HARAPAN (ANTON RIIZE #01)

By isabella_mirzin

2.4K 239 24

Menceritakan tentang keluarga kecil Donzello Anton seorang duda beranak 2 kembar laki-laki dan perempuan yang... More

TOKOH
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34

21

49 7 0
By isabella_mirzin

"Kak Putri kok enggak pulang?" Agnes tidak bisa tidak bertanya ketika mendapati sosok Putri yang masih berada di rumahnya.

Pengasuh yang Anton tempatkan hanya untuk menemani si kembar di siang hari itu sekarang malah sibuk mengurusi tirai jendela ruang tamu dari sinar orange alih-alih memulangkan diri.

Begitu selesai dengan tirai pertama, Putri menoleh sekilas kearah anak perempuan yang berdiri di tengah-tengah celah yang menghubungkan ruang tamu dan ruang keluarga. Ia kemudian melangkah  menuju jendela satunya lagi sambil menjawab singkat, "Iya."

"Kenapa?" Tanya Agnes memilih bergabung dengan mendudukkan diri di sofa yang ada disana, matanya tidak lepas dari sosok perempuan yang sibuk menutup tirai di sisi kanan.

"Kan Papa Age bakal pulang malem."

"Hah? Kata siapa?"

"Kata Papa Age sendiri."

"Kok Age enggak tahu?"

"Berarti Papa Age enggak ngasih tau Age." Selesai dengan urusan jendela, Putri berbalik menghampiri Agnes yang terlihat masih ingin bertanya.

"Iya kali ya--tapi Papa bakal tetep pulang kan?"

"Pulang kok, cuman pulangnya rada maleman."

Tersadar dengan jawaban Putri, Agnes kembali bertanya dengan wajah polosnya. "Lho? Emang Papa ngapain aja sampe pulang malem?"

"Kerja." Melangkah memasuki ruang tengah, sosok Agnes mengikuti Putri di belakang. "Papa Age katanya bakal kerja sampe malem jadi pulangnya agak telat makannya tante disuruh nemenin kalian sampe malem ini."

Tiba-tiba pintu di sebelah mereka terbuka lebar mengeluarkan Allen dari dalamnya. Sorot mata besar dengan kesegaran penuh nampak pada wajah tampan anak laki-laki berusia 5 tahun itu.

"Yey! Ale udah bangun!" Girang Agnes menghampiri Allen yang masih terlihat mengumpulkan nyawa. "Lama banget si Ale tidurnya."

Enggan menjawab, Allen bergeser menjauhi Agnes dan merosot mendudukkan diri di lantai , tubuhnya menempel di dinding dengan tangan yang melipat di atas dengkul kaki.

"Duh, pasti lagi ngumpulin nyawa," celetuk Agnes ikut mendudukkan diri di sebelah Allen.

Merasa harus memberikan air minum kepada Allen, Putri segera memasuki dapur meninggalkan si kembar di ruang tengah.

"Ale, Ale udah tahu belom? Katanya Papa pulang malem lho."

Bukannya menanggapi Allen malah sibuk menguap selebar mungkin untuk mengeluarkan rasa kantuk yang tersisa. Namun Agnes sendiri tidak menyadari sehingga masih terus bertanya, "Ale tahu enggak? Enggak tahu yah?"

Memejamkan mata, Allen mendongak dengan mulut menganga lebar. "Jam berapa, Ge?"

"Jam..." Agnes segera melihat jam dinding di atas televisi. "Satu."

"Hah?" Membuka matanya kaget, Allen mengikuti arah penglihatan Agnes. Matanya mengerjap kuat, mencoba memperjelas pandangannya untuk membaca benar-benar waktu yang tertera di sana. Namun sayangnya dia sendiri tidak bisa baca jam tapi yang pasti jawaban Agnes benar-benar salah.  "Masa jam satu, enggak mungkin jam satu orang Ale aja tidur jam tiga."

"Ale kan enggak bisa baca jam."

Tersulut emosi, Allen menoleh kesal. "Age juga enggak bisa!" Seketika rasa kantuk benar-benar menghilang.

"Hehe, biasa aja dong."

Celah menuju dapur menampakkan Putri yang memegang gelas air minum di tangannya. "Ale minum dulu nih." Dia menyodorkan minuman kepada Allen.

"Makasih." Menerima minuman dari Putri, Allen mulai meminumnya dan menghabiskannya sebelum akhirnya bertanya, "Kak Putri tahu enggak sekarang jam berapa?"

"Jam setengah enam."

"Kata Age jam satu."

"Age kan enggak tahu!" Bentak Agnes bertepatan dengan Allen yang beranjak berdiri.

"Udah-udah enggak usah ribut." Putri mencoba menenangkan anak perempuan itu sedangkan Allen melenggang pergi memasuki dapur.

Anak laki-laki itu meletakkan gelas kosong di atas meja makan, kemudian membuka kulkas dan menatap sejenak jajan sponge didekat lapis legit sebelum akhirnya mengeluarkan permen milo . Merasakan air hambar membuatnya menginginkan sesuatu yang manis. Begitu mendapatkan apa yang diinginkan, Allen kembali bergabung ke ruang tengah setelah menutup pintu kulkas. Pikirannya tiba-tiba tersadar dengan jam yang disebutkan Putri beberapa saat yang lalu.

"Kak Putri," panggilnya mendekati perempuan yang tengah menemani Agnes bermain bongkar pasang lego plastik. 

"Apa?"

"Tadi kata Kak Putri sekarang jam enam kan?"

"Iya."

"Ale sini main sama Age nanti Age buatin rumah." Agnes ikut membuka suara dengan tangan fokus pada permainan.

"Eh Age, jajan pink di kulkas punya siapa?"

"Punya Age," jawab Putri teringat dengan jajanan yang dibelinya bersama Agnes sore tadi.

"Beli kapan?"

"Tadi," jawab Agnes.

"Kok Ale enggak dibeliin?"

"Orang Ale tidur."

Menelan sejenak ludahnya, Allen kemudian mendekati Agnes. "Ale minta yah?"

"Enggak!" Tolak Agnes menoleh galak. "Enak aja minta-minta, beli sendiri!" Tambahnya sebelum kembali fokus pada mainan miliknya.

"Pelit banget si."

"Biarin!"

Menghela nafas, Allen mengalihkan perhatiannya terhadap Putri yang duduk tenang di sebelahnya. "Kak Putri."

"Apa?"

"Kak Putri kok belom pulang? Biasanya udah pulang."

"Katanya Papa pulang malem, jadi Kak Putri bakal terus disini sampe Papa pulang."

"Emang iya? Kamu kata siapa?" Allen terdengar tidak mempercayai Agnes.

"Kata Kak Putri sendiri lah."

"Iya, Ale... Papa kalian bakal pulang malem jadi Kak Putri bakal terus disini sampe Papa kalian pulang."

"Tumben." Allen mendudukkan diri di sebelah Putri, belum sempat mendapat balasan pikirannya tiba-tiba mengambil jawaban lain. "Papa kayaknya dikasih tugas nulis lagi deh..."

"Enggak tahu," balas Putri.

"Iya palingan soalnya Ale pernah lihat Papa masih ngetik di laptop pas Ale bangun tengah malem."

"Ale lihat kapan?" Tanya Agnes tertarik dengan topik yang dibahas.

"Kemarin-kemarin, waktu itu juga pernah udah lama. Papa sering tahu sampe malem gini-gini terus." Allen menjelaskan dengan gerakan tangan yang mengetik udara. "Kadang ngomong sendiri."

Tiba-tiba Agnes tertawa sambil menanggapi, "Kayak Ale berarti suka ngomong sendiri."

"Age juga."

"Kata siapa? Emang Ale pernah lihat?"

"Sering lah, kalo main sama Barbie--"

"Itukan beda, Age ngomong sama barbie bukan ngomong sendiri."

"Ya sama aja, orang barbie nya aja enggak bisa jawab Age."

"Bisa kok."

"Enggak."

Menggebrak meja, Agnes berdiri menghadapi Allen. "Bisa ya bisa!"

"Enggak ya enggak!"

"Ale ngajak ribut yah?"

"Ayo sini siapa takut."

Menyadari akan terjadinya pertengkaran anak kecil, Putri segera menenangkan keduanya namun si kembar tetaplah si kembar. Mereka kompak menyerang satu sama lain, terlihat menikmati kehadiran kembarannya namun Putri tidak melihatnya dari sisi hubungan batin. "Eh udah-udah jangan bertengkar!"

Agnes beberapa kali mendorong Allen yang tengil sambil memukul bahu kembarannya itu. "Ale ngeselin banget si!"

Menjulurkan lidah, Allen berbalik, beralih menggoyangkan pantat. "Nih makan nih!"

"Ale!" Pekik Agnes kesal sendiri namun sambil tertawa, tangannya kemudian mengambil satu mainan lego dan menusuk pantat Allen dengan mainannya.

"Aw!" Meloncat kaget, Allen menghadapi Agnes yang sudah tertawa terbahak-bahak. "Age ngapain bokong Ale?!"

"Tusuk pake ini." Agnes menunjukkan kepada Allen maianan lego miliknya yang memiliki ujung sedikit runcing.

"Age mah!"

Masih tertawa, Agnes membalas, "Makannya jangan jahil."

"Ya jangan pake itu juga! kalo Ale enggak bisa berak gimana?"

"Bwahaha!" Agnes dan Allen tiba-tiba tertawa bersamaan. "Nanti Age yang berak kita kan kembar."

Tertawa terbahak-bahak, Putri akhirnya angkat bicara, "Mana bisa gitu."

"Tahu nih, Age," balas Allen tersenyum miring.

"Bisa dong... Makanan aja kalo Age enggak habis Ale bisa ngabisin, kalo ada pelajaran Age enggak bisa Ale bisa ngajarin jadi kalo Ale enggak bisa berak Age harus berakin buat Ale." Memeluk Allen, Agnes menatap wajah kembarannya itu dengan wajah tulus yang polos. "Ya kan?"

Cekikikan, Allen menarik wajahnya untuk menjaga jarak diantara mereka namun walau begitu tangannya tetap membalas pelukan Agnes. "Berarti kalo Age punya makanan Ale juga boleh makan dong?"

"Kok gitu?"

"Iya, kan kita kembar."

Memasang tampang berpikir, Agnes menatap mata besar Allen yang sama seperti matanya sendiri kemudian kepalanya mengangguk. "Nanti kita makan bareng-bareng jajan punya Age deh tapi Ale harus janji dulu."

"Janji apa?"

"Ale harus janji, jangan pernah ngejauhin Age kalo punya temen baru."

"Emang Ale pernah kayak gitu?"

"Pernah, Ale mentang-mentang udah baikan sama Lein mainnya sama Lein mulu enggak pernah sama Age lagi."

"Cowok kan mainnya sama cowok , cewek sama cewek, masa cowok mainnya sama cewek."

"Terus kenapa waktu itu Ale main sama Aura?"

Tersentak kaget, Allen menjawab gelagapan. "Wa-waktu itu kan Ale enggak tahu."

"Ale enggak tahu kalo Aura itu cewek?"

"Bukan."

"Terus?"

"Lagian juga pas itu Age mainnya sama Caca jadi impas dong, Ale temenan sama Lein Age sama Caca."

"Iya si." Dengan mudahnya Agnes mengiyakan begitu saja jawaban Allen yang sebenarnya tidak menjawab. "Tapi Ale, Ale sayang enggak sama Age? Kalo Age sayang banget sama Ale."

"Ale juga sayang kok sama Age." Allen mengusap dahi jenong kembarannya. "Tapi kadang ngeselin si."

"Ale juga."

"Hehe."

Masih mendudukkan diri di sofa, Putri mengamati pemandangan si kembar yang penuh kasih dengan perasaan terharu.  Tidak semuanya didikan ayah tunggal itu buruk. Walau bisa melakukan pertengkaran 10 kali dalam sehari namun perasaan sayang tidak hilang sedikitpun dari hati kecil keduanya yang bersih dan suci.

Keduanya bisa saling mengejek satu sama lain dengan wajah yang sama namun secara bersamaan mereka akan marah ketika ada orang lain mengejek salah satu diantara mereka. Dalam balutan wajah sama sifat keduanya saling melengkapi satu sama lain, Levin Agnes Balorima si penyayang namun perhitungan dengan Allen Balorima si tengil namun menjaga baik-baik saudaranya bahkan ayahnya.

'Aku enggak tahu muka kamu kayak gimana mbak, tapi sebagai pengasuh mereka aku turut bangga sama mas Anton. Aku yakin kamu juga bangga sebagai ibu dari mereka,' pikir Putri mengamati si kembar yang sudah tertidur pulas di sofa ruang tengah.

Niat si kembar tidak beranjak pergi dari sana untuk menunggu Anton pulang namun sayangnya mereka ketiduran di jam 8 malam. Dan ternyata Anton pulang ke rumah di jam setengah 9 malam.

Sepertinya dalam beberapa hari kedepan si kembar tidak akan merasakan peran ayah di malam hari lagi, pikir Putri di perjalanan pulang menuju rumahnya sendiri sedangkan ditempat lain Anton menyunggingkan senyum kecut menatap dua buah hatinya.

***

Begitu selesai mematikan komputer dan lampu diruangan itu, Anton keluar dari ruang lingkup meja kerjanya dan bergegas menuju pantry. Seperti biasa mengisi tubuhnya dengan kopi yang satu minggu ini sudah rutin di konsumsi.

Saat ujung lidahnya menyentuh kopi hitam, Anton mengernyit tidak nyaman namun tetap harus dilakukan supaya bisa menjaga kesadarannya untuk berkendara di malam hari. Tangan besarnya menyentuh perut di balik kemeja biru sambil menenangkan diri, tenanglah, ini yang terakhir kalinya, setelah lemburan selesai dia tidak akan memaksakan perutnya menerima makanan yang tidak disukai lagi.

Susu putih minuman kesukaannya namun untuk menjaga tubuhnya supaya selamat sampai rumah mau tidak mau Anton harus memaksakan diri untuk meminum kopi pahit setiap malam setiap hari dalam satu minggu ini. Keputusannya bulat bahwa dia mengambil lemburan untuk mengambil libur tahunan selama 5 hari lamanya dengan syarat menyelesaikan lebih awal pekerjaan yang dikhawatirkan akan menumpuk dalam beberapa hari kedepan.

Dan hari ini menjadi hari terakhir pria itu melakukan lemburan, Donzello Anton sudah menyelesaikan tugas mengabdi kepada kantor tempatnya bekerja. Sekarang gilirannya mendapatkan hak libur.

Tak lama kemudian Anton sampai di rumahnya, Allen dan Agnes sudah mulai terbiasa tidur sebelum dirinya pulang. Ini membuatnya sedikit tenang walau tidak sepenuhnya tenang. Dalam 4 hari sebelumnya setiap kali melihat pemandangan si kembar ketiduran di sofa dia akan terus meminta maaf dalam hatinya, mencoba meminta maaf kepada mendiang ibu mereka karena telah berani menelantarkan mereka akhir-akhir ini.

Untungnya ini menjadi hari terakhirnya melakukan itu karena mereka akan pergi bertemu keluarga di desa. Untuk pertama kalinya si kembar akan bertemu langsung dengan keluarga yang dipunya. Selama ini Anton hanya memperkenalkan melalui via telepon, Anton tidak pernah membiarkan satu orang pun mengunjungi rumahnya di kota. Seperti itulah kehidupannya selama 5 tahun terakhir. Demi bisa menjaga kewarasannya dari pertanyaan rumit yang dilontarkan buah hati dia akan melakukan apa saja, karena anak kecil merupakan makhluk suci yang polos mereka justru paling sulit dijawab pertanyaannya disisi lain kita harus menjaga moral untuk tidak menjawab pertanyaan melenceng disisi lain harus tetap memberikan jawaban karena terus ditagih.

Anton mendadak teringat dengan pertanyaan yang pernah Agnes dan Allen lontarkan saat keduanya masih berusia 3 tahun.

"Muka papa kok enggak sama kayak muka kita? Katanya kita keluarga." Allen bertanya dengan polosnya sambil memainkan mainan jagung karet ditangan.

"Apa jangan-jangan Papa enggak punya hubungan keluarga sama kita?" Tanya Agnes yang mendapat perhatian Allen. "Yang punya hubungan kita doang, gimana?"

Terkekeh pelan, Anton menjawab, "Papa mirip ah sama kalian berdua, lihat." Tangan besarnya menyentuh bergantian mata besar, hidung mancung, bibir tipis yang si kembar dan dirinya punya. "Papa punya mata, hidung, mulut sama kayak kalian. Jadi kita mirip."

"Kalo Age sama Ale sama Papa digabung jadi berapa orang?" Agnes tiba-tiba bertanya diluar topik.

"Tiga."

"Terus kenapa orang-orang enggak pernah bilang kalo kita kembar tiga?  Bapak-bapak di restoran waktu itu juga bilangnya kita kembar dua bukan kembar tiga. Kenapa yang dibilang kembar cuman Age sama Ale doang? "

"Iya yah." Allen setuju dengan Agnes.

"Ya... Papa kan orang tua kalian bukan saudara yang lahir bareng kalian."

"Orang tua gimana? Papa ya Papa bukan orang tua, Papa mah masih muda." Agnes menepuk bersahabat dengkul ayahnya.

'Aduh... Age nih ada aja jawabannya,' batin Anton frustasi sendiri namun sebisa mungkin tetap menjadi untuk menghargai anak-anaknya. "Coba Age lihat, Papa sama Ale gedean siapa? Tuaan siapa?"

"Papa... Tapi Papa bukan tua... Papa masih muda."

"Berarti disebutnya apa Papa ini?"

"Orang muda."

Tawa Anton meledak, menular kepada si kembar.

"Intinya yang bisa lihat kembarnya kita cuman kita, orang lain enggak bisa."

"Ale juga enggak bisa lihat kembarnya kita, letak kembarnya Papa sama kita dimana?"

Menepuk jidat, Anton tertawa frustasi. "Ale ngerasa mirip sama Papa enggak?"

Allen Balorima mengamati baik-baik wajah tampan ayahnya, bibirnya tiba-tiba menyunggingkan senyum. "Kalo Ale bilang mirip nanti gantengnya Papa langsung nular ke Ale yah?"

Anton menertawakan jawaban Allen sedangkan Agnes memicing mata tidak terima dan membalas, "Berarti kalo bukan cowok enggak bisa dapet gantengnya Papa gitu? Berarti disini Age yang bukan keluarga?"

"Iya lah," Celetuk Allen yang langsung mendapatkan pukulan boneka dari Agnes. Merasa tidak terima, Allen mendorong bahu Agnes sampai jatuh terduduk di lantai karpet bulu. Jika sudah seperti itu pertengkaran akan diakhiri dengan tangisan.

Sisa lapis legit ditangan menyadarkan Anton dari dunianya. Ia segera menghabiskan makanannya supaya bisa tidur lebih awal bagaimanapun juga mereka akan melakukan perjalanan jauh besok siang.

Namun tepat ketika beranjak berdiri dari ruang lingkup meja makan, pandangannya tiba-tiba menjadi kabur. Menggeleng tegas, Anton mendongak menatap tajam langit-langit ruangan. Dia memiliki firasat kalau tubuhnya akan jatuh sakit.

Tidak, jangan sakit.

Jangan sakit.

Tolong, jangan sakit.

Seolah mengucapkan mantra kesehatan, Anton memberanikan diri melihat ke depan. Tangan besarnya buru-buru mengisi gelas kosong dengan air mineral kemudian meminumnya sampai habis. Entah kenapa pernafasan nya menjadi terengah-engah.

Jika dia sakit dia bisa menggagalkan rencana liburan mereka. Dia tidak mau membuang-buang waktu liburannya untuk sakit, bagaimanapun juga waktu ini harus digunakan untuk sebaik-baiknya.

Tidak mengetahui gejala pastinya, Anton memilih meminum obat sakit kepala dan sedikit mengoleskan minyak kayu putih pada perutnya dibalik kaos sambil terus menguatkan diri.

Sebentar lagi.

Sebentar lagi rasa lelah letihnya akan mendapat ganjaran ketika bertemu dengan sang ibu di rumah nanti. Dia bisa sedikit beristirahat membiarkan Agnes dan Allen bersama nenek mereka. Dia bisa istirahat. Dia bisa.

Dia bisa mendapatkan ketenangan ketika tiba di Jawa nanti, bertemu ibunya yang baik yang selalu mendukung langkahnya dan selalu mendo'akan nya.

Mata pria itu akhirnya terlelap setelah beberapa menit terjebak dalam kepala yang berputar hebat.

"Kamu saki yah?" Dalam balutan pakaian putih bak dewi, wanita berambut pendek sebahu itu menyentuh kening pria yang berbaring lemah di pangkuannya.

***

"Evelyn."

Seolah menyentuh kerak panci yang dipanaskan, anak kecil itu mengibaskan tangannya ke udara dengan wajah terkejut bukan main. "Panas banget," gumam Allen Balorima keheranan.

Wajahnya serius mengamati sosok Anton yang masih berbaring di ranjang di depannya. Pagi ini Allen bangun lebih pagi dan dia terkejut ketika mendengar suara aneh yang memanggil nama seseorang dari kamar ayahnya.

Begitu selesai dilihat ternyata tubuh ayahnya menggigil hebat dibalik lilitan selimut tebal.

"Evelyn."

Mengerutkan keningnya tidak mengerti, Allen menggoyangkan pelan bahu ayahnya sambil bergumam kesal, "Papa manggilin siapa si, dari tadi Evelyn, Evelyn mulu."

"Ale," panggil Agnes dari luar kamar. "Ale dimana?"

Tanpa mengalihkan pandangannya dari Anton, Allen menjawab, "Dikamar Papa. "

"Oh, kirain dimana." Agnes kemudian muncul dengan rambut berantakan, sosoknya ikut berdiri di sebelah meja nakas. "Main yuk."

"Age coba pegang kening Papa." Alih-alih membalas ajakan Agnes, Allen justru memberikan perintah yang langsung dilakukan oleh kembarannya saat itu juga.

Sama seperti respon tangan Allen, Agnes pun meloncat kaget. "Panas banget."

"Emang."

"Papa sakit yah?"

Mendadak Allen teringat saat-saat Anton merawat Agnes yang sakit di malam hari. Seketika dia menyadari adanya kemiripan gejala yang menimpa dua orang itu. Tubuh Agnes juga mengalami panas tinggi saat Allen iseng mengecek melalui punggung tangan ketika Anton memberitahunya akan mengambil baskom, kain dan air sebagai alat kompres.

Tersadar dari ingatannya, Allen menatap bergantian Agnes dan Anton. Sepertinya dia telah mencapai kesimpulan yang benar. Harus menyiapkan baskom, kain dan air untuk menurunkan panas di tubuh sang ayah.

"Age jagain Papa, Ale mau ke belakang." Allen memberi amanah seraya melenggang pergi dari sana. Meninggalkan Agnes yang berdiri di sebelah Anton dengan tatapan kebingungan.

Tidak merasakan adanya keburukan disana, kaki kecil Agnes melangkah keluar menyusul Allen memasuki dapur. "Ale mau ngapain?"

Mengambil baskom dari lemari rak piring di bawah, Allen menjawab dengan sedikit nada kasar sambil memasuki kamar mandi. "Age ngapain disini? Sana di kamar aja jagain Papa."

"Ya Ale lagi ngapain dulu! Age mau tau." Anak perempuan itu berdiri diambang pintu mengamati kembarannya yang tengah mengisi baskom dengan menyalakan keran air di bawah shower.

"Lagi ngisi air."

"Buat?"

"Papa."

"Emang Papa minta air?"

Ketika air memakan tempat baskom, tangan kecilnya segera mematikan keran dan menumpahkan sedikit isinya supaya bisa diangkut dengan mudah. "Papa lagi sakit Age, kalo Age sakit Papa biasanya kayak gini," Sabarnya melangkah keluar dari kamar mandi mengikuti Agnes yang enggan menyingkir dari jalan.

"Kata siapa Papa sakit?"

"Badannya panas, Age kan udah nyentuh tadi."

"Iya si."

Ketika mereka sampai di ruang tengah, Allen tiba-tiba teringat dengan perkataan Anton saat Agnes sakit.

"Karena badannya panas jadi dikompres pake air hangat."

Air hangat bukan air dingin.

Seketika langkah anak laki-laki itu berhenti ditempat, kepalanya menoleh ke belakang, menatap dispenser disebelah kulkas. Sepengetahuannya dispenser itu memiliki dua suhu air, panas dan dingin. Dia teringat saat Anton membuatkan mereka susu dengan air panas yang dihasilkan dari dispenser, mungkin air dingin ini akan menjadi hangat ketika mendapatkan guyuran air panas juga.

Tanpa berlama-lama lagi Allen langsung segera mengambil gelas pelastik tebal dari lemari rak piring, kemudian mengisinya dengan air panas dari dispenser di depannya dan mencampurkannya ke dalam air dingin di baskom yang ditinggalkan di ruang tengah.

"Ale repot banget kayaknya," celetuk Agnes mengikuti langkah Allen yang memasuki kamar ayah mereka.

Sesampainya di dalam, Allen memasukkan kain kaos biasa ke dalam air hangat di baskom. Tangan pendeknya tidak bisa menjangkau lemari handuk di kamar mandi jadi ia memutuskan untuk menggunakan pakaiannya sendiri yang masih bersih dari lemari. Otaknya memiliki kecepatan berpikir sama seperti ayahnya.

"Terus itu mau diapain?" Tanya Agnes masih tidak mengerti.

"Mau di kompres." Selesai memeras kain ditangan, Allen beralih menempatkan kain tersebut di kening ayahnya. "Biar panasnya turun."

Bibir pucat berkedut, tubuh bongsor mengigil layaknya disetrum pelan, matanya menutup rapat-rapat, sesekali kepalanya mencari posisi ternyaman. Allen Balorima menghela nafas menatap prihatin kondisi ayahnya yang tengah sakit.

Sedangkan di sisi lain Agnes memandangi air hangat di bawah dengan mata berbinar. Tubuh kecilnya perlahan-lahan berjongkok di depan baskom dan mulai memasukkan satu tangannya ke dalam air tersebut dan mengelusnya dengan lembut. Perasaannya tiba-tiba menjadi tenang dan nyaman. Tanpa sepengetahuan Allen, ia memasukkan seluruh tangannya ke dalam air dengan gembira, mulai sedikit menepuk-nepuk air di depannya itu dengan perasaan ingin terus bermain air.

Tanpa ia sadari, tepuk air itu semakin kencang yang membuat air merembes kemana-mana, bagian depan piamanya sampai basah namun ia tak peduli.  Rasanya menyenangkan bermain air di pagi hari, Agnes menyukai perasaan ini.

Sesekali tangan kecil itu mengambil air dengan telapak tangannya dan menyiram rambutnya dengan air tersebut. Agnes menggigil kenikmatan sambil terus mengulangi hal yang sama. Tiba-tiba muncul ide lain di benaknya, bergerak sesuai arah kesenangan pikirannya sendiri, Agnes memindahkan baskom berisi air ke ruang tamu.

"Papa kepengen apa si?" Gumam Allen bertanya pada sosok Anton yang terus menutup mata. "Kalo Age sakit berarti Age pengen sesuatu, Papa juga pasti sama kan?"

Anak laki-laki itu menghela nafas, kemudian terkejut saat merasakan panas pada kain yang telah dipisahkan dari kening ayahnya. Mungkin jika dilakukan berulang kali panas ayahnya akan benar-benar turun. Mendapat titik cerah membuat Allen berharap, dia membalikkan tubuhnya dengan antusias, berniat merendam kembali kain kompres pada air hangat yang sayangnya menghilang bersama Agnes.

"Age! Airnya mana!" Kesalnya berdecak sambil melangkah keluar dari kamar ayahnya. Harapan yang mulanya memenuhi pikirannya kini telah sirna digantikan perasaan jengkel saat melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana air yang menjadi obat untuk sang ayah sudah dibuat mainan oleh saudara kembarnya.

Continue Reading

You'll Also Like

LOVE GAME By <3

Fanfiction

8.7K 2.1K 23
Dua insan keras, ego sama-sama kuat, namun saling bertaut. "Gue lebih hebat daripada lo!" "Otak gue lebih berbobot." Devano Sanjaya dan Danila Ruby...
733K 34.9K 39
Alzan Anendra. Pemuda SMA imut nan nakal yang harus menikah dengan seorang CEO karena paksaan orang tuanya. Alzan kira yang akan menikah adalah kakek...
4.7K 795 21
Menikah emang banyak berantemnya, apalagi kalo usia pernikahannya masih muda, ditambah umur Soobin dan Arin yang memang masih sangat muda. Terlebih l...
5.4K 543 11
Kalo nama Lo udah tertulis buat gue mau sesulit apapun jalannya, udah pasti Lo jadi milik gue -Jevano Lah dia masih inget gue? -Giana