Replaying Us

By kianirasa

609K 54.6K 5.7K

Athalia Sharafina menyukai Narado Risyad dalam diam selama bertahun-tahun. Tapi tidak pernah menyatakannya b... More

Bagian Satu : Nyata atau Ilusi?
Bagian Dua: Menuju Masa Lalu
Bagian Tiga: Malaikat dan Donat
Bagian Empat: Ide Yang Buruk
Bagian Lima: Obrolan dan Rencana Menetap
Bagian Enam: Pengakuan, Kesepakatan
Bagian Tujuh: Seragam Putih Abu-abu Lagi
Bagian Delapan: Tidak Terlalu Buruk
Bagian Sembilan: Memalukan
Bagian Sepuluh: Mendadak Galau
Bagian Sebelas: Cinta Segitiga atau Segi Empat?
Bagian Dua Belas: Berbahaya
Bagian Tiga Belas: Dia-lo-gue
Bagian Empat Belas: Bolos Sekolah
Bagian Lima Belas: Semakin Dalam
Bagian Enam Belas: Curhatan dan Sepatu?
Bagian Tujuh Belas: Dalam Gelap
Bagian Delapan Belas: Diluar Dugaan
Bagian Sembilan Belas: Sekali pun Dalam Mimpi
Bagian Dua Puluh: Getaran Aneh
Bagian Dua Puluh Satu: Penguntit, Menguntit
Bagian Dua Puluh Dua: Debaran dan Rasa
Bagian Dua Puluh Tiga: Begitu Berarti
Bagian Dua Puluh Empat: Bisa Jadi
Bagian Dua Puluh Lima: Kebenaran, Ungkapan, dan Perasaan
Bagian Dua Puluh Tujuh: Virus Cinta
Bagian Dua Puluh Delapan: Bimbang
Bagian Dua Puluh Sembilan: Tidak Lama Lagi
Bagian Tiga Puluh: Pertama Yang Abadi
[EKSTRA]: Dalam Ingatan
EPILOG
PEMBERITAHUAN

Bagian Dua Puluh Enam: Pertemuan Pertama

12.8K 1.5K 163
By kianirasa


A/n : [PENTING] Part ini khusus untuk Atha&Nara ya, ceritanya sebelum Nara meninggal hope you love it!

==

Bagian Dua Puluh Enam: Pertemuan Pertama

==

Bulan Mei tanggal dua belas, matahari bersinar terik. Seakan membakar permukaan kulit. Tetapi hanya selang beberapa jam setelahnya, Atha bisa melihat bagaimana langit berubah keabuan. Dihiasi awan mendung yang siap menumpahkan isinya ke bumi.

Ulang tahun Atha yang ke tujuh belas terasa biasa saja─meski harus dia akui, rasanya setiap tahun memang tidak ada yang spesial. Masa putih abu-abu bahkan dia lewati dengan menyibukkan diri bersama setumpuk buku setiap harinya. Hanya sesekali pergi jalan─itu pun hanya bersama Raya.

Alhasil, karena bosan, Atha tergerak dari ranjangnya untuk pergi. Padahal baru hari kedua dia libur dari sekolah namun rasanya sudah membosankan.

Yah, paling tidak, liburan kelulusan kali ini harus dia isi dengan sesuatu bermanfaat. Awalnya Atha berpikir demikian. Membaca buku contohnya. Tapi novel─bukan buku-buku ruwet yang tiap hari dipelajarinya di sekolah. Oleh karena itu, Atha bergegas mengganti bajunya dengan kaos oblong dan jeans nyaman. Baru sesudahnya dia mengirimkan pesan kepada Raya. Berniat mengajaknya.

Saat tengah sibuk mematut dirinya yang sudah merasa siap dan lumayan percaya diri menghadapi pantulan dirinya di cermin, ponsel pintarnya bergetar.

Dia menggerutu pelan dan membuka lock screen nya yang menampilkan foto dia dan Raya yang saling merangkul dengan seragam yang sudah dihiasi spidol.

<Raya: Maaf banget Tha! Gue nggak bisa. Ada janji sama Dika.>

Membaca pesan singkat Raya, otomatis Atha mendesah panjang. Dia lupa bila Raya sedang asik-asiknya dalam masa pendekatan dengan pemuda kelas sebelah, Andika.

Dengan super cepat, Atha mengetik diatas keyboard ponsel pintarnya. Mengirim balasan pesan Raya supaya tidak membuat sahabat baiknya itu menunggu.

<Atha: Okelah. Sukses pedekatenya.>

Tanpa menunggu balasan, Atha memasukkan ponsel dan dompet kecilnya kedalam saku. Keluar kamar dengan sedikit tergesa. Rumahnya hampir setiap saat selalu dalam keadaan sepi─mengingat kedua orang tuanya hampir tidak memiliki waktu luang di rumah. Pembantu hanya datang akhir pekan. Maka dari itu, begitu Atha berjalan keluar kamar suasana hening begitu terasa.

Raya's calling.

Atha membaca tulisan itu terpampang di layar ponselnya usai dia mengunci pintu rumah. Sambil menyelipkan kunci di dalam karpet rumah, Atha mengangkat telfonnya sebelah tangan.

"Halo?" ucapnya.

Unuk beberapa saat Atha mendengar suara keramaian. Lalu, tidak lama, suara familiar terdengar. "Atha!"

"Mm?" balasnya. Atha berjalan ke luar pagar menuju halte bis terdekat. Berhubung toko buku yang ditujunya tidak jauh, rasanya sayang bila menghabiskan bensin. Sejujurnya Atha memang jarang menyetir mobil meski memiliki sim. Lagipula, sebagian besar waktunya dihabiskan dalam rumah dan sekolah─jadi rasanya, dia lebih terbiasa memakai angkutan umum.

"Lo marah ya?maaf banget! gue janji sama Dika duluan soalnya." ucapnya dalam satu tarikan napas. Suaranya terdengar dikeraskan sengaja agar bisa terdengar jelas diantara keributan yang ada di seberang telfon.

"Iya iya, lo dimana deh Ray?" Atha melangkahkan kakinya masuk kedalam bis yang baru datang tepat setelah dia menginjakkan kaki di halte. Duduk di tempat favoritnya, pojok belakang disamping jendela.

Usai dia menjatuhkan bokongnya diatas bangku empuk bis─Atha menepuk dahi. Merasa bodoh karena lupa membawa payung padahal langit jelas-jelas sudah menunjukkan tanda hujan akan turun.

"Ap─oh, gue.. di art gallery, yang diadain sama Omnya Dika. Berisik ya?"

"Banget."

Selanjutnya, Raya tertawa pelan. Dan ada jeda cukup lama dimana Atha bisa mendengar percakapan sahabatnya dengan seseorang bersuara berat. Dika. Mereka berbincang, memperdebatkan sesuatu sebelum ujungnya Raya pamit untuk menutup telfonnya lebih dulu.

Pada pemberhentian bis di halte berikutnya. Atha memperhatikan sejumlah orang memasuki bis dengan baju yang basah kuyup. Begitu menoleh keluar jendela lagi, ternyata hujan sudah turun.

"Boleh duduk sini?" sebuah pertanyaan menginterupsi Atha. Dia segera menoleh, matanya menyipit curiga kearah pemuda bertopi yang berdiri di bangku kosong sebelahnya.

Awalnya Atha sempat ingin mengatakan tidak. Tapi saat menyadari bahwa tempat lainnya sudah penuh, Atha mempersilahkannya. "Boleh."

"Makasih." katanya. Atha mengangguk dan membuang muka. Dalam diam memperhatikan gerak-gerik si pemuda melalui pantulannya di kaca. Sayang, cuaca di luar sana membuat kaca sedikit buram karena embun. Padahal Atha ingin melihat wajah pemuda disebelahnya itu.

"Misi, mau tanya, Universitas Nusantara itu dimana ya?" Atha meringis, dahinya terbentur kaca jendela bis karena kaget akan pertanyaan yang begitu tiba-tiba.

Dari ekor mata, didapati Atha bahwa pemuda disebelahnya mengulum bibir kedalam untuk tidak tertawa.

Berusaha menahan rasa malunya ─Atha berdeham. "Sekitar Jakarta Selatan kok, mas." jawabnya, sengaja menggunakan nada sinis.

"Ooh." dia manggut-manggut mengerti. Lalu, mata pemuda itu kembali fokus pada buku yang berada di tangannya. Atha yang tidak sengaja melihat judul bukunya, hampir saja berbalik menertawainya.

Cara menemukan cinta pertamamu. Buku macam apa itu?

Gaya pemuda itu bisa saja terlihat keren. Tapi image nya dalam sekejap hancur, hanya dengan Atha melihat buku bacaannya. Warna merah muda dari font judulnya bahkan sudah menarik perhatian.

"Cari orang, mas?" Atha iseng bertanya.

Sadar bahwa dia sebentar lagi dijadikan bahan tertawaan─pemuda itu buru-buru menutup dan memasukkan bukunya ke dalam ranselnya. "Ya gitu."

Atha mengangkat sepasang alisnya. Dia menarik napas. Jalanan Jakarta sore itu jauh dari kata lengang. Seharusnya hanya memakan waktu lima belas menit untuk sampai ke toko buku, tetapi kelihatannya dia masih harus duduk lebih lama lagi.

Saat pemberhentian di halte ketiga, seorang wanita paruh baya menaiki bis. Kepalanya celingak-celinguk selagi kedua tangannya menenteng belanjaan dari pasar. Atha menatapnya iba. Apalagi postur wanita itu yang terlihat kecil diantara sekumpulan pria yang berdiri.

Terlintas dipikirannya untuk memberikan kursi kepada wanita tersebut, namun rupanya ketika itu pemuda bertopi disebelahnya sudah mendahuluinya. Dia berdiri, memasang ranselnya sebelah bahu lalu menghampiri wanita paruh baya itu. Mengobrol dengan ramah sebelum menuntunnya ke bangku yang ditempatinya.

Dalam hati, Atha berdecak kagum.

Setelah perjalanan yang cukup panjang, Atha akhirnya turun di halte bis tujuan. Lebih dulu dari pemuda bertopi tadi. Dia menoleh ke dua arah bergantian. Memperhatikan lalu lalang kendaraan yang melintas─sebelum dia menyebrang. Namun baru mengambil satu langkah maju, Atha merasakan sebuah tangan menariknya cepat. Membalikkan tubuh Atha hingga berdempet dengan dada bidang seorang yang tak dikenalnya, sementara detik selanjutnya Atha mendengar bunyi mesin motor yang melaju sangat cepat.

Atha bersumpah, sewaktu itu terjadi, jantungnya berdegup sangat cepat. Napasnya memburu selagi matanya terbuka lebar. Sadar bila dirinya hampir saja ditabrak.

"Hati-hati makanya."

Atha mengatur napasnya. Mendongak. Pemuda bertopi yang tadi. Wajahnya samar-samar terhalang oleh bayangan topi. Dia bahkan tidak tahu kalau pemuda itu turun bersamaan dengannya dari bis.

"Makasih." ucap Atha, lega. Dia melepaskan pegangan erat pemuda itu di lengannya. Merasa tidak nyaman dengan pandangan yang diberikan orang lain.

Meneguk ludah gugup, Atha melindungi puncak kepalanya menggunakan punggung tangan untuk menghindari kepalanya dari bulir hujan. Dia mulai menyebrang bersama beberapa orang lainnya. Sama sekali tidak ingin menoleh kebelakang karena Atha entah mengapa merasa gugup berhadapan dengan pemuda itu.

Walau jarum jam masih berhenti di angka empat sore─tetapi langit sudah gelap. Hujan turun semakin deras dan Atha terpaksa mencari selah diantara para pejalan kaki yang menumpang berteduh di pinggir deretan ruko.

"Akhirnya.." gumamnya. Atha menghela napas panjang dan berjalan masuk ke toko buku tersebut. Dihirupnya banyak-banyak udara begitu sampai didalam.

Senyum merekah. Sudah agak lama dia tidak pergi ke toko buku dan mencium bau buku-buku baru.

Tangannya menyentuh deretan buku yang terpajang di sepanjang rak hingga akhirnya jemarinya berhenti pada satu buku.

Penulisnya ditulis dengan huruf kapital. Lanjutan dari novel serial favoritnya. Percy Jackson.

"Suka novel Rick Riordan juga?" tanya sebuah suara yang mengagetkan Atha. Dia spontan menoleh ke belakang, bahkan sampai harus mengangkat kepala agar bisa melihat dengan jelas wajah pemuda yang berdiri persis dibelakangnya.

Struktur wajahnya sempurna, hidung mancung dengan bibir yang menggoda. Senyumnya membentuk lesung pipit di pipinya. Atha sama sekali tidak bisa menutup mulutnya yang menganga kecil. Mengagumi sosok ciptaan Tuhan yang satu itu pada detik pertama Atha menatapnya.

Sesungguhnya, itu kali pertama Atha merasa seperti itu.

"Ha-h? oh iya, mm, iya." jawabnya gagap. Setengah bingung saat menentukan kata-kata pas.

"Tumben," Pemuda itu mengusap dagunya menggunakan tangan kanan. Berpikir sejenak. Atha yang ketika itu belum mengetahui namanya─seolah berharap, menunggu sampai dia mengenalkan diri. "Biasanya cewek, sukanya sama novel romantis gitu."

Atha berdecak pelan. "Kan biasanya." timpalnya tanpa sadar.

"Ooh, kesimpulannya lo bukan cewek biasanya dong. Gitu?"

Atha berusaha tenang meski debaran jantungnya ketika itu berada dari ambang batas normal. Bahkan debarannya bisa dia dengarkan.

"Narado Risyad."

"A-apa?"

Pemuda itu mengangkat kedua alisnya keatas. "Nama gue."

"Oh, gue Athalia Sharafina." balas Atha yang awalnya ragu. Dia membuang pandangan, lalu terkesiap melihat topi yang dipegang pemuda bernama Nara tersebut.

Topi yang sama, yang dipakai pemuda bis barusan.

"Lo─" ucapan Atha terputus. Dia menggeleng pelan. "Lupakan."

Nara yang ketika itu mengenakan kaos oblong hanya mengerutkan dahi. Dia memperhatikan Atha dengan seksama, tanpa membiarkan perempuan itu mengetahui isi pikirannya. Merasa canggung dengan suasana seperti itu, Atha membalikkan badannya. Berjinjit kecil untuk mengambil novel yang dicarinya─yang ada di deretan atas rak.

Sadar bahwa posturnya tidak mendukung, dengan berat hati juga setengah malu─Atha yang waktu itu mengucir satu rambutnya lalu membuka mulut.

"Tolong ambilin dong."

Nara waktu itu tersenyum penuh kemenangan. Tapi dia tidak langsung mengambilnya. Malah menoleh kesana kemari dan menunjuk dirinya sendiri. "Lo minta tolong ke siapa?gue?" tanyanya.

Atha sedikit geram namun anehnya, debar jantungnya tetap terasa cepat. "Iya, elo."

"Emang gue siapa?"

Astaga, Atha membatin. "Na..rado Rasyid?" ucap Atha dengan nada aneh.

"Risyad." koreksinya. Dia lagi-lagi tersenyum lucu, membuat sepasang matanya terlihat seperti bulan sabit. "Nah itu dong." lanjutnya dan seperti yang diminta, Nara segera mengambilkan.

Namun kemudian, dia melayangkan bukunya di udara tepat ketika Atha hendak meraih buku itu. "Makasihnya mana?"

"Makasih, Narado Risyad."

"Nara aja."

"Iya, Nara."

"Jangan jutek-jutek jadi cewek, nanti nggak laku loh." candanya mencoba mencairkan suasana.

Ketika itu, Atha seharusnya kesal. Tidak ada orang lain selain Raya yang berani mengajaknya bercanda gurau tidak penting─karena begitulah sosok Atha yang dulu. Kaku, tidak bisa bergaul, dan kuno.

Tapi melihat wajah Nara yang berseri-seri justru membuat sesuatu dalam dirinya tergerak. Atha mengulum senyum tipis dan tanpa dia sadari, mereka berdua berjalan bersama menuju meja kasir.

Ketika Atha mengeluarkan dompet─Nara menyelaknya. Pemuda itu segera menyerahkan sejumlah uang pada pegawai kasir wanita yang terpesona padanya. Bahkan Atha pun bisa melihatnya dengan jelas.

Memang tidak bisa dipungkiri, aura yang diberikan makhluk Tuhan disebelahnya terlalu kuat efeknya.

"Oh iya," ucapan Nara memecahkan lamunan Atha. Tahu-tahu dirinya sudah berada di luar dan berjalan beberapa meter dari depan toko bersama Nara. "Atha." panggilnya.

"Mm..ya?"

Nara menggigit bibir bawahnya. "Gue masih harus beli sesuatu? lo duluan nggak apa-apa?"

Atha mengerutkan dahi. Apa urusannya? mereka baru bertemu sekitar sepuluh menit lalu, dan anehnya, Nara sudah bertingkah seolah keduanya telah lama saling mengenal.

"Ya yaudah? eh tapi─uangnya.."

"Udah nggak usah diganti." Nara buru-buru memotongnya. Pemuda itu lalu balik badan dan pergi seraya berlari kecil. Menyisakan sedikit tanya di dahi Atha.

"Eh..ATHA!"

Perempuan itu tersentak. Dia yang baru saja berniat melangkah pergi, menoleh ke belakang. Nara mengayunkan tangannya di udara tanpa menghilangkan senyumnya.

"Gue tadinya mau tanya id LINE lo, tapi nggak jadi deh," Nara menarik napas. "Entah kenapa firasat gue bilang, kita bakal ketemu lagi." sambungnya, tidak jelas, lalu pergi.

Atha menggelengkan kepala. Tawanya kemudian pecah disela-sela bunyi hujan mengguyur kota Jakarta.

Pulang dari sana, Atha yang waktu itu sibuk memikirkan pertemuannya dengan pemuda aneh bernama Narado Risyad pun dibuat kaget dengan kejutan yang direncanakan kedua orang tuanya─juga Raya. Dan sedikit teman SMA nya.

Hari itu pun menjadi salah satu hari bersejarah di hidup Atha. Dan menurutnya, kado terbaik pada ulang tahunnya yang ke tujuh belas adalah─Nara.

Pertemuan pertamanya dengan Nara.[]

==

Minggu, 4 Oktober 2015.

A/N: Hai semuanya! aku tau ini udah lama banget dan keterlaluan semenjak aku lama nggak apdet. Dan MAAAF SEKALI karena part ini absurd, udah gitu yg pada kangen sama Kariza malah gamuncul dianya...

ANYWAY, hari ini ultahnya Kariza. So ini kayak semacem hadiah which i made for u guys tapi malah gaada dianya-_-

yg nge add LINE aku dan gadibales MAAAF YA aku lupa off in filternyaaa. untuk siapapun yg udah aku add back di line trus gadibales..aku minta maaf banget karna fitur baru line yg buat fanpage gtgt menuhin banget di message line aku..sampe aku apus semua chat history TRUS LUPA kalo masih ada chat yg belom kubales

MAKASIH BUAT KALIAN YANG SUDAH SETIA xoxo doakan part selanjutnya lancaryaa

─sav

Copyright © 2015 by saviranc

Continue Reading

You'll Also Like

174K 36.9K 65
[Pemenang Watty Awards 2019 Kategori Mystery & Thriller] Orang bilang Klub Jurnalistik dijuluki "Klub Jurik" karena ruangannya berhantu. Kalau itu be...
Metamorvisha By cand

General Fiction

2.1K 314 4
Kata Visha, hidup dalam fase kepompong itu penuh beban dan membuatnya putus asa. Kata Harsa, ketika menjadi kupu-kupu, beban yang Visha rasakan belum...
842K 18.3K 6
Bukankah, biasanya persahabatan antara laki-laki dan perempuan itu berujung pada cinta? Dan bukankah selalu berakhir bahagia? Lalu, bagaimana dengan...
2.6K 471 11
SHORT STORY | TAMAT Sayf Fahreez, murid pindahan yang terkenal dengan kemampuan akademik di atas rata-rata, mendapat hukuman untuk merenungi kesalaha...