Replaying Us

By kianirasa

609K 54.6K 5.7K

Athalia Sharafina menyukai Narado Risyad dalam diam selama bertahun-tahun. Tapi tidak pernah menyatakannya b... More

Bagian Satu : Nyata atau Ilusi?
Bagian Dua: Menuju Masa Lalu
Bagian Tiga: Malaikat dan Donat
Bagian Empat: Ide Yang Buruk
Bagian Lima: Obrolan dan Rencana Menetap
Bagian Enam: Pengakuan, Kesepakatan
Bagian Tujuh: Seragam Putih Abu-abu Lagi
Bagian Delapan: Tidak Terlalu Buruk
Bagian Sembilan: Memalukan
Bagian Sepuluh: Mendadak Galau
Bagian Sebelas: Cinta Segitiga atau Segi Empat?
Bagian Dua Belas: Berbahaya
Bagian Tiga Belas: Dia-lo-gue
Bagian Empat Belas: Bolos Sekolah
Bagian Lima Belas: Semakin Dalam
Bagian Enam Belas: Curhatan dan Sepatu?
Bagian Tujuh Belas: Dalam Gelap
Bagian Delapan Belas: Diluar Dugaan
Bagian Sembilan Belas: Sekali pun Dalam Mimpi
Bagian Dua Puluh: Getaran Aneh
Bagian Dua Puluh Satu: Penguntit, Menguntit
Bagian Dua Puluh Dua: Debaran dan Rasa
Bagian Dua Puluh Tiga: Begitu Berarti
Bagian Dua Puluh Empat: Bisa Jadi
Bagian Dua Puluh Lima: Kebenaran, Ungkapan, dan Perasaan
Bagian Dua Puluh Enam: Pertemuan Pertama
Bagian Dua Puluh Tujuh: Virus Cinta
Bagian Dua Puluh Sembilan: Tidak Lama Lagi
Bagian Tiga Puluh: Pertama Yang Abadi
[EKSTRA]: Dalam Ingatan
EPILOG
PEMBERITAHUAN

Bagian Dua Puluh Delapan: Bimbang

15.4K 1.6K 232
By kianirasa


==

Bagian Dua Puluh Delapan: Bimbang.

==

"Faust?" Atha membuka pintu kelas dengan sedikit tergesa. Begitu mengedarkan matanya ke dalam, tidak ada satu pun makhluk hidup didalamnya. Dia menghembuskan napas panjang sambil berjalan masuk.

Mata coklat Atha tertuju pada bangku di pojok belakang kelas. Bangku Nara yang saat ini kosong―Atha mengulum senyum tipis. Tiba-tiba dia ingin duduk disana, merasakan menjadi Nara di dalam kelas.

Jadilah dia menduduki bangku Nara. Melipat tangannya sambil menatap papan tulis yang kosong. Atha menoleh kesamping, tersenyum saat membayangkan bila disebelahnya adalah dirinya. Nara selalu menoleh kearahnya dari tempat ini.

Dan hari pertama sekolah Atha di masa lalu―Nara juga melihatnya dari sini.

Atha membuang wajahnya ke langit di luar jendela. Waktu benar-benar berjalan lebih cepat dari yang dia bayangkan.

Usai menghembuskan napas berat, Atha memiringkan badannya. Tangannya merogoh kedalam laci meja Nara. Sekedar iseng.

Atha mengerutkan dahi dan mengeluarkan beberapa barang yang didapatnya. Sebuah buku, secarik kertas, dan satu pensil yang sengaja diselipkan dalam buku.

Narado Risyad. Terpampang dibagian depan buku. Atha membuka tiap lembar buku itu, melihat tulisan tangan Nara yang kadang rapih dan berantakan―sambil berharap bahwa dia tidak akan lupa bagaimana bentuknya.

Halaman tengah, Atha berhenti. Matanya tertuju pada sketsa dirinya. Atha.

Butuh waktu beberapa detik sebelum Atha bisa memastikan itu benar-benar dia atau bukan. Namun Atha rasa itu adalah dirinya. Meski sedikit berbeda karena kelihatannya Nara menggambarnya cepat.

Dia menggambar Atha yang sedang bertopang dagu dari samping―tapi kapan?

Atha seketika ingin merobeknya dan membawanya ke masa depan untuk disimpan. Tetapi dia mengurungkan niatnya.

Pada akhirnya, Atha malah menggambar sketsa Nara diatas secarik kertas yang tadi menggunakan pensil yang terselip dalam buku. Ah, Atha tidak pernah pandai dalam urusan menggambar―makanya yang terjadi adalah gambar yang dibuatnya gagal total. Lebih mirip dengan gambaran anak tk yang berusah menggambar pangeran favoritnya.

Tertawa pada hasilnya sendiri, Atha pun akhirnya meletakkan pensilnya kembali dan melipat tangannya. Menjadikannya bantalan kepala lalu menutup mata.

Matanya terasa cukup berat dan sebelum Atha memasuki alam mimpi―dia melihat siluet Faust yang muncul tiba-tiba dalam sekejap mata. Hanya saja, rasa kantuk yang luar biasa mendominasi membuat Atha memilih untuk terlelap dalam tidurnya.

》》》

Nara tersenyum kecil saat akan berjalan memasuki kelas. Tangan kanannya memegang erat pesawat kertas yang jatuh ke kepalanya beberapa saat lalu. Perkiraannya benar. Atha berada di dalam kelas, duduk di bangku yang biasa Nara duduki sambil tertidur diatas lipatan tangannya sebagai bantalan.

Nara baru sadar. Kalau Atha sedang tertidur, lalu siapa yang melemparkan pesawat kertasnya ke bawah?

Tidak ingin berpikir banyak hal, dia memutar bangku di depan Atha menghadap belakang. Mendudukinya sehingga posisi keduanya saling berhadapan.

Alisnya bertaut melihat buku tulis yang sengaja Nara tinggalkan dalam laci berada dibawah tindihan tangan Atha. Pemuda itu dengan perlahan menariknya dan mengulum senyum tipis melihat halaman yang terbuka.

"Lo udah lihat ya." Nara memampangkan gambarnya lalu bergantian melihat sosok Atha yang tertidur.

Dia merobek bagian tengahnya, melipatnya dengan rapih lalu meraih tangan Atha. Membukanya perlahan, menaruh kertasnya diatasnya sebelum menutup kembali tangannya rapat.

Nara bertopang dagu. Mendadak teringat bagaimana Atha memasuki kelas pada hari pertamanya waktu itu. Atau bagaimana sebelumnya Atha jatuh tertindih dibawahnya saat Nara berniat bolos sekolah.

Sudah cukup lama setelah kejadian itu berlalu―meski baru seminggu lebih terlewat. Tapi Nara tidak bisa memungkiri bila keberadaan Atha benar-benar merubah cara pandangnya.

Ada sesuatu pada dirinya yang seperti magnet. Sesuatu menarik yang Nara tidak bisa menjelaskannya.Walau itu yang sebenarnya menjadi poin lebih dan membuat Nara tertarik hingga pemuda itu sampai pada titik dia mengerti kemana rasa tersebut mengarah.

Kemana rasa 'tertarik' nya mengarah. Dan semua itu terbukti ketika seharian ini Nara tidak bisa membuka satu topik pun dengan Atha setelah Kariza menyatakan pilihannya―membuat Nara bungkam karena detik itu, dia tidak terima.

Nara tidak berani mendefinisikan rasa tertariknya sebagai suka. Karena dia perlu waktu untuk menyukai seseorang―dan seminggu secara logika tidak masuk akal untuknya.

Tapi bisa jadi, Atha pengecualian.

Tangan Nara terjulur, meraih beberapa helai rambut Atha dan memainkannya. Cukup lama Nara dalam posisi seperti itu―hingga ponselnya bergetar. Nara merogoh saku dan membukanya. Seketika beranjak berdiri mengingat pekerjaannya yang menanti.

Tapi sebelum benar-benar pergi Nara membungkukkan badannya. Dia mengacak rambut Atha pelan lalu memastikan bila perempuan itu tidak akan bangun dalam waktu dekat―setelah yakin, Nara berbisik super pelan.

"Tha, kalau pada akhirnya, gue suka sama lo―gue harus gimana?"

》》》

Atha membuka matanya perlahan sambil membenarkan posisi duduknya. Cahaya perlahan menelusup masuk dan hal yang pertama kali Atha lihat di depannya begitu terbangun adalah makhluk berjenis kelamin laki-laki―Kariza.

Dia sedang menopang dagunya dengan kedua tangan, kepalanya menghadap ke samping untuk menatap langit diluar jendela kelas. Kelihatan sedang berpikir. Cahaya matahari sore membuat Atha bisa melihat jelas pantulan awan putih di mata hazel Kariza.

Sudah berapa lama dia tertidur?

"Lama." ucapnya memakai nada jutek lalu menoleh ke arah Atha. Mata pemuda itu menatap lurus Atha, tanpa bisa dibaca olehnya. "Lo kenapa nggak langsung pulang?" tanyanya kemudian.

"Mm.." Atha mengusap matanya pelan. Otaknya masih dalam kondisi setengah sadar―barulah setelah beberapa detik berlalu, dia menjawab, "Gue nggak punya duit."

Kariza memutar kedua matanya malas. Melamun sebentar sebelum beranjak pergi keluar kelas. "Gue hitung sampai tiga, kalau lo nggak cepetan pergi dari sini―gue tinggal."

"Satu."

Atha bergegas bangkit dan dengan sedikit kelabakan memakai selempangan ranselnya. Dia melirik jam dinding kelas. Melotot saat sadar bila sekarang sudah waktunya dia magang. Atha mengedarkan pandangannya ke belakang sekali lagi sebelum menutup pintu kelas dan berlari untuk memperkecil jaraknya dengan Kariza.

Faust tidak ada dimana pun.

Aneh, batinnya. Rasanya sebelum tertidur―Atha melihat Faust. Namun yang membuat perempuan itu menghentikan langkahnya adalah mimpi indah yang singkat, yang dialaminya tadi.

Ditengah-tengah berlari kecil, Atha mendengar sesuatu terjatuh diatas lantai dan tidak sengaja dia menginjaknya. Takut bila yang terjatuh adalah benda berharga―Atha berbalik lalu memungutnya.

Hanya kertas yang dilipat-lipat menjadi kecil.

Rasa penasarannya mencuat, Atha membuka kertas tersebut dan heran mendapati gambar yang dibuat Nara ada disana. Seingatnya, dia tidak merobek buku pemuda itu.

"Oi, diem aja." panggil Kariza dari jarak sekian meter. Dia berdiri menyamping, menoleh kearah Atha seraya memasukkan tangannya kedalam saku celana.

"Eh iya iya," lalu, Atha pun menyusulnya dengan sedikit tergesa-gesa.

Keduanya pun berjalan berdampingan menuju tempat parkiran yang sepi. Ada jeda yang panjang sampai Kariza kembali membuka topik ketika mereka hendak menghampiri motor vespa pemuda itu.

"Tha,"

"Mm?"

"Lo masih suka ya sama Nara?" Kariza menanyakannya dengan nada ragu.

Atha terbatuk pelan, matanya membelalak kaget. "Kenapa dadakan nanya?" tanyanya balik.

"Nggak boleh nanya?" dan percakapan menyebalkan Kariza pun kembali. Memakai nada sewot―dia menatap Atha setelahnya, pemuda bermata hazel itu lalu berbalik. Meraih helmnya kemudian berjalan kearah Atha.

Dengan menyebalkannya Kariza memasangkannya di kepala Atha.

Perempuan itu membuka mulutnya sedikit. Tapi Kariza menyelak, "Yang tadi nggak usah dijawab, gue udah tahu jawabannya."

Atha seolah kembali menelan kata-katanya dengan meneguk ludah. Rasa gugup yang mendadak muncul menyebabkan Atha mau tak mau menunduk. Parfum maskulin Kariza yang menyeruak di udara sedikit mengganggu konsentrasinya―lalu, pemuda tersebut menangkupkan kedua tangannya di pipi Atha. Memaksanya mengangkat kepala.

Alih-alih meredakan gugupnya, malah menambah rasa gugupnya. Ada apa dengan dirinya?

"Mau dipasangin nggak sih? susah nih kalau lo nunduk melulu."

"Gue nggak minta lo pasangin ya."

"Iya emang."

"Yaudah gue pasangin sendiri aja." timpal Atha seraya berusaha menyingkirkan tangan Kariza yang kini berseliweran di belt helmnya.

Kariza tersenyum kemudian menatapnya. "Telat, udah selesai nih." usai mengatakannya, Kariza segera memasangkan helm untuk dirinya sendiri. Mengeluarkan motornya dari parkiran sebelum membiarkan Atha naik.

"Duh, lama."

"Bentar tali sepatunya lepas!" balas Atha yang tengah berjongkok. Awalnya hendak naik, tapi tidak jadi karena melihat ikatan tali sepatunya yang lepas.

Diam-diam Kariza kembali tersenyum diluar kesadarannya saat pemuda itu sibuk memusatkan perhatian pada Atha melalui kaca spion.

"Kelamaan lo." kata Kariza. Dia menjalankan motornya pergi ke gerbang tepat setelah melihat Atha menyelesaikan tali sepatunya. Dulu, dia pernah melakukan hal yang sama―namun kali ini mungkin sedikit berbeda.

Kariza yang dulu tidak punya rasa apa pun untuk seorang Athalia Sharafina. Tetapi yang sekarang, entahlah. Kariza tidak ingin terlalu cepat menyimpulkan. Yang jelas usai mengetahui semuanya, tentang Atha juga tentang Nara. Kariza―dia, setidaknya, ingin Atha berada sedikit lebih lama didekatnya.

Ya, sedikit lama.

"KARIZA!"

Dia tersenyum. Kariza melirik spion, tertawa puas melihat Atha berlari menghampirinya. Alhasil, dia menghentikan vespanya.

"Silahkan naik, nyonya."

Atha memukul bahu Kariza agak keras secara sengaja saat akan menaiki motor vespanya. Dia melampiaskan emosinya disana. Tapi setelah Kariza menjalankan motornya, Atha menutup mulutnya rapat―memilih untuk memperhatikan suasana disekelilingnya.

Sayangnya, seolah dewi fortuna tidak memihak mereka sore ini ―motor vespa Kariza mendadak berhenti di tikungan setelah berjalan sekian meter dengan tersendat-sendat sambil mengeluarkan asap berwarna keabuan di udara.

"Motor lo kenapa lagi?" tanya Atha setelah sekian lama diam. Kariza membuka helmnya dan menoleh kesamping.

"Lo turun dulu deh, Tha."

Atha mengiyakan lalu segera turun dari motor yang tidak lama disusul Kariza. Dia berjongkok disamping mesin motornya, menatapnya kelewat serius dan berdiri.

"Motor gue...mogok lagi. Kayaknya gara-gara knalpot." katanya, santai.

Atha mendelik. "Za, gue nggak mau loh dorong motor lo. Dan jangan bilang, dari sini kita harus jalan?"

Kariza mengendikkan bahu. "Nggak gue nggak nyuruh lo dorong kok," balasnya. Dia berdiri menghadap Atha memakai senyuman pangeran kuda putihnya yang biasa dipakai untuk meluluhkan hati para siswi di sekolah.

Terkecuali untuk Atha. Meski jantungnya sempat berhenti sepersekian detik―bulu kuduknya merinding seolah tengah menunggu hasil sidang.

"Cuman―" Kariza melempar ranselnya yang berat kearah Atha sebelum mendorong motornya. "Bawain tas gue ya sampai rumah."

Atha spontan mengumpat dalam hati. Dasar Iblis.

Lima menit setelah motor Kariza mogok kembali―Atha berjalan mengekori Kariza. Keringat bercucuran di dahinya berhubung matahari bersinar cukup terik. Atha sendiri tidak yakin kalau dia bisa datang tepat waktu ke minimarket―dia tidak ingin Kariza mengikutinya bila Atha memisahkan diri di jalan.

Omong-omong soal pemuda itu, Kariza, sejak tadi kelihatan sibuk berpikir sambil menggiring motornya. Mereka kini sedang berjalan dipinggir jalan, agar bisa memberi ruang untuk pengguna jalan lain.

"Tha," panggil Kariza disaat Atha tengah memeluk ranselnya sambil menunduk ke bawah.

"Kenapa?" Atha bertanya. Dia melirik punggung Kariza. Postur tubuh pemuda itu terlihat bagus dari belakang. Rambut Kariza yang cukup panjang sudah mengenai bagian kerah belakang kemeja seragam sekolahnya. Warnanya kecoklatan bila berada dibawah sinar matahari.

"Kira-kira alasan apa yang bisa buat lo rela lakuin apa aja untuk seseorang?"

Atha mengedipkan matanya cepat. Tumben, Kariza menanyakan hal yang sedikit lebih bermutu. "Apa?mm,.." dia memberi jeda sejenak dan melanjutkan, "Kalau dia orang yang gue sayang, yang berarti banget buat gue."

"Walaupun lo tahu itu bahaya buat diri lo sendiri?" Kariza lagi-lagi bertanya. Dia sejujurnya penasaran akan kosekuensi Atha pergi ke masa lalu―seperti keadaan di masa mendatangnya atau hal-hal yang bisa berada diluar jalur bila Atha salah bertindak. Tapi Kariza tidak ingin membuat rasa penasarannya terlalu jelas sampai Atha tahu kalau dia mengetahui semuanya.

Untuk Kariza Tarazio, bertemu orang seperti Atha adalah yang kali pertamanya selain Nara. Orang yang bisa dia ajak mengobrol sebagai dirinya yang sebenarnya―bukan Kariza si populer yang dikenal semua murid di sekolah.

Atha berhenti berjalan. Angin laut menerpa wajahnya. Dibawah sana, tepat disampingnya setelah pagar pembatas jalan, Atha bisa melihat pemandangan pantai terbentang. Laut birunya dan pasir putihnya mengundang hasrat Atha untuk melepas penat disana. Merendam kakinya didalam air laut dingin.

Kariza yang melihatnya lewat spion ikut menoleh. Matanya mencuri pandang kearah Atha, menunggu jawabannya.

"Gimana ya Za, sederhananya, kalau lo sayang sama orang―lo pasti lakuin apa aja buat dia senang kan?"

Mendengar ucapan Atha, Kariza menyadari satu hal. Bahwa Atha benar-benar menyukai Nara lebih dari yang dia bayangkan.

Kariza tersenyum tipis, tangannya menggenggam pegangan motor erat. Dia sudah terbawa suasana.

Dan dia rasa, semakin kemari―Kariza sadar bila dengan caranya sendiri Atha membuatnya menyukainya. Tanpa sadar.

Kariza menyukai Nanda. Tapi kenapa dia begitu peduli dengan Atha yang bahkan, sebelum pagi ini, tidak dia ketahui darimana asalnya?

"Tapi kalau gue peduli sama satu orang padahal dia bukan siapa-siapanya gue gimana?" Kariza mengajukan pertanyaan final.

Atha membuka mulutnya dan mengulum senyum. "Ya berarti, lo sayang sama orang itu."

Kariza kehilangan kata-katanya.
Sepertinya, untuk perasaannya kali ini―dia harus mengalah demi Nara.

Benar, untuk Nara. Sahabatnya.

》》》

Rak-rak yang menjulang tinggi sedikit menyusahkan Atha yang bertubuh pendek. Dia ditugaskan oleh Rasta sebelum pemuda itu pergi untuk mengecek persediaan barang di ruang penyimpanan. Setelah berganti baju dan pergi mengendap keluar dari rumah tanpa sepengetahuan Kariza tadi, Atha langsung kemari. Namun dia belum ada satu jam dan Atha sudah mengeluhkan punggungnya yang pegal.

"Yang ini..ada. Akhirnya, ya Tuhan." gumamnya pelan seraya memberi tanda checklist pada kertas yang dipegangnya.

Atha menghela napas panjang dan menutup matanya sejenak. Kemudian, seseorang menepuk bahunya. Kontan membuat Atha memutar badan.

"Burger?" tawar Nara seraya menyodorkan makanan yang masih terbungkus rapih di tangan kanannya tersebut.

Mata coklat Atha berbinar. Makanan gratis di waktu lapar adalah surga dunia. Tidak akan ada yang menolak. Dengan hati berbunga-bunga Atha menerimanya. "Makasih Nar." ucapnya.

Sisa hari ini, Nara akhirnya membuka pembicaraan. Setidaknya Atha merasa sedikit lega―mengingat di sekolah tadi Nara tidak mengatakan sepatah kata pun usai pelajaran seni musik.

Pemuda itu mengangguk.

"Eh yang jaga kasir siapa dong kalau lo disini?" Atha duduk menyender ke deretan rak. Kakinya terlipat silang dan dengan lahapnya dia menyantap burger hangat yang entah kapan dibeli oleh Nara.

"Ben."

"Bukannya dia shift malam?"

"Dia hari ini ada kuliah malam, jadi gue gantiin dia nanti." balas Nara, menjelaskan.

"Terus kenapa lo datang sore?"

"Karena, nggak ada siapa-siapa di rumah. Pada sibuk."

Atha langsung menyesal karena membuat Nara menyinggung soal rumahnya. Berbanding terbalik dengan Kariza yang memiliki keluarga utuh, Nara hidup tanpa ada sosok Ayah yang membesarkannya. Dia lupa.

Alhasil Atha hanya manggut-manggut mengerti. Kemudian hening. Jantung Atha berdegup cepat, mereka hanya berdua di ruangan penyimpanan ini, apalagi dengan Nara yang ikut duduk disebelahnya. Melahap burger miliknya―menarik napas pun terasa sulit untuk perempuan itu.

Selesai menghabiskan makanan keduanya, Nara segera bergegas menuju pintu keluar ruang penyimpanan. Disusul oleh Atha. Tapi saat hendak membuka gagangnya, Nara merentangkan sebelah tangan. Menghentikan Atha melangkah lebih dekat lalu membalikkan badan, meletakkan jari telunjuknya di depan bibir Atha.

"Ada Salsa."

Atha mengedipkan mata cepat. "H-hah?"

Butuh beberapa detik sebelum dia mengerti. Atha mendapati sosok Salsa yang memakai sweater merah sedang mengambil minuman kaleng di mesin pendingin dan menatap Nara lagi.

"Ooh, iya." gumam Atha pelan. Lupa bila Nara tidak ingin anak-anak sekolahan tahu dia magang disini. "Eh tapi kan ulang tahun Nanda udah lewat, kenapa masih mau magang?" lanjutnya berbisik pelan.

Nara menatapnya lama kemudian menyengir. "Kenapa ya, hmm..buat nambah uang jajan?" jawabnya dengan nada bertanya, pada diri sendiri lebih tepatnya.

"Ooh,"

"Emang kenapa?" Nara balik bertanya, alisnya terangkat. Membuat ekspresi wajahnya terlihat lucu.

"Nggak apa-apa." Atha menggelengkan kepala.

Pintu pun tiba-tiba terbuka, Nara sedikit terdorong hingga hampir menabraknya. Atha melihat sosok Ben yang tinggi muncul dari sana. Tangannya terlipat di dada selagi matanya menyipit, menyelidik.

"Gue udah curiga kenapa lo nggak balik-balik, eh malah berduaan disini. Dasar anak muda." tutur Ben yang memecah tawa dari Nara.

"Daripada situ, sendiri melulu. Nggak laku." ledek Nara sambil menyeringai tanpa dosa. Memperlihatkan kedua lesung pipitnya yang mempesona.

Ben menoyor dahi Nara pelan sambil berpura-pura galak.

"Bocah mesum, lo dasar. Udah ah gue mau ke kampus bentar lagi. Lo pindahin kardus yang disitu ke pojok ya dan," Ben menoleh kearah Atha lalu bertanya, "Tha, Rasta bilang lo mau ngomong sesuatu tadi. Rasta suruh ngomong aja ke gue."

Nara memberinya pandangan penuh tanya. Atha terdiam lalu meneguk ludah, dia mengiyakan.
"Yaudah, ngomongnya di tempat kasir aja. Biar Nara disini." ucap Ben seraya berbalik, membuka pintu.

Atha mengikutinya. Namun sebelum menutup pintu, dilihatnya Nara tersenyum. Mengacungkan jempolnya di udara. Entah untuk apa. Yang jelas, begitu pintu tertutup―Atha mendadak merasa sedih.

"Tha, bentar ya gue ditelfon." Ben mengangkat tangan kirinya, menyuruh Atha berada di tempat kasir selagi pemuda itu berjalan keluar minimarket dengan ponsel menempel di telinga kanannya.

Bunyi detik jam dinding yang memenuhi ruangan mengisi kekosongan minimarket yang kini sepi pengunjung. Atha menghela napas panjang dan memperhatikan jarum jamnya mengarah di angka jam enam yang sebenarnya, sudah waktunya dia pulang.

"Psst,"

Atha mendongak, melotot kaget melihat Faust berdiri dihadapannya. Makhluk itu, seperti biasa, terlihat menawan. Mata elangnya menatap Atha lurus-lurus meski bibirnya mengulum senyum tipis.

"Faust?" Atha berbisik pelan. "Lo kemana aja?" sambungnya setengah jengkel. Masalahnya, Faust seenak jidatnya sendiri muncul dan menghilang tanpa melapor pada Atha kemana dia akan pergi.

"Maaf, tadi aku sibuk."

"Sibuk?" Atha mengulang. Nada bicaranya naik satu oktaf. "Lo tahu nggak, motor Kariza tadi mogok lagi dan gue harus bawain ranselnya sampai rumah kali ini!"

Faust mengangguk. "Mengerti."

Atha menepuk jidatnya. Lupa bila makhluk yang tengah diajak bicara olehnya bukan manusia―makanya, cara menjawabnya lebih mirip robot.

"Tapi Athalia,"

"Apa?" Atha mengangkat wajahnya. Matanya menerka-nerka perkataan Faust selanjutnya. Berharap sesuatu bagus terjadi.

"Portal waktunya―terbuka."

Atha merasa jantungnya berhenti sepersekian detik. Dia menatap Faust tidak percaya. Namun alih-alih senang, Atha justru dibuat bimbang.

Antara dia harus mengakhiri mimpi indah ini―atau kembali ke masanya. []

==

Jakarta, 30 Oktober 2015

A/n: Maaf ya lama, semoga tidak mengecewakan. Amin. Aku janji hiatus seminggu tapi malah lewat hehe, waktu mau di post kemarin banyak yang aku ubah lagi soalnya aku rasa agak maksa. Mudah-mudahan nggak aneh ya, makasih banyak buat vote dan komennya! -sav

Copyright © 2015 by saviranc

Continue Reading

You'll Also Like

1.4K 543 21
Langit Acacio tidak terasa lengang tanpa kehadiran mereka. Bumi pun tidak merasa tersanjung atas kedatangan kembali mereka. Bahkan tidak banyak yang...
Metamorvisha By cand

General Fiction

2.1K 314 4
Kata Visha, hidup dalam fase kepompong itu penuh beban dan membuatnya putus asa. Kata Harsa, ketika menjadi kupu-kupu, beban yang Visha rasakan belum...
1.7K 358 60
[A ๐“๐ž๐ž๐ง๐Ÿ๐ข๐œ๐ญ๐ข๐จ๐ง (๐˜๐จ๐ฎ๐ง๐  ๐€๐๐ฎ๐ฅ๐ญ) ๐๐ฌ๐ฒ๐œ๐ก๐จ๐ฅ๐จ๐ ๐ฒ๐œ๐š๐ฅ Story] [๐Œ๐š๐ฌ๐ฎ๐ค ๐๐š๐Ÿ๐ญ๐š๐ซ ๐›๐š๐œ๐š๐š๐ง "๐Š๐ž๐ค๐ฎ๐š๐ญ๐š๐ง ๐–๐š๐ง๐ข๏ฟฝ...
Quartam By Rend

Science Fiction

9K 1.2K 39
Langit biru hanya ada di buku dan mungkin di pulau itu, tidak di sini. Tidak ada yang pernah tahu seperti apa indahnya langit seperti itu. Terlahir d...