HARAPAN (ANTON RIIZE #01)

Per isabella_mirzin

2.4K 240 24

Menceritakan tentang keluarga kecil Donzello Anton seorang duda beranak 2 kembar laki-laki dan perempuan yang... Més

TOKOH
1
2
3
4
5
6
7
8
9
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34

10

57 3 0
Per isabella_mirzin

Terbukanya mata anak kecil itu disambut tangan besar yang menyilang di atas tubuh. Satu tangannya mengucek sebentar mata yang memiliki pandangan buram, Levin Agnesia Balorima mengerjap, melihat sekilas foto dirinya yang dipajang disebelah lemari.

Tangannya menyingkirkan tangan besar lain dari tubuhnya karena kegerahan, lalu beranjak duduk dan mengamati wajah ayahnya yang tertidur pulas.

Tiba-tiba bunyi kaki yang bersemangat mengalihkan perhatiannya, Agnes mendapatkan Allen yang sudah segar diambang pintu.

"Udah bangun yah." Anak laki-laki itu mendekati saudara kembarnya dan melepaskan koll fever dari kening Agnes. Dia meletakkan tangannya disana untuk mengecek suhu tubuh. "Udah enggak panas, kamu enggak pusing kan?"

"Enggak."

"Tapi ada yang sakit enggak?" Setelah melihat begitu banyak kesulitan yang menimpa sang ayah semalam membuat Allen merasa jika dia memang harus membantu.

"Enggak." Agnes melirik ayahnya. "Ini kenapa papa tidur di kamar Age yah?"

"Age kan semalem demam jadi papa jagain Age, terus papa ketiduran paling. Coba Age bangunin papa, udah siang gitu."

"Kita enggak sekolah?"

"Sekolah." Allen beranjak naik. "Makannya cepet bangunin papa, Ale enggak tahu jam berapa."

"Papa." Agnes menggoyangkan pundak Anton disusul Allen yang juga berusaha membangunkan nya.

"Pa, bangun pa... Udah pagi."

"Ale udah bangun lama?" Tanya Agnes.

"Baru bangun tadi."

"Kok udah seger?"

"Habis pipis jadi ngantuknya ilang."

"Oh... Pa bangun pa... Udah pagi."

"Papa."

Mata itu beberapa kali terpejam kuat karena tidur yang diganggu, kepalanya beberapa kali geleng-geleng ketika tangan anak kecil menyentuh pipinya.

"Papa, bangun." Allen menggoyang kencang tubuh pria dewasa didepannya yang seketika berhasil membuat mata itu terbuka. "Udah pagi."

Mengetahui anak-anak sudah kumpul disekitarnya membuat Anton beranjak duduk dan menggaruk rambut tebalnya.

"Papa capek yah... Makannya tidurnya lama."

Menguap, Anton menoleh kearah Allen, tiba-tiba dia teringat dengan Agnes. "Age panasnya gimana?" Tubuhnya kembali mendekati Agnes dan menyentuh kening anaknya itu. "Untung udah sembuh... Age semalem enggak turun-turun panasnya sampe pagi, papa sampe beberapa kali ganti Koll Fever."

"Udah sembuh kok."

"Papa tau enggak ini jam berapa?" Tanya Allen.

"Jam berapa?"

"Ale enggak tahu makannya Ale nanya papa, Ale kan belom bisa baca jam."

"Kamu bangun kapan emangnya?"

"Dari tadi."

"Oh ya udah papa cek jam dulu." Anton melangkah keluar dari sana.

"Hari ini sekolah enggak si?" Sahut Agnes bertanya.

"Sekolah." Angka jarum jam yang tertera di dinding membuat mata Anton melotot saat itu juga. "Hah! Udah jam tujuh! Ale Age ayo cepet kalian berdua mandi! Udah telat ini nanti!"

Allen dan Agnes melarikan diri menuju kamar mandi, disusul Anton yang langsung memandikan keduanya.

"Ale mau mandi sendiri."

"Udah telat Ale, besok lagi aja ya mandi sendirinya. Papa juga belom beberes."

Hari ini waktu sangat terbatas untuk Anton bisa mendandani 2 bocahnya itu, bahkan sarapan saja dia membeli di luar. 2 bocahnya juga terlihat berbeda , Agnes lebih lusuh karena Anton tidak menyisiri rambutnya begitu juga dengan Allen, bahkan ke-dua anak itu tidak memakai dasi tk.

Semua mata tertuju pada saudara kembar yang baru saja hadir setelah pelajaran hendak dimulai. Bukan waktu kapan mereka datang yang menjadi perhatian melainkan penampilan yang terlihat lebih lusuh dari biasa.

"Kok Age baru dateng?" Tanya Caca.

"Kesiangan." Agnes mendudukkan diri didepan Caca.

"Ale kok enggak pake dasi?" Pertanyaan Miss tiba-tiba membuat Allen dan Agnes panik saat itu juga.

Tangan anak laki-laki itu meraba-raba lehernya yang kosong. "Papa enggak pakein miss, tadi kesiangan."

"Ale emang enggak bisa make sendiri?"

"Enggak."

"Tapi bawa dasinya enggak?" Miss menghampiri Allen.

"Enggak tahu," jawab Allen seraya membuka tas gendongnya dan mengeluarkan sebuah dasi TK. "Bawa!"

Melihat saudara kembarnya dapat mengeluarkan dasi dari tas membuat Agnes mengikutinya dengan merogoh tas milik sendiri kemudian mengeluarkan sebuah dasi juga.

"Nah itu kan ada karetnya, tinggal dimasukin aja ke leher Ale, gampang kok."

"Oh gitu ya Miss." Allen memandangi dasi di tangan kemudian memakainya sesuai perintah miss. "Makasih miss."

"Sama-sama." Tiba-tiba Miss melihat kearah Agnes, lebih tepatnya mengecek leher anak perempuan versi Allen yang duduk di tengah-tengah jendela bersama Caca. "Age mah udah make yah?"

"Udah tadi barengan sama Ale."

"Pinter, jadi gitu ya anak-anak... Kalo ada orang yang ngajarin kalian yang belum ngerti harus mendengarkan juga biar miss nya enggak capek ngomong terus."

"Iya miss."

Beberapa menit kemudian akhirnya bell istirahat berbunyi nyaring. Allen yang biasanya sibuk membeli mainan sekarang mengikuti aktivitas Agnes yang selalu makan.

"Laper banget." Agnes merengek kepada Allen yang tengah membuka bungkus nasi rames.

"Iya Ale juga."

Mereka makan bersama dengan ditemani beberapa anak yang tengah sibuk bermain , seorang ibu-ibu juga mengawasi anaknya.

"Ale belum makan?" Caca mendekati si kembar bersama sang ibu.

"Belum."

"Tumben, biasanya Age doang yang makan."

"Itu karena Age sering kesiangan bangunnya jadi papa bawain bekel." Allen menjelaskan sambil mengunyah. "Tapi tadi kita semua kesiangan jadi enggak bisa makan dirumah, papa juga enggak sempet masak ."

"Oh, papa nya masak sendiri yah? Kirain beli terus." Ibu Caca angkat bicara.

"Enggak, kata papa boros."

"Pinter banget si, Ale." Ibu Caca mengusap pucuk kepala Allen dengan gemas. "Tapi ini nasi rames yah?"

"Iya."

"Age nanti main yuk," ajak Caca.

"Iya tapi aku makan dulu."

"Tante baru tahu kalo kalian bisa makan beginian juga, ini nasi rames kan?"

"Semua bisa dimakan asalkan itu makanan," Balas Allen ringan yang membuat Ibu Caca tertawa.

"Emang kalian kenapa? Kok bisa kesiangan?"

Tiba-tiba obrolan lain menyapa telinga Allen dan Agnes.

"Tuh, jangan nonton HP mulu nanti kesiangan." Seorang ibu-ibu memperingati Rumi, teman Agnes.

"Kita kesiangan karena Age sakit tante! bukan main HP! kalo main HP mah enggak dibolehin sama papa." Seru Allen membalas ibu Rumi yang duduk tidak jauh dari sana.

"Eh iya Ale, tante cuman ngingetin Rumi doang kok biar enggak mainan HP mulu." Tiba-tiba wanita itu merebut paksa ponsel dari Rumi. "Tuh liatin, Age sama Ale aja enggak pernah main HP."

"Mama!"

Kembali melihat Agnes, Caca bertanya memastikan. "Age semalem sakit?"

Agnes menggeleng. "Enggak tahu."

"Age mah kebiasaan banget si! enggak inget apa-apa," kesal Allen dengan tangan yang mulai meremas kertas minyak bekas mereka, lalu memasukannya kedalam pelastik keresek bening dengan sendok pelastik nya.

"Ya deh."

"Age semalem badannya panas, papa pakein koll koll apa itu tapi enggak turun-turun jadi papa nemenin Age sampe pagi makannya kesiangan bangunnya."

"Age hujan-hujanan yah? Jadi sakit?" Tanya ibu Caca.

"Enggak," jawab Allen seraya melenggang dari sana untuk membuang sampah.

"Kalo enggak kehujanan terus karena apa?"

"Tante Rara." Mata Agnes melirik kearah lain dengan tatapan kosong.

"Oiya denger-denger si Rara kemarin dibawa pergi suaminya, katanya mau tinggal di karawang."

"Beneran?"

"Iya, berangkat hari ini katanya."

Entah mengapa perasaan Agnes tiba-tiba tidak karuan, matanya berkaca-kaca teringat Rara dan kejadian semalam. Anak kecil dianggap mudah melupakan suatu kejadian namun untuk kejadian hari kemarin Agnes tidak bisa melupakannya begitu saja.

"Age." Caca tiba-tiba merangkul pundak Agnes. "Jangan nangis."

"Age sayang tante Rara, Caca." Agnes masih melihat kearah lain.

"Tahu kok, tapi kan Age juga punya Caca, temen Age, Caca mau kok main sama Age."

"Caca enggak ngerti... Tante Rara itu lebih dari temen."

Sepertinya ibu Caca mengerti dengan maksud dari perkataan Agnes. "Udah-udah daripada sedih-sedih gitu mending mainin slime Caca, Caca baru beli tahu tadi."

Caca melirik sekilas sang ibu sedangkan Agnes terlihat tidak minat.

"Keluarin," bisik ibu Caca yang langsung membuat Caca mengeluarkan mainan slime miliknya dan memperlihatkannya kepada Agnes.

"Age," panggil Caca.

"Hm."

"Lihat kesini, Caca punya mainan baru soalnya."

Melihat kedepan, Agnes dihadapkan dengan Caca yang sudah mengeluarkan mainan slime berwarna biru dan memainkannya di lantai. Mengerjapkan mata, Agnes merasa tertarik. "Itu apa Caca?"

"Ini slime..." Caca memainkannya dengan cara menusuk beberapa bagian menggunakan jari telunjuk. "Coba pegang deh."

"Dingin!" Respon Agnes tertawa saat sensasi dingin menerpa jarinya.

"Emang, tapi enak tahu buat mainan."

"Iya ih... Ini beli dimana Caca?"

"Didepan."

"Age mau beli dong."

"Ayo, Caca temenin."

Perginya 2 bocah itu bertepatan dengan kembalinya Allen dengan tangan yang sudah basah kuyup. "Age kemana tante?"

"Kedepan."

"Hah?" Melihat kedepan, pandangan Allen tertuju pada gerbang sekolah, melihat beberapa mobil yang menggunakan jalan raya. "Age!" Teriaknya panik dan hendak akan turun keluar dari sana jika saja ibu Caca tidak mencegahnya.

"Ale mau kemana?"

"Lepasin tante, Age dalam bahaya."

"Age enggak kenapa-napa kok, Age sama Caca."

"Tapi Age enggak boleh kedepan, tante, enggak boleh keluar gerbang nanti ketabrak papa repot lagi, kasian. Ale harus jagain Age."

"Age beli mainan Ale, bukan keluar gerbang."

"Age beli mainan?"

"Iya, Age beli mainan sama Caca."

"Beneran?"

"Beneran." Ibu Caca tersenyum menatap hangat Allen Balorima. "Ale panik banget."

"Iyalah, nanti kalo ada apa-apa papa yang capek, entar kesiangan lagi."

Begitu selesai jam istirahat mereka langsung kembali ke kelas dan memulai pelajaran.

"Ini gambar?"

"Bebek!"

"Disitu tulisannya belum lengkap kan? Masih ada yang kosong kan? Jadi harus di?"

"Isi!"

"Sobek!" Sahut Agnes yang ditertawakan semua anak.

"Diisi Age," balas Caca membenarkan.

"Oh, hehe."

"Age..."

"Maaf miss."

"Jadi kotak yang kosong harusnya dikasih huruf apa?"

Beberapa anak mulai berpikir sedangkan sisanya pura-pura berpikir bahkan ada yang bermain.

"G?" Celetuk seorang anak laki-laki lain.

"Masa G, berarti Bege?"

Anak-anak disana kembali tertawa pada balasan anak yang lainnya.

"Kalopun pake G bukan berarti dibacanya bege, sayang... Kalo G berarti. Bgbgk."

Untuk kesekian kalinya mereka tertawa bahkan sampai terbahak-bahak.

"Bebek... Be... Bek..." Allen menatap udara setelah menimang-nimang kemudian celetuk dengan perasaan ragu. "E?"

"Siapa yang jawab E?"

"Ale, miss," Jawab anak perempuan disebelah Ale.

"Pinter Ale!"

Pujian yang diberikan miss seketika membuat Allen berbinar saat itu juga, dia menjadi semangat untuk menjawab sekarang.

"Ale pinter banget si." Anak perempuan dengan rambut diikat kuda dan berwajah manis yang duduk disebelah Allen melontarkan pujian.

Tiba-tiba jantung berdegup kencang, Allen membenarkan posisi duduknya salah tingkah. Tidak biasanya dia seperti ini, pujian seperti itu sudah menjadi makanannya namun mengapa respon hatinya sangat berbeda?

"Ale mau ngajarin Aura enggak?"

"Ngajarin apa?"

"Ngajarin ini." Jari telunjuk anak perempuan itu menuding buku bergambar di meja.

"Mau."

"Baik banget, makasih yah Ale."

"Iya Aura."

Kemudian tiba dimana bell pulang sekolah berbunyi nyaring, sebagian anak mulai memulangkan diri bersama wali masing-masing namun tidak dengan 2 bocah kembar. Berdiri didepan kelas sambil bergandengan tangan, Allen dan Agnes memandangi gerbang dengan perasaan menunggu.

"Ale sama Age belom dijemput?"

"Belum miss."

"Lupa kali ya tante Rara nya."

"Kita enggak nunggu tante Rara, miss... Kita nunggu Kak Putri." Allen menjelaskan.

"Kok? Emang tante Rara kemana?"

"Udah pindah dibawa suaminya."

Melepaskan genggaman Allen, Agnes melambaikan tangan. "Kak Putri!" Girangnya menyambut kedatangan gadis berambut pendek yang mengenakan pakaian serba panjang.

Dari kejauhan Putri terlihat melambaikan tangan kearah 2 bocah kembar yang tengah ditemani 1 orang dewasa.

"Miss Ale pulang dulu ya."

"Iya Ale."

Allen mencium punggung tangan miss kemudian berbalik menyusul Agnes yang sudah berlari menuju Putri. "Age enggak salim ke miss."

"Kan tadi udah di kelas."

"Lagi dong, kan miss udah baik nemenin kita nunggu kak Putri."

Menoleh kebelakang, Agnes memandangi miss yang tengah tersenyum kearah mereka. Tiba-tiba kakinya melangkah kembali mendekati miss untuk mencium punggung tangan gurunya itu.

"Age hati-hati ya."

"Iya miss."

Kemudian tiba dimana mereka akhirnya melewati gerbang.

"Kak Putri kok lama?" Tanya Allen.

"Maaf yah... Kakak tadi habis bungkusin es untuk dijual jadi kesiangan kesininya."

"Kak Putri jualan?" Tanya Agnes. "Jualan apa?"

"Es, Age. "

"Es apa? Es cream yah?"

"Bukan, tapi Es lilin."

Lilin dengan sumbu api muncul dibenak si kembar, membayangkan orang-orang memakan bentuk putih dengan sangat keenakan. Lalu dimana bagian es? Apa orang awam terbiasa memakan lilin dengan es? Seperti gorengan dengan saus atau dengan cabai. Ini terlalu rumit untuk dipikirkan, sangat tidak masuk akal.

"Es lilin itu apa si?" Allen sedikit menyelipkan nada kekesalan karena tidak paham.

"Es lilin itu es yang dimasukin ke pelastik panjang terus diiket terus di bekuin di kulkas."

"Oh." Allen dan Agnes manggut-manggut walau masih merasa ambigu. Tiba-tiba Allen tertarik pada toko penjual mainan di depan sana.

"Kak Putri, Ale mau beli mainan kesana boleh?"

Putri melihat jari Allen yang menuding toko mainan disebelah mereka. "Boleh."

"Yuhu!" Allen segera berlari memasuki toko mainan tersebut dengan perasaan senang bukan main.

"Kalo tante Rara pasti enggak nge bolehin."

Terhenyak, Putri melihat kearah Agnes. Tiba-tiba dia merasa jika keputusannya tidaklah tepat. "Kenapa?"

"Mahal."

"Kak Putri bawa uang enggak?" Allen bertanya kepada Putri ketika 2 orang itu ikut memasuki toko mainan disana.

"Bawa."

"Ale pengen beli ini." Allen menunjukkan mainan motor kepada Putri. "Tapi kata penjualnya uang Ale kurang."

Mengambil alih mainan dari tangan Allen, Putri mempertanyakan harganya kepada seorang pemuda di balik etalase. "Ini berapaan mas?"

"Dua belas ribu."

"Uang Ale ada berapa?"

"Ini." Allen menunjukkan sisa uang sakunya yang seketika membuat Putri termangu ditempat. Dengan sangat terpaksa, tangannya menerima uang 2 ribu dari tangan Allen. 'Ini si sama aja aku yang beliin Allen bukan nambahin.'

"Mahal banget." Komentar Putri saat mereka sudah keluar dari sana.

"Kan udah Age bilang apa."

"Tapi bagus tahu." Allen berbinar menatap mainan motor ditangannya.

"Itu mah kecil, Ale, enggak bisa dinaikin."

"Siapa juga yang mau naikin," sewot Allen.

"Tapi itu kecil, Age injak juga ancur."

"Ya jangan diinjak!" Kesal Allen, perasaan takut akan keselamatan motor mainan itu muncul dihatinya. "Awas aja kalo Age nginjak mainan Ale, Ale injak balik boneka barbie Age."

"Enak aja!"

"Ya makannya jangan mulai!"

"Lagian Ale aneh banget, mending minta yang gede aja deh ke papa. Biar bisa terbang ke langit."

Setidaknya ini menjadi pelajaran untuk Putri.

Continua llegint

You'll Also Like

11.3K 1.4K 12
From a playboy like me, to the special one like you. ©bananaorenji, 2020.
5.4K 543 11
Kalo nama Lo udah tertulis buat gue mau sesulit apapun jalannya, udah pasti Lo jadi milik gue -Jevano Lah dia masih inget gue? -Giana
755K 36.3K 39
Alzan Anendra. Pemuda SMA imut nan nakal yang harus menikah dengan seorang CEO karena paksaan orang tuanya. Alzan kira yang akan menikah adalah kakek...
104K 8.7K 84
Kisah fiksi mengenai kehidupan pernikahan seorang Mayor Teddy, Abdi Negara. Yang menikahi seseorang demi memenuhi keinginan keluarganya dan meneruska...