HARAPAN (ANTON RIIZE #01)

By isabella_mirzin

2.4K 239 24

Menceritakan tentang keluarga kecil Donzello Anton seorang duda beranak 2 kembar laki-laki dan perempuan yang... More

TOKOH
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34

1

316 15 5
By isabella_mirzin

Setetes air hujan membasahi batu kerikil pada sebuah panci pelastik alat masak-masakan yang dibiarkan begitu saja di teras rumah. Tidak jauh dari sana jejak telapak kaki anak kecil dan orang dewasa tercetak jelas membuat teras menjadi kotor.

Berbeda dengan keadaan diluar rumah yang begitu basah karena diguyur hujan seharian ini, di dalam justru terlihat sunyi dan sepi. Rupanya sekeluarga sudah berkumpul menjadi satu di sebuah kamar bernuansa maskulin.

"Mas," Panggil Aesa Limarta Ningsih ditunjukkan kepada pria di sebelah sana.

"Apa?"

Jarum jam dinding menunjukkan pukul 2 siang.

"Tadi kan kamu udah ceritain temen-temen kamu, sekarang ceritain lagi dong." Sebuah tangan cantik menaikkan selimut sampai ke batasan dada anak perempuan disebelahnya yang tergeser karena menggeliat di sela-sela tidurnya. "Ceritain kehidupan kalian sebelum ada aku."

Rupanya begitu anak-anak diantara mereka mulai tertidur pulas, pria yang memiliki kedudukan sebagai kepala keluarga itu telah banyak menceritakan masa mudanya kepada sang istri.

"Kalo sebelum ada kamu..." Donzello Anton mengamati langit-langit ruangan sambil mengungkapkan. "Ale enggak se-cengeng ini... Dia lebih kuat dan lebih pinter juga daripada Age."

"Jadi maksud kamu gara-gara ada aku Ale jadi enggak pinter lagi gitu ya?" Berbaring di sisi kasur yang berlawanan dengan Anton, entah mengapa Aesa merasa tidak terima.

"Bukan gitu, maksud aku tuh..." Sebelum melanjutkan penjelasannya, Anton sempat membenarkan sebentar posisi berbaringnya menjadi menghadap ke arah Allen Balorima. "Sebelum ada kamu... Ale enggak se-egois ini buat narik perhatian orang." Nadanya terdengar lembut dan pelan-pelan seperti menggurui. "Tapi sama kamu dia mati-matian buat bikin kamu merhatiin dia. Makannya dia ngelakuin segala cara biar perhatian kamu enggak ke Age mulu."

"Perasaan perhatian aku enggak ke Age mulu deh." Wanita dewasa itu memutar posisi tubuhnya menjadi tengkurap. Wajahnya mencoba memasang tampang serius dengan mempertemukan 2 alisnya, tanpa dia sadari itu terlihat lucu dimata Anton. "Aku juga perhatiin Ale kok... Cuman karena dia cowok jadi aku pikir dia bakal nyaman kalo banyak berurusan sama kamu."

Lebih tepatnya Aesa tidak ingin peran Anton menghilang dimata anaknya sendiri.

"Enggak semua orang kayak gitu kali, Es." Tangan kekar dibuat bantal oleh pemiliknya sedangkan matanya sudah melirik kearah wanita disebelah sana. "Apalagi , Ale, kan kasusnya sama kayak, Age, enggak pernah ngerasain ibu jadi sekalinya punya ibu ya pengennya deket juga . Apalagi mereka kembar, perasaan iri pasti ada aja diantara mereka berdua."

Aesa terdiam beberapa saat, matanya mengamati Allen Balorima yang tertidur pulas. Anak itu basah kuyup setelah bermain hujan beberapa jam yang lalu bersama saudara kembarnya, jadi untuk sekarang ini pasti sangat nyaman sekali berada di antara 2 orang dewasa membuat hangat.

"Aku jadi ngerasa bersalah sama Ale."

Tanpa diminta pemikiran lain tiba-tiba terlintas di benak Aesa.

Jika Allen pada akhirnya menginginkan perhatiannya ketika diawal hanya Agnes saja yang sangat menginginkan Aesa, lalu sebelum ini apa ada seseorang yang sudah mengalami hal yang serupa? Seperti seorang pengasuh--jika itu Agnes sudah menceritakannya.

Tapi Agnes saat itu mengatakan jika kepergian seorang pengasuh bernama Rara tidak menimbulkan sesuatu yang membuat Allen merasa kehilangan sama seperti dirinya. Atau mungkin Agnes hanya memikirkan dirinya sendiri tanpa melihat kondisi Allen saat itu?

Entahlah. Aesa sendiri tidak berhak mengambil kesimpulan mengenai sebuah kejadian yang bahkan dirinya sendiri tidak ada di TKP.

Memandangi Anton beberapa saat, Aesa bermonolog didalam hatinya. 'Tapi Mas Anton punya pacar enggak yah? Pasti punya dong? Masa enggak punya. Cowok kan pada enggak punya malu.' Laki-laki sering sekali tanpa tahu malu mengungkapkan perasaan suka bahkan ketika mereka sendiri baru pertama kali bertemu.

Donzello Anton, duda berusia 33 tahun yang memiliki 2 anak kembar dirumahnya. Kenyataan bahwa wajah seperti itu merupakan salah satu spesies duda membuat Aesa berpikir, orang-orang pasti banyak mengira jika suaminya itu merupakan seorang bujangan atau mungkin parahnya seorang remaja? Remaja berbadan bongsor. Mengingat anak remaja sekarang kebanyakan bertubuh titan.

Tapi bagaimanapun juga wajah seperti itu masih terlihat cukup muda untuk seseorang yang sudah memiliki anak.

Pikirannya tidak mungkin salah karena Aesa sendiri sudah terbiasa memiliki pandangan atau penilaian yang sama dengan kebanyakan orang.

Anton juga orang kantoran, pasti banyak bertemu dengan wanita cantik yang semok bukan? Yang sama-sama sudah mapan. Tidak mungkin pria itu hanya menggunakan otaknya sebagai sarana pekerjaan saja, pasti pernah sesekali menyukai atau bahkan mengencani seorang gadis muda atau seumurannya. Aesa yakin itu.

"Mas tapi, dia sama cewek lain pernah enggak? Deket gitu atau sayang lah kayak dia sayang sama kamu? Apa enggak pernah?" Aesa tidak memberikan jeda. "Masa enggak pernah."

Namun Anton tetap memperhatikannya dengan baik. "Cewek lain maksudnya?"

"Mantan pacar kamu, apa enggak pernah pacaran setelah yang terakhir itu?"

"Kok tiba-tiba bahas itu?" Anton merasa tidak nyaman ketika sesuatu yang mengarah kesana muncul di obrolan mereka. Dia tidak mau Aesa mencurigainya.

"Yah... Siapa tahu kamu pernah bawa cewek juga ke rumah ini sebelum sama aku." Aesa menggunakan media tangan sebagai sesuatu yang merujuk pada permintaan untuk menjelaskan. Dia mencoba membuat suaminya itu untuk yakin jika pembahasan seperti ini sama sekali tidak mengganggu kehidupannya ataupun perasaannya.

Dia santai, sangat santai.

"Atau ketemuan di luar sama mereka berdua, saling ngenalin." Aesa berdeham sejenak sebelum memperagakan seseorang yang berkenalan di awal pertemuan. Bibirnya terangkat membentuk senyuman termanis diwajah cueknya. "Kenalin, tante pacarnya papa kamu, calon mama kamu, Ale sama Age seneng enggak sama tante?"

Dipinggir ranjang, Anton tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Dia memang sempat tidak merasa percaya diri untuk membahas masa lalu tapi melihat bagaimana konyolnya Aesa membuatnya sedikit lega. "Enggak ada yang kayak gitu tahu. Kalo ada enggak mungkin aku sama kamu."

"Masa."

"Iya..." Dia sedikit takut mengambil langkah karena bagaimanapun juga perasaan wanita tidak mudah ditebak. Anton merasa Aesa sedang berpura-pura santai namun dia sendiri juga tidak menemukan bukti apapun pada pemikirannya yang dimana itu sudah pasti tuduhan. Bagaimana mungkin Aesa bisa setenang ini? "Bahkan dulu ada .... " Anton mencoba mempertimbangkan. "Ada orang yang enggak mau nerima mereka berdua."

"Jahat banget." Nada wanita itu jelas tidak terima. Walau hanya ibu tiri namun Allen dan Agnes benar-benar sangat imut dimatanya, susah untuk ditolak. 'Orang mana yang berani ngelakuin hal kayak gitu ke Age sama Ale?' batinnya dalam hati dengan perasaan yang emosional.

"Makannya..."

"Ceritain dong."

"Enggak." Anton tidak bisa menceritakan panjang lebar mengenai kehidupan rumah ini sebelum ada Aesa.

"Ih! Pelit banget! Masa istri sendiri enggak boleh tahu masa lalu suaminya." Aesa memasang tampang cemberut, 2 tangan sudah digunakan untuk menopang dagu.

"Kan enggak penting juga buat dibahas."

"Aduh... Ini tuh cuman cerita kayak curhat aja, aku juga enggak bakal misuh-misuh kok."

"Aesa."

Anton menatap Aesa dari kejauhan. Dapat ia lihat jika mata wanita itu tidak memiliki sedikitpun keraguan dalam memberikan pertanyaan yang beberapa kali membuatnya kewalahan.

"Apa?"

"Kamu tuh keras kepala."

"Emang."

***

1 tahun yang lalu.

Masakan diatas kompor matang lebih cepat dari perkiraan yang membuat Donzello Anton buru-buru menjangkau mangkuk termos anti panas dan mulai mengisinya dengan sayur sop buatannya. Selesai meletakkan mangkuk termos diatas meja, ia kemudian memasukkan nasi dan ayam goreng di sebuah wadah bekal  pink. Wadah bekal milik anaknya yang dilengkapi dengan mangkuk termos.

Begitu menutup rapat bekal buatannya, Anton beranjak membuka pintu kulkas dan mengeluarkan susu kemasan 125 ml dari sana, lalu memasukannya kedalam tas pink putih.

"Ale mau bawa bekel enggak?" Anton bertanya kepada anak laki-laki yang sedang makan disebrang meja.

Berseragam lengkap dengan rambut yang sudah rapih dan wangi minyak telon, Allen Balorima menggeleng . Tangannya fokus menyuapi mulutnya sendiri.

"Beneran yah?"

"Iya papa." Nadanya terkesan sabar, itu karena Allen sedang sangat menikmati sekali makanannya.

"Age pules banget tidurnya." Berkacak pinggang, Anton menatap pintu cat pink di depan.

"Dia mah biasa, orang tidurnya saja jam sembilan." Begitu selesai meminum air putih dari gelas yang sudah disiapkan sang ayah, Allen kembali membuka suara. "Mending papa cepet bangunin, Age deh... entar telat dihukum lagi--aku mah enggak mau yah dihukum."

"Iya-iya." Walau hanya berjarak beberapa jam saja namun sifat Allen dan Agnes jauh berbeda. Allen kerap kali memiliki pemikiran yang menenangkan dan dapat diandalkan, sedangkan Agnes kebalikannya. Anak perempuan itu lebih malas dibanding Allen yang seorang laki-laki.

Tepat saat jam dinding menunjukkan pukul setengah 7, tubuh tinggi Anton sudah berada di ambang pintu kamar anak perempuannya. "Sayang , Age! Bangun nak udah mau jam tujuh ini, nantin telat."

Dia mulai melangkah masuk kedalam.

Seorang gadis cilik berwajah sama dengan anak laki-laki tadi meringkuk memeluk boneka kucing putih yang menyerupai kucing sungguhan. Anton tidak mengizinkannya merawat kucing hidup karena tidak akan bisa mengurus jadi Agnes diberikan boneka yang menyerupai kucing asli.

“Age sayang. “ Mendudukkan diri dipinggir ranjang , Anton menyentuh pundak putrinya seraya mengusap pucuk kepala anak itu yang tidak berniat membuka mata sedikitpun . “Sekolah, yuk, udah mau jam tujuh ini.”

“Eung.” Lenguh  Levin Agnesia Balorima membenarkan posisi tidurnya menindih boneka kucing.

“Bangun dong... Ale bisa terlambat kalo kamu enggak bangun sekarang.”

“Punya Age!” Sepertinya Agnes mengigau. Namun tetap saja sudah waktunya sekolah, Anton tidak mau anaknya terlambat.

“Age sayang... bangun. “ Menggoyang pelan bahu mungil putrinya, Anton kemudian memisahkan boneka kucing dari sana .

Pria itu memutuskan membawa putrinya keluar dari sana, beralih berdiri di depan jendela besar yang sudah tersingkap tirainya dan menampakkan tanda-tanda datangnya cahaya matahari.

Mengerjapkan mata, Agnes tiba-tiba merasa tidak nyaman. Dia terganggu dengan cahaya merah yang entah mengapa tetap menyilaukan walau sudah berusaha  menutup mata . Terpaksa dia membuka kelopak mata yang langsung disuguhkan cahaya Ilahi.

“Papa! “ Pekiknya.

“Hahaha!” Didepan televisi, Allen menertawakan Agnes yang dijahili sang ayah. “Rasain!”

“Sekolah sayang, papa udah nyiapin bekel buat kamu.” Anton membawa putrinya menuju ruang makan.

“Sebel banget! Age lagi enak-enak tidur juga.” Tubuh kecilnya mendarat di salah satu kursi yang ada disana. “Imon tuh tadi bisa bicara!” Imon nama boneka kucing yang peluk saat tidur tadi. “Harusnya papa jangan bangunin Age!” Cerocosnya semakin tidak jelas yang tentunya tidak perlu dianggap serius. Anak kecil memang suka melantur.

“Ngumpulin nyawa dulu baru mandi, ya?”

“Enggak mau mandi! Maunya digoyang!”

“Siapa yang ngajarin kayak gitu?”

“Intinya Age mau tidur aja!” Matanya melotot marah. “Enggak mau mandi!”

“Harus mandi,” Tegas Anton menghilang memilih memasuki kamar mandi.
Menyadari tidak akan digubris lebih lanjut, Agnes memilih merengek dan mulai tantrum.

“Katanya mau jadi anak pinter... Ya harus sekolah dong.”

“Tapi kan tidur juga penting, papa! Kalo enggak tidur orang enggak bakal bisa sekolah.” Anak perempuan yang cukup keras kepala, tidak bisa dibungkam dan hanya memikirkan dirinya sendiri.

“Age kan udah cukup tidurnya, masa dari jam sembilan sampe jam enam enggak cukup.”

Allen tiba-tiba muncul dengan wajah sombongnya, yang seketika membuat Agnes kesal bukan main. “Iya tuh! Ale aja yang tidur dari jam delapan bangun jam lima biasa aja.”

“Itukan Ale! Age ya Age Ale ya Ale.” Sewot Agnes merasa terganggu.

“Ale ale!” Kesal Allen cemberut. “Emang aku minuman Ale Ale!” Agnes tertawa mendengar balasan darinya.
Begitu mengambil botol minuman yang sudah disiapkan sang ayah, Allen kembali ke ruang televisi. Membuat keadaan kembali sunyi, Agnes merasa bosan dan kembali memberontak.

“Intinya Age enggak mau sekolah! Enggak mau! Enggak mau!” Agnes memukul meja sambil terus merengek. “Age enggak mau sekolah papa!”

“Bau apaan nih?” Tiba-tiba ia membuka lebar-lebar lobang hidungnya. Berdiri diatas kursi, matanya memandangi ayam goreng di meja. “Kalo enggak boleh tidur Age mau makan aja!” Matanya melirik udara.

“..."

Tidak melihat tanda-tanda kedatangan sang ayah,  Agnes mencomot 1 ayam goreng dan memakannya saat itu juga.
Selesai menyiapkan air, Anton segera keluar yang kemudian dikejutkan dengan pemandangan Agnes yang sudah belepotan penuh kecap.

“Kok udah makan.” Ia hanya bisa memasang tampang memelas melihat kelakuan putrinya itu. “Kan belom mandi.”

Duduk diatas meja, Agnes menjilati kecap di jari tangannya. Mata cerahnya melihat kearah sang ayah yang berdiri di depan pintu.

“Mau mandi?”

Membersihkan jari menggunakan lidah akan memakan waktu lama sedangkan waktu untuk pergi ke sekolah sudah semakin menipis, jadi Agnes memutuskan untuk menggunakan cara lain yaitu memanfaatkan baju tidur.

“Jangan lap di situ!” Pekik Anton menahan tangan Agnes untuk tidak melakukan perbuatan ceroboh lainnya.

Tanpa berlama-lama lagi ia langsung menggendong putrinya, membawanya menuju bak mandi dan memandikan nya saat itu juga.

“Ayam nya enak, nanti pulang sekolah mau makan lagi ah,” Seru Agnes kesenangan sambil memainkan busa yang menempel di tubuh.

“Papa juga masukin ayam kok ke bekal Age.”

“Beneran?”

“Beneran.”

“Berapa?”

“Satu.”

“Kok cuman satu!” Agnes memprotes.

“Udah!” Girang pria itu ketika selesai membasuh wajah anaknya. Merasa pegal, Anton segera beranjak berdiri yang langsung menimbulkan bunyi gesekan pada tulang punggung. ‘Aduh.’

“Bunyi tulang papa yah?”

“Iya.” Anton meringis payah, lalu membawa Agnes menggunakan handuk menuju kamar disebelah ruang tamu.

“Papa kenapa? Kok cuman satu?”

“Apanya yang cuman satu?”

Agnes mendengus kesal kepada Anton yang tengah mengeluarkan seragam sekolah dari lemari ungu miliknya. “Ayamnya ih!”

Rupanya Agnes mengungkit topik dikamar mandir tadi. “Emangnya mau berapa?”

“Sepuluh dong! Masa cuman satu, untung Age udah makan dua tadi.”

“Sepuluh apaan!” Sahut Alle. “Kalo Age sepuluh berarti Ale dua puluh.”

“Berarti Age seratus!”

“Ale semilyar.”

“Milyar itu apa?” Tanya Agnes polos.

“Hahaha kamu enggak bakal tahu, kan kamu bodoh.”

“Aku enggak bodoh!” Teriak Agnes yang tengah disisir rambutnya oleh Anton. Ia kemudian mendengus kesal dan menambahkan, “Aku sehaha-haha!”
Tiba-tiba Allen muncul dar pintu kamar.

“Kamu enggak bakal bisa nandingin sehaha-haha.”

“Sehaha-haha si apa. Itu mah kecil.”

“Emang iya pa?” tanya Agnes kepada snag ayah.

“Enggak tahu.”

Agnes kembali meladeni Allen. “Berarti yang paling besar berapa?”

“Semilyar.” Allen menyentuh lemari mainan Agnes dan menatapnya.

“Berarti aku semilyar.”

“Tapi boong.” Membalikkan badannya, Allen berkacak pinggang. “Yang paling banyak tuh sehaha-haha, berarti aku sehaha-haha.”

“Ya enggak bisa! Berarti aku yang sehaha-haha.”

“Ya aku!”

“Aku!”

“Aku!”

“Aku!”

Agnes melempar tasnya kearah pintu yang langsung membuat Allen berlari keluar dari sana sambil tertawa renyah dan itu memekakkan telinga sampai membuat hatinya mendidih.

“Eh! Jangan dibanting tasnya, ada bekalnya itu,” panik Anton.

“Enggak papa kan yang makan juga Age. “
Menghela nafas lelah, Anton menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Kemudian tiba dimana mereka akhirnya sampai di sekolah.

“Hai gerbang, kamu apa kabar.” Agnes mengusap gerbang besi disebelahnya.

“Udah gila anak papa.” Sahut Allen memancing keributan.

“Apaan si!”

Menuntun 2 anaknya, Anton mengantar mereka berdua sampai ke dalam kelas. “Ale jagain Age yah, jangan bikin nangis Age.”

“Kalo yang bikin nangis Age anak lain gimana?”

“Ya Ale pukul lah! Masa diem aja,” Jawab Agnes.

“Jangan dong, masa dipukul. Kalo ada yang nakalin Age, kasih tau ke miss. Nanti biar miss yang marahin anak yang nakalin Age.”

“Tapi kalo anaknya bohong gimana? Kalo anaknya bohong terus manggil orang tua gimana? Papa bisa dateng enggak?” Tanya Allen yang disetujui Agnes.

“Dateng kok.”

“Beneran yah? Entar udah dipanggil enggak dateng lagi kayak pas undangan kemarin.”

Memang benar saat sekolah mengundang setiap perwakilan orang tua untuk berkumpul membahas liburan yang akan diadakan sekolah, Anton tidak turut serta hadir, itu karena dirinya terikat dengan jam kerja. Dia berusaha menolak lemburan supaya bisa menemani anak-anaknya dimalam hari.

“Udah mau masuk, papa pulang yah.”

“Iya.” Agnes mencium punggung tangan ayahnya, disusul Allen.

“Papa, pulangnya nanti bawa martabak terang bulan yah?”

“Iya, nanti papa beliin. Kalo Age mau dibawain apa?”

“Age kayak Ale, tapi martabak matahari ada enggak, pa?”

Allen setengah mendengus dan setengah tertawa. “Udah lah pa jangan ngeladenin Age, dia mah enggak jelas.”

“Ale yang enggak jelas!” Bentak Agnes.

Allen memang seorang kakak namun Agnes lebih galak jika sudah merasa kesal seperti sekarang ini.

Selesai mengantar anak-anak sekolah, Anton mulai membersihkan rumah seperti menyapu dan mengepel. Membersihkan meja yang kotor karena ulah Agnes.

‘Age ni cewek tapi kelakuannya kayak cowok,’ batinnya membuang tissu ke pelastik yang kemudian diikat dan dimasukkan kedalam tempat sampah diluar rumah.

Mengatur pernafasan, Anton melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 7 pagi lebih 10 menit. Ada waktu beberapa menit untuk dirinya bermain ponsel sebelum berangkat kerja. Rumah juga sudah beres jadi tidak ada salahnya makan sambil bermain ponsel.

'Lu udah berangkat?' batin Anton membaca pesan masuk dari teman kerjanya.

Membalas cepat, Anton kembali fokus melihat video pendek di youtube. Kemudian mendapatkan balasan dengan cepat juga. 'Seragam gue kotor, boleh minjem kemeja lu enggak? Yang putih tapi.'

Menghela nafas, Anton membalasnya menggunakan pesan suara. "Enggak ada, yang putih kotor semua."

Dia kembali fokus makan begitu tidak mendapatkan balasan lagi dari temannya. 'Lagian dia kan punya istri,' batinnya terus menonton video di ponsel. 'Harusnya bisa dong jangan nyusahin yang enggak punya istri.'

Tiba-tiba Anton tersadar dari pikirannya. "Gue mikir apaan si." Daripada berpikir buruk lebih baik mandi dan berangkat lebih awal saja, urusan juga sudah selesai semua kan.

Begitu selesai mandi Anton langsung berdandan mengenakan jas dan kemeja biru dibalik jaket jeans yang dipadukan dengan celana hitam. Memakai parfum, Anton mengambil kunci motor dan mulai keluar melewati foto bayi Agnes dan Allen yang terpampang dibalik pintu.

Continue Reading

You'll Also Like

776K 79.3K 55
Menceritakan tentang kehidupan 7 Dokter yang bekerja di rumah sakit besar 'Kasih Setia', mulai dari pekerjaan, persahabatan, keluarga, dan hubungan p...
4.7K 795 21
Menikah emang banyak berantemnya, apalagi kalo usia pernikahannya masih muda, ditambah umur Soobin dan Arin yang memang masih sangat muda. Terlebih l...
373K 38.9K 35
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ° hanya karangan semata, jangan melibatkan...
102K 8.6K 84
Kisah fiksi mengenai kehidupan pernikahan seorang Mayor Teddy, Abdi Negara. Yang menikahi seseorang demi memenuhi keinginan keluarganya dan meneruska...