HARAPAN (ANTON RIIZE #01)

By isabella_mirzin

2.4K 240 24

Menceritakan tentang keluarga kecil Donzello Anton seorang duda beranak 2 kembar laki-laki dan perempuan yang... More

TOKOH
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34

16

55 8 0
By isabella_mirzin

"Papa beneran mau nikah sama tante Tasya?" Allen Balorima menanyakan sendiri maksud dari tujuan sang ayah yang tiba-tiba membawa seorang wanita ke rumah dan itu bukan sebagai pengasuh.

"Yang bilang kayak gitu siapa?" Padahal Anton masih belum memberitahu tapi Allen sudah menebak langkahnya saja.

"Emang bukan yah?" Menelan makanannya sejenak, Allen kembali menambahkan, "Bukannya tante Tasya itu pacar papa?"

Pria itu menanggapi dengan setengah tertawa dan setengah mendengus.

"Iya kan?" Sebelum mendapatkan jawaban yang sesuai, Allen akan terus mencecar.

Mengusap pucuk kepala Allen dengan lembut, Anton membalikkan pertanyaan. "Ale sendiri mau enggak? Kalo tante Tasya jadi mama Ale?"

Jika itu benar terjadi Allen akan mendapatkan perhatian dari orang dewasa lain, ketika orang-orang bertanya mengenai keberadaan ibunya juga Allen akan mudah menjawab tanpa harus bertingkah angkuh menghindari pertanyaan seperti yang dilakukannya beberapa hari yang lalu. Jujur saja dia merasa lelah ketika orang-orang terus bertanya mengenai keberadaan ibunya yang Allen sendiri saja tidak mengetahuinya .

Dan ini sesuai dengan apa yang dibutuhkannya sekarang. Dengan Tasya yang menjadi ibunya nanti itu akan berguna entah di luar atau di dalam rumah karena dia sendiri juga membutuhkan perhatian. Dengan bergabungnya Tasya perhatian orang dewasa akan bertambah, Allen berharap Tasya akan lebih memperhatikannya, atau Agnes akan diserahkan kepada wanita itu dan papa akan fokus padanya.

"... Mau..."

Sang ayah juga sepertinya tidak keberatan malahan terlihat kesenangan dan benar-benar menyukai Tasya. Jadi Allen tidak perlu mengkhawatirkan apapun.

"Jadi nikahnya kapan?"

Membawa Allen untuk duduk di atas pahanya, Anton merangkul anak itu dari belakang. "Sabar yah."

"Sabar kok, Ale selalu sabar-"

"Pinter," balas Anton di tengah-tengah penuturan Allen.

"Emang Ale pernah enggak sabar? Enggak kan? Kalo pernah, itu pas kapan?"

"Iya iya." Tersenyum memaklumi, Anton menyenderkan kepalanya di bahu kecil Allen. "Ale selalu sabar kok ngadepin papa tapi enggak ke Age."

"Age nya juga gitu," ketus Allen cemberut sambil mengunyah makanannya dengan kesal. "Suka bikin kesel, egois."

Tiba-tiba Anton mengerjapkan mata. "Ale tahu egois enggak?"

"Orang yang maunya menang sendiri kan? Ale tahu papa... Ale kan pinter."

"Ale tahu itu dari mana?"

"Dari sekolah."

"Beneran sekolah ngajarin kayak gitu?"

Allen menganggukkan kepalanya singkat kemudian meralat. "Ibu ibu si yang pernah bilang ke Lein."

"Lein dibilangin apa sama ibu-ibu?"

"Jadi pas itu miss ngasih pertanyaan terus si Lein udah jawab tapi dia ngejawab pertanyaan anak lain yang dari miss. Kayak... Lein tuh harusnya udah diem kalo udah dikasih pertanyaan jangan malah ngejawab pertanyaan yang dikasih ke anak lain. Terus Ale denger ada ibu-ibu yang bilang katanya Lein egois karena pengennya pinter sendiri."

"Ale kalo disekolah gimana?"

Berpikir sejenak, Allen kemudian menjawab. "Enggak egois, tapi Ale kadang kesel sama Lein dia tuh suka banget ngerusuhin Ale biar Ale lama selesainya."

"Lama ngapain?"

"Lama selesainya--lama ngerjain tugasnya. Kalo Lein udah selesai lebih dulu, Lein bakal gangguin Ale."

"Terus Ale bales enggak?"

"Kalo udah kesel Ale bales, Ale dorong sampe kena lantai."

"Enggak boleh!" Nada Anton berubah menjadi lebih tinggi dari sebelumnya.

"Habisnya Ale kesel." Cemberut Allen. "Lagian kan Lein duluan Ale cuman bela diri doang. Lein tuh dendam sama Ale gara-gara Aura deketinnya Ale mulu."

"Ale pacaran?" Tebak Anton dengan wajah garang yang langsung membuat Allen gelagapan karena merasa keceplosan.

"Enggak!" Allen menggeleng kencang. "Cuman temenan doang kok, yang pacaran mah Lein, Lein bilang Aura pacarnya Lein tapi Aura nya enggak mau."

"Yang bener."

"Bener! Percaya deh sama Ale, suer." Allen memasang 2 jari di depan wajah sang ayah dengan ekpresi ketakutan.

"Bohong--"

"Enggak!"

"Assalamu'alaikum!" Seru Agnes kegirangan sambil berlarian memasuki rumah memotong pembicaraan ayah dan anak laki-lakinya.

"Waalaikumsalam." Balas Allen dan Anton secara bersamaan. Anak itu hendak dipindah tempatkan namun Allen bersikeras menolak dengan menggelengkan kepalanya kencang.

"Kenapa Ale?" Tanya Anton.

"Biarin kayak gini dulu, Ale masih pengen dipeluk papa."

"Kirain kenapa." Anton semakin mengeratkan pelukannya.

"Harusnya Age jangan pulang main saja sepuasnya biar Ale bisa berduaan terus sama papa," gumam Allen yang membuat Anton terkejut ditempat.

"Kok ngomongnya gitu?"

Menaikkan 2 bahunya ringan, Allen menghela nafas, disusul kedatangan Agnes yang langsung meletakkan boneka ke atas meja didepannya.

"Anak papa udah pulang... Gimana mainnya?" Ini menjadi pertama kalinya Agnes bermain keluar rumah pada malam hari. Dan itu karena Putri yang membawanya. Agnes merengek memintanya untuk bermain ke rumah Putri.

"Enggak gimana-gimana."

"Kok udah pulang Age?" Tanya Allen yang jujur saja membuat Anton merasa tidak enak hati.

"Temennya Kak Putri dateng jadi Age dianterin pulang." Dalam kondisi terengah-engah Agnes menjatuhkan diri ke lantai dan duduk lesehan di sana. "Capek!"

"Lari-larian yah?" Tanya Anton yang membuat Agnes meringis.

"Hehe. Papa, papa tahu enggak? Kak Putri ternyata punya banyak temen tahu! Age kaget banget lihatnya."

"Berapa orang?" Tanya Allen.

"Dua!"

"Itumah dikit."

"Eh bukan dua dik." Agnes menatap udara sambil mencoba mengingat . "Yang pake kerudung ada satu, dua, tiga dan yang enggak ada..."

"Cewek semua yah?"

"Kok Ale nanya gitu?"

"Soalnya kalo cowok berarti pacarnya bukan temennya."

"Iya juga yah."

"Masih kecil ngomonginnya udah pacaran," sahut Anton membuka suara.

"Enggak papa, kan ngomongin doang enggak pacaran beneran," balas Allen.

"Yakin?" Memasang tampang meremehkan, Agnes tersenyum jahil yang membuat Allen memasang tampang garang. "Aura tadi siang ditembak siapa yah."

"Age apaan si, siapa juga yang nembak Aura."

"Ale lah, siapa lagi!"

"Ale beneran?" Anton mengerutkan alisnya. "Tadi katanya enggak pacaran."

"Emang enggak!" Menggelengkan kepala, Allen melambaikan tangan ke wajah Anton. "Ale enggak pacaran kok."

"Udah Ale jujur saja, mumpung ada papa." Agnes sudah melipat tangan di depan perut.

"Age nih!"

"Papa enggak bakal marahin kok."

"Beneran?"

"Iya."

"Sebenarnya Ale enggak pacaran, Aura cuman cerita kalo dia diajakin pacaran Lein."

'Lein lagi,' batin Anton. Sepertinya Lein ini akan menjadi musuh bebuyutan Allen.

"Kalo Age diajakin Tiar nikah tapi kalo udah gede si."

"Tuh sendirinya juga pacaran!"

"Age enggak pacaran, sama Tiar cuman janjian doang nikahnya bareng."

"Ya enggak ada yang kayak gitu."

"Lagian juga papa udah tahu kok, dan papa enggak marah sama Age jadi itu dibolehin."

"Enggak gitu juga, Age..." Anton menurunkan Allen dan menatap si kembar secara bergantian. "Nih dengerin papa. Kalian tuh masih kecil, masih lima tahun." Dia memasang 5 jari tangan panjangnya. "Jadi belum waktunya buat kalian mikirin pacaran, mikirin cowok cewek, itu belum waktunya. Dan papa enggak marah bukan berarti papa nge bolehin. Tapi karena papa salut sama Age, mau cerita ke papa jadi papa enggak marah. Dan Ale, lain kali jangan bohong yah? Bohong itu enggak baik. Papa lebih suka Ale ceritain apa yang Ale pikiran daripada dipendem sendiri. Kayak Ale yang susah  ngerjain tugas, Ale bisa tanya ke papa sedikit."

Terhenyak, Allen mengerjapkan mata. "Beneran?"

"Ya beneran, masa bo'ongan!" Balas Agnes yang membuat Allen mendengus.

"Ale tanya papa bukan tanya kamu!"

"Papa enggak mau jawab mble!" Agnes menjulurkan lidahnya mengejek.

"Tidur saja sanah ah! Nyebelin banget."

"Emang mau tidur." Agnes beranjak ke kamar mandi. "Papa ambilin sikat gigi!"

"Iya." Anton menyusul Agnes yang langsung disusul Allen.

Jarum jam dinding menunjukkan pukul setengah 9 malam, waktunya Anton mematikan lampu kamar si kembar. Dan kini giliran Allen yang terjaga.

"Enggak bisa tidur?"

"Enggak." Allen menggeleng kencang.

"Terus kenapa enggak tidur?"

"Papa," Panggil Allen tiba-tiba.

"Apa?"

"Tadi kata papa, papa lebih suka dengerin Ale ngeluarin pikiran Ale kan?--Ceritain apa yang Ale pikirin kan?"

Menatap mata anaknya, Anton mengingat obrolan mereka tadi kemudian menganggukkan kepalanya pelan. Sepertinya ada yang dilewatkan tapi sepengetahuan Anton, Allen itu berbeda dengan Agnes.

"Iya, kenapa? Ada yang mau Ale ungkapin?"

"Iya."

"Apa?"

"Papa enggak bisa deketan?" Pasalnya Anton masih berdiri ditempat saklar.

"Iya." Kembali melangkah, Anton mendudukkan diri di ujung ranjang yang langsung membuat Allen beranjak duduk menjauh dari bantalnya.

"Papa sayang Ale enggak?"

"Sayang."

"Beneran?"

"Beneran dong."

"Sama Age sayangan siapa?"

Pertanyaan yang tidak pernah terpikirkan akan ditanyakan seserius ini. "Sayang semuanya."

"Kalo sayang semuanya kok Ale lihat papa lebih sayang Age?"

Deg.

Mengerjap sebentar, Anton terdiam melihat Allen yang menatapnya berani. Anak laki-laki memang berbeda dengan anak perempuan. "Papa sayang Ale kok, papa sayang kalian berdua, papa sayang anak-anak papa. Enggak ada istilahnya lebih sayang ini lebih sayang itu, enggak, papa sayang semua anak papa. Ale jangan mikir gitu lagi yah?"

"Pikiran ini dateng sendiri papa, jadi Ale juga enggak tahu. Ale cuman ngerasa papa lebih sayang Age daripada Ale. Kayak kemarin pas dibeliin mainan juga papa malah liatin Age mulu, Ale enggak dapet perhatian papa."

"Itu karena Ages dari kemarin keliatan sedih mulu, emang Ale enggak ngerasain?"

"Ngerasain si." Tiba-tiba kesimpulan lain didapatkan anak itu. "Berarti lain kali Ale harus sedih dulu biar dapet perhatian papa."

Lagi-lagi dada Anton merasakan sesak mendengarnya. "Enggak gitu juga, papa lebih suka lihat kalian seneng, bahagia terus jangan sedih kalo sedih papa juga sedih. Emang Ale mau lihat papa sedih?"

"Jangan, papa jangan sedih." Allen menggeleng sambil melambaikan tangan di depan wajah. "Ale enggak mau papa sedih."

Tersenyum kecil, Anton mengusap pucuk kepala Allen. "Ale anak pinter, paling pinter lebih dari Age."

"Papa tahu juga?"

"Tahu dong."

"Tahu dari mana? Padahal Ale enggak pernah ceritain."

"Papa cari tahu sendiri, kan udah papa bilang kalo papa perhatian sama semua anak papa termasuk Ale."

Sebenarnya Anton mengetahui itu dari ibu-ibu komplek saat berbelanja di tukang sayur keliling. Karena Allen lebih pintar dan lebih paham jadi Anton tidak perlu khawatir namun tidak disangka Allen tetap memiliki perasaan seperti itu.

"Ale udah ceritain ke papa jadi Ale mau tidur." Allen kembali berbaring dan meletakkan kepalanya di atas bantal.

"Enggak mau ceritain yang lain?"

"Enggak--mending papa tidur takutnya kesiangan."

"Iya." Begitu selesai membalas Anton langsung beranjak mendekatkan diri dan mengecup sekilas kening anak laki-laki itu. "Marah enggak papa cium?"

"Enggak papa." Allen mulai memejamkan mata sambil bergumam yang membuat Anton menyemburkan tawa. "Kalo embah baru Ale enggak mau."

***

Bell masuk berbunyi nyaring yang membuat Agnes kebingungan antara menghabiskan sisa makanan atau membuangnya begitu saja ke tempat sampah.

"Caca tungguin!" Pintanya berteriak pada anak perempuan yang sudah berlari menjauh meninggalkannya sendirian. "Duh, buang saja lah."

Begitu selesai membuang sisa makanan ke dalam tempat sampai Agnes langsung buru-buru menyusul Caca. Sesampainya di kelas, Agnes langsung mengikuti pergerakan Caca yang mengeluarkan buku pelajaran.

"Age udah habis makanannya?" Caca bertanya sambil sesekali melihat Agnes dengan tangan yang sibuk mencari halaman buku.

Menggeleng kencang, Agnes melongok melihat buku Caca yang sudah mendapatkan halaman pelajaran.

"Terus dikemanain sisanya?"

"Buang." Agnes kemudian mengambil botol minum dari tas miliknya dan meminumnya. "Seret banget tenggorokan Age."

Melipat lengan di atas meja, Caca mengamati Agnes yang tengah asik minum. "Kalo Caca yang kayak gitu pasti Caca dimarahin mama."

Menyelesaikan acara minumnya, Agnes mengusap bibir menggunakan lengan tangan. "Maksudnya?" Dia mulai memasukkan kembali botol minum ke dalam tempatnya. "Caca bakal dimarahin kalo enggak ngabisin makanan gitu?"

"Iya." Caca mengangguk mengiyakan. "Kalo udah kayak gitu Caca cuman bisa nangis sambil makan, soalnya mama kalo marah nyeremin."

"Untung Age enggak punya mama." Semakin banyak mendengar sisi buruk seorang mama dari beberapa teman membuat Agnes memilih beryukur di waktu-waktu tertentu.

Mengerjapkan mata, Caca menyemburkan tawa kecilnya. "Age aneh, kadang pengen mama kadang enggak pengen punya mama."

Agnes ikut tertawa melihat Caca tertawa.

"Tapi emangnya Age enggak pernah dimarahin sama papa? Kalo enggak ngabisin makanan?"

Menggelengkan kepala, Agnes menjawab, "Enggak, papa baik, jarang marah."

"Papa Caca juga gitu."

"Emang?"

"Iya."

Mereka kini mulai fokus pada pelajaran, beberapa kali Agnes melongok melihat buku Caca begitupun sebaliknya. Namun saat miss memulai sesi bertanya pada satu-satu anak, Agnes mulai bosan dan kembali membuka topik pembicaraan kepala Caca. Dia juga ada pengumuman penting.

"Tapi Age mau punya mama tahu."

"Apa?" Tanya Caca memastikan, pasalnya tadi perhatiannya tertuju pada 1 anak yang mendapat pertanyaan. "Age ngomong apa tadi?"

"Papa Age punya pacar," ralat Agnes ketika berpikir ulang.

"Oiya... Caca baru inget. Kemarin dirumah Age ada tante-tante yah? Itu beneran pacar papa Age?"

"Iya." Agnes menganggukkan kepalanya senang sambil tersenyum lebar.

"Berarti calon mama Age dong?"

"Mmmm." Mencoba mempertimbangkan baik-baik ucapannya, Agnes menatap buku milik Caca. "Sebenarnya si Age sendiri juga belum tahu, tante itu beneran bakal jadi mama Age apa enggak."

"Kalo udah dibawa ke rumah ya berarti iya dong, Ge... Coba Age tanyain ke papa Age, biar enggak bingung."

"Iya yah." Agnes tiba-tiba memasang tampang wajah semringah.

"Iya lah... Nanti kalo beneran itu mamanya Age, Age enggak perlu nangis lagi kalo ditanyain mamanya kemana, Age juga enggak bingung lagi jawabnya. Terus nanti Age punya dua orang tua."

Bayang-bayang anak kecil perempuan yang selalu linglung dan cemas secara bersamaan ketika ditanya mengenai orang tua wanita terlintas di benak Levin Agnes Balorima. Jujur saja dia merasa tidak nyaman jika sudah menyangkut sesuatu yang tidak diketahui.

Agnes tidak lupa dengan luapan emosi beberapa minggu lalu ketika dirinya cekcok mengenai keinginannya yang menginginkan seorang mama. Papa selalu memberikan apa yang diinginkan, entah itu barang, makanan maupun perhatian. Dia nyaman dengan perlakuan sang ayah yang membuatnya berharap lebih ketika menginginkan sesuatu.

Dalam benak anak kecil, Donzello Anton dianggap sebagai seseorang yang bisa mengabulkan apapun. Tidak ada kesulitan jika sang ayah sudah bergerak tidak seperti dirinya yang selalu kesulitan dalam berpikir.

Kekaguman yang begitu mendalam Agnes rasakan setiap kali teringat Anton, pahlawannya.

Continue Reading

You'll Also Like

5.5K 713 22
Eva Adeline seorang aktris yang sedang naik daun. Memiliki karir yang bagus, penggemar yang selalu mendukungnya dan juga keluarga yang membesarkannya...
19.6K 2.2K 48
Giselle : "Gak cuman jarak ke Antariksa aja yang jauh, jarak antara kita pun sama." Nata : "Walaupun kita di negara yang berbeda, aku harap perasaan...
268K 21.2K 100
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
104K 8.7K 84
Kisah fiksi mengenai kehidupan pernikahan seorang Mayor Teddy, Abdi Negara. Yang menikahi seseorang demi memenuhi keinginan keluarganya dan meneruska...