HARAPAN (ANTON RIIZE #01)

By isabella_mirzin

2.4K 239 24

Menceritakan tentang keluarga kecil Donzello Anton seorang duda beranak 2 kembar laki-laki dan perempuan yang... More

TOKOH
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34

23

57 7 0
By isabella_mirzin

"Papa." Suara serak milik seorang gadis kecil memecahkan keheningan mobil, membuat Anton melihat sekilas cermin di atas kepalanya untuk memastikan sosok Agnes yang terbangun dari tidurnya dan sudah mendudukkan diri di sebelah Allen yang masih meringkuk.

"Kok bangun? Masih lama ini nyampenya."

"Kok gelap si, Pa?" Mengucek mata beratnya, Agnes masih melihat sekitar seraya menambahkan, "Udah malem yah? Mobilnya dikasih lampu juga dong, gelap banget ini jangan depan doang yang dikasih lampu."

Jalanan di tengah-tengah hutan menjadi alasan mengapa keadaan diluar  dan didalam sangat gelap gulita. Dan Agnes sedikit menyalahkan ayahnya yang malah menyumbangkan lampu mobil ke jalanan ketika mereka sendiri tidak mendapatkan sedikitpun penerangan, hanya angka merah yang menyala terang di bangku pengemudi. 

"Kan udah malem jadi lampunya Papa matiin, lagian juga Age kan tadi tidur." Kemudian Anton menyarankan, "Age lanjut tidur aja nanti kalo udah nyampe Papa bangunin lagi."

Mereka akan sampai di Jawa beberapa jam lagi. Jika saja mereka berangkat lebih awal, dari pagi, pasti di waktu sekarang mereka sudah menikmati masakan ibunya. Dia menyayangkan waktu yang telah terbuang hanya untuk pertengkaran, sakit kepala yang tak kunjung sembuh dan persiapan perjalanan. 

"Nyampe mana?"

"Nyampe Jawa."

"Oiya, Age lupa... Kirain Age ini dirumah pantesan kok goyang-goyang."

"Jalannya rusak jadi mobilnya goyang. "

"Kenapa enggak dibenerin?"

"Enggak tahu sayang, Papa kan bukan yang ngurus jalan."

"Emangnya yang ngurus jalan siapa?"

Anton berpikir sambil terus fokus pada jalanan rusak yang bisa saja mencelakai mobilnya. "Ada lah pokoknya."

"Papa enggak kenal yah?"

"Enggak."

"Kalo Embah kenal enggak? Yang suka ngurusin jalan?"

"Kurang tahu, Papa."

"Kalo kenal nanti Age mau minta benerin."

Celetukan polos itu mengundang gelak tawa Anton. "Iya sayang."

Sebuah tangan milik seseorang yang masih berada di alam bawah sadar tiba-tiba melayang mengenai lengan Agnes. Bunyi kunyahan antara gigi dengan gigi keluar wajah anak laki-laki itu, membuat Agnes berdecak kesal sambil menyingkirkan tangan lain dari pahanya.

"Kenapa, Age?" Tanya Anton penasaran saat mendengar nada decak dari anak perempuannya dibelakang.

"Ini si Ale main mukul aja."

"Enggak sengaja itu, kan Ale nya lagi tidur."

"Mau pindah ke kebelakang aja lah!" Pekik Agnes yang langsung mendapatkan balasan dari ayahnya untuk menahannya tetap ditempat.

"Eh, jangan, nanti pusing kalo di belakang."

"Tapi ini si Ale nya ganggu Papa." Agnes merengek sambil menendang jok yang diduduki sang ayah. "Apa Ale kita buang aja? di jalan?"

"Eh, enggak boleh kayak gitu, masa saudara sendiri mau dibuang."

"Emang kenapa kalo ngebuang saudara sendiri? Ale juga katanya enggak mau hidup sama Age."

"Itukan udah selesai masa masih mau dibahas, masih mau diinget-inget mulu."

"Gunanya otak manusia kan emang buat inget-inget biar enggak lupa, kalo enggak bisa nginget nanti gimana Age mau bersikap? Masa Age baikin orang jahat, nanti jadi kebiasaan dong, iya kan?"  Anton terkejut mendengarnya. "Pasti semua orang juga gitu bukan Age doang, kalo dijahatin orang pasti keinget terus sampe gede." Tangannya sibuk menyisiri bulu boneka kucing di sebelahnya.

"Ya..." Anton tiba-tiba menjadi gelagapan dan kewalahan. Terkadang Agnes juga bisa mengeluarkan perkataan dewasa seperti itu. "Mmm ... Tapi kan Ale udah minta maaf, masa masih mau diungkit... Jangan sampe kebaikan yang Ale lakuin ke Age hilang cuman gara-gara Age inget jahatnya doang dan lupa sama kebaikannya. Masa Age mau lupain Ale yang udah nemenin Age kalo sakit, nemenin Age di sekolah, main sama Age di rumah, ngehibur Age kalo Age sedih. Jahat juga dong berarti kalo Age kayak gitu."

"Kata Miss kebaikan dibalas kebaikan jadi kejahatan juga dibalas kejahatan."

"Enggak dong sayang..." Anton mendengus lucu namun waspada sendiri, takutnya Agnes benar-benar melakukan apa yang muncul dipikirannya. "Kebaikan dibalas kebaikan itu udah bener tapi kalo kejahatan dibalas kejahatan itu yang enggak bener. Age kalo dijahatin orang seneng enggak?"

"Emang ada orang yang seneng dijahatin?"

"Age mau enggak?" Anton menekankan. "Dijahatin."

"Ya enggak lah."

"Nah itu... Kalo misal Age yang jahat karena enggak sengaja terus orang yang Age jahatin bales jahatin Age, gimana perasaan Age?"

"Age bales lagi lah."

Menjadi Ayah Agnes di waktu malam begini memang membuat frustasi, otak anak itu akan menjadi sangat lancar berbicara dan cepat berpikir jika di malam hari begini. "Enggak boleh gitu sayang... Gini aja deh... Orang masuk surga pake pahala, pahala itu sesuatu yang baik, kayak Age bantuin temen Age yang kesusahan itu masuknya pahala. Tapi kalo Age jahat pahala Age bakal berkurang."

"Jadi kita hidup buat masuk surga?"

Ini terlalu keluar jalur, Anton mendesah lelah namun tidak menyerah memberi pemahaman kepada putrinya. "Age pernah buang mainan Ale kan?"

"Enggak."

"Pernah, yang robot kuning itu kan Age yang buang."

"Hehe."

"Itu termasuk jahat."

"Enggak ah."

"Coba kalo Ale bales kelakuan Age, Ale buang semua boneka barbie Age ke tempat sampah, botakin rambutnya--"

"Jangan lah."

"Katanya kejahatan bales kejahatan."

"Enggak jadi deh, Age mau jadi orang baik aja." Agnes menatap wajah Allen di sebelah pahanya, kemudian mengusap pipi chubby nya dan tersenyum lebar di kegelapan. "Soalnya Ale juga baik ke Age."

"Gitu dong."

"Papa." Panggil Agnes setelah puas menatap kembarannya. "Papa kok enggak tidur si?"

"Masa Papa tidur, Papa kan lagi nyetir, kalo Papa tidur nanti yang nyetir siapa?"

"Berhenti aja dulu di sini, biar Papa enggak capek."

"Enggak boleh lah, nanti kalo ada orang jahat gimana?"

"Age lawan."

"Hahaha emang Age berani?"

"Enggak."

Mereka tertawa bersama, kemudian Agnes melirik kembali Allen yang masih tertidur pulas di sebelahnya. "Ale belom pernah bangun yah?"

"Belom, Ale mah pules banget itu tidurnya."

"Iya yah... Age mau tidur lagi ah."

"Tidur lagi aja nanti Papa bangunin."

"Papa kalo capek nyetir minta perlindungan ke Allah aja biar nanti malaikat yang gantian nyetir."

"Heh enggak ada yang kayak gitu."

"Haha... Udah ah Age ngantuk." Namun sampai beberapa menit setelah berpamitan akan tidur lagi, Agnes tak kunjung tertidur juga, anak itu malah menatap pemandangan rumah-rumah besar dipinggir jalan yang mereka lewati dengan seksama. "Disini kok rumahnya gede-gede? Rumah kita kok kecil enggak segede ini?"

"Lho?" Tersentak kaget, Anton balik tanya, "Age enggak tidur? Tadi katanya mau tidur lagi."

"Enggak bisa." Agnes mendesah lelah.

"Ya udah enggak usah tidur lagi bentar lagi juga nyampe."

"Beneran?" Agnes terlihat semringah dan menjadi bersemangat. "Mana?rumahnya Embah mana?"

"Belom keliatan."

"Yah."

"Sabar yah."

"Iya."

Memasuki sebuah pedesaan setelah berbelok dari jalan raya besar. Lampu mobil memberi peluang munculnya bangunan sekolah dengan dinding oranye dan pilar hitam pada pintu gerbangnya, itu adalah sekolah tempat Anton menempuh pendidikan saat SMK dulu. Bangunan itu menyimpan cukup banyak kenang-kenangan.

Setelah berhasil melewati lebar bangunan sekolah mobil kemudian melewati tiga rumah minimalis di pinggir sawah, lalu kembali ke jalan raya setelah melewati banyak perumahan warga .

Bangunan toserba 3 tingkat dengan bagian pintu yang sudah ditutup nampak di depan jalan. Mobil mulai melewati sekiranya 3 sampai 5 rumah dan 1 masjid besar yang memiliki 2 tingkat namun setara dengan toserba tadi sebelum akhirnya melihat kosan di sebelah rumah yang memilih membangun tangga daripada pintu didepannya, itu adalah rumah yang mereka tuju.

"Alhamdulliah, udah nyampe." Anton bernafas lega dan mulai memarkirkan mobil di depan tangga rumah orang tuanya. Hatinya berdegup kencang sehingga menjadi gugup, namun bibirnya tidak bisa tidak tersenyum membayangkan reaksi apa yang akan ia dapatkan begitu muncul dihadapan ibunya.

Anton membunyikan tulang tubuhnya yang sekiranya bisa menghasilkan bunyi retakan, dia melakukan itu untuk melampiaskan rasa pegal yang dirasanya. Rahang tegas berbunyi renyah saat telapak tangan besarnya menekannya kuat, begitupun dengan tulang punggung dan jari-jari tangannya.

Ketika hendak turun Anton sempat mengecek keadaan di belakang setelah menyalakan lampu, rupanya Agnes sudah kembali tertidur pulas dengan kepala yang menempel pada boneka kucing di atas kepala Allen. Selama sisa perjalanan tadi anak itu sudah banyak berbagi cerita, mulutnya tidak berhenti berceloteh dan terus berangan-angan seperti anak seusianya.

Jarak jauh membuat perjalanan menjadi panjang dan lama. Ditambah pemberangkatan yang bisa dibilang terlambat membuat mereka sampai di tengah malam. Seperti inilah lelahnya pulang kampung. Namun daripada terus menyesalinya lebih baik dia memindahkan dulu si kembar ke tempat yang lebih nyaman. Pertama-tama pemilik rumah harus mengetahui kedatangannya terlebih dahulu.

Bel interkom benbunyi nyaring saat jari besar menekannya satu kali.

"Siapa ya?!"

Sahutan dari dalam rumah yang familier mengundang senyuman kecil dari wajah tampannya, Anton memilih berbalik membelakangi daun pintu seraya menunggu. Dalam beberapa tahun belakang desa ini masih memiliki lahan kosong seperti perkebunan di depan rumah dan sawah di depan toserba namun sekarang dua sumber udara yang sangat berharga itu sudah di bangun rumah menyisakan pohon belimbing di lahan bekas perkebunan. Walau begitu rumah ini tidak memiliki perubahan apapun, diteras masih lengkap dengan tanaman hias kesukaan ibunya.

Bunyi kunci pintu terbuka menyentil jantungnya dan membuatnya kembali gugup.

"Siapa ya? Mas, Mas."

Memegangi dadanya sebentar, Anton kemudian berbalik dan tersenyum lebar menatap pemuda yang baru saja membukakan pintu untuknya. Pemuda berwajah bantal itu langsung terdiam mematung begitu melihat kehadirannya.

"Dandi."

Adik laki-laki itu mengucek sebentar matanya untuk memastikan penglihatannya. Sepertinya dia mengigau tidak mungkin kakaknya yang sudah lama tidak pulang tiba-tiba menampakkan diri didepannya begini. "Bentar." Setelah puas mengucek matanya, Dandi kembali melihat orang di depannya yang masih saja memasang senyum ramah kenalannya. "Mas Anton? Ini beneran kamu mas?"

"Iya, Dan, ini Mas."

Kegiatan mengucek mata itu seketika berhenti, Dandi membuka lebar mulutnya dengan mata yang sudah melotot tidak percaya. Kemudian dia tersenyum semringah dan memeluk kakaknya itu dengan sayang. "Kenapa enggak bilang kalo mau pulang!" Pekiknya kegirangan.

Mendapatkan pelukan seperti itu membuat Anton menepuk-nepuk punggung adiknya. "Mau ngasih kejutan ke mama."

"Kirain aku Mas Anton enggak bakal pulang sampe kapan pun."

"Ya enggak lah, Mas masih punya mama."

Mengakhiri pelukan itu Dandi kemudian beralih merangkul pundak kakaknya. "Ayo masuk, tapi Mama udah tidur si jadi enggak bisa nyambut kamu."

"Bukannya baru jam sembilan yah?"

"Iya... Mama insomnia akhir-akhir ini jadi aku enggak tega kalo harus bangunin."

"Insomnia? Mana kena insomnia?" Tanya Anton memastikan dan menghentikan langkah kakinya, raut wajahnya seketika menjadi khawatir. "Kok Mas enggak dikasih tahu."

"Kata Mama kalo kamu mau tahu harus kesini sendiri jadi kita dilarang ngasih tahu."

"Mama kok gitu banget."

"Kamu juga gitu ya Mama juga gitu."

Hati yang awalnya penuh kegugupan kebahagiaan itu kini berubah menjadi kekecewaan penuh rasa bersalah.

"Kamu pake motor apa pake biss ke sini? apa pake kereta?"

Mendengar pertanyaan itu membuat Anton teringat dengan si kembar. "Eh, Ale sama Age ketinggalan." Melepaskan diri dari rangkulan Dandi, Anton segera turun ke bawah yang langsung di susul adiknya itu.

"Wih kamu udah punya mobil? Beli kapan?"

"Udah lama." Membuka pintu mobil, Anton mengeluarkan Agnes dari dalamnya.

Melihat wajah keponakan yang benar-benar sudah berubah bukan bayi lagi membuat Dandi terkesima. "Age beneran udah gede yah, padahal kalo di Hp keliatan kecil."

"Ya iyalah namanya juga Hp ya kecil--oya, itu Ale tolong di bawa ke atas juga, Dan, kasian dia tidur daritadi pules banget pasti badannya pada pegel."

"Emang Ale dimana?" Dandi mulai berdiri di depan pintu penumpang ketika Anton melangkah pergi. Kepalanya melongok ke dalam dan mendapati sosok anak laki-laki dengan wajah sama seperti anak perempuan tadi. Dandi tertawa sambil geleng-geleng kepala melihat wajah yang penuh dengan air liur itu. "Yaampun... Ale-Ale, udah gede aja keponakan om ..."

Keesokan paginya rumah itu di gemparkan keterkejutan Susi, ibu Anton yang terkesima melihat kehadiran anak kecil di rumahnya.

"Anak siapa ini?" 

Karena insomnia yang dideritanya dia menjadi orang yang bangun lebih awal dan tidur lebih akhir, kira-kira seperti itulah dalam beberapa bulan terakhir kecuali hari kemarin.

"Anaknya Bapak Anton," celetuk Agnes menoleh ke samping kiri melihat kehadiran seorang wanita di ambang pintu kamar lain.

"Hah?"

"Eh." Agnes bejalan mundur, bersembunyi di belakang Allen yang juga terkejut dengan kehadiran orang tua di depan sana. "Itu siapa, Ale?"

"Itu kayaknya..." Menyipitkan mata, Allen mencoba mengingat panggilan video yang pernah dilakukannya ketika berkomunikasi dengan keluarga di Jawa. "Itu kayaknya Embah deh."

Tiba-tiba wajah orang tua itu berubah semringah ketika melihat kemiripan sosok Anton di wajah si kembar. "Ini Age sama Ale yah?" Kakinya melangkah mendekati ruang televisi lebih tepatnya mendekati cucu kembarnya.

Allen dan Agnes mengangguk mengiyakan sebelum akhirnya mendekatkan diri kepada neneknya yang juga tengah mendekat.

"Ih! Beneran Ale sama Age, embah enggak nyangka." Susi menarik Allen dan Agnes ke dalam pelukannya. "Sudah besar ternyata yah, mana ini ganteng banget." Bibirnya mengenai kening Allen kemudian mendarat di kening Agnes. "Yang ini juga cantik banget..."

Allen terlihat kebingungan dengan situasi ini, matanya melirik Agnes yang anehnya malah tersenyum lebar menikmati pelukan wanita tua itu. Padahal sebelumnya dia yang paling waspada.

"Kalian sampe sini jam berapa?" Susi menatap dua cucunya yang memasang aura wajah berbeda. "Malem yah? Pas Embah udah tidur yah?"

"Iya," jawab Allen.

"Aku pas bangun enggak ngenalin ini rumah siapa," celetuk Agnes memberitahu pikirannya kepada sang nenek.

Susi tersenyum mendengar pernyataan Agnes. "Iyalah, orang kalian aja baru kali ini pulang ke Jawa, dulu terakhir kali Embah lihat tuh pas masih bayi. Papa kalian noh enggak mau pulang."

"Kenapa?"

"Enggak tahu." Susi mengusap pucuk kepala Agnes seraya bertanya ketika teringat Anton. "Oiya, Papa kalian dimana?"

"Masih tidur," Jawab Allen.

"Bangunin dong."

"Papa capek, embah... Kasian."

Susi menertawakan dirinya sendiri kemudian menawarkan sarapan pagi kepada si kembar. Dengan bermodalkan beberapa sisa bahan sayuran, Susi akan membuat sayur sop.

"Masa enggak dirumah enggak disini makannya sayur mulu," bisik Allen kepada Agnes yang tengah memainkan batu biru yang didapatnya dari akuarium kering di sebelahnya.

"Emang kenapa kalo makan sayur mulu?"

"Bosen lah, Ge... Ale pengen ayam."

Bergumam tidak jelas, Agnes memasang tampang berpikir menatap udara. Begitu mendapatkan cara dia langsung menghela nafas pura-pura lelah. "Tadi lihat Ipin makan ayam , Age, jadi pengen!"

Allen melihat bergantian nenek dan Agnes kemudian ikut menyahut, "Iya, Ale juga! Kapan yah kita makan ayam!"

"Uh ... Padahal pengen banget!" Agnes kembali menghela nafas lelah yang dibuat-buat.

Seruan itu membuat Susi terhenyak dan tersenyum geli menahan tawa. Akhir-akhir ini dia diminta untuk tidak memakan daging-dagingan, matanya memerlukan wortel dan tubuhnya yang jarang berolahraga memerlukan sayuran-sayuran.

Mematikan kompor, Susi kemudian menoleh melihat si kembar dan bertanya memastikan. "Cucu Embah pengen makan ayam kayak Ipin yah?"

Lengan anak laki-laki itu menyentuh pinggang Agnes yang langsung membuat Agnes mengiyakan dengan mantap.

Susi kemudian mengajak keduanya ke teras depan, menunggu orang yang sekiranya bisa dimintai bantuan. Biasanya di pagi hari begini ada satu perempuan kenalannya yang tidak pernah absen pulang dari masjid. Anak itu selalu pulang terakhir ketika jama'ah sholat subuh telah membubarkan diri lebih awal.

"Kok masih gelap yah." Agnes menatap langit di atas mereka. "Ini udah pagi apa masih malem si?"

"Udah pagi sayang..." Tanpa mengalihkan matanya dari masjid besar di depan sana, Susi menarik tubuh Agnes dan memeluknya erat. Sekarang mereka tengah duduk di bangku besi di teras yang mengarah ke jalan raya desa.

"Tapi kok langitnya masih gelap." Duduk di sebelah neneknya, Allen ikut bertanya sambil menaikkan jari telunjuknya ke atas.

"Disini mah jam segini emang masih gelap."

"Jadi ini jam berapa?"

"Jam setengah enam, Ale..."

"Terus kita beli ayam nya kapan?" Kali ini Agnes yang bertanya.

"Nanti, lagi nunggu orang."

"Orang siapa?"

"Ada deh, kenalan Embah..."

"Orangnya lagi dimana?"

"Di masjid."

"Ngapain?"

"Sholat lah!" Allen menjawab dengan nada tinggi yang membuat Agnes terhenyak dipangkuan neneknya.

"Biasa aja dong."

"Lagian, Age... Masa gitu aja enggak  ngerti."

"Aku tahu kok... Cuman pengen nanya aja."

Tiba-tiba dari arah masjid  sosok perempuan dengan mukena cokelat muncul dan berjalan kearah mereka. Susi tersenyum lebar seraya  melontarkan basa-basi ketika sosok itu sudah dekat dengan rumahnya. "Habis sholat ya, Aesa?" 

Kepala yang tadinya terus menunduk kini mendongak keatas melihat pemilik rumah. Aesa Limarta Ningsih menorehkan senyuman paling manis, menghilangkan wajah cueknya. Senyuman yang hampir setiap hari digunakan untuk membalas wanita tua yang setiap pagi menyapanya ketika pulang dari masjid. "Iya, Mbak."

Sebenarnya panggilan yang digunakan sama sekali tidak cocok dengan umur Susi yang sudah berkepala lima dan  sebelumnya sudah pernah ditegur namun gadis itu tetap saja tidak merubahnya hingga menjadi kebiasaan.

"Orang udah tua dipanggil mbak, enggak enak sama yang lain, Es." Itu saat Susi mengikuti Aesa pulang dari masjid. Lebih tepatnya dia tengah dalam perjalanan ke pasar yang letaknya sebelum rumah Aesa.

"Lho? Ngapain ngurusin yang lain? Yang manggil kan aku, lagian juga kan bagus dipanggil mbak, biar ngerasanya muda terus, sehat terus," ucap Aesa yang tentunya membuat Susi tertawa saat mendengarnya.

"Dapet berapa juz tadi?" Beberapa kali mengobrol akrab membuat Susi mengetahui kegiatan apa yang dilakukan Aesa sampai pulang terakhir ketika subuh di masjid.

Agnes dan Allen sama-sama melongok, mencoba melihat sosok yang sedang menjadi teman mengobrol neneknya. Di tengah-tengah usahanya itu tanaman hias menghalangi mata memandang,  membuat Allen memutuskan mendekati pembatas besi merah disana.

"Eh! nanti jatuh ... jangan deket-deket." Pekik Susi.

"Enggak banyak, cuman dua lembar doang... Soalnya disuruh jagain Egan, Dina kan lagi lahiran di rumah sakit sama Mas Estu jadi Egan dititipin ke aku dulu." Di tengah-tengah penjelasannya itu Aesa menyipitkan mata ketika melihat sosok anak kecil yang tidak dikenali nya di atas sana.

"Berangkat kapan?" Seingat Susi di hari kemarin Dina yang memiliki perut besar masih melakukan olahraga pagi ditemani Estu jadi berita hari ini sangat tiba-tiba sekali. "Tapi bukannya kandungan Dina masih delapan bulan yah? Kok udah mau lahiran aja?"

Namun bukannya menjawab Aesa malah balik tanya karena terlanjur penasaran. "Itu anaknya siapa, mbak?" Pandangan Aesa tertuju pada anak laki-laki berwajah asing, kemudian beralih kepada anak perempuan yang baru saja ikut bergabung. Seketika kemiripan dua orang itu membuatnya bingung namun tertarik secara bersamaan. "Ini kembar bukan si? Cowok cewek?" Mengerjapkan mata, Aesa tiba-tiba memekik kegirangan. "Mbak Susi! Itu anak siapa!"

Susi tertawa terbahak-bahak melihat kehebohan Aesa. Walau memiliki kesan pendiam namun Aesa bisa menjadi orang yang tidak bisa diam jika sudah penasaran dengan suatu hal. Beberapa kali akrab dan sempat bercerita  membuat Susi mengetahui betul karakter Aesa. "Iya, Es... Ini cucu kembar aku. Mereka baru nyampe semalem sama Papa nya."

"Aku baru tahu Mbak Susi punya cucu kembar."

"Wajar si... Soalnya ini juga pertama kalinya mereka berdua kesini."

"Oalah..." Aesa tertawa. "Tapi mereka berdua cakep lho, yang cowok ganteng yang cewek juga cantik."

Pujian itu membuat wajah Allen berubah merah dan menjadi malu ketika matanya bertemu dengan mata perempuan berwajah cantik di bawah sana. Sedangkan Agnes terlihat tidak peduli dengan percakapan yang sedang terjadi, dia hanya menunggu neneknya bergerak mencari ayam. "Ini kapan beli ayamnya si?"

"Eh iya... Aesa." Panggil Susi berdiri mendekati pagar besi. "Aku boleh nitip ayam enggak?"

"Boleh, ayam apa?"

"Ayam sayur aja, satu kilo, pake uang kamu dulu tapi ya."

"Sekalian sama bumbunya enggak?"

"Enggak usah--eh! Sama pala sama santan instan deh."

"Oke... Nanti siangan aku kesini lagi--eh!" Aesa yang baru saja berjalan beberapa langkah langsung kembali berhenti dan menoleh ke atas sana. "Mau bagian apa?"

"Dada sama paha bawah aja."

"Oke."

Aesa kemudian benar-benar melanjutkan perjalannya . Sedangkan diatas, tanpa berkedip, Allen Balorima terkesima menatap kepergian Aesa. "Dia namanya siapa?"

"Aesa."

"Esa?"

"A-e-s-a."

"Oh... "

Menyadari tingkah ketertarikan kembarannya, Levin Agnesia Balorima menatap punggung wanita yang sudah menjauh di depan sana dengan perasaan yang menanyakan kelebihan apa yang dimiliki orang itu sampai membuat Allen begitu bersemangat?

Continue Reading

You'll Also Like

373K 38.9K 35
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ° hanya karangan semata, jangan melibatkan...
740K 34.9K 39
Alzan Anendra. Pemuda SMA imut nan nakal yang harus menikah dengan seorang CEO karena paksaan orang tuanya. Alzan kira yang akan menikah adalah kakek...
265K 21K 100
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...