sudah berdiri di hadapanku.

“Axcel,” panggilku sambil menatap meja dan berharap ada kepala yang keluar dari sana.

“Sentuh aku.” Gadis itu semakin mendekat.

“Axcel!” Aku mulai panik sambil melangkah mundur perlahan. “Axcel tolong aku!”

“Kau tidak akan bisa memanggilnya,” jawab gadis itu.

“Ke-Kenapa?”

“Kau berada di alam bawah sadarmu dan tenggelam hingga ke dasar jiwa. Itu lah alasan kau bisa melihatku. Itu terjadi di antara kekosongan pikiranmu.” Gadis itu menatapaku lekat. “Perhatikan sekitarmu.”

Aku mengedarkan pandangan sejenak. Kulihat semua tampak sama, tapi begitu sunyi mencekam dan—jarum jam berhenti di tempatnya.

Cobalah berinteraksi dengannya.’ Kalimat Axcel masih terngiang.

Aku menelan ludah bersama kegugupanku lalu menarik napas, berusaha tenang. Kujulurkan tangan yang gemetar ke arah gadis itu. Apa ini saat yang tepat untuk berinteraksi?

Aku—merasa takut, seolah-olah dia adalah hantu yang mirip denganku dan itu sangat konyol.

“Sentuh aku,” lirihku memberanikan diri.

Gadis itu sudah menautkan jemarinya dan sesaat tubuhku mengerjap seperti terlempar jauh menelusuri lorong gelap. Aku memejamkan mata dan tak berani membukanya sedikit pun. Ribuan cahaya berkelebat dalam pikiranku, kemudian salah satunya melebar menjadi sebuah layar. Pikiranku bekerja secara refleks untuk merekam dan mengingat peristiwa yang saling berkelebat secara bergantian.

Gadis itu terjatuh… Gadis lain mencoba untuk bunuh diri… Diselamatkan… Hutan gelap… Padang ilalang… Kota Zarakh… Makhluk  asing… Gadis lain lagi… Anak kecil… Menghindar… Pemuda tampan… Rumah… Perkelahian… Pengkhianatan… Dua gadis… Kota Harazh… Bunga… Pertengkaran… Gadis yang berubah menjadi seorang pemuda—‘

Tunggu, pemuda yang satu ini sepertinya tidak asing. Wajahnya sama seperti—Felix dengan tampilan yang berbeda
Aku melepaskan tangan seketika dan tubuhku serasa seperti ditarik dan kembali ke tempat semula. Kubuka mata dan aku ada di kedai.

“Ada apa?” Gadis itu menatapku.

“Apa yang kulihat barusan adalah yang kau alami?”

Tatapannya meredup perlahan.“Kenapa kau memutusnya begitu saja?”

“Itu karena—“ Aku melihat Felix di sana. Apa Felix ada hubungannya dengan peristiwa itu?

“Tidak, tidak apa-apa. Aku hanya teringat kalau aku harus bekerja hari ini.”

“Kurasa bukan itu. Kau melihat pemuda itu, ‘kan? Dan kau teringat sesuatu.”

Aku menelan ludah dan mengangguk.

“Apa kau punya nama?” Aku menatap gadis itu lekat.

“Apakah itu penting?”

“Aku bingung harus memanggilmu apa. Tidak mungkin kan aku memanggilku dengan ‘Diriku’ atau ‘Diriku yang lain’?”

“Namaku … Karin.”

“Karin—“

“Sudah cukup!” Sebuah suara menggema di penjuru ruangan.

Kulihat Karin sudah menghilang dari pandanganku saat menyadari ada tangan yang menempel di dahiku. Sosok baru muncul di hadapanku dengan tatapan dingin yang tak bisa dibaca.

“Axcel?”

“Kau baik-baik saja, Ririn?” Axcel tampak khawatir dengan ekspersi dinginnya.

Aku mengangguk. “Aku baik-baik saja.”

“Syukurlah. Sekarang sudah waktunya kedai dibuka.”

Axcel membuka pintu dan beberapa tirai jendela.

“Apa Axcel tau apa yang baru saja kualami?” pikirku.

“Axcel kau tahu? Tadi aku—“

“Aku sudah tahu,” sahutnya memotong.

“Axcel aku—“

“Shhh ...” Axcel mendesis sambil menempelkan jari telunjukanya di bibirku. “Kau tidak perlu menceritakannya sekarang. Sekarang sudah waktunya bekerja.”

Axcel melangkah menuju meja counter dan membereskannya. Aku hanya menatapnya dan menyusulnya.

“Oh, ternyata ada yang berangkat lebih pagi dari kami, ya?” Sebuah suara membuatku menoleh seketika ke arah pintu.

Itu Adelia, disusul dengan dua gadis yang selalu bersamanya, Rose dan Alena. Kudengar mereka adalah salah satu asisten Adelia. Namun, aku melihat mereka lebih mirip kroco daripada asisten.

Mereka tersenyum padaku sejenak lalu menuju ke dapur. Ya, bagian koki memang tidak terlalu akrab denganku kecuali Adelia, tapi itu tidak terlalu menggangguku karena kami tidak se-partner.

“Hai Adelia. Akhirnya aku melihat kedatangnmu pagi ini. Biasanya kau dulu yang sudah sampai,” jawabku tersenyum.

”Hari ini kau datang terlalu pagi.” Adelia membelai ujung rambutku lalu melepasnya lagi. “Kau tidak seperti biasanya.  Seperti … kurang tidur.”

“Apa terlihat jelas?”

“Tentu saja. Lihat! Pelupuk matamu menghitam dan wajahmu tampak sayu.” Adelia mengusap pelupuk mataku dengan ibu jarinya. “Sepertinya aku harus menghilangkan lingkar hitam ini. Ini membuatmu terlihat pucat.” Adelia merogoh tasnya dan mengeluarkan sebotol krim mata. “Tenang saja, aku selalu bawa ini untuk berjaga-jaga seperti kau saat ini. Ayo ikut aku.”

Adelia menarik tanganku ke dapur tanpa menunggu jawaban dariku. Aku melirik ke Axcel yang sedari tadi memperhatikan kami tanpa kusadari. Wajahnya seperti biasa, dingin seperti es. Namun, tatapan matanya memberi isyarat bahwa aku diizinkan untuk pergi ke dapur.

Di dapur, aku duduk di kursi dan bersandar di sebuah rak besar. Adelia menggosok pelupuk mataku perlahan dengan kapas basah. Ia mengeluarkan cairan bening yang seperti gel dari wadahnya lalu mengusapkannya ke pelupuk mataku dengan lembut.

“Dengan begini kau akan terlihat lebih segar meskipun kau sedang mengantuk,” gumamnya. “Sudah. Coba lihat!” Adelia menyodorkan cermin dengan antusias.

Kulihat wajahku yang tampak segar dari sebelumnya. Lingkar hitam di mataku sudah tertutupi. “Terima kasih.”

Aku masih menatap  wajah di cermin sambil tersenyum.

“Ririn!” Suara Axcel terdengar dari ruang depan. “Ada pelanggan yang mencarimu!”

“Iya, aku ke sana,” balasku pada Axcel.

“Terima kasih sudah membantu.” Kali ini berkata pada Adelia.

“Tentu. Jika butuh bantuan, kau bisa panggil aku.” Adelia tersenyum girang.

Aku bergegas keluar dapur. Ya, kukira yang mencariku benar-benar pelanggan ternyata—Felix.

“Ada keperluan apa kau ke sini?” tanyaku bingung.

Felix menoleh seketika. “Hei, begitukah caramu melayani pelanggan?”

Keningku berkerut seketika. Kulihat Axcel tertawa kecil mendengar obrolan kami. Tawa yang pertama kali kulihat di pagi hari. Aku sedikit merasa lega.

Aku kembali menatap Felix dan bercanda. “Maaf, tapi kau bukan pelanggan.”

“Kenapa bukan?”

“Karena kau tunanganku.”

“Oh, jawaban yang bisa kuterima.”

“Kau kesini mau es krim atau hanya menemuiku?”

“Dua-duanya.”

Aku mengangkat bahu dan tersenyum. “Baiklah. Apa yang kau rasakan hari ini?”

Felix tampak berpikir sejenak. “Hmm … hari ini aku sedang merasa senang karena bertemu denganmu dan suasana hatiku sedang membaik. Es krim apa yang cocok untukku?”

“Baik. Silahkan duduk dan tunggu.”
Felix tersenyum dan bersandar di sofa.

Aku meraih mangkuk kecil dan menciduk es. Kali ini aku mengambil rasa stroberi. Di atasnya sengaja kubuat simetris dan kutuangkan pasta stroberi dan kubiarkan mengalir di sela-sela es yang sengaja kuberi celah seperti retakan. Setelah itu, kutaburkan topping cokelat dan almond secara acak lalu kutancapkan wafer roll di bagian sisi serta sedikit krim vanilla sebagai tempat potongan stroberi dan daun mint. Yap, sekarang es krimnya terlihat cantik.

Aku mengantarkan pesanan Felix dan meletakkannya di meja. “Silakan.”

“Sepertinya enak.” Felix meraih sendok kecil yang sudah kusediakan. “Apa namanya?”

Volcano Strawberry. Itu sangat cocok untuk mood yang sedang membaik.”

Felix menyuap satu sendok es ke mulut. “Kau benar. Ini sangat sesuai dengan suasana hatiku. Rasa asamnya meledak dan membutku segar. Ternyata kau sudah tahu banyak, padahal belum ada satu minggu bekerja di sini.”

Aku hanya tersenyum mendengarnya.

“Axcel. Bolehkah Ririn kupinjam sebentar?” tanya Felix.

“Selama tidak ada pelanggan kau bisa bersama Ririn sepuasnya,” sahut Axcel.

“Kau kan bisa melakukannya sendiri.”

“Tidak masalah jika Ririn mau gajinya dipotong.”

“Tidak,” sergahku cepat. “Jangan potong gajiku.”

“Nah, kau dengar sendiri kan, Felix?” Axcel menyeringai.

Felix menggerutu dan terlihat sebal, membuatku ingin tertawa.

“Ririn, apa ada waktu setelah pulang kerja?” Felix menyuap satu sendok es krim lagi.

“Hmm … sepertinya tidak.”

“Syukurlah. Nanti ikutlah denganku. Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat.”

“Tapi aku harus pulang dulu. Aku—“

“Tenang saja. Aku sudah meminta izin pada orang tuamu,” timpalnya. “Aku calon menantu yang baik, ‘kan?”

“Hmm … benarkah?” tatapku curiga.

“Sungguh. Apa aku perlu menelepon Ibumu?”

“Tidak perlu.”

“Sebenarnya ada yang ingin kubicarakan denganmu. Ini sangat penting. Aku … ingin bercerita tentang apa yang kualami akhir-akhir ini dan menurutku … ini sangat aneh.” Suara Felix mulai mengecil, hampir seperti bisikan.

Aku mendekatkan wajah. “Apa itu?”

“Tentang pemuda bernama Alex Reyneer. Dia selalu mendatangiku. Juga … tentang Loizh.”

Aku memundurkan wajah tercengang.

“Loizh? Apa ada kaitannya dengan dua kota yang tadi kulihat?” pikirku.

Ya, juga—karena aku melihat Felix dalam versi lain.

_______To be Continued_______

Continue Reading

You'll Also Like

47.5K 2.4K 22
Hailee D Anderson, remaja perempuan yang satu ini memang sulit ditebak dan misterius, bahkan ia tidak pernah tau kalau selama ini dialah yang dicari...
2.8M 266K 78
Bercerita tentang Labelina si bocah kematian dan keluarga barunya.
2.8M 20.3K 16
[Sebagian part sudah di unpublish!] (Sekuel ke-2 Mr. Arrogant in Love) 21+ "Aku akan membunuhnya jika kamu masih mencintainya." Asha bahagia. Ia puny...
161K 15.5K 179
- Novel Terjemahan - Author's : 青玉案否 English translate : https://www.novelupdates.com/group/volare-novels/ Dia ..... Keturunan dari garis jendral te...