HARAPAN (ANTON RIIZE #01)

By isabella_mirzin

2.4K 239 24

Menceritakan tentang keluarga kecil Donzello Anton seorang duda beranak 2 kembar laki-laki dan perempuan yang... More

TOKOH
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34

24

68 7 0
By isabella_mirzin

"Di mata kamu mama ini sebenarnya dianggap sebagai apa si? Orang mati?" Nada kemarahan penuh kekesalan tidak lepas dari sosok Susi yang berdiri di depan ranjang tempat Anton mendudukkan tubuhnya sekarang.

Berdecak gerah, mata pria itu melirik celah pintu kamar dengan perasaan tidak nyaman, takut percakapan mereka sampai ke teras rumah karena si kembar tengah berada di sana bersama Dandi. "Kok ngomongnya gitu si--"

"Gimana mama enggak ngomong kayak gini, orang kamunya juga kayak gitu kok ke mama. Apa jangan-jangan kamu beneran lupa yah sama mama? Kamu ngiranya mama ikut kecelakaan juga bareng keluarga Evelyn? Iya?"

"Ma... Ale sama Age udah ngerti, jadi jangan bahas kayak gini kalo ada mereka!" Anton terhenyak menyadari nada balasannya menjadi lebih tinggi dari sebelumnya, ia langsung buru-buru mengatur nada bicaranya. "Jangan bawa-bawa orang yang udah enggak ada juga."

Mendapatkan balasan seperti itu membuat Susi memukul bahu anaknya dengan kencang. "Kamu berani marahin mama?"

Terhuyung ke samping, Anton mempertahankan diri untuk tetap diam ditempat, kepalanya menunduk dengan mata yang melihat ke lantai. Kemarahan seorang ibu memang tidak ada tandingannya, jika dibalas pasti akan dianggap durhaka.

"Maaf."

Pada akhirnya seorang anak hanya bisa meminta maaf walau bukan murni kesalahannya.

"Emangnya-emangnya..." Kemunculan Dandi yang berjalan melewati kamar Anton dengan Allen sebagai ekornya mengalihkan perhatian Susi. "Emangnya om mau beli ikan cupang dimana?"

Suasana bahagia yang diciptakan Allen menarik Susi keluar dari kamar tersebut dan beralih menyusul anak bungsu dan cucu laki-laki nya ke belakang. "Age mana?"

"Di depan," jawab Dandi yang tengah mengecek aquarium kering.

"Enggak masuk?" Tanya Susi lagi sambil mengusap pucuk kepala Allen yang tengah melongok ke dalam aquarium di depan Dandi.

Wajah anak laki-laki itu terlihat sangat cerah, secerah matahari pagi. Ini karena keinginannya yang akan melihat ikan-ikan cantik berenang di aquarium akan terpenuhi oleh adik dari ayahnya. Ia tidak percaya begitu mengatakannya Dandi langsung bertindak memenuhi.

"Sibuk mainan sendiri dia," Jawab Dandi mengambil sawang dari sebuah batu karang putih di kotak aquarium kering.

Karena Agnes seorang anak perempuan jadi jelas kesenangannya akan berbeda dengan Allen yang seorang anak laki-laki. Anak perempuan cenderung bermain dengan pikirannya sendiri seperti berangan-angan sambil bermain masak-masakan, berdialog ditemani benda-benda yang menarik mata, intinya ada saja permainan karakter jika sudah asik dengan suatu hal.

"Aku mau ke pasar dulu beli ikan cupang, kamu disini ya jaga rumah?" Pilar rumah menjadi lawan bicara Agnes kali ini, anak itu terlihat menikmati karangan ceritanya sendiri.

"Emang beli dimana ikan cupang nya?" Itu karakter lawan yang juga Agnes perankan sendiri, dia benar-benar bermonolog.

Menatap udara, mata Agnes menangkap bangunan masjid. "Di masjid belinya, tuh lihat, enggak jauh kan?"

"Ya udah aku jaga rumah."

Manggut-manggut mendalami perannya, tangan itu kemudian menyibak rambut panjangnya ke belakang dengan kegenitan. Merasa menjadi manusia paling cantik di muka bumi ini. Kaki kecilnya membawa tubuh menjauhi pilar kemudian beralih mendekati bangku besi dan duduk disana. Agnes membuka telapak tangannya dan bercermin di tangan putihnya, dia bergaya dan bergaya. "Udah cantik harusnya dapet duit--"

Tiba-tiba pikiran lain terlintas di benaknya. "Aha! Apa aku minta beli make up make up aja yah? Ke Papa?"

Memiliki keinginan yang harus segera diutarakan, Agnes dengan wajah berseri-seri mulai meninggalkan bangku dan berjalan kembali hendak ke pilar. Namun belum sempat sampai disana suara sahutan seseorang tiba-tiba mengejutkannya dan membuat kakinya tergelincir.

"Suara apa itu?" Sahutan orang lain kembali terdengar bahkan setelah lutut Agnes mencium tanah. 

Entah bagaimana cara orang itu berjalan namun langkahnya benar-benar tidak terdengar sampai-sampai membuat Agnes terkejut dan terjatuh seperti sekarang ini.

Sedangkan pemilik suara yang sudah sampai di atas langsung buru-buru menghampiri Agnes setelah bergegas mengakhiri anak tangga begitu mendengar bunyi 'gedebuk' di pertengahan tadi. "Kamu enggak papa?"

Mengenakan celana training hitam, kaos lengan panjang, kerudung hitam, Aesa mengubah posisi lutut Agnes dan segera mengeceknya setelah meletakkan kantong pelastik berwarna merah di teras semen.

Tiba-tiba terdengar helaan nafas dari wanita dewasa di depannya, dan itu membuat Agnes mengerucutkan bibir ingin menangis. Ia malu jika orang lain mengetahui kondisi lututnya karena secara tidak langsung mata lain telah melihatnya terjatuh. Ia lebih suka tidak ada yang tahu tentang cederanya karena itu menyedihkan dan memalukan untuk dibicarakan.

"Ih berdarah." Kekhawatiran berubah menjadi kepanikan. "Pasti sakit yah?..."

Dan itu semakin membuat Agnes tidak kuat menahan perasaan ingin menangis, matanya bahkan kini berkaca-kaca, cicit kesedihan mulai keluar. Ia mengangguk untuk membalas pertanyaan tersebut.

"Karena ini berdarah jadi harus di bilas dulu pake air biar enggak infeksi." Gumam Aesa serius sambil menyatukan alisnya, raut wajahnya sekarang menunjukkan kekhawatiran yang tulus di mata Agnes.

"Di kamar mandi banyak air," Cicitnya menahan isak tangis.

"Enggak enak dong kalo asal masuk, enggak mungkin juga nyuruh kamu masuk ngambilin air kan kamu yang lagi luka." 

Tangan cantik merogoh saku celana dan mengeluarkan sesuatu dari dalamnya. Ia kemudian membuka bungkusnya yang langsung menampakkan sebuah plester penutup luka bergambar dinosaurus.

Melihat gambar lucu pada plester itu membuat Agnes berbinar di sela-sela rasa sakitnya. "Mau pake itu."

"Ini mau dipakein." Namun bukannya langsung memakaikannya pada luka Agnes, Aesa malah terdiam menatap bergantian lutut dan pemiliknya terlebih dahulu. Lalu tenggorokannya bergerak menelan ludah dan memutuskan untuk mencolek sedikit ludah yang sudah kembali mengumpul menggunakan jari telunjuknya sendiri.

Agnes buru-buru menarik kakinya ketika rasa perih menyengat saat ludah wanita asing itu membasuh tempat lukanya. Tanpa sadar salah satu matanya tertutup menahan diri sambil menceletuk. "Jijik."

Namun bukannya merasa marah atau bagaimana Aesa malah tertawa terbahak-bahak, membuat Agnes menatapnya bingung. Kemudian 2 buah plester mulai menutupi luka yang sudah lepas dari pendarahan ringan.

"Udah..." Mengamati luka yang sudah diobati membuat Agnes menatapnya. "Maaf yah kalo tadi sempet jijik tapi enggak ada cara lain jadi pake ludah aku, hehe."

Merasa tidak ada yang perlu ditakutkan membuat Agnes membalas, "Iya enggak papa."

"Coba kamu berdiri, kuat jalan enggak?" Dalam beberapa detik nada Aesa langsung berubah dan itu kembali mengejutkan Agnes. "Takutnya sakit banget sampe enggak bisa jalan."

Menuruti saran Aesa, kaki kecil itu beranjak berdiri dengan mata yang tidak lepas dari plester di lutut. "Enggak sakit kok."

Menjangkau kantong pelastik yang sempat ditinggalkan beberapa centimeter dari tempatnya, Aesa membalas, "Syukur deh kalo enggak sakit mah."

"Itu apa?" Tanya Agnes penasaran melihat barang bawaan wanita itu.

"Ini ayam, Embah-nenek kamu kan tadi pagi nitip ayam."

"Mau aku panggilin enggak? Embah nya?"

"Kamu manggilnya embah juga?"

Agnes mengangguk mengiyakan.

"Boleh deh, makasih yah."

"Iya."

Tubuh pendek berbalik membelakangi Aesa, kemudian langkah kecilnya mulai mendekati teras rumah dan menaikinya. Namun belum sempat melakukan niatnya, tiba-tiba salah satu daun pintu sudah  terbuka lebar dari dalam dan mengeluarkan orang yang dijanjikan.

"Embah ada yang nyariin."

"Siapa?"

"Mbak," panggil Aesa berjalan menuju teras dan menaikinya, Susi yang melihatnya langsung tersenyum semringah. "Ini ayamnya."

"Berapaan, Aesa?"

Mengulurkan tangan memberikan ayam didalam kantong pelastik merah kepada Susi, Aesa menjawab, "Tiga puluh empat." Kemudian menambahkan ketika tangan lain mulai mengambil alih barang di tangannya. "Tadinya mau sekalian satu ekor soalnya nanggung banget satu ekor empat puluh ribu."

Terkejut mendengar informasi tersebut, alisnya mengkerut dan  terheran-heran. "Murah banget, kamu beli dimana emangnya?"

"Di Haji Basor tapi yang ngelayanin anaknya."

"Biasanya disitu paling mahal."

"Menjelang ramadhan mungkin."

"Ramadhan dua bulan lagi, Aesa." Susi meralat yang langsung membuat Aesa tertawa.

"Ya... Aku juga enggak tahu kan kata aku 'mungkin' bukan pasti."

"Haha iya iya... Tapi ini makasih ya. " Merogoh saku daster, Susi mengeluarkan 2 lembar uang hijau dan memberikannya kepada Aesa. "Nih uangnya."

Menerima uang pembayaran, tangan satunya lagi merogoh saku celana dan mengeluarkan pecahan 2.000 berjumlah tiga.

"Enggak usah, itu buat kamu aja sisanya." Susi langsung saja menolak namun tangan Aesa tiba-tiba menarik tangannya dan meletakkan uang kembalian di tangan keriputnya.

"Apaan si mbak, aku kan udah pernah kerja masa masih dikasih upah juga."

"Ya kan buat jajan."

Menanggapi dengan setengah mendengus dan setengah tertawa, Aesa menjawab, "Emangnya aku anak kecil apa? Aku masih punya uang buat jajan aku sendiri jadi Mbak enggak usah kayak gini, aku juga udah gede, malu..." Tiba-tiba matanya melirik Agnes yang sejak tadi mengamati interaksi mereka. "Ada anak kecil juga disini."

"Jadi kalo enggak ada anak kecil kamu bakal nerima?"

"Enggak." Susi dan Aesa tertawa bersama. "Udah ah, aku mau pulang."

"Egan masih dirumah kamu?"

"Masih."

"Emang keluarga Estu belum ada satupun yang pulang apa?"

"Nanti siang kayaknya deh, tapi Mbak Pita tadi sempet nelfon katanya mau ngurus Egan jadi paling dia sama suaminya bakal pulang ke rumah hari ini."

Mendengar nama yang sudah sedikit asing membuat Susi bertanya lebih lanjut, "Pita belum dapet momongan juga?"

Terhenyak, Aesa menatap lawan bicaranya dengan perasaan gelisah. Daripada membicarakan rumah tangga orang lain dia lebih suka membicarakan diri sendiri dan mendengarkan cerita dari orangnya langsung. "Enggak tahu ... tapi... kayaknya belom."

"Udah berapa tahun si pernikahan mereka? Tujuh tahun kan yak? Malahan duluan mereka daripada Anton."

"Anton siapa, Mbak?"

"Eh?" Kini giliran Susi yang mengerjapkan mata menatap Aesa. "Kamu enggak kenal yah?"

Ia hampir lupa jika sosok Aesa itu merupakan sosok penutup informasi tingkat dewa. Hidupnya hanya mengurung diri dirumah, jarang bergaul namun sekalinya bergaul akan mendapatkan banyak teman. Gadis itu keluar jauh hanya di waktu subuh, selebihnya mengurung diri dirumah dan terus berada didalam ruangan.

"Papa aku," Celetuk Agnes yang mengalihkan perhatian Aesa.

"Oh jadi Papa kamu namanya Papa Anton?" Nada itu jelas berbeda dengan nada yang di gunakan untuk membalas Susi, Aesa pikir anak kecil membutuhkan intonasi sendiri. Intonasi menggebu-gebu untuk sebuah pertanyaan yang jawabannya diketahui betul oleh anak kecil itu sendiri akan mengundang semangat untuk berinteraksi.

"Iya, namanya Donzello Anton."

Tersenyum lebar menatap Agnes, Aesa mengusap sekilas pucuk kepala anak itu dengan sayang. "Kalo kamu sendiri namanya siapa?"

Mendapatkan kesempatan untuk perkenalan diri membuat Agnes melirik sekilas sang nenek yang rupanya tengah tersenyum. "Nama aku Age... Um..." Matanya fokus pada wajah wanita yang lama kelamaan menjadi cantik di matanya. "Agnes."

"Agnes apa Age?"

Menyadari kegugupan yang diderita cucu perempuannya membuat Susi buru-buru mengambil alih pembicaraan sambil tertawa ringan. "Namanya Levin Agnesia Balorima, dipanggil Age."

Masih tersenyum lebar, Aesa menarik tangan dan menegakkan tubuhnya. "Namanya keren banget... Cantik kayak orangnya."

"Makasih," gumam Agnes mulai menarik tangan neneknya untuk menyingkir dari celah pintu.

"Eh? Kenapa?" Memenuhi keinginan Agnes dengan raut wajah bertanya-tanya, Susi mengikuti arahan cucunya yang berakhir menyembunyikan diri di belakang tubuhnya. "Lho? Age kenapa?"

"Kalo gitu aku mau langsung pulang aja mbak." Mengesampingkan gelagat Agnes, Aesa berpamitan undur diri yang langsung disetujui Susi. Tepat setelah kepergiannya sosok Agnes langsung kembali menampakkan diri.

"Age, kenapa si?"

"Enggak kenapa-napa." Menuruni teras rumah, kakinya berjinjit mengamati kepergian wanita yang sempat merawat lukanya tadi.

Melihat bergantian Agnes dan sosok Aesa yang mulai menjauh, Susi menyunggingkan senyum hangat. "Age penasaran sama orang itu?"

Agnes mengangguk sebagai jawaban.

"Namanya Kak Aesa..."

Menoleh kearah neneknya, Agnes bertanya memastikan, "Kak Esa?"

"Aesa... A-e-s-a."

"Susah."

Mendengus lucu, Susi menjangkau pundak anak kecil itu dan mengiringinya masuk ke dalam. "Mending kita masak ayam, kan katanya mau makan ayam."

***

Lantunan Adzan di pagi petang beradu dengan bunyi tamparan sandal jepit di tangga semen. Dari membenahi ujung kancing baju koko, menyeimbangkan sajadah di salah satu pundak lebarnya, sampai membenarkan posisi peci di kepala, sosoknya melangkah tenang menjauhi pekarangan rumah dan beralih berjalan mendekati masjid di depan sana.

Sementara itu didepan sana seorang wanita bermukena coklat berhenti berjalan, matanya menyipit menatap pria yang berdiri sambil memandangnya di depan gerbang masjid. Begitu keringat dingin keluar dari tubuhnya, Aesa menjadi bingung dan panik secara bersamaan. Tak hanya menunggu kepulangannya dari masjid, kini pun sosok tersebut sudah menunggunya di awal kedatangannya.

Ia merasa risih dan menjadi takut karena menerima perlakuan seperti itu.

Menelan ludahnya dengan susah payah, Aesa kemudian memutuskan untuk berbalik dan berlari, berniat untuk pulang, namun siapa sangka ketika tubuhnya berbalik ia malah menabrak tembok keras yang rupanya seorang pria. Seketika perasaan bersalah memenuhi dirinya, sentuhan haram dari seseorang yang bukan mahramnya telah mengenainya--tapi ini tetaplah salahnya yang tidak melihat-lihat ketika berlari tadi.

Mendengar korban berdecak membuat Aesa buru-buru menyelaraskan mata menatap sosok tersebut , dia sama sekali tidak mengenali pria bertubuh besar dan lebih tinggi darinya itu. "Ma-maaf."

"Kalo jalan pake mata dong, udah  wudhu ini."

"Aku juga udah wudhu kok."

Melihat balik Aesa, Anton mengerutkan alisnya tidak suka. Pasalnya nada orang yang menabraknya itu terdengar seperti telah menjadi korban daripada pelaku.

"Ma-maaf Mas... Aku bener-bener enggak lihat." Jujurnya sambil meremas jari-jari tangan di balik mukena yang dipakainya.

"Lagian kamu kenapa si? Dikejar setan?"

Menoleh kebelakang, matanya melebar ketika sosok yang ditakutinya mulai menjauh dari gerbang dan bergabung ke jalanan. "Bukan setan lagi tapi orang aneh." Aesa memilih bersembunyi di belakang laki-laki yang dirinya tabrak itu.

"Mau ngapain?" Seketika Anton ikut panik sehingga menjauhkan diri.

"... Eng-enggak kok!"

Di tengah kerusuhan itu, lantunan komat tiba-tiba berkumandang, membuat  keduanya tertegun. Dan juga membuat pemuda yang menjadi sumber ketakutan melenggang pergi memasuki masjid.

"I-itu komat kan?"

"Iya."

Terbelalak terkejut, keduanya langsung berlari menuju masjid, lalu berwudhu di tempat terpisah dan beribadah dengan Aesa yang tak bisa khusyuk. Ia terus merasa bersalah karena telah membatalkan wudhu seseorang, namun ia juga merasa takut dalam perjalanan pulang. Karena beberapa hari terakhir ini ada laki-laki yang terus mendekatinya sampai ke masjid.

Dan ternyata benar, usai ceramah, orang yang membuatnya takut sudah menunggunya di gerbang masjid. Seketika Aesa berjongkok di balik kaca jendela ruangan yang membatasi teras masjid. Dada gemuruh tidak karuan, matanya melongok melihat pria muda yang tengah memandang langit-langit ruangan dengan tenang.

Di saat yang sama sosok yang sudah dibangunkan dari tidurnya beberapa saat lalu berdiri sambil merentangkan tangan. Anton tidak menyangka akan tertidur saat telinganya mendengarkan ceramah. Dan parahnya, dia terbangun saat jema'ah mulai bubar.

Sepertinya dia orang terakhir yang meninggalkan masjid pagi ini, pikir Anton sambil melipat sajadah dan melangkah keluar dari shaf laki-laki.

Saat hendak melewati shaf perempuan yang tertutup tirai pembatas putih, ia mendapatkan pemandangan yang memecahkan dugaannya. Terdapat wanita bermukena cokelat yang tengah berjongkok di depan kaca jendela besar seperti maling.

Dia tidak mau ikut campur namun jika wanita itu niatnya mencuri kotak amal bukankah harus dicegat?

"Hei."

Bunyi nyaring bersumber dari kening yang menabrak kaca bergema disana, ia buru-buru membungkuk bersujud di lantai ketika penglihatan mata pemuda di gerbang tertuju ke tempatnya berpijak. Rintihan kecil berupa dzikir keluar dari mulut Aesa beberapa kali dan itu membuat Anton memandangnya sebagai orang aneh.

Secara bersamaan sikap ceroboh itu mengingatkannya pada insiden dijalan tadi. Kebetulan mukena cokelatnya juga mirip seperti orang yang membatalkan wudhunya. "Kamu orang yang nabrak tadi pagi kan?"

Di sela-sela kegiatan penguatan diri itu, Aesa tertegun dan menoleh kearah sumber suara dan benar saja jika pria yang menangkap basah perilakunya itu merupakan orang yang sama yang ditabrak nya dijalan.

Keduanya bertatapan sejenak. Lebih tepatnya Aesa merenung mencoba memahami situasi yang sedang terjadi, dia tipikal orang yang berubah lelet jika dalam keadaan yang mendesak seperti sekarang ini.

"Iya kan itu kamu kan?" Melangkah mendekati wanita yang tidak dikenalnya, Anton menunduk melihat wajah di bawahnya. "Kamu ngapain ngumpet kayak maling?"

"Enggak mau maling kok!" Beranjak berdiri dari sujudnya, Aesa kemudian beralih bersembunyi di belakang tubuh pria yang tidak dikenalnya itu.

"Ini mau ngapain lagi?" Anton menjauhkan diri yang membuat Aesa memasang tampang memelas.

"Mas mau keluar masjid kan?"

"Iya."

"Ya udah cepet," Balas Aesa melirik pagar masjid .

Menyadari lawan bicaranya tidak fokus dan terus melihat keluar membuat Anton melihat kearah penglihatan gadis itu yang rupanya tengah memandang seorang pemuda di pagar. Ia seketika bergeser ke kanan yang langsung diikuti gadis di belakangnya kemudian beralih bergeser ke kiri yang langsung mendapatkan respon yang sama juga, Anton terus mengulanginya sampai 4 kali.

Mendesah dalam hati, Anton melangkah keluar diikuti Aesa di belakangnya. "Kamu mau sampe kapan ngikutin mulu?"

Bukannya menjawab Aesa malah terus fokus menyembunyikan diri dari pandangan pemuda yang beberapa waktu lalu terus menunggunya keluar dari sana.

"Mas Anton udah pulang?"

"Eh?" Anton mengamati sosok pemuda yang terus menjadi titik fokus perempuan dibelakangnya. "Bintang yah?" Dia hampir tidak mengenali sosok Bintang, terakhir kali bertemu Bintang tidak seputih ini.  

Kaki yang lumayan panjang untuk ukuran fisik wanita mulai menjangkau sandal jepit di bawah, sebisa mungkin tubuhnya tidak bersentuhan dengan tempat persembunyiannya. Sedangkan mata Bintang tidak lepas dari sosoknya Aesa terus menunduk saat mengenakan sandal jepit di bawah.

Dan sebagai penengah, Donzello Anton sudah melihat semuanya.

"Iya Mas, ini Bintang."

Melihat lawan bicaranya terus fokus pada hal lain membuat Anton melihat sekilas perempuan yang sudah menurunkan diri dari lantai masjid. Sepertinya dia mengetahui perasaan apa yang tengah terjadi diantara keduanya.

Kasmaran, PDKT.

"Aesa," panggil Bintang yang langsung membuat Aesa melarikan diri dari sana.

Kepergian Aesa membuat keduanya tertegun ditempat terutama Anton. Pria itu bahkan terus mengambil kesimpulan karena posisinya sebagai orang tengah. Daripada kasmaran sepertinya ini lebih ke suatu kesalahan yang tidak bisa dimaafkan? Mungkin.

Helaan nafas lelah dari Bintang mengambil perhatian Anton.

"Kenapa , Bintang?"

Menyadari adanya orang lain disana membuat Bintang buru-buru meringis. "Enggak kok, Mas, enggak papa--oya ngomong-ngomong, Mas Anton pulang kapan, Mas?"

"Kemarin malem."

Keduanya berjalan keluar dari masjid dengan kondisi langit yang sudah berubah menjadi biru tua.

"Mas Anton kok pulang telat juga? Ngapain aja? Dzikir?"

"Ketiduran," Jawaban Anton seketika mengundang gelak tawa dari Bintang.

"Ada-ada aja... Ya udah, Mas, kalo gitu aku duluan yah."

"Iya, Tang, iya."

Mereka berpisah di samping masjid, Bintang memulangkan diri melalui gang kecil sedangkan Anton terus berjalan di jalanan desa yang cukup besar untuk sampai dirumahnya.

"Itu anak kenapa yah?" Sesampainya di halaman rumah, pemandangan Susi yang terus melihat jalan tanjakan di sebelah rumah sambil melontarkan pertanyaan tidak jelas dari mulutnya menarik perhatian Anton. "Lihat setan kali ya? Masa pagi-pagi gini lihat setan."

Ikut melongok dan berdiri mengikuti posisi ibunya, Anton menyentil pinggang wanita itu yang seketika  membuat pemiliknya melompat kaget.

"Anton!" Pekik Susi kesal yang langsung membuat Anton tertawa kecil. Seketika bayangan Aesa yang berlari terbirit-birit menghilang dari pikirannya dan digantikan sepenuhnya dengan sosok Anton yang membuat jengkel. "Bikin kaget mama aja."

"Lagian mama kenapa si? Liatin apaan sampe segitunya."

"Tau ah. Kamu sendiri kenapa baru pulang? Jama'ah lain udah pada bubar kamu malah baru keluar."

"Anton ketiduran."

"Huuu orang ceramah bukannya didengerin malah dijadiin musik tidur."

"Ya mau gimana orang Anton enggak bisa nahan."

Berdecak, Susi melangkah menuju teras rumah. "Siang nanti jangan lupa belanja buat jengukin anak Estu."

"Emang udah pulang?"

"Siang ini pulang."

Melakukan sesuai saran ibunya, Anton langsung bergegas membeli beberapa keperluan untuk dibawakan kepada Estu sebagai hadiah kelahiran anak ke-tiga. Tentunya sebagai ayah tunggal dia melakukannya bersama si kembar dengan kompak. Begitu selesai berbelanja mereka bertiga langsung menuju rumah Estu, dan sesampainya disana mereka disambut baik oleh pemilik rumah.

"Anton? Yaampun pulang kapan?" Marwah, pemilik rumah sekaligus ibu Estu, menyambut kedatangan Anton celah pintu saat celotehkan berisik si kembar memenuhi teras. "Ini anak kamu yang kembar itu?"

"Iya."

Mereka berjabat tangan sebentar sebelum akhirnya mulai masuk ke dalam menjenguk orang yang bersangkutan. Namun orang yang bersangkutan ternyata tengah tidur siang bersama dua buah hatinya.

Walau begitu kedatangan Anton tetap disambut hangat oleh banyak orang termasuk teman-teman yang berkunjung seperti Weda dan Pita, Sigit bersama anak perempuannya dan Tara. Mereka juga cukup terkejut dengan perkembangan si kembar yang katanya benar-benar tumbuh menjadi anak kembar walau berbeda gender. Sebagai tanggapan Anton hanya bisa tertawa kecil.

"Beruntung ya punya anak kembar," Celetuk Sigit memuji yang langsung mendapatkan cubitan di paha dari anak perempuannya yang duduk di pangkuannya. "Aduh."

"Papa enggak beruntung ya punya anak kayak aku?"

"Eh..." Sigit menatap sekilas teman-teman yang duduk di sekelilingnya kemudian kembali melihat anaknya dan menenangkannya. "Bukan gitu sayang, Papa juga beruntung kok punya kamu, kamu kan cantik pinter--"

"Boong!" Kesal anak itu beranjak pergi yang langsung membuat Sigit menyusulnya dan menjadi bahan tertawaan orang-orang di sana.

"Anak Sigit kayaknya beneran nurutin sifat Sigit nya langsung," celetuk Tara.

"Emang," setuju Marwah yang berdiri di sebelah Pita. "Dia kan anak pertama jadi sifatnya mirip bapaknya."

"Si Egan enggak mirip Mas Estu," celetuk Pita mendongak melihat Marwah, ibunya sendiri.

"Tapi mukanya mirip Estu kan?"

Memutar bola matanya malas, Pita kembali melihat meja ruang tamu di depannya. "Iya deh." Fakta bahwa orang tua selalu memiliki jawaban sendiri bahkan selalu bisa mencari jawaban membuatnya buru-buru mengakhiri pembicaraan.

"Egan itu anak pertamanya Mas Estu kan?" Tanya Anton yang langsung mendapatkan anggukkan kepala dari semua orang. "Terus anaknya sekarang dimana? Tidur?"

Estu tiba-tiba melihat Pita, adiknya. "Bukannya kemarin kamu mau ngambil Egan? Kok enggak jadi?"

"Mas Estu enggak lihat? Aku kan juga baru nyampe hari ini--barengan sama kamu."

"Ya maksud aku kenapa enggak jadi?"

"Mas Weda sibuk," cemberut Pita menjawab yang langsung membuat Weda buru-buru menelan ludah.

"Kenapa, Da?" Estu bertanya kepada Weda.

"Oh." Menepuk sekilas pahanya sendiri sambil melirik sang istri yang terus melihat kearah lain, Weda menjawab dengan mantap, "Kemarin ada masalah kecil sama toko yang ngendorse aku."

Memiliki keunggulan di fisik membuat Weda menjadi satu-satunya teman yang bekerja di entertainment sekaligus seorang influencer.

Manggut-manggut paham, Estu kemudian menatap celah pintu sambil bergumam, "Berarti Egan lagi sama Aesa."

Tepat saat itu juga ambang pintu dipenuhi bayangan anak-anak yang mengiringi satu perempuan dewasa ditengahnya, anak-anak saling bersorak seolah-olah kedatangan perempuan yang menggendong anak itu merupakan kebahagiaan terbesar bagi makhluk-makhluk kecil itu.

"Eh panjang umur," celetuk Estu beranjak berdiri yang langsung membuat semuanya menoleh ke pintu masuk.

Betapa terkejutnya Anton saat melihat wanita yang sama seperti pagi tadi yang sempat mengganggu niat ibadahnya. Sedangkan Aesa juga merasakan keterkejutan yang sama saat melihat sosok pria tak dikenal duduk di antara kenalannya di sana.

Sebegitu kecilnya kah dunia ini? Sampai mereka harus bertemu tiga kali dalam sehari?

Continue Reading

You'll Also Like

778K 79.5K 55
Menceritakan tentang kehidupan 7 Dokter yang bekerja di rumah sakit besar 'Kasih Setia', mulai dari pekerjaan, persahabatan, keluarga, dan hubungan p...
5.4K 543 11
Kalo nama Lo udah tertulis buat gue mau sesulit apapun jalannya, udah pasti Lo jadi milik gue -Jevano Lah dia masih inget gue? -Giana
6.2K 636 18
"Cinta sejati tak selalu berjalan mulus" -William Shakespeare Start : 30 Mar 2022 End : 26 Des 2022 Book4
11.3K 1.4K 12
From a playboy like me, to the special one like you. ©bananaorenji, 2020.