Bab 4

4.7K 835 123
                                    

Mita sudah mandi. Sudah mengganti bajunya. Hari ini sudah berlalu cukup lama baginya—apalagi sambil terus memeriksa ponselnya. Belum malam, belum malam, batinnya ingin waktu segera berlalu. Hanya saja... suara-suara di kepala Mita terus bermunculan. Suara-suara itu seperti. Kapan Bang Rolan menghubunginya? Kapan waktu yang tepat bagi lelaki untuk menelepon ceweknya? Padahal Mita pernah melihat sepupunya menelepon nggak kenal waktu.

Terutama... tuh! Mata Mita memicing saat Juni masuk ke kamarnya. Juni juga suka sembunyi-sembunyi teleponan sama pacarnya, nggak mesti malam juga.

"Ngapain? Masih nungguin Bang Rolan telepon?"

Pertanyaan itu terdengar menjengkelkan di telinga Mita, yang kembali berguling di ranjangnya.

"Eh... Kakak ini masih sore udah tidur-tiduran. Ntar penyakitan."

Mita spontan bangkit dan menatap Juni emosi. "Bang Rolan bilang mau telepon, tapi sampai sekarang nggak ada nelpon..."

Juni terkekeh. "Ya sabarlah Kak. Mana tahu belom sampe rumah Abang itu."

Sorot mata Mita langsung berubah. Iya juga. "Memangnya kapan Bang Rolan sampai rumahnya?"

"Ya mana kutahu..."

Mita langsung menggeram dan melempar Juni dengan bantal. "Coba aja aku tahu nomornya."

Juni semakin merasa tingkah Mita sangat lucu. "Memangnya kalau Kakak tau nomor Abang itu, Kakak berani nelpon duluan??"

Mata Mita langsung memicing. "Memangnya nggak boleh??"

Kedua alis Juni langsung terangkat. "Ya... boleh aja sih. Tapi untuk pertama kali, ada baiknya kakak gengsi sedikit."

"Gengsi??"

"Ya iyalah... aku dulu ya kak... wajib si Alvian yang telepon duluan."

"Memangnya kamu nggak penasaran kalau dia nggak ada kabar?"

"Ya penasaran!"

"Terus? Kamu diam aja gitu?"

"Aku cari tahu ke adeknya dia lagi ngapain!"

Manik mata Mita melebar. "Kamu tahu nomor adeknya??"

Juni mengangguk bangga.

"Ribet ya... kenapa nggak telepon langsung aja, lebih pasti kalau mau tahu kabar."

Senyum Juni langsung berubah kecut. "Ya itu namanya gengsi Kak... cewek harus gengsi sedikit."

Dahi Mita berkerut semakin tak paham. Tapi mendadak, sorotnya berubah, oh, dia paham. "Nondong! Nondong pasti tahu Bang Rolan lagi ngapain, bentar aku minta nomornya sama Papa—"

"Eh!" Juni menarik lengan Mita dengan jantung nyaris copot. Berurusan dengan Nyonya besar saja sudah membuatnya ketar-ketir, ini mau berurusan dengan big bos! Bisa mati beneran Juni. "Anehlah Kak!"

"Anehnya??"

"Ya—masa Kakak teleponan sama Nondong-Nondong."

Dahi Mita berkerut semakin tak mengerti.

"Intinyaa... Kakak nggak boleh kelihatan ngebet banget! Sabar aja... sampai besok." Napas Juni terembus naik turun dengan begitu cepat.

"Besok??"

"Ya kan Abang itu mesti pulang ke Pekanbaru, kan? Besoklah baru sampai."

Begitu dilihatnya Mita mulai cemberut dan kembali bergelung dengan guling kesayangannya, Juni bisa sedikit mendesah lega.

"Udah, kita nonton aja... Aku carikan drama seru." Dalam hati Juni sudah punya list drama yang mau ditontonnya.

Mita tidak menjawab, tetapi dari sorot matanya, dia tetap setuju apa pun yang mau dibuat Juni. Juni baru saja bisa bernapas lega, eh... Bu Vina malah muncul. Juni sudah akan mengambil ancang-ancang untuk kabur. Tetapi Bu Vina keburu nyerocos.

Jejak LaraWhere stories live. Discover now