HARAPAN (ANTON RIIZE #01)

By isabella_mirzin

2.4K 239 24

Menceritakan tentang keluarga kecil Donzello Anton seorang duda beranak 2 kembar laki-laki dan perempuan yang... More

TOKOH
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34

14

36 7 0
By isabella_mirzin

Anton mengaku memahami betul keinginan Agnes namun dia tetap tidak ingin menyetujui semuanya. Dia terus bertanya-tanya. Apa yang kurang dari dirinya sebagai seorang ayah? Apa yang salah dengan langkahnya? Apa yang tidak dirinya berikan pada anak perempuan itu? Bahkan jika Agnes meminta seluruh dunianya, kekayaannya, perhatiannya, mainan yang begitu banyak, Anton akan berikan.

Allen Balorima bahkan tidak mendapatkan apa yang Levin Agnesia Balorima dapatkan karena setiap kali Anton mencoba untuk adil pasti ada saja halangannya seperti Agnes yang tiba-tiba terlihat seolah lebih membutuhkan. Padahal disini mereka bukanlah kakak dan adik melainkan saudara kembar, harusnya Anton bisa menyeimbangkan itu tapi kondisi Agnes terkadang menjadi lebih membutuhkan dibanding Allen. Seperti Agnes yang akan sakit jika keinginannya tidak terwujud. Jika sudah seperti itu mau tidak mau Allen harus mengurus dirinya sendiri, belajar peka terhadap keadaan yang menimpa sang ayah supaya tidak menjadi beban selanjutnya.

Terkadang Anton berpikir kenapa sifat dan sikap Allen tidak menular pada Agnes? Seperti halnya saudara yang tidak mau kalah dengan saudara lainnya. Ralat! Sebenarnya kejadian seperti itu pernah terjadi namun mereka melakukannya pada sesuatu yang tidak penting seperti berebut kehebatan. 

Jadi tidak berlebihan untuk Anton mengatakan jika anak laki-laki itu lebih patut diapresiasi. Mungkin jika semua orang mengetahui penilaiannya pasti dia akan dianggap pilih kasih.

Namun pada kenyataannya tidak peduli seberapa keras dia memikirkan solusinya, bahkan mencoba menjadi yang paling terbaik diantara yang baik, menyiapkan diri menjadi ibu dan ayah tanpa diminta, anak perempuan itu tetap saja mempertahankan egonya. Anton merasa seperti sedang memerangi diri sendiri, ini karena wajah si kembar lebih mirip dengannya dibanding dengan mendiang Amanda Evelyn.

Menarik nafas dalam-dalam pria itu mencoba meredakan amarahnya dengan mata yang sudah melirik ke sebuah papan nama restoran yang tertera di persimpangan jalan. Kemudian mulai mengikuti rute arah menuju tempat yang sudah dijanjikan. Mari hilangkan Agnes terlebih dahulu dari pikirannya karena itu hanya akan membuatnya pusing kepala. 

Begitu selesai memarkirkan mobil, Donzello Anton langsung masuk kedalam restoran dan duduk di salah satu meja yang sudah dipesan. Menarik nafas dan menghembuskannya, ia mencoba tenang dan berusaha bersikap baik-baik saja.   

Tangannya kemudian memainkan sebentar papan kotak kecil nomor mejanya yang menunjukkan angka 18, matanya melirik ke samping dengan perasaan menunggu.

Merasa masih memiliki sedikit waktu luang membuat Anton memutuskan bermain ponsel, dengan tidak minat tangannya membuka percakapan grup teman-teman jawa yang sudah di bisukan karena terlalu berisik.

Dari awal pembukaan saja sudah dapat dilihat jika grup di penuhi banyak orang-orang gila . Di grup itu, percakapan tidak penting jadi penting  sedangkan percakapan penting jadi tidak penting.

[Denger-denger bang Estu mau menyambut anak ke-tiga?] - Sofian.

[Iya] - Estu.

[Cepet banget] - Tara.

[Padahal baru  kemarin keluar anak kedua] - Sultan.

[Punya istri cantik dianggurin yang bener aje rugi dong] - Estu.

[Umur 30 g nikah-nikah sekalinya nikah baru 3 tahun udah mau punya anak 3 yang bener aje 😭] - Sigit.

[Aku yang udah 5 tahun baru punya anak 1 be like 😐] - Sultan.

[Cerai?] - Tara.

[Matamu] - Sultan.

[Buru-buru amat dahal odong-odong aja baru ngangkut 1 orang] - Sofian.

[Dia yang minta aku mah cuman bikin aja] - Estu.

[Pembohong kau pembohong] - Sigit.

[Yey nambah ponakan baru] - Weda.

[yay yey yay yey kamu bikin anak sonoh kasian si pita enggak hamil hamil aku mulu yg dicecar] - Estu.

[Hehe sibuk bang] - Weda.

Anak ke-tiga dalam umur pernikahan 3 tahun itu benar-benar terlalu cepat. Apa yang Estu kejar? Pikir Anton bingung sendiri. Namun bukan rahasia jika pikiran Estu memang tidak gampang ditebak. Dan dia juga sudah lama tidak nimbrung mungkin ini waktunya.

[Ini beneran?] - Anton.

[Eh orang jaksel tumben] - Sigit.

[Yoi nanti kamu aku undang] - Estu.

Tidak, Anton hanya basa-basi saja.

[Enggak usah makasih] - Anton.

[Anjir] - Estu.

Bukan tanpa alasan tapi Anton memang tidak memiliki waktu luang untuk pulang ke Jawa selain pada hari perayaan tertentu.

[sibuk bang es tapi klo lebaran mungkin bisa] - Anton.

[Gue mana tau anjir lu kira gue ngatur lahirnya orang? kagak, gua cuman bisa bikinnya doang] - Estu.

[sehat-sehat laki-laki pembuat anak] - Sofian.

[Yang ke-tiga ini terakhir kan?] - Tara.

[Mana aku tahu] - Estu.

[Masih mau nambah?] - Weda.

[Keturuan gue enggak jelek-jelek amat jadi banyakin aja lah] - Estu.

[Gawean bikin anak mulu] - Sigit.

[Pada enggak terima banget gue punya anak banyak. Padahal anak itu berkah. Jangan sampe kayak tetangga gue meninggal enggak punya anak] - Estu.

[Meninggalnya si ketabrak motor] - Estu.

[Anyink] - Tara.

[Hubungannya apaan anjir] - Sofian.

[Aku kok enggak tahu ada berita kayak gitu] - Weda.

[Haduh Weda] - Sofian.

Seketika balasan Estu itu penuh dengan reaction tertawa dari anggota grup. Yang bahkan juga membuat Anton tertawa di dunia nyata sampai merasakan kram pada perutnya. Dia sekarang terlihat seperti orang tidak beres di mata wanita yang sudah berdiri di sebrang meja.

[Emang enggak bisa ngambil cuti tahunan?] - Tara.

[Estu enggak sepenting itu buat dapetin cuti tahunannya Anton] - Sultan.

[Gwenchana] - Estu.

Mendongakkan kepala dengan tangan yang ikut lemas, Anton menutupi wajahnya menggunakan telapak tangan satunya lagi yang tidak memegang ponsel. Benar-benar membuat lemas jika sudah melihat percakapan mereka.

Menghela nafas, Anton mulai melepaskan tangan dari wajahnya dan kembali melihat kedepan yang anehnya malah membuatnya terdiam. Sepertinya dia benar-benar puas tertawa sampai tidak menyadari wanita di sebrang mejanya itu. Ini memalukan.

Lagipula sejak kapan wanita itu ada disana?

"Maaf, sebelumnya mau memastikan apa benar bapak." Tapi dari cara berpakaian terlihat seperti bujangan. "Yang namanya Anton? Donzello Anton?" Berpakaian tertutup dengan mengenakan setelan berwarna biru langit, wanita itu masih setia berdiri.

"Iya." Anton menganggukkan kepalanya pelan setelah membenarkan posisi duduknya.

"Berarti saya tidak salah orang."

Justru Anton yang tidak mengira jika wanita itulah pasangan kencan nya. Bapak? Ini diluar bukan ditempat kerja. "Ya, mungkin." Anton tersenyum canggung. "Saya benar Donzello Anton, kamu sendiri namanya siapa?"

"Saya--"

"Duduk dulu silahkan, biar enak dilihat." Saran Anton mengulurkan tangan ke arah kursi dengan sopan.

"Makasih." Wanita itu berakhir mengikuti arahan Anton dan mulai memperkenalkan diri. "Sebelumnya perkenalkan, saya Anatasya Feronika, asal saya dari Jakarta, umur saya dua puluh tujuh tahun."

Menahan nafas, tiba-tiba Anton merasa seperti sedang menjadi seorang HRD yang mewawancarai calon pegawai.

"Saya bekerja sebagai pembawa acara berita di salah satu chanel tv ternama."

Tersenyum kecil, Anton mulai merespon. "Ya... Jadi gini Anatasya Feri-"

"Feronika, mas."

"Ah iya itu..." Lagi-lagi Anton membenarkan posisi duduknya bahkan sampai melepaskan topi saking bingungnya. "Gimana kalo kita pesen minuman dulu?"

"Baik."

Selesai dengan pemesanan minuman, Anton kembali dihadapkan dengan kenyataan bahwa dia sekarang tengah menjalani kencan buta. "Kamu dipanggilnya siapa?"

"Tasya."

"Jadi Tasya..." Tiba-tiba Anton ingin meralat. "Kalo aku panggil saja Anton."

"Iya, Pak Anton."

"Panggil saja Mas."

"Iya Mas."

"Ngomong-ngomong kamu udah tahu belum? Tujuan kita ada disini?" Anton harus memastikan terlebih dahulu.

"Tahu."

"Apa?"

"Kencan."

Anton bernafas lega. "Aku kira kamu enggak tahu, soalnya kamu perkenalannya udah kayak orang wawancara kerja."

Tiba-tiba wajah wanita itu berubah merah. "Maaf mas... Saya terbiasa berbicara seperti ini."

"Ya... Karena kamu pembawa acara berita, jadi harus formal tapi kalo di luar kayak gini jatuhnya jadi enggak profesional."

"Saya cuman gugup."

"Gugup?" Anton bertanya memastikan yang langsung membuat wanita itu menganggukkan kepala. "Kalo itu aku juga gugup awalnya."

"Tapi tadi mas nya ketawa-"

"Itu biar enggak gugup."

"Oh... Iya. Ngomong-ngomong... Mas orang mana?"

"Aku lahir di Jawa tinggal di Jakarta. "

"Jakarta mana?"

"Jakarta selatan."

"Sama kalo gitu mas."

Obrolan tiba-tiba berakhir ketika pelayan datang membawakan pesanan mereka. Membutuhkan jeda waktu untuk mereka makan sebelum kembali berbicara.

"Kamu ditawarin dulu apa asal langsung disuruh dateng kesini?" Tanya Anton penasaran karena sangat tidak mungkin sekali untuk orang sibuk mencari calon pasangan. Terlebih gajih stasiun televisi itu tidak murah, kan?

"Ditawarin dulu."

"Langsung mau?"

Membersihkan sedikit noda pada ujung bibir menggunakan tissue, wanita itu melirik kesamping kanan dan kiri. Yang langsung membuat Anton menjadi curiga.

"Dipaksa yah?"

"E-enggak kok," Jawab Tasya gelagapan yang tentunya langsung disadari Anton. "Om ku bilang ada pria lagi nyari pasangan dan mama nawarin aku yang langsung disetujui sama om."

"Tanpa sepengetahuan kamu?"

"Aku tahu... Cuman mereka baru ngasih taunya semalem."

"Berarti dipaksa dong."

"Enggak mas." Tasya mencoba membantah, bahkan sebisa mungkin kesal untuk meyakinkan Anton. "Kabar kencan ini emang telat di telinga aku, tapi akunya sendiri juga mau kok  nerima siapapun itu walau bukan kamu."

Anton manggut-manggut.

"Umur aku juga kan sudah dua puluh tujuh tahun, udah waktunya nikah jadi aku terima saja. Siapa tahu emang udah jodohnya dapet di jalan kayak gini."

"Optimistis juga yah kamu." Anton mengulum senyum kagum.

"Ya, hidup kan harus optimistis, enggak boleh mikirin yang enggak penting. Udah dewasa juga jadi harus pinter milihnya mana yang perlu dipikirin mana yang enggak."

"Tapi sesuatu yang menurut kita enggak perlu dipikirin itu justru kadang datengnya malah bawa masalah." Anton teringat Agnes. Dia tidak perlu memikirkan pendamping karena si kembar masih terlalu kecil untuk mengetahuinya namun ternyata itu diluar dugaan.

"Berarti kamu salah menilai... Kurang tepat." Tasya mendapatkan tatapan Donzello Anton. "Atau emang dari awal kamu udah salah karena nyepelein itu." Tiba-tiba dadanya terasa sesak mengingat sesuatu yang tidak ada disana. "Gimanapun juga yang namanya manusia kan cuman bisa berencana, yang punya hak tetep yang di atas. Tinggal kitanya aja mau berusaha apa enggak buat wujudin rencana kita. Tapi susah kalo rencana kita emang bukan takdirnya."

Orang seperti Tasya yang Anton butuhkan. Yang kemungkinan bisa mengingatkan jika dia salah arah, salah mengambil keputusan salah berpandangan. Mereka akan saling melengkapi dan saling mendukung satu sama lain, yang terpenting adalah Tasya akan menjadi ibu dengan wawasan luas untuk mendidik Agnes dan Allen.

"Kamu biasa kayak gini?"

"Maksudnya?"

"Bijak."

"Enggak, kebetulan doang kayaknya." Tasya tersenyum malu.

"Kayak udah terlatih."

"Enggak." Lama menahan malu membuat Tasya berakhir tertawa dengan mata yang sudah berkaca-kaca. 'Tahan, Tasya.'

"Kamu kesini pake apa? Mobil pribadi?"

"Pake taksi."

"Pulangnya pake taksi juga?"

"Iya."

"Gimana kalo pulangnya kita bareng saja? Sama-sama Jaksel kan?"

Terhenyak, Tasya mengerjapkan matanya yang sudah tidak berkaca-kaca lagi. "Emang enggak papa?"

"Enggak papa lah, namanya juga pasangan kan?--apa kamu belum nerima aku? Kalo aku... Aku mau-mau saja nerima hubungan ini." Tekadnya sudah bulat, Tasya yang bijak sangat dibutuhkan Agnes dan Allen.

"Mau kok mau." Tasya buru-buru membuat senyum setulus mungkin.

Mereka kemudian berbincang ringan sambil sesekali tertawa menanggapi lawan bicara sebelum akhirnya beranjak pulang bersama menggunakan mobil milik Anton.

"Itu kantor kamu kan?" Bangunan tinggi dengan halaman yang didominasi warna ungu Tasya tunjuk melalui jendela.

"Bukan."

"Tapi itu yang kamu sebutin--"

"Itu cabangnya."

Mengalihkan perhatiannya dari luar menuju Anton, Tasya tersenyum kecil memandangi wajah pria itu dari samping.

"Kenapa? Kok liatinnya gitu banget."

"Aku kagum sama kamu, masih muda udah bisa kerja disitu."

Tiba-tiba Anton tertawa. "Kamu tau umur aku enggak?"

"Dua lima?" Anton langsung terbelalak terkejut. "Salah yah? Yang pastinya dibawah aku."

Mengerjapkan mata, Anton memasang tampang tidak percaya. "Kamu seriusan ngira aku dua puluh lima?"

"Iya."

"Kenapa?"

"Soalnya kamu keliatan muda, pakaiannya juga kayak anak muda banget."

"Aku tiga puluh dua tahun."

"Hah?"

Hening sejenak tiba-tiba Anton menyemburkan tawanya.

"Bohong ih!"

"Seriusan."

"Kalo serius kenapa ketawa?"

"Kamu enggak percaya? Cek saja KTP aku."

"Mana?"

"Bentar, pas lampu merah baru aku kasih."

Menepati ucapannya, Anton mengeluarkan KTP begitu berhenti dilampu merah kemudian memberikannya kepada Tasya yang beberapa menit kemudian langsung terpaku di tempat.

"Kamu udah pernah nikah?"

"Iya, kenapa? Kok muka kamu kayak kaget gitu?" Tiba-tiba kegelisahan menghujani perasaan Anton, ketakutan yang sempat terlupakan kembali muncul ke permukaan.

"Kirain aku belom nikah." Dapat Anton lihat jika tangan wanita itu bergetar memegang kartu tanda penduduk miliknya.

Sekarang Anton berpikir, apa statusnya telah disembunyikan sehingga wanita itu mau menemuinya? Salah, ini benar-benar salah. Ini sama saja seperti penipuan.

"Maaf yah." Anton mengambil kembali KTP dari tangan Tasya dan memasukkannya kedalam saku jaket. "Kirain aku kamu udah tahu jadi aku enggak perlu ngejelasin status aku--tapi kalo kamu mau batalin ini enggak papa aku juga kalo ada di posisi kamu bakal ngelakuin hal yang sama. Jadi sebagai tanda permintaan maaf aku izinin aku nganterin kamu sampe rumah, sampe gang juga enggak papa yang penting enggak nurunin kamu ditengah jalan."

Menelan ludahnya susah, Tasya menundukkan kepalanya dalam-dalam. Mendengar penuturan Anton yang tegas dalam mengambil langkah membuatnya minder, pria itu bahkan tidak memaksa dan tidak menyakitinya, tidak sedikitpun meninggikan suara. Tasya Feronika, sadarlah, ini yang terbaik.

"Kalo aku enggak mau batalin ini gimana?"

Pertanyaan yang keluar dari mulut Tasya seketika mengambil alih perhatian Anton, pria itu memasang tampang kaget sekaligus tidak percaya. "Kamu beneran?"

Tasya menganggukan kepalanya pelan sambil tersenyum menatap Anton dari samping.

"Kamu enggak dipaksa kan?"

"Enggak kok."

Selama diperjalanan Anton tidak bisa menyembunyikan perasaan bahagianya, dia merasa permasalahannya sudah selesai sedikit demi sedikit.

***

Tara : Shotaro, Sultan : Sungchan, Estu : Eunseok, Weda : Wonbin, Sigit : Seunghan, Sofian : Sohee.

***

Maaf aja klo ada bnyk notifikasi soalnya masih banyak yang nggk rapih jdi harus di revisi sedikit demi sedikit. Tapi kayaknya mulai dari bab ini aku mulai terbiasa lagi menulis setelah beberapa tahun hiatus menulis. Jangan lupa ngikutin terus soalnya nama diatas itu beberapa udah aku pikirin

Continue Reading

You'll Also Like

144K 14.1K 28
"Jadi istri itu mudah. Cukup patuh dan taat suami." "Tapi enggak mudah jadi istri kamu!" Bagaimana nasib 4 wanita yang harus menjadi seorang istri ka...
5.4K 543 11
Kalo nama Lo udah tertulis buat gue mau sesulit apapun jalannya, udah pasti Lo jadi milik gue -Jevano Lah dia masih inget gue? -Giana
102K 8.6K 84
Kisah fiksi mengenai kehidupan pernikahan seorang Mayor Teddy, Abdi Negara. Yang menikahi seseorang demi memenuhi keinginan keluarganya dan meneruska...
8.9K 1.1K 13
All about Sinb and the boys dengan tema kerajaan!!!