Cold Marriage [Re-upload]

By jenniferdwi

2.2M 49.5K 4.5K

Re-uploaded until part 30 The previous and current cover made by @jennjennja. Aku tahu segalanya. Aku tahu di... More

3...2...1...
Prolog
0° C (part one)
0° C (part two)
10° C
30° C
40° C (part one)
40° C (part two)
50° C (Part One)
50° C (Part Two)
50° C (Part Three)
60° C
70° C
80˚ C (part one)
80 ° C (part two)
FREEZE
90° or 0° (part one)
90° or 0° (part two)
.....°C
BUKAN EPILOG
Diary of My Wedding
When You're Not Looking
A Little Bad News

20° C

94.5K 1.9K 102
By jenniferdwi

Aku terdiam menatap makanan di depanku. Sepertinya ini tanda terima kasih atas bantuanku semalam. Padahal alasanku melakukannya bukan sepenuhnya karena aku ingin membantunya.

Rasanya menyenangkan mendapati pria dingin itu bisa memasakkan sesuatu untukku. Tapi ada juga rasa bersalah mengingat dia malah menggunakan waktunya yang terbatas untuk membuat ini. Padahal dia bisa beristirahat lebih lama jika dia tidak harus memasak untuk kami berdua.

Aku masih memandangi nasi goreng itu dengan perasaan campur aduk sampai akhirnya perutku mengambil alih tubuhku. Tangan dan mulutku bergerak teratur mengikuti perintahnya tanpa banyak memprotes. Entah sudah berapa suapan yang telah kumasukkan ke dalam mulut sampai saat ini. Yang jelas aku masih merasakan kelezatan dan kenikmatan yang sama seperti suapan pertamaku, membuatku menghabiskan sepiring nasi goreng ini dengan sekejap mata.

Masih mengunyah suapan terakhir, aku bangkit berdiri dan berjalan menuju rak buku. Jariku menyusuri buku-buku yang tersusun dengan rapi sampai aku menemukan apa yang kucari. Kutarik keluar sebuah buku dengan sampul warna pink dari susunan buku itu. Buku novel favoritku sepanjang masa.

Begitu halaman pertama novel itu berhasil kutemukan segera kutempelkan selembar post-it-note. Novel ini selalu berhasil menghilangkan suasana hatiku yang buruk selama ini. Dan aku yakin selembar post-it-note ini juga bisa melakukan hal yang sama padaku. Post-it-note pertama dari Mr.Cold.

**

Lagi-lagi hari ini kebosanan datang menghampiriku terlalu cepat. Segala pekerjaanku sudah kuselesaikan bahkan sebelum tengah hari tiba. Walau yang kumaksud segala pekerjaanku itu hanya mandi, makan lagi, membereskan kamar tidur dan menyapu lantai seluas 400 m2. Apa lagi yang bisa kukerjakan di rumah yang tidak terlalu besar ini dan hanya ditinggali oleh dua orang.

Mungkin aku tidak akan kebosanan seperti ini jika aku seorang wanita karir seperti Karen. Atau jika saja ada orang lain yang tinggal di sini. Seperti anak kecil yang akan memanggilku mama dan Mr.Cold papa....

Aku meloncat kaget mendengar ringtone handphone-ku mengalun tiba-tiba. Debaran jantungku yang tadinya normal sekarang melonjak drastic mengikuti alunan ringtone yang begitu semangat. Bahkan rasanya aku sampai mengeluarkan keringat dingin. Kenapa aku bereaksi berlebihan seperti ketahuan mencuri celana dalam orang? Padahal aku hanya memikirkan tentang anak, ya, sedikit proses membuatnya.... Ahh, ini semua gara-gara Karen!

Dan pasti yang mengirimkan SMS di waktu makan siang ini juga pasti Karen, dalang yang telah meracuni otakku. Tapi dugaanku salah saat melihat pengirim SMS itu adalah nomor yang tidak kukenal. Melihat nomor telepon yang tidak dikenal ini membuatku teringat kembali kejadian menyebalkan di tempat reuni waktu itu. Sekarang jasa sedot WC mana yang menghubungiku kali ini?

Aku berniat segera menghapusnya begitu selesai membacanya sekilas. Tapi kalimat pertama dari SMS berhasil menarik perhatianku, bahkan mengundang sedikit tawa.

Ini aku. -Apa-apaan orang ini!? Namanya Aku gitu!? Masa dia menganggap aku peramal yang bisa mengetahui setiap orang yang mengirimiku pesan tanpa mereka berinisiatif memberitahu.

Ada yang ingin kubicarakan nanti malam, jangan tidur dulu. –Dan hanya sampai di sini SMS-nya. Tidak ada nama atau kalimat apapun lagi yang bisa membuatku sedikit menebak-nebak siapa dirinya.

Karena Karen tidak mungkin memberiku SMS yang isinya kurang dari dua puluh kata. Dan Jack, walau aku belum tahu nomor handphone-nya, jelas ini bukan gaya dirinya mengirim SMS. Susunan tulisan bahasa Indonesianya tidak serapi cara bicaranya. Selain mereka berdua, aku tidak punya tersangka lagi yang bisa melakukan ini. Kesimpulannya, ini hanya sekedar SMS nyasar atau mungkin malah SMS spam seperti jasa sedot WC waktu itu yang ingin merecoki hidup orang banyak.

Tapi SMS irit kata ini mengingatkanku pada post-it-note Mr.Cold tadi pagi. Perbandingan pemakaian jumlah katanya hampir sama, sangat efisien dan langsung ke pokok masalah. Apalagi aku pernah memberi Mr.Cold nomor handphone-ku, dan aku juga belum mengetahui nomornya....

Berulang-ulang kubaca SMS itu sampai akhirnya rasa penasaranku mencapai batas. Aku akan menelepon pengirim SMS ini, siapapun dia. Daripada aku terus tersiksa dengan bayangan Mr.Cold yang silih berganti dengan orang dari jasa sedot WC, lebih baik aku memastikannya sekarang.

Nomor pengirim SMS itu kutulis ulang di handphone-ku dan kupencet tombol dial yang berwarna hijau. Bunyi tuutt tuutt menemaniku sesaat sampai orang yang kutelepon mengangkatnya.

"Halo?" Kata pertama yang dikeluarkan berhasil membuatku kembali terlonjak kaget karena aku terlena sesaat dengan bunyi tuut tuut tadi. Suara rendah yang tidak terdengar serak itu memberikan sedikit rasa geli di telingaku yang menjalar ke tubuhku.

Suara maskulin yang indah itu membuat otakku terasa kosong dan aku tidak tahu apa yang ingin aku katakan sekarang. Mulutku bergerak-gerak mencoba mencari kata untuk diucapkan tanpa dukungan dari otakku. Kalau ada yang melihatku sekarang, aku pasti akan tampak seperti ikan sekarat yang loncat keluar dari kolam. Akhirnya aku hanya bisa membalas sapaannya. "Halo."

"Apa keperluanmu meneleponku?"

Jantungku kembali meningkatkan kecepatannya bekerja mendengarkan pertanyaannya kata demi kata. Suaranya benar-benar mampu menghinoptisku seperti suara Petra Sihombing saat menyanyikan lagu Mine. Suara orang ganteng.

"Ada orang di sana?" Tanyanya lagi karena aku tidak juga merespon.

"Maaf, apa kau salah kirim SMS barusan?" Akhirnya aku bisa bertanya juga.

"Tidak. SMS itu memang kutujukan ke kamu, Janet." Janet? Apakah berarti ini Jack? Tapi kenapa suaranya berbeda? Kemana aksen kebule-bulean miliknya?

"Maaf, tapi aku merasa tidak mengenalmu. Dan lagi SMS yang kau kirim barusan tidak mencantumkan nama sama sekali."

Terdengar suara tawa pria itu meledak mendengar pertanyaanku. "Mungkin dari SMS kau memang tidak bisa mengenaliku. Tapi sekarang setelah mendengar suaraku kau masih belum mengenaliku? Hebat." Ejekannya terdengar sangat menyebalkan dan berhasil membangkitkan emosiku.

"Maaf, bisakah kau memberi tahu aku namamu saja?" Sampai selama ini aku hidup, tidak pernah kutemui orang yang dari suaranya saja bisa membuatku naik darah. Aku yakin orang ini punya ukuran kepala yang sangat besar agar bisa menampung semua kesombongannya.

"Kau benar-benar tidak bisa mengingat aku, Janet? Apa kau terlalu gugup duduk di sebelahku sepanjang malam sehingga tidak bisa mengingat suaraku?"

Duduk di sebelahnya sepanjang malam?

Ini... Mr.Cold? Benarkah?

"Masih belum ingat juga? Ya ampun, aku tidak tahu lagi bagaimana caranya harus mengingatkanmu." Keluhnya pasrah.

"Aku sudah ingat, aku sudah ingat, aku sudah ingat." Jawabku berulang-ulang saking malunya diriku. Bisa-bisanya aku melupakan suara Mr.Cold. Padahal semalaman aku mendengarkannya menjelaskan apa yang harus kukerjakan. Tapi siapa yang sangka suara Mr.Cold bisa berubah sedrastis ini di telepon. Lebih membuatku berdebar-debar, lebih maskulin, lebih ganteng.

"Baca SMS-ku baik-baik dan simpan nomorku agar tidak perlu terjadi percakapan seperti ini lagi di lain waktu." Perintahnya terakhir kali dan langsung memutuskan teleponku. Aku bahkan belum mengatakan akan melakukan apa yang dia perintahkan barusan. Tapi inilah Mr.Cold. Sudah sifatnya memaksakan kehendak secara sepihak. Dan akulah yang berhadapan dengannya tadi. Dia pasti tahu aku akan menurutinya tanpa disuruh pun.

Yaah... Setidaknya aku berhasil mendapatkan nomor teleponnya setelah sekian lama.

**

Seharian ini, aku tidak berhenti memikirkan tentang Mr.Cold dan pembicaraan yang ingin dia adakan denganku. Makan tidak focus. Mandi tidak focus. Mendengarkan Karen bergosip pun tidak focus. Tapi yang terakhir sepertinya selalu kulakukan setiap hari.

Aku hampir tertidur saat mendengar suara pintu depan dibuka dan ditutup kembali. Dengan gerakan mempesona(ku), Mr.Cold berjalan masuk dengan menenteng jas hitamnya. Dia terlihat sangat lega setelah berhasil melonggarkan dasi yang tadi mengikat kencang bagian lehernya. Bahkan ada kancing kemejanya yang dia buka. Lalu dengan satu gerakan, dasi dan jas hitamnya sudah tergeletak berdampingan di sofa depan. Entah kapan rambut hitamnya telah dia berantakkan. Mungkin saat aku masih terfokus dengan adegan melepas dasi dan dua kancing teratas kemejanya.

Direktur muda elegan yang tadi berganti menjadi pria bad boy dengan segala pesonanya. Aku suka keduanya. Aku menginginkan keduanya.

Mr.Cold pergi duduk berhadapan denganku setelah menyelesaikan pertunjukan memamerkan keindahannya tanpa berlebihan. Dan baru saat itu aku menyadari ada senyuman mengejek khasnya yang menghiasi wajah tampan itu. Terus menerus tersenyum seperti itu seraya menatapku. Aku yakin ada satu kesalahan bodoh di kulakukan depannya. Dia bukan tersenyum karena senang melihatku.

"Hati-hati bola matanya keluar karena memelototi orang seserius itu." Ucapnya masih dengan senyuman yang sama.

Aku sekarang tahu apa penyebab senyuman itu.

Masih dengan ekspresi dan nada yang sama Mr.Cold melanjutkan kata-katanya, "Nggak mau dilap dulu ilernya? Netes ke meja lagi."

Siapapun, ketika menerima perkataan seperti itu dari lawan jenis, pasti akan melakukan apa yang kulakukan. Spontan aku menghisap seluruh pasokan air liurku masuk ke tenggorokanku. Salahnya, aku menghisap dengan terlalu bersemangat sampai menimbulkan bunyi 'slurpp' seperti makan mie.

Langsung saja tawa pria di depanku itu meledak. Bodohnya aku mempercayainya. Padahal ketika aku mencoba menyeka sekitar mulutku, tidak PERNAH ada air liur yang merembes keluar. Sejak kapan orang ini pintar mengisengi orang lain?

"Apa yang ingin kau bicarakan?" Tanyaku di sela-sela tawanya. Walau wajahku bisa terlihat datar, tapi tidak dengan perasaanku. Aku merasa ingin bersembunyi di sebuah gua yang tidak pernah tersentuh manusia setiap kali melihat rasa geli di mata coklat itu.

"Kenapa terburu-buru? Tidakkah kau ingin meresapi pemandangan indah yang sengaja kusiapkan untukmu ini? Kulihat tadi kau sangat menyukainya. Benar bukan?"

Mr.Cold sengaja membuka dasi dan kancing kedua kemejanya juga melakukan semua yang tadi untukku? Aku akan terharu mendengarnya andai niatnya melakukan itu bukan untuk mengisengiku.

"Jika kau tidak ingin berbicara sekarang, aku akan pergi tidur."

Melihatku yang serius dengan perkataanku, Mr.Cold menarik kursinya mendekat ke meja dan menumpukan badan bagian atas ke kedua lengannya. Kemejanya kembali dikancingkan seakan mengatakan pertunjukan telah berakhir. Ah, kenapa dia harus menutupnya lagi?

"Aku berhasil mendapatkan kontrak kerja dengan orang-orang Cina itu."

"Congrats." Balasku singkat.

"Artinya aku akan berurusan dengan orang-orang Cina itu lebih lama lagi."

Aku masih belum menangkap ke mana pembicaraan ini akan dibawa oleh Mr.Cold. "Lalu?"

Mendengar jawabanku yang singkat, padat dan jelas, Mr.Cold malah terlihat kesal padaku. "Kau masih belum menangkap maksudku? Lemot sekali otakmu itu." Tiba-tiba otakku yang tidak bersalah apa-apa menjadi bahan hinaannya.

Aku menggeleng untuk menjawabnya. Ya ampun Mr.Cold, apa sulitnya untuk mengatakan maksudmu dengan jelas tanpa harus kuanalisis terlebih dahulu? Tadi siang seperti ini, malam juga seperti ini. Niat ingin menghemat bicara berakhir membuatnya harus menjelaskan lebih panjang lebar.

Hanya nafas panjang lelah yang Mr.Cold sanggup keluarkan awalnya. Sekali lagi rambutnya dia acak-acak. Tapi kali ini bukan karena niat mengisengi, melainkan stress. "Aku ingin kau bekerja di kantorku, selama aku masih harus berurusan dengan orang-orang Cina itu."

Mataku melebar mendengar kalimatnya. Mr.Cold memintaku bekerja di kantornya? Bekerja? Bersama Mr.Cold? Terima kasih banyak Tuhan, Kau telah mengantarkan orang-orang Cina itu ke depan kantor Mr.Cold.

"Sudah mengerti?" Tanyanya melihatku yang diam.

Kali ini pertanyaannya kujawab dengan anggukan. Anggukan girang dan bersemangat. Rasanya aku siap untuk melompat dari kursi ini dan menari di atas meja. Tentu saja akan kuterima tawaran ini. Aku akan bekerja dan akan lebih sering bersamanya!

"Jangan salah paham. Tawaran ini tidak berarti hubungan kita telah membaik."

Hanya BELUM membaik. Tapi suatu saat nanti pasti. Fakta bahwa Mr.Cold mau berbicara denganku saja sudah menunjukkan suatu perubahan. Hanya dia tidak mau menyadarinya saja.

Kedua tanganku yang sedari tadi tidak berhenti bergerak karena terlalu senang, akhirnya kusembunyikan di bawah meja. Aku mencoba bersikap sebiasa mungkin, tapi ternyata gagal. Dari tadi Mr.Cold memandangku dengan tatapan curiga dan bingung.

"Ini surat penerimaanmu. Kau bisa mulai bekerja besok, tapi aku tidak memaksa..."

"Aku ingin mulai besok!" Potongku spontan.

Berkat kata-kata yang keluar tanpa dipikir terlebih dahulu, mata coklat itu kembali melihatku curiga. "Aku bisa mulai besok." Ulangku dengan nada yang lebih datar dari tadi.

Mulai besok aku akan bisa melihat Mr.Cold tanpa menunggu malam tiba dan tanpa perlu mencegah pagi untuk pergi. Aku akan berada di kantornya, bekerja dengannya, dan masuk ke kehidupan Mr.Cold yang selama ini belum pernah kusentuh. Pikiran-pikiran ini terus membuatku memamerkan senyum idiot di depannya.

"Tapi aku tidak ingin kau mengenalkan diri sebagai istriku." Nada peringatan tiba-tiba muncul di suaranya.

Baru aku mau bertanya kenapa, tapi Mr.Cold seperti bisa membaca pikiranku karena dia kembali berkata-kata, "Hanya itu satu-satunya syarat yang kuberikan dan kuharap kau tidak membantahnya."

Akhirnya aku hanya mengangguk pelan sebagai tanda setuju. Tentu saja aku kecewa aku mendengar syarat yang diajukannya. Walau bukan niatku untuk meneriakkan keras-keras hubungan kami, aku juga ingin ada yang mengenalku bukan hanya sebagai Janet Claudia, namun juga istri dari seorang Mr.Cold.

Tapi biarlah Mr.Cold berbuat sesukanya kali ini. Aku yakin aku akan bisa mengubahnya tidak lama lagi. Sehingga dia sendirilah yang akan mengumumkan tentang pernikahan kami berdua nanti.

**

Kali ini aku tidak kesal dengan alarm alami yang membangunkanku pagi-pagi sekali. Setidaknya itu membuatku memiliki banyak waktu untuk mempersiapkan diriku dan kebutuhan Mr.Cold. Dan lebih banyak waktu untuk mengagumi pantulan bayanganku di cermin.

Ya, entah sudah berapa lama sejak aku berdiri di depan cermin. Pakaian yang sudah kusiapkan dari semalam menempel dengan pas di tubuhku dan berhasil memikatku cukup lama. Memang pakaian terbaik untuk tubuh rataku ini adalah kemeja putih ditambah dengan blazer hitam dengan rok senada dengannya.

Sebelum meninggalkan rumah, aku mengunjungi kamar tidur lagi untuk mengecek pangeran tidurku. Masih sama seperti sepuluh menit yang lalu, pulas, bernafas dan tampan.

Selimut yang dipakainya tadi bersamaku sekarang hanya melilit di sekitar kakinya, membiarkan tubuh bagian atas terbuka dan terkena angin AC. Tangannya direntangkan lebar-lebar dan mengambil semua bagian tempat tidur. Sudah tidak ada lagi yang namanya bagianku dan bagiannya saat ini. Tidurnya menjadi cukup nakal jika dia tidak terlalu lelah di malam sebelumnya. Walau sakit terkadang mendapat tendangan darinya, tapi aku lebih senang dia seperti ini. Karena aku jadi sering mendapatkan pelukan mendadak darinya. Sayang hal seperti ini jarang terjadi.

Setelah memastikan semua perlengkapan Mr.Cold beres dan jam weker akan melakukan tugasnya dengan benar, aku siap untuk berangkat bekerja. Tidak lupa juga kupastikan di dalam tasku sudah tersedia inhaler (alat bantu nafas) yang kubeli beberapa hari lalu. Aku yakin asmaku kambuh saat paru-paruku menyadari yang kuhirup bukanlah oksigen, melainkan asap kendaraan saat naik ojek nanti.

Andai saja tidak ada persyaratan aneh-aneh dari Mr.Cold, aku pasti akan pergi bersamanya dengan mobilnya yang nyaman. Ya, tapi diantar mas-mas tukang ojek juga bukanlah sesuatu yang buruk. Yang penting aku akan terbebas dari kebosanan, kesepian juga dinding rumah ini beserta isinya seharian.

**

Kemampuan tukang ojek yang kugunakan jasanya dalam menyalip-nyalip kendaraan di depannya dan mencari jalan tikus patut diacungi jempol. Waktu dalam perjalanan yang kemarin malam telah kuperhitungkan disingkat olehnya menjadi setengahnya. Sayang asmaku tetap kambuh.

Jadi selama dua puluh menit aku bersembunyi di pojokan untuk memulihkan diri. Begitu aku yakin pernafasanku telah kembali normal, aku siap untuk berjalan masuk ke dalam. Tapi lagi-lagi langkahku berhenti di tengah jalan. Sekarang jantungku berdebar tidak karuan karena tegang dan senang melihat bangunan yang berdiri di depanku. Kuhembuskan nafas pelan-pelan untuk menenangkannya. Semoga aku tidak akan pernah mempermalukan diriku dan Mr.Cold di dalamnya.

Tempat yang pertama kutuju adalah meja resepsionis yang diletakkan di tengah-tengah ruangan. Dari kejauhan aku dapat melihat beberapa orang berkumpul di sekitar sana. Dan langsung saja aku di-KO oleh kenyataan bahwa karyawan Mr.Cold jauh lebih cantik dan berkelas dariku. Penampilanku dibandingkan dengan mereka bisa diibaratkan membandingkan Nokia 3310 dengan IPhone 6. Jadul abis, kalau kata Karen. Ternyata inilah alasan pengajuan satu-satunya syarat dari Mr.Cold kemarin, untuk menjauhkan kami berdua dari rasa malu.

Aku sudah tidak mungkin mundur dan kembali pulang untuk mencari baju yang lebih baik dari ini. Kalau dipikir-pikir aku juga tidak punya baju yang lebih baik dari ini! Memang aku penggila baju kerja, tapi semuanya sama seperti yang kukenakan sekarang. Tidak ada emblem merek terkenal di kerah bajunya. Jika tahu aku akan bekerja di perusahaan Mr.Cold, akan kubeli sebuah kemeja di The Executive walau harganya tidak terasa pantas dengan apa yang kudapat.

Semakin aku berjalan mendekat, semakin aku tidak bisa melihat langsung ke arah wanita-wanita itu. Mereka terlihat bersilau dengan ikat pinggang Prada, wajah cantik bagaikan boneka Barbie, dan rambut panjang berkilau seperti para ambassador iklan sampo.

Begitu cukup dekat dengan salah seorang dari mereka, aku menjelaskan pada mereka statusku sebagai karyawan baru di sini secara singkat. Lalu kutunjukkan surat penerimaan lamaran kerja dari Mr.Cold kemarin malam sebagai buktinya. Wanita-wanita itu langsung mengitari orang yang memegang surat penerimaanku dan membacanya bersama-sama.

Saat mereka berdiskusi aku memperhatikan penampilan mereka lebih detail. Ternyata pengamatanku tadi benar, pasti ada satu produk bermerek menempel di tubuh mereka. Dan kecantikan yang tadi begitu menyilaukan sudah memperlihatkan kelemahannya di depanku. Kecantikan yang bukan buatan Tuhan.

Kepala mereka mendongak kepadaku bersamaan setelah selesai membaca. Sebuah senyuman aku coba berikan dan mereka membalasnya. Tapi bukan senyuman indah yang awal, melainkan seringaian benci bak medusa. Kecantikan yang begitu sempurna tadi sekarang terlihat seperti siap membunuh.

Kukira setelah mereka tahu aku akan menjadi salah satu bagian dari mereka, sikap mereka akan bertambah ramah padaku. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Setelah berdiskusi cukup lama akhirnya mereka berhenti mengabaikanku.

Lalu seorang wanita keluar dari kerumunan itu dan menyuruhku mengikutinya. Tentu aku mengikutinya dengan sukarela, daripada tetap berada di sini dan mendapat tatapan penghakiman tanpa henti.

Aku ditinggal cukup jauh di belakang olehnya, jadi aku sedikit mengebut menyusulnya. Sampai di sebelahnya, aku mengamati name-tag yang menempel di dada sebelah kirinya. Emi namanya.

Dia mengulurkan tangan dan memperkenalkan dirinya saat melihatku memandanginya. Aku yang cukup kaget mendapat sambutan ramah darinya tentu agak kaku saat membalasnya.

"Sepertinya kau kaget melihat para rekan kerjaku tadi."

"Tidak. Hanya sedikit merasa... dihakimi dan dibenci."

Aduh, kalimat apa yang baru kukatakan barusan? Masa aku mengeluh tentang wanita-wanita itu kepada temannya? Sama saja dengan mengumpankan diri ke macan lapar.

"Mungkin hanya perasaanku saja." Koreksiku sambil menambahkan sedikit tawa. Dan tidak kusangka dia juga ikut tertawa bersamaku.

Setelah tawaku berhenti, begitupun juga dengan Emi. Dia menatap kepadaku dan menepuk bahuku pelan. "Tenang, rahasiamu aman bersamaku."

Syukurlah, aku membuka mulutku ke orang yang tepat. Sangat amat tidak kusarankan untuk mencari masalah dengan wanita-wanita di sini.

"Kamu mau tahu kenapa mereka bersikap seperti itu?"

"Jika tidak membahayakan." Penting untuk mengetahui apa penyebab seekor macan menjadi buas, bukan? Untuk mencegah diri sendiri menjadi korban mangsa selanjutnya.

"Sebentar lagi kamu akan melihat alasannya." Emi sekarang mempercepat langkahnya yang tadi disesuaikan denganku. Dan lagi-lagi, aku terburu-buru mencoba mengejar dirinya sambil menjaga keseimbangan agar tidak mencium lantai.

Makin banyak karyawan Mr.Cold yang kutemui semakin lama aku berjalan. Karyawan pria, lebih tepatnya. Pria, pria dan pria lagi yang kulihat. Apakah jenis kelamin lelaki adalah syarat utama untuk diterima di sini? Tapi Mr.Cold tidak terlihat seperti orang yang suka mengintimidasi seseorang berdasarkan gender.

Tiba-tiba Emi menggandeng tanganku dan mendekatkan kepalanya padaku. "Merekalah alasan sikap menyeramkan para rekan kerjaku." Bola matanya bergerak-gerak menatap dua orang karyawan pria yang melewati kami.

"Mereka berdua?" Tanyaku tidak percaya. Dibenci oleh sekumpulan orang karena dua laki-laki yang bahkan belum pernah kutemui adalah hal yang tidak bisa kuterima begitu saja.

"Bukan, mereka berdua hanya sebagai contoh."

"Contoh akan...." Aku menggantungkan kalimatku supaya Emi bisa melanjutkannya. Karena aku benar-benar belum mengerti dengan penjelasannya.

"Contoh sempurna karyawan-karyawan di sini. Coba kamu perhatikan mereka baik-baik. Pasti kamu akan tahu."

Mengikuti mentah-mentah perintah Emi, aku mengamati dua orang barusan dalam-dalam. Dan tidak ada yang aku temukan kecuali mereka berdua adalah lelaki muda yang sehat walafiat.

"Mereka... sangat fit?" Jawabku ragu.

Mata hitam Emi ternyata juga sedang menatap dua orang itu. "Benar. Sangat 'sehat' dan sempurna. Coba kau lihat bokong itu. Kau juga tergoda untuk menyentuhnya bukan?"

Aku tidak menjawab pertanyaannya karena masih terpaku dengan perubahan sikap Emi yang menjadi ganas. Tatapannya terlihat begitu lapar dan menyeramkan. Apakah sebenarnya Emi ini? Seekor domba atau serigala?

Tapi dirinya kembali normal ketika menatapku dan menarikku masuk ke dalam lift. Angka sembilan ditekan olehnya dan lift mulai mengantar kami berdua ke lantai yang lebih tinggi.

"Dulu karyawan wanitanya lebih banyak, tapi mayoritas keluar karena tidak kuat menghadapi intimidasi di sini. Intimidasi yang dilakukan rekan-rekan kerjaku tadi untuk mempertahankan hak milik mereka atas semua lelaki."

"Kalau kau berusaha... mungkin sangat berusaha..." Tambahnya saat mengamati penampilanku dari ujung rambut sampai kaki. Tidak, aku tidak menyalahkan penilaiannya, karena itu juga yang aku rasakan tentang diriku sendiri.

"... mungkin kau bisa menjalin hubungan dengan seseorang di sini. Tidak semua diinginkan oleh para senior. Inilah kesempatanmu untuk mendapat suami tampan dan tajir. Tidakkah kau bersemangat?"

Tatapan matanya kembali mendesakku untuk menjawabnya. Mau tidak mau, aku akan sedikit jujur tentang hubunganku dengan Mr.Cold. "Terima kasih, tapi aku sudah punya satu di rumah."

"Suamimu bekerja di sini juga?"

Deg! Tebakan Emi yang terlalu tepat mengagetkanku bahkan sampai di ulu hati. Aku menggeleng cepat dan segera menyangkalnya, "Nggak, malah sangat jauh dari sini."

"Kalau begitu kau tetap dalam bahaya, Janet."

"Maksudmu bahaya apalagi?"

"Walau aku tidak meragukan betapa besarnya cintamu pada suamimu, tapi aku yakin sekali dua kali kau akan khilaf saat di sini. Dan sekali kau ketahuan terpesona dengan beberapa orang tertentu, maka bahaya akan langsung menerjangmu."

Aku yakin bahaya yang dimaksud Emi adalah wanita-wanita yang tadi aku temui di bawah. Dan aku yakin dia tidak melebih-lebihkan kata-katanya. Terkadang wanita bisa menjadi lebih berbahaya dari lelaki.

Emi sengaja menghentikan langkahnya agar bisa berfokus dengan kata-katanya. Matanya melirik ke sekeliling seperti memastikan tidak ada orang lain yang bisa mendengarnya. "Ada dua orang yang sama sekali tidak boleh kau dekati." Ucapnya dengan suara gemetar. Bahkan butiran keringat muncul di dahinya, menghapus sedikit bedak yang dia gunakan.

"Pertama, seorang manajer eksekutif."

"Kedua..." Genggamanku pada tas malang milikku ini mengerat mendengarkan masih ada kelanjutan kalimat Emi. Dari matanya dia bertanya apa aku telah mengukir dalam-dalam di ingatan tentang apa yang baru saja dia sebutkan. Ya ampun, bahkan lidahku terasa kelu karena ketegangan mendadak ini.

Ketakutan Emi sekarang menular kepadaku. Rasanya seperti sedang menonton film horror, di mana pemeran utamanya sedang menuju suatu ruangan gelap tanpa tahu apa yang menanti. Ada rasa takut membayangi, tapi juga rasa penasaran.

Emi kembali melanjutkan kalimatnya setelah melihatku mengangguk paham. Mataku memandang lekat bibir Emi yang akan mulai bergerak dan mengucapkan suatu kata. Kata yang tidak pernah kuduga akan keluar dalam perbincangan ini.

"Direktur kita."

** 

Continue Reading

You'll Also Like

16.6M 704K 41
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
375K 39.9K 22
Karmina Adhikari, pegawai korporat yang tengah asyik membaca komik kesukaannya, harus mengalami kejadian tragis karena handphonenya dijambret dan ia...
1.5M 13.2K 23
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) Hati-hati dalam memilih bacaan. follow akun ini biar lebih nyaman baca nya. •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan sa...
933K 13.8K 22
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...