Bab 2

4.9K 789 34
                                    

"Udah ada kabar dari Mami?" tanya Rudi gelisah.

"Kalau Pak Benny tanya aku jawab apa? Kalau kelamaan dia bisa cari orang lain."

"Udah. Abang bilang aja soal Rolan. Abang yakinkan Pak Benny kalau Rolan itu pekerja keras, dan pengusaha sukses!"

"Kau yakin kita bilang aja ke Pak Benny sodorin nama Rolan? Mami belum kabarin apa pun. Kalau Rolan nggak mau. Bisa gawat kita."

"Yakinnya aku Bibi bakal bawa Rolan ke sini. Lima puluh juta nggak sedikit Bang. Bibi pasti usahain kali."

Rudi mendesah tertahan.

Di kantor Rudi tidak konsen. Beberapa kali dia berpapasan dengan Pak Benny, tetapi tetap belum ada waktu ngobrol berdua.

Tetapi, bayangannya sudah ke mana-mana. Satu kantor akan segan dengannya jika terpampang pada undangan pesta pernikahan namanya bersanding dengan Bapak Benny Surbakti dan Ibu Tengku Evina Soraya.

Jam kerja sudah hampir berakhir. Rudi mengembuskan napasnya lagi, dan dia harus nekad datang ke ruangan Pak Benny. Meski tangannya sudah berkeringat dingin. Rudi akan mengatakan soal putra sulungnya, tetapi permasalahannya, jika Pak Benny tidak setuju, maka lima puluh juta yang dijanjikannya nanti? Kenapa dia goblok sekali, batin Rudi, dia harus mencari-cari alasan ke Mami nantinya.

Rudi gelisah dan berdecak-decak dalam hati, namun di tengah kebimbangannya berdiri di lorong kantor ponselnya justru berbunyi, nama Pak Benny membuatnya semakin bergetar.

"Halo Pak?" angkatnya tanpa membuang waktu.

"Ke ruangan saya ya."

"I-iya Pak."

Rudi melangkah dua kali lipat lebih cepat. Dia mengetuk pintu sebelum masuk dan Pak Benny sudah duduk di sofa di ruangannya.

"Gimana?" tanya Pak Benny tembak langsung membuat tengkuk Rudi semakin tegang.

"Ada Pak. Tapi, bukan saudara—"

"Tetanggamu?"

Rudi menggeleng. "Anak—saya Pak."

Dahi Benny langsung berkerut. "Bukannya anakmu masih sekolah?"

Rudi tersenyum rikuh. "Bukan Pak. Anak sulung saya. Anak dari istri pertama saya yang sudah meninggal. Tinggal di Kandis dia."

"Kerja disana?"

"Iya Pak."

"Kerja apa?"

"Peternakan lembu sama ladang sawit. Dia bangun usahanya sendiri nggak ada minta-minta ke keluarga. Saya yakin, setelah menikah dia pasti bisa bertanggung jawab. Bapak boleh aja, kirim orang untuk selidiki anak saya, ucapan saya nggak ada yang saya lebih-lebihkan. Tapi, ya... anakku cuma tamatan SMA, Pak." Entah dapat keberanian dari mana Rudi menyampaikan semuanya seyakin ini.

"Kenapa udah setua itu belum nikah juga dia?"

"Sibuk kerja dia, Pak. Anak saya yang satu itu agak pendiam, nggak suka pacar-pacaran, pernah mau ngelamar anak orang, karena dijodohkan juga sama Nondongnya, eh si cewek pergi sama pacarnya."

Benny terus menampilkan sorot menilai.

"Dia tinggal di kampung?"

Rudi menelan ludah tak tenang. "Iya... Pak." Kenapa dia tidak membicarakan ini dengan Marni! Jika memang Rolan akhirnya mau, apa mungkin Rolan mau keluar dari Kandis??

"Saya liat jadwal minggu ini, nanti saya kabari kapan bisa ke tempat anakmu."

Bola mata Rudi melebar. Pak Benny langsung menyetujuinya?? Rudi merasa seolah tengah menggali kuburannya sendiri jika Rolan tidak bersedia menerima perjodohan ini. Nasi telah menjadi bubur. Apa bisa dia tarik kembali ucapannya? Jantung Rudi berdenyut tak tenang. Yang terburuk adalah, posisinya di kantor ini bisa dipindah.

Jejak LaraDonde viven las historias. Descúbrelo ahora