Replaying Us

By kianirasa

609K 54.6K 5.7K

Athalia Sharafina menyukai Narado Risyad dalam diam selama bertahun-tahun. Tapi tidak pernah menyatakannya b... More

Bagian Satu : Nyata atau Ilusi?
Bagian Dua: Menuju Masa Lalu
Bagian Tiga: Malaikat dan Donat
Bagian Empat: Ide Yang Buruk
Bagian Lima: Obrolan dan Rencana Menetap
Bagian Enam: Pengakuan, Kesepakatan
Bagian Tujuh: Seragam Putih Abu-abu Lagi
Bagian Delapan: Tidak Terlalu Buruk
Bagian Sembilan: Memalukan
Bagian Sepuluh: Mendadak Galau
Bagian Sebelas: Cinta Segitiga atau Segi Empat?
Bagian Dua Belas: Berbahaya
Bagian Tiga Belas: Dia-lo-gue
Bagian Empat Belas: Bolos Sekolah
Bagian Lima Belas: Semakin Dalam
Bagian Enam Belas: Curhatan dan Sepatu?
Bagian Tujuh Belas: Dalam Gelap
Bagian Delapan Belas: Diluar Dugaan
Bagian Sembilan Belas: Sekali pun Dalam Mimpi
Bagian Dua Puluh: Getaran Aneh
Bagian Dua Puluh Dua: Debaran dan Rasa
Bagian Dua Puluh Tiga: Begitu Berarti
Bagian Dua Puluh Empat: Bisa Jadi
Bagian Dua Puluh Lima: Kebenaran, Ungkapan, dan Perasaan
Bagian Dua Puluh Enam: Pertemuan Pertama
Bagian Dua Puluh Tujuh: Virus Cinta
Bagian Dua Puluh Delapan: Bimbang
Bagian Dua Puluh Sembilan: Tidak Lama Lagi
Bagian Tiga Puluh: Pertama Yang Abadi
[EKSTRA]: Dalam Ingatan
EPILOG
PEMBERITAHUAN

Bagian Dua Puluh Satu: Penguntit, Menguntit

15.1K 1.5K 102
By kianirasa

==

Bagian Dua Puluh Satu: Penguntit, Menguntit.

==

Atha yang mengambil napas dalam-dalam sebelum melangkahkan kakinya keluar kamar―disaat yang bersamaan dengan Kariza. Keduanya spontan melakukan kontak mata, tapi masing-masing dari mereka justru memalingkan pandangan ke tempat lain.

Faust yang entah sejak kapan berdiri di tengah keduanya pun hanya bisa diam. Mungkin sedikit merenungi nasibnya yang diciptakan tanpa pasangan.

Sejak sepulangnya mereka dari kompetisi boxing kemarin, Atha dan Kariza sama sekali tidak berbicara. Mungkin Atha sedikit, tapi tidak dengan Kariza.

Pikiran pemuda itu semalam sibuk berkecamuk sendiri. Kariza tidak tahu apa yang salah dengan dirinya dan perasaannya, jadi alih-alih menanggapi Atha―Kariza langsung menutup lalu mengunci pintu kamarnya rapat. Sama sekali tidak keluar bahkan ketika Diana mencoba memanggilnya.

Meski begitu, kelihatannya pagi ini Kariza mengingat kalau keduanya harus menguntit Nara dan Nanda dari belakang. Dia terlihat sudah siap dengan segala perlengkapannya. Bahkan Kariza memegang teropong di tangan kirinya.

Tawa Atha hampir meledak melihat perpaduan aneh pakaiannya.

Mungkin, bakat terpendam seorang Kariza Tarazio adalah menjadi seorang―penguntit.

"Yo." sapa Kariza, canggung.

Atha mengangguk.

Kariza mengusap tengkuknya yang tidak gatal lalu akhirnya menatap Atha dari atas hingga bawah. Keningnya berkerut heran setelahnya.

"Kenapa lo?" tanya Atha, menyadari raut Kariza yang berubah begitu melihatnya.

"Lo sadar nggak."

"Apa?"

"Lo sadar nggak, yang mau nge-date itu Nara sama Nanda."

"Iya. Gue tahu elah."

"Gue nggak yakin lo tahu, soalnya ―" Kariza memberi jeda. "Yang gue lihat, kayak situ yang mau nge-date sama Nara." sambungnya.

Atha melotot sebal dan menundukkan kepala. Ya. Sejak tadi dia sudah menduga kalau gaun pendek selutut berbahan lace yang dimunculkan Faust tidak akan pantas dia kenakan. Belum lagi, kritikan Kariza yang selalu pedas di hati terkadang harus membuat Atha ekstra sabar menghadapinya.

"Yaudahlah ya, gue kan mencoba jadi normal." sindir Atha yang diam-diam mengena di hati Kariza.

Mencoba terlihat tidak peduli, Kariza hanya mendengus kemudian berjalan mendahului Atha. "Cepetan. Nanti telat." ucapnya lalu menuruni tangga duluan.

Atha buru-buru menyusulnya. Tepat pada anak tangga ke tiga, perempuan itu dikejutkan oleh bunyi nyaring yang ditimbulkan oleh Faust―lebih tepatnya, benda yang mirip seperti jam tangan, yang melingkar di pergelangan tangan makhluk tersebut.

"Kenapa, Faust?"

Faust menekan benda tersebut dengan cepat sebelum mengangkat kepalanya. "Panggilan dewan. Ini soal portal ke masa depan. Kamu duluan saja, nanti aku menyusul."

Portal?

Mendengarnya, Atha mengangguk. Dalam satu jentikkan jari Faust memunculkan portal keunguan yang sama, yang dulu dipakainya saat meminta izin pad Atha menemui para dewan. Makhluk itu melambaikan tangannya pelan sebelum berjalan memasukinya dan lenyap seperti debu begitu saja.

"Hati-hati." gumamnya sangat pelan.

"Woi, lihatin apaan sih?"

Atha mengerjapkan mata kemudian menatap ke depan. Menyadari keberadaan Kariza yang memperhatikannya dari lantai bawah. "Iya, iya bentar."

》》》

"Lo yakin itu mereka?"

Kariza berdecak lalu meliriknya melalui ekor mata. "Mata gue belom burem ya." balasnya sewot.

Atha mengerucutkan bibirnya kemudian kembali mengamati dua pasang manusia yang tengah berdiri di halte bis didepan mereka kini. Dia dan Kariza bersembunyi dibalik dinding, memperhatikan Nara juga Nanda yang tengah mengobrol seraya menunggu bisnya datang―persis seperti penguntit mesum.

Hanya saja, ada beberapa hal mengenai Kariza yang sedikit mengusik pandangan Atha. Pemuda bermata hazel itu terlihat mengundang tawa dengan pakaian yang dikenakannya hari ini. Atha tidak habis pikir―makhluk macam apa yang membuat Kariza memilih kaos atasan bermotif floral ala-ala hawai dengan bawahan celana selutut coklat lengkap dengan masker, topi, dan kacamata?

Unik. Terlalu unik. Bahkan saking uniknya, Atha bersumpah kalau dia melihat beberapa orang yang berpapasan dengan mereka harus menutup mulutnya agar tidak tertawa dihadapan Kariza.

Merasa tidak tega pada orang yang telah berjasa memberinya tumpangan tempat tinggal sementara itu pun, Atha memanggilnya. "Za."

Dia tidak menjawab.

"Rija."

Lagi-lagi tidak menjawab.

"Kari."

Kariza nampaknya mendadak tuli atau mungkin sengaja tidak menghiraukannya. Maka dari itu Atha menginjak sepatunya keras-keras yang sukses mendapat rintihan kesakitan disertai umpatan gratis keluar spontan dari mulutnya. Kariza menggerutu sambil mengangkat sebelah kakinya, menatap Atha kesal.

Sayang, bukan sampai disitu saja. pemuda itu kehilangan keseimbangan hingga menabrak tempat sampah dibelakangnya sampai jatuh berantakan ke jalanan―menyebabkan seekor kucing yang lewat menggeram kaget serta marah karena hampir tertimpa tong sampah tersebut.

Kelihatannya hari ini bukanlah hari keberuntungannya.

Menimbulkan kerusuhan seperti itu di pagi hari tentu menarik perhatian. Bahkan Nara sekali pun, kelihatannya mendengar bunyi yang disebabkan oleh Kariza sampai-sampai dia mengernyit penasaran kearah keduanya berada.

Buru-buru Atha pun memalingkan kepalanya. Agar mereka tidak ketahuan.

"Athalia." Kariza mengucapkannya penuh penekanan. Dia melotot kesal membuat Atha menatapnya sambil menggigit bibir bawahnya dan cengengesan pelan.

Detik berikutnya, Atha mendengar sepasang langkah kaki keluar dari pagar rumah megah yang baru saja keduanya berantakkan tong sampahnya. Seorang pria berjenggot dengan wajah kemerahan berjalan cepat kearah mereka.

"Hei, kalian yang disana!" ucapnya setengah berteriak.

Atha mendelik. Kariza celingak-celinguk seraya berusaha berpikir cepat. Dia menoleh, matanya menangkap Nara dan Nanda yang kini sudah memasuki bisnya. Dengan gerakan cepat Kariza menggamit tangan Atha, menyeretnya pergi sebelum mereka dihampiri oleh pria tua itu.

Keduanya berlari tanpa tujuan hingga Kariza benar-benar memastikan kalau tidak ada lagi yang mengejar keduanya dibelakang.

"Lo..jangan ngelakuin yang aneh-aneh!" omel Kariza sambil mengatur napasnya dan membungkukkan badan. Tidak jauh berbeda halnya dengan Atha.

Perempuan berambut sebahu itu mengulum bibirnya kedalam lalu memejamkan mata sejenak. Menghirup oksigen sebanyak-banyaknya setelah keduanya berlari cukup jauh dan kini mereka berada dipinggir jalanan yang menanjak.

"Za. Lo nyadar nggak lo lebih aneh? kalau lo nggak mau kita ketahuan, dandannya yang normalan dikit dong. Masa udah pakai kacamata hitam, masker, masih pakai topi lagi? mau nyaingin maling?" cerocos Atha kemudian.

Kariza menurunkan masker lalu melepas kacamatanya dan berkacak pinggang. Napasnya masih tersengal-sengal, walau begitu mata hazelnya tetap menatap Atha kesal.

Sekarang, Atha baru merasa kalau dia telah kembali seperti Karia yang Atha kenal. Bukan Kariza yang kemarin.

"Ya seenggaknya gue lebih tahu diri dari lo kan?" timpal Kariza, rupanya dia menyindir pakaian Atha lagi.

"Fine. Terserah lo, dari sini gue nguntit mereka sendiri aja."

"Dih ngambek."

Atha menggeleng. "Siapa yang ngambek?"

"Lo. Athalia."

Kesal, Atha pun membalikkan badan dan menghentakkan kakinya seraya berjalan pergi. Sementara Kariza menarik kedua sudut bibirnya keatas, membentuk senyum simpul dibibirnya. Pemuda itu merogoh saku celananya.

"Woi, lo yakin mau nguntit mereka sendiri?tiketnya gimana?" tanya Kariza, setengah berteriak.

Hanya dengan pertanyaan sederhana itu, Atha berhenti melangkah. Dia menunduk. Merasa sudah dikalahkan pada detik yang sama. Atha baru ingat kalau dia bahkan tidak memegang banyak uang, apalagi Faust tidak ada disini. Alhasil, Atha akhirnya membalikkan badan. Berjalan menghampiri Kariza lagi sambil menunduk.

Kariza sendiri tersenyum menang. Dua buah tiket yang didapatkannya cuma-cuma dari salah satu teman gengnya itu ternyata tidak akan sia-sia. Dengan menyebalkannya, Kariza mengipas-ngipaskan dua lembar tiket tersebut di udara lalu mengacak rambut Atha pelan.

"Anak baik." Dia tertawa pelan.

Atha menggeram kesal. Berniat menoyor dahinya tapi diurungkannya niat tersebut.

"Nah sekarang, ayo kita ke Neverland naik cidomo aja." tambah Kariza yang setelahnya melambaikan tangan. Memanggil kendaraan berkuda tersebut dengan tangan satunya yang bebas.

Atha menggerutu. "Kan udah gue bilang, seharusnya lo bawa motor aja."

Kariza mendesis pelan lalu menarik tangannya, menghampiri kendaraan bernama cidomo tersebut.

》》》

Hal yang paling sulit saat mengalami cinta bertepuk sebelah tangan adalah melihat gebetan kencan dengan yang lain. Bisa jadi, bukan hati saja yang terasa panas―tapi pikiran juga ikutan berasap. Mungkin ini yang pertama kalinya dialami Atha sejak memasuki Neverland, berjalan memutar mengelilinginya bersama Kariza hingga akhirnya menemukan Nara dan Nanda sedang duduk disebuah bangku panjang. Terlihat serasi.

"Sampai kapan gue harus pakai ginian? lo nyadar nggak sih Za, daritadi kita dilihatin sama petugas kebersihan dari sana?" tanya Atha seraya menundukkan kepala dan topinya. Berusaha agar tidak bertemu pandang dengan seorang pria tua yang tengah memegang sapu lidi beberapa meter dari keduanya.

Berkat Kariza, penampilan Atha terlihat sangat sempurna. Sampai-sampai kelihatan aneh. Kariza entah mendapat uang darimana, dia membelikan Atha sebuah topi dengan bordiran wajah badut dilengkapi kacamata hitam palsu. Pemuda bermata hazel itu menggunakan embel-embel "Supaya nggak ketahuan" nya. Padahal Atha tahu kalau Kariza hanya tidak ingin membiarkan dirinya sendirian yang terlihat aneh dengan masker, topi, dan kacamatanya tersebut.

Saat ini keduanya duduk berseberangan dari Nanda dan Nara yang tengah menikmati gulali yang tinggal setengah. Satu berdua. Membuat Atha menggigit bibir bawahnya, sebal.

"Za." Atha menoleh Kariza yang tak kunjung merespon. Rupanya dia sedang melotot, memperhatikan Nara dan Nanda kelewat serius. Sampai-sampai Atha bisa melihat wajahnya yang memerah karena kesal. Yaampun, batinnya.

Kariza yang sejak tadi melepas kacamata hitamnya pun kembali mengenakannya sebelum menengok kearah Atha. Mendapat raut bingung dari perempuan itu yang kepergok memerhatikannya.

"Beliin es krim dong Tha." pintanya seenak jidat.

"Nggak ada duit."

"Ayolah, gue kan udah bayarin lo tiket, beliin lo topi sama kacamata. Duit gue habis." ucapnya sedikit memelas.

Atha mendengus kesal lalu beranjak berdiri. Dia memutar kedua matanya. "Ya, ya gue beliin. Mau rasa apaan?"

"Vanilla." pesannya lalu tersenyum menang. Seakan-akan dia baru saja memenangkan lotre dari Atha.

Perempuan itu pun hanya mengangguk dan segera berjalan menuju salah satu toko yang berada di dekat pohon rindang, cukup ramai oleh antrian anak-anak kecil yang berniat memesan es krim. Atha mendesis pelan, merutuki Kariza yang membuatnya harus berdiri disana. Diantara segerombolan anak kecil.

Di lain sisi, Kariza yang sedang dirutuki―sedang memperhatikan Nara yang mulai beranjak dari tempat duduknya. Dia berbincang-bincang sebentar pada Nanda sebelum benar-benar pergi meninggalkan perempuan itu sendiri diatas bangku sambil memegang gulalinya.

Yang gawat adalah―Nara ternyata berjalan menghampiri tempat penjual es krim. Tempat dimana Atha berdiri mengantri. Kariza spontan menggigit jari lalu menepuk dahinya. Menyesali perbuatannya karena menyuruh Atha membelikan es krim, terlebih, perempuan itu sepertinya tidak sadar kalau Nara berjalan mendekatinya.

Bisa gagal rencana yang disusunnya semalam kalau begitu caranya. Kariza tidak ingin keduanya tertangkap basah dengan cara yang sangat tidak keren. Menguntit musuh yang sedang berkencan sama sekali bukan gayanya.

"Atha! Tha!" teriaknya separuh berbisik. Walau dia tahu itu tidak akan berhasil.

Sementara, Atha yang merasakan aura familiar berdiri dibelakangnya dengan aroma parfum yang tak kalah asing menghampiri hidungnya mengulum bibir kedalam sebelum takut-takut menoleh ke belakang tanpa melepas kacamata hitamnya. Secara spontan dia menutup mulutnya dengan telapak tangan dan menghadap ke depan, menyadari sosok yang kini mengantri tepat dibelakangnya.

Nara yang tinggi berdiri tepat dibelakangnya. Terlihat begitu tampan hari ini meski dia bukan Nara yang Atha tahu. Rambutnya ditata kesamping namun tidak terkesan culun, kemejanya digulung ke sikut selagi beberapa kancing dibiarkan terbuka. Menggoda iman para kaum hawa walaupun dia masih seorang remaja.

"Kak."

Atha memejamkan matanya. Mengumpat dalam hati.

"Permisi Kak, mau pesan apa ya?"

Atha mematung. Hingga sesaat kemudian sebuah tangan menyentuh bahunya, memaksanya menoleh kesamping dan hampir terkena serangan jantung karena mata coklat Nara lah yang menyambutnya disana.

"Misi, ditanya tuh, lo mau pesan apaan?"

Gue udah ketahuan belom sih?, alih-alih menjawab Atha justru bertanya pada diri sendiri dalam hati. Diam-diam dia melirik Kariza melalui ekor mata. Pemuda itu menatapnya dengan tangan yang menyilang di udara. Sepertinya menyuruh Atha untuk tidak bicara apa pun yang bisa membuat Nara sadar.

Atha mengerjapkan mata cepat dan matanya beralih pada sebuah kertas serta pulpen yang kebetulan ditaruh di meja kasir didepannya. Dia saja sampai tidak sadar kalau gilirannya tiba kalau Nara tidak mengejutkannya. Kemudian, Atha pun mengambilnya tanpa berbicara apa pun―menulis dua kata sebelum menyerahkannya pada kasir.

Wanita muda berseragam merah muda itu tersenyum mengerti. Nampaknya hanya dia yang tidak terlihat terganggu akan penampilan aneh Atha. Padahal Nara, anak-anak kecil yang mengantri, juga rekan kerjanya pun menatap Atha dengan pandangan tak terbaca.

"Dua es krim vanilla ya?"

Dia manggut-manggut.

Beberapa saat setelahnya, Atha mendapatkan pesanannya. Dia pun berjalan cukup tergesa-gesa kearah Kariza, tapi suara Nara dari belakang menghentikannya. Membuat jantungnya berdegup cepat seiring deru napasnya.

"Misi! Lo yang disitu!"

Atha meneguk ludahnya lalu menghembuskan napas panjang―berusaha tetap terlihat tenang. Untuk mengatasi rasa gugupnya, Atha pun memakan sedikit es krim vanilla miliknya selagi es krim pesanan Kariza masih aman di tangan satunya.

"Iya, lo―" Nara tanpa sadar menarik tangannya, berniat memutar badan Atha menghadap kearahnya walau justru membuat wajah perempuan itu belepotan es krim. "Eh maaf." ucapnya singkat, jelas, dan padat.

Meski memakai kacamata hitam, Atha tetap menundukkan kepala sehingga Nara harus mengikuti gerak kepalanya juga supaya bisa melihat Atha yang tengah menyamar dengan jelas.

Kelihatannya pemuda itu sudah bisa mencium gerak-gerik anehnya.

Atha berusaha mengelap sekitar bibirnya yang terkena es krim vanilla dengan punggung tangannya.

"Lo lupa ambil kembaliannya, mm, ada es krim di sini lo." Nara mengatakannya sambil menunjuk sebelah bawah pipi Atha, dekat dengan bibirnya. "Tunggu gue kayaknya ada tisu."

Atha melayangkan tangannya di udara. Mencegat Nara sambil menggeleng.

"Kenapa nggak?―lo tahu, kelakuan lo aneh. Nggak mau ngomong waktu orang tanya. Ada apaan sih?" ujar Nara. Atha bisa merasakan nada kesal di dalam ucapannya.

Atha hanya menunduk. Mendadak tidak tahu harus berbuat apa.

Detik selanjutnya, Atha bisa merasakan kepalanya dagunya diangkat oleh Nara. Hingga Atha bisa menatapnya meski Nara tidak bisa, karena kacamata hitam yang dibelikan Kariza.

"Lo mirip seseorang deh." racaunya sambil menjulurkan tangan. Hendak membuka kacamata hitam Atha.

Atha bisa bersumpah, detik-detik itu merupakan saat yang menegangkan untuknya. Bahkan untuk bernapas pun rasanya susah. Detik-detik yang seakan diperlambat.

Tepat disaat Nara baru memegang kacamata hitam yang dipakai Atha, tangan Kariza memegang erat pergelangan tangannya. Menyingkirkan tangan Nara dengan kasar usai pemuda itu melepaskan pegangannya pada kacamata Atha.

Bisa dibilang, Atha juga ikut kaget. Kariza nampak seperti pahlawan kesiangan yang biasanya muncul di berbagai sinetron dan drama.

Kariza berdeham pelan. Terlihat percaya diri meski dengan masker, kacamata hitam, dan topinya. Pemuda itu menggamit tangan Atha menarikna mendekat sampai-sampai menubruk dada bidangnya. Dengan gerakan super cepat Kariza melingkarkan tangannya di pundak Atha, merangkulnya erat.

"Babe, kok lama banget sih beli es krimnya aja?aku udah kangen tahu."

Detik itu juga, Atha bisa merasakan bulu kuduknya merinding geli. Nara hanya memiringkan kepala sambil menatap keduanya bergantian.

Rasanya tidak lama lagi Atha akan memuntahkan isi perutnya.

Kariza melirik Nara sekilas. Dia kelihatan tidak yakin dengan akting keduanya, sepertinya. Oleh karena itu, Kariza semakin mendekatkan wajahnya pada Atha.

"Oh yaampun, babe, kok di pipi kamu ada es krim sih?" tanya Kariza. Tentu dengan suara yang dibuat-buat. Hebatnya, Kariza sama sekali tidak terdengar seperti Kariza saat ini. Atau mungkin, itu karena dia memakai masker.

Omong-omong soal masker, Kariza perlahan membuka maskernya  tanpa melepasnya. Dia hanya membiarkan bibirnya terekspos.

Lalu itu terjadi.

Seperti mimpi buruk bagi Atha.

Kariza menciumnya tepat di bagian yang terdapat sisa es krim. Di depan seorang Narado Risyad yang merupakan gebetannya. Mata perempuan itu membelalak lebar selagi tubuhnya berdiri kaku.

Kariza menarik kedua sudut bibirnya keatas lalu memasang lagi maskernya. "Astaga, babe, kamu kok keringet dingin sih? pasti karena ketularan aku deh. Yaudah kita beli obat dulu aja yuk." ujar Kariza yang lalu menyeretnya pergi tanpa kata.

Menyisakan Nara yang tidak kalah terkejutnya disana. Dalam diam, pemuda bermata coklat itu menatap kedua punggung mereka menjauh―baru setelahnya menatap kembalian beserta bon milik Atha yang ditinggalkannya karena lupa.

"Kenapa Nar? Es krimnya mana?" suara Nanda yang tiba-tiba saja menghampiri pemuda itu membuat Nara menoleh.

"Eh iya, belom Nan."

"Ngelihatin siapa sih lo?"

Nara menatap Nanda dan menggeleng.

"Lah, nggak jelas. Yaudah ayok pesan." ucap Nanda lalu menarik lengan kemeja Nara. Menyuruh pemuda itu kembali mengantri.

Nara seperti biasa, menyengir ala bocah idiot. Memperlihatkan lesung pipitnya yang manis. Dengan kalemnya mengekori Nanda meski kemudian menoleh sekali lagi ke belakang.

Merasa hatinya mendadak terasa tidak enak setelah melihat pemandangan barusan. Walau demikian, pemuda itu menggeleng lagi. Berusaha tidak memikirkannya.

Di tempat lain, Kariza menghela napas panjang usai keduanya menyembunyikan diri dibelakang bangunan toilet umum yang ditumbuhi pepohonan rindang tidak jauh dari tempat mereka semula. Suara teriakan sebagian orang dari wahana roller coaster yang beberapa meter dari keduanya mengisi kekosongan.

"KARIZA!" ujar Atha setengah membentak di dekat telinganya beberapa saat setelahnya. Membuat Kariza geram lalu membalikkan badan, menatap Atha lurus-lurus.

"Gue baru aja menyelamatkan lo, harusnya berterima kasih."

"Tapi nggak usah ci―" Atha menghentikan ucapannya. Kariza mengernyit dan menyeringai iblis.

"Nggak apaan?" tanyanya seraya berjalan maju mendekati Atha, spontan membuat perempuan itu berjalan mundur dengan gugup. "Pipi doang, lebay amat."

Atha mengendikkan bahu. Kariza tetap berjalan maju. "Stop!lo maju sekali lagi gue teriak nih." ucapnya seraya melayangkan kedua tangan di udara, menyuruhnya berhenti berjalan mendekat selagi Atha spontan berjalan mundur setiap kali Kariza melangkah maju.

Pemuda itu membuka masker dan kacamatanya. Atha meneguk ludahnya dengan susah payah, perlahan tapi pasti punggungnya menabrak dinding belakang bangunan toilet umum. Kariza menyeringai lebar dan mengurung Atha diantara kedua tangannya. "Kenapa lo?" tanyanya.

Atha memejamkan mata dan mendorong bahu Kariza pelan. "Jangan dekat-dekat."

Alih-alih menuruti, Kariza semakin mendekatkan wajahnya.

Deg.

Dia terdiam. Jantungnya seolah terhenti sepersekian detik. Saat dia merasakan deru napas pemuda itu menyentuh permukaan dahinya, Kariza tiba-tiba menjauhkan wajahnya lalu membalikkan badan. Berjalan lebih dulu sambil melambaikan sebelah tangan. "Ayo. Bahaya kalau mereka ditinggalin berdua kelamaan." ucapnya seraya memakai lagi masker dan kacamata serta merapatkan topinya.

Atha mengambil napas dalam-dalam.

"Oh iya," Kariza menolehkan kepala. "Jangan lupa benerin topi sama kacamata lo."

Berdecak sebal, Atha hanya menuruti perkataannya sebelum menyusul Kariza dari belakang tanpa suara. Meski sebenarnya perempuan itu tidak tahu apa yang tengah dirasakan pemuda bermata hazel itu. Kariza memegang dadanya dan mendengus kesal.

Apa yang salah sama gue sih?, batin Kariza tanpa berhenti berjalan.

》》》

"Satu-satu aja Nar, gue mau ngelawan lo." ujar Nanda dengan semangat. Usai menguncir rambutnya, dia berkacak pinggang. Kini keduanya berada di paling depan antrian boom boom car, disampingnya berdiri Nara yang tengah melipat kedua tangan di dada sambil sedikit bersender pada pagar pembatas di belakangnya.

"Nggak. Nggak boleh. Kan nge-date itu harus satu berdua. Jadi naiknya harus satu berdua." ucap Nara yang dibalas Nanda decakan sebal.

Kariza dan Atha yang mengantri dua barisan dibelakang keduanya memasang telinga. Memperhatikan gerak-gerik keduanya.

"Kita naiknya satu-satu atau berdua?" tanya Atha yang memecah konsentrasi Kariza saat memperhatikan Nanda dengan seksama.

Dia menoleh kearah Atha, mengangkat sebelah alisnya lalu diam. "Berdua lah. Kalo sendiri nanti lo kayak tadi, hampir ketahuan." balasnya.

Beberapa saat kemudian, pegawai taman hiburan pun membuka pagar pembatasnya―tepat setelah bunyi nyaring bel penanda akhir memenuhi tempat tersebut. Nanda dan Nara memasukinya lebih dulu, sedikit berdebat kecil soal mobil mana yang harus dikendarai sebelum pada akhirnya memilih mobil berwarna hijau dengan nomor enam.

"Maaf Kak, topinya dilepas aja." ucap pria muda berseragam pegawai itu, tepat disaat Kariza dan Atha berniat melangkah masuk. Menatap keduanya bergantian dengan pandangan penuh kecurigaan, lantas menarik perhatian beberapa orang dibelakangnya.

Kariza terbatuk pelan dan dengan sangat terpaksa melepas topinya, kemudian kacamatanya, tapi membiarkan masker tetap disana. Menutupi hampir seluruh wajahnya. Atha sendiri melepas topinya namun membiarkan kacamata tetap bertengger disana―mengingat bahwa dia tidak memakai masker.

Saat bunyi nyaring kembali terdengar, disaat yang sama, seluruh mobil berukuran mini itu digerakkan. Kariza menekan kencang pedal gasnya. Menyusul Nara dan Nanda yang berada dalam satu mobil dengan sedikit emosi. Sementara, Atha harus menahan jeritannya di tenggorokan karena sering dibuat kaget akibat rem yang diinjak Kariza dadakan setiap kali ada belokan.

Di mobil satunya, Nara menyetir dengan kelewat santai. Malah pemuda itu bersiul pelan tanpa memudarkan cengiran idiotnya. Meski Nanda memasang wajah jutek disebelahnya, masih kesal soal Nara yang tidak memperbolehkannya menyetir di mobil yang berbeda. 

"Ay." panggil Nara. Bercanda.

Nanda tidak menjawab.

"Nanda Arinda."

"Mm?"

Brukk

Keduanya tersentak kaget. Nara menoleh kebelakang. Mendapati bumper belakang mobil yang dikendarainya ditabrak oleh seorang pemuda bermasker yang duduk berdampingan dengan perempuan berponi berkacamata hitam. Pasangan aneh yang ditemuinya saat hendak membeli es krim. Serasi sih, hanya saja terlihat aneh.

Yang lebih aneh, setiap kali Nara memperhatikan perempuan berkacamata hitam itu―Nara merasa familiar dan darahnya mendadak berdesir. Merasakan sesuatu asing terjadi pada dirinya.

"Nara, jalan." ucap Nanda, menepuk bahunya.

Pemuda itu mengerjap cepat dan tiba-tiba saja baru sadar kalau pasangan aneh itu ternyata telah berada beberapa meter di depannya. Berkendara lebih pelan dari sebelumnya. Nara pun menginjak pedal gasnya tak terlalu keras.

"Nara."

"Ya, ay?"

"Nanda. Ay ay." omel Nanda sambil menatapnya tajam.

"Tapi kan kita lagi nge-date, Ay." protes Nara.

"Whatever." Nanda memutar kedua matanya lalu mengendikkan dagunya kearah mobil di depan mereka. Mobil pasangan aneh tersebut. "Itu, mereka berdua, lo merasa mereka familiar nggak sih?" lanjut Nanda yang otomatis direspon anggukan setuju oleh Nara.

"Lo ngerasa gitu?"

Nanda mengangguk. "Apalagi cowoknya. Mengingatkan gue sama seseorang." tambahnya.

"Ay, jangan lirik-lirik cowok orang. Cukup gue aja." balas Nara sambil mengedipkan sebelah matanya―hal yang tidak akan dilakukan orang lain selain Nara. Dan tentu saja, Nanda yang melihat dan mendengarnya pun ikut bergidik geli. Seolah itu merupakan satu dari sekian kata-kata menjijikkan yang pernah dia dengar.

"Woi, aw―"

Brukk

Kali ini Nara tersentak kaget dan hampir terjungkang ke depan kalau saja tidak memakai sabuk pengamannya. Mobil yang diisi oleh pasangan aneh itu mendadak berhenti, membuat Nara yang tidak terlalu memperhatikan sekelilingnya menabrak.

Nara mendengus kesal lalu menekan klakson keras-keras. "Berhentinya jangan dadakan dong, mas!" ucapnya setengah teriak.

"Nar, ini kan boom boom car." timpal Nanda.

"Nggak tahu kenapa gue mendadak kesal ngelihatnya Nan." ucap Nara yang kemudian mendelik, menginjak gasnya kencang menyusul mobil yang dikendarai oleh Kariza dan Atha yang kini sudah di depan―tanpa mengetahui bahwa mereka sedang menyamar. Barulah disaat Nara hampir menabrakkan mobil-mobilannya pada bagian belakang suara nyaring yang berasal dari bel di pojok atas ruangan terdengar. Secara otomatis menghentikan semua mobil disaat yang bersamaan.

Nara mengumpat pelan sambil memukul setirnya, selagi Nanda tertawa pelan disebelahnya sebelum menarik lengan kemeja Nara pelan. "Lo kenapa sih Nar, nggak jelas. Ayok naik roller coaster habis itu bianglala." ajak Nanda sebelum keduanya turun. Diam-diam diekori oleh Kariza yang menyeret Atha agar berjalan sedikit lebih cepat.

Roller Coaster.

Begitu mereka sampai di kawasan penuh teriakan histeris para pengunjung itu, Nara dan Nanda segera mengantri. Sementara Atha juga Kariza memutuskan untuk duduk diatas kursi panjang dibawah pohon dengan Kariza yang mengeluarkan teropongnya. Mengawasi dari jauh layaknya psikopat.

"Kariza."

"Ya?"

"Teropongnya nggak usah dikeluarin juga, kali." bisik Atha setelah melihat anak kecil yang melihat Kariza melepaskan balonnya tanpa sadar dengan mulut yang menganga lebar.

Mendengus kesal, Kariza menoleh kearahnya. Menatap Atha malas setelah menurunkan sedikit teropongnya. Sejak sesampainya mereka di kursi panjang tersebut sudah Kariza membuka maskernya. Tidak melepasnya secara keseluruhan sih, hanya menggesernya ke bawah dagu supaya tidak menutupi hampir keseluruhan wajahnya. Jadi kini Atha bisa melihat dengan jelas ekspresi menyebalkan seperti apa yang dipasang oleh seorang Kariza Tarazio.

"Tha menurut lo, kita ini lagi ngapain?"

Atha mengangkat sebelah alisnya tinggi. "Nguntit orang?" jawabnya ragu-ragu.

"Berarti kitanya dipanggil apa?"

"Penguntit?" Atha bertanya balik. Kariza menepuk dahinya seraya memutar kedua matanya malas.

"Salah." balas Kariza. Pemuda itu mendekatkan wajahnya ke telinga Atha lalu berbisik setelah berdeham pelan. "Kita ini disebut―stalker." bisiknya yang diakhiri dengan seringaian tipis.

Lain halnya dengan Nara, pemuda itu sedang tertawa pelan usai Nanda melontarkan lawakan khasnya. Mata coklatnya terlihat menyipit selagi lesung pipit di kedua pipinya terlihat jelas hingga pandangannya menangkap Kariza dan Atha yang sedang duduk. Pemuda itu mendadak terdiam lalu memperhatikan Kariza dengan seksama. Menatapnya dari atas hingga bawah. Itu bukannya Kariza, batinnya.

Beberapa saat kemudian Nanda tiba-tiba menarik pergelangan tangannya. Rupanya giliran mereka menaiki wahana menegangkan itu. Dan seketika, wajah Athalia Sharafina muncul diotaknya. Nara mengulum senyum sambil menatap kakinya yang tengah melangkah. Dia mengingat-ngingat bagaimana saat dia mengunjungi Neverland bersama Atha, saat menaiki wahana yang sama.

》》》

Nanda merenggangkan tangannya keatas sambil berteriak girang. "Gila, seru banget." ujarnya yang ditanggapi oleh cengiran idiot Nara. Hari ini, pemuda dengan rambut dicat pirang itu hampir setiap saat menyengir idiot di depannya. Setelah menit-menit menegangkan, berada diatas mesin yang bergerak―terombang-ambing diatas sana, keduanya merasa perlu untuk beristirahat sejenak dengan duduk di salah satu kursi yang kosong.

"Nar, gue haus. Beli minum dulu yuk." ucap Nanda, menunjuk sebuah mesin minuman kaleng yang terletak beberapa meter dari mereka.

Atha yang melihat keduanya pun menyikut Kariza yang sibuk memasang kembali maskernya dan mengotak-atik teropong kesayangannya. Sementara dia sendiri, memegangi gulali besar yang baru dibelinya beberapa saat lalu. "Kariza, tuh mereka." Atha mengatakannya pelan, tanpa repot mengalihkan tatapannya dari sosok Nara.

Mendengar ucapannya, Kariza mengangkat kepala. Mencubit sebagian kecil gulali yang dibeli Atha dan memasukkannya kedalam mulut sebelum memperhatikan Nara dan Nanda melalui teropong. "Tha, gue ada rencana." ucapnya.

"Apa?"

Kariza melepas teropongnya dan menatap Atha. "Kita harus misahin mereka habis ini. Lo sama Nara, gue sama Nanda." ujar Kariza, berusaha menjelaskan dengan cara yang paling sederhana.

Atha mengangguk mengerti. "Masalahnya, caranya gimana?" tanyanya.

"Gampang," Kariza beranjak berdiri. "Makanya sekarang kita ikutin mereka aja dulu." sambungnya.

Sesaat kemudian, Atha mendapati dirinya dan Kariza berjalan menuju kearah Nanda dan Nara yang kini persis berdiri di depan mesin minuman. Nara baru saja mengeluarkan dua kaleng minuman soda dari sana, disaat Nanda menarik lengan kemejanya. Membuat pemuda bermata coklat itu membungkuk sedikit.

"Jadi, Tha―" Kariza menghentikan ucapannya di ujung lidah, dia memang berjalan lebih dulu di depan Atha. Selagi perempuan itu mengekorinya dengan gulali yang dia pakai untuk menyembunyikan wajahnya sesekali.

Kariza menahan napasnya dan kontan membalikkan badan―menyadari bahwa Nara semakin mendekatkan wajahnya pada Nanda. Sama sekali bukan tontonan yang bagus untuk keduanya. Seperti sudah bisa menebak adegan yang tengah berlangsung, Kariza mencegat tangan Atha yang hendak menyingkirkan gulali dari depan wajahnya. Berniat mengintip apa yang sedang terjadi sampai-sampai Kariza mengubah posisinya.

"Kenapa sih Za?"

Kariza hanya mematung. Menatap Atha yang menongolkan sedikit wajahnya dari balik gulali tersebut, meski begitu dia sama sekali tidak bisa melihat pemandangan jauh di depan sana―karena Kariza berdiri menjulang di depannya, menghalangi jarak pandang Atha. Seakan sengaja melakukan hal tersebut.

"Kari. Woi Kariza." panggil Atha sambil berjinjit, berniat mengintip.

Kariza dengan cepat memegang kedua pundak Atha. Mengurungkan niat perempuan itu untuk mengintip pemandangan dibalik punggungnya sambil menggelengkan kepala pelan. Perlahan tapi pasti Kariza mengambil beberapa langkah maju―membungkukkan sedikit punggungnya dan mendekatkan wajahnya.

Dia mengangkat sebelah tangannya di udara. Menyumpal mulut Atha yang sedikit terbuka dengan memaksakan sebagian dari gulali kedalamnya. Dan disaat yang sama, Kariza menggigit bagian lain dari gulali tersebut. Membuat Atha harus menahan napas karena syok akan jarak yang tersisa diantara keduanya. []

==

A/n: *bow* gilaa maaf banget yang ini telaaat amat sangat telaaat! makasih banget buat yang udah mau nunggu. Chapter yang ini baru bisa diselesain soalnya aku belom nentuin mereka mau kemana aja, dan gimana caranya aku mempertemukan mereka gitu loh. Btw disini Kariza nya kocak banget bajunya..lol

MAKASIH buat putriaulia, putrizlf, dhiananda (lol),  echajai dan siapa pun yang sudah menunggu!!! btw aku jarang make line sendiri belakangan ini jadi maaf banget yang baru dibales linenya! dari kemaren tuh kehilangan mood. Apalagi harus terpaksa nulis lewat komputer. Habis ini sih niatnya mau langsung ditulis part berikutnya, thanks for always supporting me!

P.S: i know i'm pretty late but HAPPY FASTING for all of my muslim readers!

―Sav

Copyright © 2015 by saviranc

Continue Reading

You'll Also Like

Quartam By Rend

Science Fiction

9K 1.2K 39
Langit biru hanya ada di buku dan mungkin di pulau itu, tidak di sini. Tidak ada yang pernah tahu seperti apa indahnya langit seperti itu. Terlahir d...
350K 67.3K 20
Tidak ada yang salah dengan media sosial. Yah, setidaknya, itu pendapatku sebelum tiga remaja asing seumuranku datang menghampiri dan mengaku bahwa m...
Cipher | ✔ By Ayu Welirang

Mystery / Thriller

17.5K 4.1K 49
[The Wattys 2022 Winner - Mystery/Thriller Category] [Silakan follow sebelum membaca dan jangan lupa tinggalkan kritik serta saran] Kode program 1984...
Then By hee

Romance

2.2K 428 26
[Sequel of Dear You] Marvelyn dan Harvey memulai kembali kisah mereka. Hubungan jarak jauh yang dulu menjadi alasan mengapa mereka berpisah, tak sang...