Loizh III : Reinkarnasi

By Irie77

300K 27.3K 1.4K

Sangat disarankan untuk membaca book 1 ( Loizh ) & book 2 ( Loizh II : Arey ) agar tidak menimbulkan kebingun... More

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Perang Yang Lampau
Musuh Baru
Tertangkap
Vinculum
Aura Hitam
Qlue
Cemburu
Jiwa Yang Di Pindahkan
Memulai Misi
Kekuatan Flou
Hutan Strix
Menjamah Masa Lalu
Dua Kota Yang Hancur
Ingatan Dan Kesedihan
Ilusi
Akhir Perjalanan Panjang
Senja

Chapter 3

13.1K 1.1K 28
By Irie77

Aku bosan. Padahal baru tiga hari bekerja di kedai Tuan Frederick. Kulirik Axcel yang sibuk mengucir rambut lalu mengelap meja. Mungkin saja dia yang membuatku bosan. Seramah apa pun lingkungan di tempat kerja ta’kan mengubah sifat dinginnya. Ia tak terpengaruh oleh suasana sekitar yang menurutku jauh lebih hangat dari suasana di rumahku. Kukira dengan percakapan kami waktu itu, hatinya akan luluh dan mau terbuka denganku sebagai partnernya.

Axcel menguap sejenak, kepalanya terkulai pada sandaran kursi. Entah sampai kapan ia akan terus bersikap seperti itu.

“Axcel.”

“Jangan memanggilku jika tidak ada keperluan.”

Mataku terpejam dengan kening berkerut. Mencoba lebih sabar. “Kau benar-benar pendiam.” Aku duduk menopang dagu.

“Apa kau mau aku bicara dengan orang lain?”

“Kurasa mengobrol itu penting dan saling berbagi pengalaman. Apa kau punya masalah sampai kau jadi pendiam?”

Axcel memutar posisi duduknya hingga kami saling menatap. Sesaat ia mendesah lelah. “Kalau kau tidak suka dengan kepribadianku untuk apa kau bertahan di sampingku? Kau bisa pindah ambil bagian lain dalam pekerjaan ini. Kalau kau ingin tukar pekerjaan dengan karyawan lain, sepertinya bagian koki adalah suasana kerja yang kau inginkan. Di sana adalah kumpulan orang-orang yang berisik.”

“Tapi dalam pekerjaan ini, kita dituntut untuk ramah bukan?”

“Kau pikir aku tidak ramah dalam melayani pelanggan?”

Benar, aku melihatnya tersenyum ramah selama melayani pelanggan, terutama anak kecil. Dalam hal ini aku tak bisa membantah. Namun, senyuman itu seperti—terasa kosong.

“Baiklah. Aku akan menghubungi Tuan Erick untuk memindahkanmu ke bagian lain.”

“Bu-bukan begitu maksudku—“

“Kau tidak ingin memiliki partner kerja sepertiku, kan? Daripada kau merasa tidak nyaman, lebih baik aku meminta Tuan Erick untuk memindahkanmu.”

“Axcel.” Aku melonjak dari kursi dan memeluknya. Bisa kurasakan tubuhnya yang terkejut dengan tingkah spontanku. “Maaf, aku tak bermaksud menyinggungmu. Jujur … aku memang sedikit bosan, tapi bukan berarti aku tak menyukaimu sebagai partner.”

“Seharusnya kau tidak boleh sembarangan memeluk orang seperti ini. Bagaimana jika detik ini aku membunuhmu.”

Aku tahu dia hanya bercanda. “Aku tidak perduli,” sahutku.

“Kau akan mati.”

Aku menyeringai. “Itu lelucon yang dingin.”

“Mungkin aku harus membuktikannya padamu.”

Tubuhku terlempar ke dinding sebelum akhirnya terjerembab di lantai. Axcel menjambak rambut dan membenturkan kepalaku di lantai. Aku pusing seketika dan pandanganku mengabur. Tidak hanya itu, Axcel menyeretku ke dapur tempat di mana Adelia dan para koki pembuat es krim lainnya berkumpul.

“Apa yang kau lakukan, Axcel?” teriak Adelia panik.

“Bagianku sudah selesai. Sekarang terserah mau kau apakan dia,” jawab Axcel dengan nada dingin lalu melangkah pergi.

“Adelia,” lirihku menahan sakit. “Tolong aku.”

Adelia berusaha membantuku untuk bangkit, tapi sesuatu menghujam dadaku. Begitu tajam hingga menembus tulang rusuk.

“A-Adelia kau—“ Butuh waktu sesaat untuk menydari bahwa Adelia lah yang melakukannya.

Pisau itu ditarik kebawah hingga membelah perutku. Aku menjerit sekuat tenaga hingga menjadi pusat perhatian orang lain untuk menolong. Benar saja, seseorang dari luar langsung masuk ke dalam. Namun, bukan orang yang akan menolongku melainkan—Axcel.

“Adelia.” Suara Axcel yang dingin menggema di dinding.

“Aku menginginkan jantungnya.” Adelia mencabut pisaunya dengan kasar lalu menghujamkannya lagi tepat di jantungku.

Aku mengerang dan merasa kaku seketika, kemudian melemas disusul rasa sakit yang mendera. Pandanganku mengabur dan cegala cahaya mulai meremang.

“Kalian … giila!” desisiku.

“Aku tidak gila,” bisik Axcel.

Aku bisa mencium aroma tubuhnya. Ada sepasang tangan yang mendekap tubuhku. Axcel, dia memelukku.

Ya, benar-benar memelukku. Benakku langsung dipenuhi tanya, bagaimana dia bisa mendekapku dengan tenang setelah jantungku terhujam dengan cara yang mengerikan?

“Orang gila tidak mungkin menyesal bukan?” lirihku lagi.

Sejenak pelukannya melepas. “Sudah kubilang aku tidak gila.” Axcel membantah lagi, tapi kali ini suaranya lebih jelas.

Aku membuka mata seketika. Kulihat Axcel sudah duduk di atas meja sambil menikmati semangkuk es krim rasa mint favoritnya. Sedangkan aku terbaring di sofa duduk pelanggan.

Apa tadi aku—bermimpi?

“Apa yang terjadi?” tanyaku bingung.

Kepalaku masih terasa pening dan berat seraya mencoba duduk dan bersandar. Aku tahu aku sedang di Kedai. Kulihat jam menunjukkan pukul satu malam.

“Kau pingsan dan suamimu membawamu ke sini.” Axcel menjejalkan satu sendok es ke mulutnya.

Aku memejamkan mata sejenak dan mencoba untuk mengingat. Ya, aku habis bertengkar dengan Grisa, aku ingat itu. Tapi—apa katanya tadi?

“Suami?”

“Hmm … maksudku calon. Dia mengaku sebagai tunanganmu.” Axcel melompat dari meja lalu duduk di sebelahku. “Felix membawamu kemari saat kau pingsan. Dia bilang kau di serang harimau di rumah. Jadi, untuk sementara kau di sini lebih dulu.”

Keningku mengerut. “Harimau?”

“Itu lelucon, Bodoh. Harimau selalu menyerang mangsa dengan taring dan cakar. Spesies harimau apa yang menyerangmu dengan membenturkan kepala?”

Aku hanya tertawa ringan mendengarnya. Mulai paham bahwa harimau yang dimaksud adalah Grisa. Aku tahu Axcel sedang melucu, tapi menurutku itu lelucon yang kaku. Meskipun begitu, aku lebih suka Axcel yang saat ini.

“Axcel, kenapa kau belum pulang?” Kulirik jam dinding sekali lagi.

“Pulang? Oh ya, aku lupa memberitahumu. Kedai ini adalah rumahku.”

“Rumahmu?” Aku mengedarkan pandangan. “Lalu kau tidur di mana? Aku tidak melihat kamar di tempat ini.”

“Kamarku ada di bawah meja counter. Tadinya kau mau langsung di bawa kekamarku, tapi karena terlalu merepotkan aku meminta Felix untuk membaringkanmu di sofa lebih dulu sampai kau sadar.”

Meja counter—kamar Axcel?
Axcel meletakkan mangkuk kotor ke dalam wastafel lalu mencuci dan menyimpannya di rak setelah dilap. Ia mengucir rambutnya menjadi ekor kuda, setelah itu ia membasuh wajahnya.

“Axcel.”

“Jangan memanggilku jika tidak ada keperluan,” sahutnya. “Ada apa?”

“Hmm … sejak kapan kau tinggal di sini?”

“Sejak pertama kali kedai ini dibuka.”

“Dan Tuan Erick mengizinkanmu?”

“Bukan Tuan Erick yang mengizinkanku, tapi aku yang mengizinkannya membuka kedai di rumahku.”

Keningku berkerut seketika. “Maksudmu … kedai ini benar-benar rumahmu?”

“Dilihat dari nada bicaramu, sepertinya kau baru mengetahuinya.”

“Kau terlalu misterius.”

“Itu karena kita baru mengenal satu hari.” Axcel menyambar handuk yang sudah tergantung di kursi kerjanya.

Aku termenung sejenak, baru mengingatnya. Kami baru mengenal satu hari, tapi di mimpiku barusan aku seperti sudah bekerja selama tiga hari.

“Ririn, ada jiwa lain dalam dirimu,” ucapnya. Kini keningku kembali mengerut. “Jiwa lain?”

“Aku tidak tahu persis apa itu. Tapi … aku melihat ada sosok lain dalam dirimu dan sosok itu bisa mengambil alih dirimu sepenuhnya dalam waktu lain.” Axcel menatapku dari bayangan cermin.

“Terima kasih untuk candaanya.”
Axcel terkekeh ringan. “Aku hanya menakutimu. Seperti kata Adelia, aku membawa kutukan.”

“Kurasa itu hanya candaan. Jadi, aku menganggapnya lelucon.”

“Syukurlah kalau begitu,” gumamnya.
“Memangnya ada apa?” Aku menatapnya yang tiba-tiba menunduk dari bayangan cermin. “Apa ada sesuatu?”

“Kau benar-benar penasaran?”

“Ya, aku penasaran. Beri tahu aku rahasiamu. Itu pun … jika kau bersedia.”

Axcel membalikkan tubuh dan menghadapku. Ia menatapku lama. Tampak guratan geliah di dahinya dan sedikit keraguan. “Jujur saja, sejauh ini hanya kau yang mau mengajakku bicara panjang lebar. Aku jadi  takut kau akan menjauhiku.”

“Tidak akan. Aku berjanji tidak akan menjauhimu.”

“Baiklah. Poin pertama—“ Axcel menghela napas panjang. “Aku seorang indigo.”

Alisku terangkat sebelah. “Lalu?”

“Kau bilang ‘lalu’? Kau tidak takut padaku?” Axcel menatapku heran.

“Kau seorang indigo, lalu apa salahnya? Kenapa harus ditakuti?”

“Astaga,” Axcel menutup wajah seketika lalu kembali menatapku. “Kau tahu? Biasanya orang lain akan mundur satu langkah setelah tahu bahwa aku seorang indigo.”

“Kenapa begitu? Menurutku itu bukan hal yang aneh.” Aku menepuk bahunya. “Kenapa harus ditakuti?”

“Ya, menurutmu. Menurut kebanyakan orang, indigo selalu ada kaitannya dengan sihir. Padahal indigo tidak ada kaitannya dengan sihir. Kau tahu itu, ‘kan?”

Alisku kembali terangkat sebelah. “Jadi karena itu kau berusaha menutup dirimu? Lalu kenapa Adelia berpikir bahwa kau membawa kutukan?”

“Di kedai ini hanya Adelia yang tahu bahwa aku seorang indigo. Karena itu, dia satu-satunya karyawan yang tidak menyukaiku.”

“Tunggu, itu tidak masuk akal.”

“Aku juga tahu, tapi kenyataannya memang seperti itu. Aku berusaha sebisa mungkin agar tidak ada yang tahu dan—“

“Apa Tuan Erick tahu?” potongku.
“Tentu saja dia tahu. Dia … Pelayanku.”

“Pelayan?” Aku tercengang seketika. Tuan Frederick pelayan Axcel?

“Kumohon jangan beri tahu siapa pun. Aku percaya padamu karena … kau sudah percaya padaku.”

Aku tersenyum. “Aku percaya padamu karena kau sudah perhatian padaku meskipun dalam diam. Aku percaya kau bukan orang jahat.”

“Terima kasih.”

Untuk pertama kalinya Axcel memelukku. Kekhawatirannya seperti melebur dengan tenang. Aura dingin yang terpancar darinya mulai menghangat perlahan.

“Axcel, bisa jelaskan mengenai instingmu?”
Axcel melepaskan pelukannya sejenak, wajahnya sedikit tersipu. “Maaf, itu sebenarnya … karena aku bisa membaca pikiranmu.”

“Kau bisa membaca pikiran? Wow, itu … sangat keren.”

“Dan yang ini juga jangan beri tahu siapa pun.”

“Baiklah. Aku akan merahasiakannya.” Aku tersenyum meringis.

Axcel melangkah menuju meja counter dan sejenak suara gesekan terdengar di lantai. Cahaya jingga terpancar dari bawah sana. “Ayo masuk. Ini kamarku.”

Kepala Axcel mulai terbenam ke lantai di bawah meja counter dan aku mengekorinya. Rupanya ini ruang bawah tanah.

Aku mulai menuruni tangga dan pintu lantai kembali tertutup seketika setelah aku masuk. Kulihat kamar yang tertata rapi dari tangga tempatku berdiri. Cahaya jingga temaram menerangi segenap penjuru ruangan. Di sudut kamar sudah berdiri lemari besar, lengkap dengan cermin besarnya dan di sebelahnya lagi ada tempat tidur.

Di sudut yang berlawanan, ada sofa panjang berwarna merah beserta bantalnya. Kulihat stiker pohon rindang menempel lekat di setiap dinding beserta daun-daunnya yang berguguran. Stiker itu sedikit menyala berwarna hijau terang dengan cahaya yang minim. Kamar yang indah.

“Pintu otomatis?” tanyaku sambil menatap ke atas.

“Bukan. Itu aku yang membukanya.”

“Wow, keren. Bagaimana bisa? Aku tidak melihatmu menekan tombol atau semacamnya.”

“Aku membukanya dengan pikiranku.”

Aku berlari menyusul Axcel yang berjalan di depanku. “Maksudmu—kau memiliki kemampuan Telekinesis?”

Axcel mengangguk.

“Itu hebat sekali,” kataku dengan kagum. “Kau bisa menyalakan lampu tanpa menekan tombol saklar!”

“Untuk pertama kalinya ada orang yang bilang ‘Hebat’ padaku.”

“Itu memang luar biasa. Aku bahkan menginginkan kemampuan seperti itu. Aku pernah mencobanya tapi tidak berhasil.” Aku menghela takjub.

“Kau bisa melakukannya. Jiwa lain dalam dirimu bisa melakukannya.”

Aku termenung sejenak. “Jiwa lain?”

“Cobalah untuk berinteraksi dengannya, maka kau akan tahu keinginannya. Kenapa dia berada di dalam tubuhmu, kau akan tahu jawabannya,” jelasnya sambil membanting diri ke sofa.

“Hmm … jujur saja aku … sedikit takut dengan hal-hal yang seperti itu.”

“Cobalah untuk mengenalinya terlebih dahulu. Siapa dia dan apa tujuannya.”

Aku termenung mendengar ucapannya.
“Sebaiknya kau tidur. Besok kita kembali bekerja. Jadi, lupakan saja untuk sejenak.” Axcel manarik selimut dan mulai memejamkan mata.

“Kau tidur di sofa?”

“Untuk kali ini kubiarkan tempat tidurku dipakai orang lain.”

“Tapi kan aku yang menumpang. Seharusnya aku yang tidur di situ?”

“Sudah, kau tidur sana! Aku tidak mau membangunkanmu kalau kau kesiangan.”

“Baiklah. Terima kasih,” balasku tak enak hati.

“Hmm,” sahutnya.

Aku mulai membaringkan diri dan memejamkan mata.

_______To be Continued_______

Continue Reading

You'll Also Like

673K 61.4K 31
Ini adalah buku kedua dari The Fos Academy. Yang belum baca silahkan baca terlebih dahulu buku pertama. Biar tau jalan ceritanya yaaaa. Hehehehe ☆☆☆...
695K 2.3K 10
🔞 cerita ini mengandung adegan dewasa
847K 71.6K 34
(𝐒𝐞𝐫𝐢𝐞𝐬 𝐓𝐫𝐚𝐧𝐬𝐦𝐢𝐠𝐫𝐚𝐬𝐢 𝟏) 𝘊𝘰𝘷𝘦𝘳 𝘣𝘺 𝘸𝘪𝘥𝘺𝘢𝘸𝘢𝘵𝘪0506 ғᴏʟʟᴏᴡ ᴅᴀʜᴜʟᴜ ᴀᴋᴜɴ ᴘᴏᴛᴀ ɪɴɪ ᴜɴᴛᴜᴋ ᴍᴇɴᴅᴜᴋᴜɴɢ ᴊᴀʟᴀɴɴʏᴀ ᴄᴇʀɪᴛᴀ♥︎ ___...
6.2K 320 17
FOLLOW SEBELUM BACA!!! Revisi setelah [TAMAT] Sehalu halunya gue gak sampe masuk kedalam dunia kerajaan tapi kok kalo ini mimpi berasa lama banget...