Jejak Lara

By liarasati

302K 53.5K 6.2K

Blurb : Menikah adalah prioritas nomor ke sekian bagi Rolan, sebelum dia bertemu sosok Mita. Gadis polos pend... More

Prolog
Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Bab 35
Bab 36
Bab 37
Bab 38
Bab 39
Bab 40
Bab 41
Bab 42
Bab 43
Bab 45
Bab 46
Bab 47
Bab 48
Pre Order [20 Februari - 02 Maret]
Bab 49
Bab 50
Bab 51
Bab 52
Bab 53
Bab 54
Bab 55
Bab 56
Bab 57
Bab 58
Bab 59
Bab 60 [Tamat]

Bab 44

5.4K 986 61
By liarasati

"Abaaang..." Mita masih menggesekkan pipinya ke lengan Rolan.

Rolan melirik tajam. "Udahlah, besok-besok lagi kujelasin..."

"Sekarang aja kenapa Bang... aku dengerin... sumpah! Belum idup lampu juga... nggak bisa tidur. Ayolah Bang, cerita..."

Rolan berdecak keras. Mulai goyah, dengan tangan Mita yang terus merambat di tubuhnya.

"Jadi, apa masalahnya Bang..." suara Mita bernada cemas.

Rolan tak tahan untuk segera membalik badannya.

"Kau memang banyak kurang, dan suka bikin jengkel. Tapi masalahnya bukan karena kau," gerutu Rolan namun sorotnya meredup sayang.

Mita cemberut sembari mendongak. "Terus apa?"

"Aku nggak suka keluargaku terus memanfaatkan pernikahan kita."

Sorot mata Mita sedikit berubah, "Manfaatkan gimana?"

Rolan mendesah panjang. Dia juga bingung harus menjabarkan dari mana. "Selagi kau jadi istriku, banyak orang-orang nggak tau malu yang sanggup meminta-minta sama Bapakmu."

Dahi Mita berkerut, tak mengerti maksud ucapan Bang Rolan.

"Tapi aku nggak akan pernah minta apa pun sama keluargamu. Dan, aku nggak akan pergi dari kampung ini. Selamanya, aku akan tetap tinggal di sini. Rumah—yang dibuat Bapakmu. Aku nggak akan tinggal di sana."

Bola mata Mita perlahan melebar. "Terus—gimana? Masa Abang tinggal di sini, aku tinggal di Medan??"

Mendengar pertanyaan itu batin Rolan langsung berdenyut. Secara tidak langsung Mita mengatakan dia ingin kembali tinggal di Medan.

"Keputusan di tanganmu. Kalau kau tetap mau jadi istriku. Kau akan tetap tinggal disini. Tinggal di manapun suamimu tinggal."

Ketika Mita tampak berpikir dan tak langsung mengucapkan dia ingin hidup selamanya dengan Rolan, sudut hati Rolan terasa tercabik-cabik. Entah sejak kapan dia membuka sedikit celah pintu di hatinya, dan sepertinya Rolan akan mendapatkan sakit yang sama meski untuk kasus yang berbeda.

Mereka sama-sama mendongak ketika lampu seketika hidup terang-benderang.

Rolan segera beringsut turun dari tempat tidur. Dia butuh segera merokok.

"Jangan tanya-tanya lagi," gumam Rolan ketika melihat Mita hendak mengikutinya. "Pikirkan aja dulu, apa pilihanmu."

***

"Bang... barusan Mama telepon—"

"Kenapa? Mamamu suruh kau pulang ke Medan lagi?" tanya Rolan dengan alis terangkat tinggi-tinggi.

Mita langsung mendelik. "Kok Abang tau??"

Lagi?? Mama Mita menyuruhnya pulang??

Rolan baru saja pulang. Lelah dan berkeringat sehabis mengarit banyak rumput untuk lembu-lembunya yang baru melahirkan. Ditambah dengan telinganya yang panas dengan laporan Mita.

"Pesta apalagi??" sindir Rolan.

"Sepupuku yang baru nikah di Australia sama orang bule, terus pulang, mau dipestakan di sini katanya."

"Nggak. Aku nggak kasih." Entah alasan apalagi yang dikatakan Mama Mita agar Mita pulang, dan itu sudah mulai sangat mengusik Rolan hingga membuatnya marah.

Mita mendongak dengan wajah bingung. "Aku—nggak boleh pulang ke Medan?"

Rolan tak menjawab, dan langsung memutar balikkan langkahnya melangkah lebar menuju kandangnya. Dia sangat berang, wajahnya pasti terlihat sangat marah, hingga Rolan memilih menghindari Mita dan tak menjawab pertanyaan istrinya agar tak berakhir dengan membentak.

Wanita biasa pasti langsung mengerti. Rolan sadar kepekaan istrinya agak kurang, meski Rolan telah menjabarkan secara jelas jika Rolan selamanya tak akan mungkin berbaur dengan keluarganya. Namun, Mita tetap mengatakan secara gamblang suruhan Mamanya. Padahal menurut Rolan dia sudah banyak menolerir banyak hal. Namun, lagi-lagi wajah bingung Mita menghantuinya. Apa dia sampai hati melihat Mita kebingungan?? Rolan menggeram lebih keras.

Di sisi lain Mita masih mengerjap, menggenggam ponselnya. Itu tadi artinya apa? Bang Rolan benar-benar nggak bolehin dia pulang ke Medan? Biasanya, kan, Mita pergi sendiri kalau Bang Rolan nggak mau ikut. Padahal Mita mau bilang, kalau Bang Rolan nggak mau ikut ya... bisa saja Mita dijemput, kan? Lalu sekarang bagaimana? Dia juga nggak boleh pergi ke Medan??

Alasannya apa? Bagaimana dia bilang ke Mama dia nggak bisa pulang ke Medan? Karena nggak dikasih Abang? Kalau Mama malah marah sama Abang? Gimana ya... Mita bingung. Apa dia tanya dulu ke Juni?

Mita bingung melangkah ke kamarnya, dia masih tercenung lama duduk di pinggir kasur. Kalau Mama ngomel sama Mita sih, Mita sudah biasa. Namun, entah kenapa, Mita tak begitu senang jika Mamanya mengomel dengan menyebut-nyebut nama Bang Rolan.

Mita mencari kontak Juni, dan mengeluarkannya lagi. Gimana kalau bertanya Juni malah makin memperburuk keadaan?

Mita terkejut saat pintu kamarnya mendadak terbuka.

"Kamu yakin pestanya minggu ini? Atau minggu depan? Bahkan minggu depannya lagi??"

Bola mata Mita melebar melihat sorot marah di mata suaminya.

"Nanti—coba aku minta Juni cari tahu."

Rolan mendesah dengan bibir semakin membentuk garis tipis. "Terserah kalau kau mau pulang ke Medan," ungkapnya kemudian.

Mita bengong saat Bang Rolan dalam sekejap kembali menghilang.

Jadi dia boleh pulang ke Medan? Begitu kan?

Padahal Bang Rolan sudah mengatakan dengan jelas, tetapi kenapa Mita tetap merasakan perasaan janggal di hatinya?

***

Ibu jari Rolan terus berdenyut-denyut ketika menghisap rokoknya, sebab hingga detik ini dia belum mendapatkan jawaban Mita.

Apa jangan-jangan Mita lupa memikirkannya? Dan menganggap pertanyaan Rolan angin lalu??

Tetapi jika Mita tak menjawab, bukankah jawabannya sudah jelas? Mita tak ingin tinggal di kampung pelosok yang jalannya hancur berlumpur di musim hujan, dan berdebu di musim kemarau. Rolan tak bisa menghentikan perutnya yang semakin teraduk.

"Abaang... nggak tidur?"

Rolan tersentak dan menoleh. Wajah Mita tampak menatapnya sembunyi-sembunyi.

"Belum ngantuk."

Mita mencebik.

Kenapa Mita menyuruhnya masuk? Untuk mengatakan jawabannya? Mita bisa mengatakannya di sini. Bahkan di sepanjang malam mereka makan bersama tadi.

Rolan menoleh lagi, dan istrinya sudah menghilang dari sudut kusen pintu.

Apa Rolan terlalu egois? Namun, bukankah sejak awal Rolan sudah menyatakan sikap keras yang sama, bahkan pada keluarganya. Jika ujungnya jadi begini, Rolan juga harus bertanggung jawab pada kesulitan dan kesakitan yang dia sebabkan sendiri. Salahnya yang tak dapat menahan diri untuk mencium Mita, salahnya sendiri yang tak bisa menahan diri untuk terus menatap dan memastikan keadaan Mita. Mengkhawatirkan wanita itu. Dan jika ujungnya Mita memilih pergi, tentu saja, itu bukan kesalahannya.

Seolah merasakan kehadiran Mita, Rolan menggerakkan ekor matanya ke pintu. Kali itu istrinya bergerak perlahan ke arahnya. Mengurangi jarak di antara mereka. Mita duduk perlahan, beringsut mendekat, dan lebih mendekat lagi.

Rolan tak ingin menduga-duga ke arah yang diinginkannya, bisa saja Mita justru ingin membujuknya untuk pergi ke Medan bersamanya. Rolan jelas akan menolak, dan memilih untuk memaling sambil merokok tipis, agar tak melihat ke istrinya.

"Bang..."

Sialnya, panggilan itu mengganggu Rolan, dia tak mungkin tetap diam tanpa menoleh.

Mita menekuk murung wajahnya. Dia cukup sadar suaminya tak banyak bicara seharian ini, apalagi sejak dia mengatakan pada Bang Rolan soal panggilan telepon Mama.

Namun, ada hal yang lebih penting yang harus dipastikan Mita, bahkan seharian ini otak Mita begitu penuh sampai terasa sakit mencari tahu dari internet. Tetapi tetap saja, otaknya tak sampai. Jadi, dia menyodorkan ponselnya.

"Apa?" tanya Rolan dengan dahi berkerut dalam melihat ponsel Mita yang berada di pahanya.

"Aku cari ada kok... bioskop, McD, KFC... Starbucks juga adaloh Bang... di Pekanbaru. Itu jaraknya dari sini jauh nggak Bang? Aku udah cari-cari tapi nggak paham daerah sini. "

Bola mata Rolan mengembang tajam. "Mau ngapain lagi...?" dia mempertahankan nada suaranya agar tak meninggi. Belum juga selesai urusan yang kemarin, dengan tak tahu dirinya Mita mau menambahi keinginannya untuk jajan dan jalan-jalan?? Batin Rolan mulai panas.

"Aku udah cari di internet, tapi masih nggak ngerti."

"Apa maksudmu?" Rolan menahan dengusan.

Bibir Mita berkerut dan pipinya mengembung. "Kalau—aku nggak tinggal di Medan lagi, masa aku nggak boleh jajan-jajan kesukaanku juga Bang?"

Leher Rolan segera tergerak cepat. "Kau mau tinggal di sini?"

"Kata Abang harus tinggal di manapun suamiku tinggal. Ya kupikir-pikir, memang gitu. Istri Bang Yose juga tinggal ikut suaminya."

Rolan berusaha menguasai hatinya yang menderu, meledakkan sesuatu, tetapi Rolan menahan kebahagiaannya, berikut dengan dadanya yang semakin berdentuman.

"Maumu sendiri kayak mana? Yakin kau mau tinggal di sini. Sampai tua?" tekan Rolan. "Aku udah biasa tinggal di sini. Setahun, dua tahun tinggal di sini, bisa aja kau bosan."

Mita mendongak dan tercenung lagi.

Rolan menelan ludahnya yang terasa teramat pekat dan perih. "Kau liatlah di sini. Becek, jorok, banyak binatang."

Mita meremas jemarinya di lengan Rolan, dan tentu saja Rolan dapat merasakan itu.

"Tapi... kalau aku tinggal di Medan, nggak ada Abang," gumam Mita dengan wajah murung.

Bibir Rolan sedikit terbuka dan bergetar, dia bisa saja menekan dan mempersuasi Mita, tetapi Rolan tak ingin melihat wajah terpaksa Mita.

"Selama puluhan tahun kau tinggal sama orang tuamu, juga nggak ada aku."

"Tapi selama puluhan tahun tinggal sama orang tuaku, aku nggak pernah ciuman." Sorot mata Rolan mulai menajam. "Nggak pernah bercinta."

"Jadi kau mau tinggal samaku cuma buat gitu-gitu??" dengus Rolan kencang, dengan nada tak terima. Padahal, biasanya cowoklah yang mau tinggal dengan wanita hanya karena nafsu berahi!

"Ya enggak..."

"Jadi apa...?" Astaga... Rolan mulai kehilangan kesabaran.

Mita tertunduk menggoyangkan lengan Rolan. "Aku—mau sama Abang. Tidur—sama Abang."

Napas Rolan semakin menderu. Dia tak tahu sejauh mana kapasitas yang dapat dimengerti Mita.

"Kau tau kan aku suka marah-marah."

Mita kembali mendongak.

"Nanti—" Rolan mengambil napas. "Bisa aja ada masalah-masalah lain, yang bikin aku marah, mungkin aja—bikin kau nangis. Berumah tangga nggak mungkin terus senang-senangnya aja. Tapi aku janji, semarah apa pun aku, nggak akan aku tinggalin kau. Yakin kau masih mau tinggal di sini?"

Mata Mita membulat polos, dan mengangguk.

Rolan tak pernah mengungkapkan apa-apa keresahannya, apa yang dihatinya, apa yang menjadi tujuannya kepada orang lain, sebab dia sangat sensitif dengan komentar-komentar merendahkan. Tetapi seolah dia ingin mengatakan kepada Mita semua rencananya, semua apa-apa saja yang dibenak dan batinnya yang bergemuruh kencang.

"Panen minggu depan kita beli mesin cuci."

Mata Mita langsung berbinar lebar. "Kayak punya Kak Rani??"

"Iya, biar gampang kau nyuci banyak."

Senyum Mita mengembang, dan mengangguk kencang.

"Sama... mau kujual motorku."

"Loh kenapa??"

"Payahlah kau ngangkang di atas motor tinggi. Ganti matic aja. Mau tinggal lama pulak kau samaku."

"Iyaa... kayak motor yang di Medan kan??"

Rolan mengangguk. Menangkap cepat Mita yang mendekapnya dengan perasaan yang membuncah. Disadari Rolan, istrinya sangat suka merangsek ke dalam pelukannya, bahkan ketika malam-malam, Mita yang terbangun dalam keadaan berbaring sendiri langsung terasa merapat pada Rolan. Tiap pagi ketika Rolan yang terbiasa bangun lebih pagi, Mita selalu tertidur memeluknya. Entah, Mita hanya ingin bersamanya karena tak ingin tidur sendirian lagi, entah apa perasaan Mita sesungguhnya untuknya, yang jelas Rolan sudah memutuskan tak akan melepaskan Mita.

Sudut bibir Rolan tersungging ke atas, melihat antusias Mita. Dia meremas pundak Mita. Yang ada dalam pikiran Rolan saat ini tinggal bagaimana caranya menghadapi orang tua Mita.




-TBC-

13/01/2024 Liarasati

Sorry for typo


Continue Reading

You'll Also Like

122K 18.2K 29
[BACA SAAT ON GOING. INTERMEZZO PART DIHAPUS 1X24 JAM SETELAH PUBLISHED] May contain some mature convos and scenes. "Aku akan bayar semua hutang ka...
995 166 11
Rupanya tidak semua orang tahu apalagi menyadari bahwa latar belakang seseorang sangat berpengaruh pada aksi-reaksi, terutama jika itu tentang hubun...
236K 37K 49
[BACA SAAT ON GOING. INTERMEZZO PART DIHAPUS 1X24 JAM PUBLISHED] May contain some mature convos and scenes Menurut perjanjian, Robyn hanya boleh be...
43.4K 4.5K 35
Luca tak meminta banyak hal, ia hanya ingin hidup dengan tenang. Namun sayangnya, ia harus dihadapi dengan berbagai masalah yang tidak membiarkannya...