cromulent | jaemren

Par adshilalala

17.5K 2.6K 483

NCT Dream adalah salah satu grup idola paling ideal untuk digemari. Definisi rangkuman dari segala hal baik y... Plus

0
chapter 1 - sekumpulan eritrosit
chapter 2 - milky way dan andromeda
chapter 3 - iblis terkutuk
chapter 4 - primrose
chapter 5 - sekte abal-abal
chapter 6 - anime
chapter 7 - mesin waktu doraemon
chapter 8 - renjun
chapter 9 - lubang cacing
chapter 10 - neraka
chapter 11 - roh jahat
chapter 12 - peran utama
chapter 13 - hierarki
chapter 14 - predator dan mangsa
chapter 15 - timun mas dan raksasa
bukan update
chapter 17 - puncak acara
chapter 18 - selebrasi
chapter 19 - guciku
chapter 20 - bangunan tiga lantai
chapter 21 - drama
chapter 22 - efek negatif
chapter 23 - dunia baru
chapter 24 - normal
chapter 25 - perasaan konyol
chapter 26 - pengecualian
chapter 27 - koma dan titik
chapter 28 - nada ritual
chapter 29 - terlarang
chapter 30 - program kepala

chapter 16 - reinkarnasi

430 69 7
Par adshilalala

Memang, dewi fortuna cuma mitos belaka.

Empat hari sudah aku terkurung di tempat ini. Pasca insiden gagalnya seluruh rencana, kemarahan lelaki itu berujung pada terseretnya aku ke ruangan di balik pintu penyambung.

Sama sekali tak terbesit di benakku kalau tempat itu adalah kamarnya; nuansa monokrom dipadu dengan gorden kelabu yang memblokir total akses matahari. Penerangan yang minim membasi penglihatanku untuk mengidentifikasi keseluruhan isi tempat ini dan seolah tahu keluhanku, cahaya lampu segera menyiram ruangan. Selepas satu kerjap penyesuain retina, aku bisa lebih leluasa. Lantas selama beberapa detik tercekat.

Aku menelan ludah. Furnitur kamar ini sangat tak masuk akal dan membuat bulu kuduk orang normal manapun seketika berdiri.

Biar kuberitahu, selain ranjang dan lemari, mayoritas isinya alat-alat aneh dan tidak lazim. Meski tidak medetail, aku tahu semua benda ini adalah sarana BDSM– sudah kubilang bahwa aku tidak sepolos wajahku.

Kontan saja jantungku berdetak tak keruan, mulai merasa takut dengan lelaki sinting ini.

Ia menyentakku yang terpaku di lantai. Sekuat tenaga aku menolak, meraung dan kembali agresif memberontak. Namun sekali lagi, tenaga kami tak seimbang. Sejurus kemudian, aku ditaklukan. Pada sebuah tiang aku diikat dengan lilit tali tambang yang menarik tanganku ke atas, telapak kaki nyaris tak menyentuh lantai.

Jarum panjang jam dinding sudah melakukan tiga kali putaran, sekaligus menjadi saksi bisu atas seluruh raunganku yang hinggap di tiap penjuru. Pundakku pegal dan tak ada yang dapat kurasakan di sepanjang tanganku.

Sepertinya Semesta hobi sekali melihatku tersiksa. Sepertinya jika hidupku ditulis jadi sebuah buku, tiga perempatnya berisi kemalangan yang divariasi dengan keterlibatan manusia-manusia berotak miring.

"Kamu lihat sendiri, kan? Yang gila di sini bukan aku tapi majikanmu," kataku tadi, sambil selintas memindai sekeliling saat Ahjumma menghampiri atas dasar perintah untuk memberiku makan. Entah berangkat dengan kesibukan apa, yang jelas laki-laki itu pasti pergi.

Seluruh tubuhku letih, perlahan-lahan kehilangan tenaga. Pun suaraku hampir sulit dideteksi, beberapa kali hilang dan tersendat. "Jangan menatapku begitu. Nyatanya kamu sama dengan Tuanmu itu. Kalian penjahat yang bersekongkol menyekapku di sini."

Gurat kasihan di muka wanita itu mulai mengalami perubahan, ada sedikit rasa bersalah. Tampaknya dia agak terpengaruh dengan– "Maafkan saya, Nyonya. Saya tidak bisa berbuat banyak saat Tuan melarang keras. Saya sungguh prihatin dengan anda, tetapi saya takut anda akan berbuat anarkis seperti yang terjadi kepada Tuan."

–tidak ternyata.

Selain polos dan bermulut jujur, dia juga loyal– boleh jadi pada majikannya atau pada upah yang ia terima dengan menjual kesetian. Ini tak akan semudah yang kupikirkan. "Dengar, Ahjumma. Kamu bisa menanyakan apapun yang berhubungan dengan manusia waras padaku untuk membuktikan jika majikanmulah yang bicara omong kosong. Kamu bisa bertanya seperti apa Seoul, letak gedung SM, drama akhir pekan atau apapun. Tanyakan. Aku akan menjawabnya dengan akurat."

Wanita ini justeru dengan tegas menggeleng. "Tuan melarang saya bicara banyak dengan anda."

"Yak! Mana ada orang gila setampan diriku?!" Aku memejamkan mata erat. Ujaran ini menghabiskan energi terakhirku. "Ahjumma, apa kamu sama sekali tidak iba dengan kondisiku, hm? Lama-lama aku bisa mati jika begini."

Dia membungkam mulut.

"Ahjumma, aku percaya kamu tidak sejahat laki-laki itu, jadi tolong setidaknya biarkan aku bebas selama dia tidak ada. Ya?"

Kutarik kembali ucapanku. Wanita tua itu sedikitpun tak mengindahkan. Dia cuma menjejalkan makanan ke mulutku dan tetap konsisten walau aku menyemburkan hasil kunyahan persis di wajahnya.

Memasuki malam, lelaki itu menyeruak dari pintu dengan wajah berseri yang tak ingin repot-repot kuperhatikan. Mulai dari dua meter pertama, dia menyerocos dengan kisah yang tak ada habisnya. Soal kesehariannya, soal cuaca di luar sana, termasuk minatnya pada seekor anjing.

"Sepertinya aku akan mengadopsinya. Agar kamu juga memiliki teman di sini."

Lantas seperti kemarin, dia duduk di sebuah kursi tepat di depanku, menontonku yang tak berdaya sambil cengengesan.

Manusia gila yang bahkan tak kutahu namanya ini rupanya bukan sebatas penguntit ataupun penculik, dia lebih dari itu dan aku tidak tahu harus menyebutnya apa. Yang jelas dia berbahaya.

Dia tahu segalanya tentangku.

"Cinta memang membutakan," ucap dia menggunakan suara dalam sembari mempermainkan belati yang dipegangnya, mengkilat. "Itu yang membuatmu pasrah diperbudak olehnya, kan? Padahal kamu bisa membunuhnya di setiap kesempatan. Aku tahu kamu tidak selemah itu. Kamu melakukan hal yang lebih besar dulu."

Sungguh, aku berharap bisa meludahi seringaiannya.

"Mungkin itu juga alasanku melakukan ini padamu. Cinta ...."

Tidak. Sebejat-bejatnya perbuatanku, jangan samakan denganmu. Tidak ada unsur obsesi dari cintaku.

"Tapi kamu bodoh!" Dia terbahak hingga pangkal tenggorokannya dapat dilihat, menggedik kepala. "Faktanya aku mencintaimu. Jika tidak, buat apa aku susah-susah melakukan semua ini hanya untuk barang bekas sepertimu?"

Sial. Omongannya terlalu menohok.

"Huang Renjun," panggilnya tidak hanya sekali, seakan-akan mencemooh. "Aku memiliki semua rahasiamu. Artinya kehancuranmu yang sebenarnya ada di tanganku. Kalau sebelumnya kamu menjaminkan tubuhmu padanya, kira-kira apa yang akan kudapat untuk tidak menyerahkanmu pada Ilmuwan itu besok pagi?"

Seketika kurasakan takut mengeliat di seluruh tubuh, sampai rahangku mengetat dalam menahannya. Sudah terlambat untuk sadar jika sedari awal aku telah mengambil keputusan yang salah dengan meremehkannya.

"Hei, hei, hei. Ke mana perginya keberanianmu? Beberapa saat lalu kamu masih menatap sengit ke arahku, tapi langsung ciut hanya karena aku membahasnya? Tck. Ini tidak seru. Lagipula ... kamu benar-benar percaya kalau aku berhubungan dengannya?"

Benar juga. Ilmuwan itu bukan sembarangan. Dia tidak mungkin menjalin relasi dengan laki-laki ini. Tolol sekali aku bisa dengan mudah terjebak permainan dangkalnya. "Apa sebenarnya maumu, huh?!"

"Sudah kukatahan sedari sebelumnya, aku ingin memilikimu. Tidak lebih."

"Tapi aku tidak sudi! Lebih baik kamu bunuh aku!"

"Benarkah? Barusan kamu memberiku izin untuk membunuhmu? Kamu yakin?"

Tentu saja tidak!

"Baiklah. Daripada tidak bisa memilikimu, lebih baik kamu mati di tanganku. Lalu sebagai penghargaan, aku bisa menggunakan darahmu sebagai parfumku. Bagiamana? Ingin aku mengeksekusi ide brilianmu ini kapan? Sepertinya secepatnya. Toh sejak awal kamu sebatangkara. Tidak akan ada yang merasa kehilangan meski kamu menghilang dari dunia."

Aku tertohok untuk kedua kalinya. Tapi Ya Tuhan! Semangat sekali dia mengangsurkan benda tajam itu ke arahku! Apa dia tidak mengerti kalau aku tidak serius?!

Aku kelabakan, namun tak bisa kabur sama sekali. Ingat, aku masih diikat. Sedangkan pergerakannya sangat tangkas. Hanya perlu satu tarikan napas untuknya menunjukkan seperti apa seorang psikopat terlihat. Netranya yang hitam pekat melebar, begitu pula senyumnya. Ia tampak antusias mendemonstrasikan gerakan menyayat di leherku, agak perih.

"Kalau aku tidak bisa memilikimu, maka tak ada siapapun yang boleh memilikimu, Huang Renjun!"

Satu, dua, tiga detik hening yang janggal menetap, darah menciprat ke wajah kami dan aku menjerit-jerit histeris. Sekujur badanku ngeri kala lelaki ini menikam dada kiriku berkali-kali. Brutal, seperti kerusakan setan. Teriakanku semakin hebat, menimpali setiap ayunan belatiya. Sehingga kemudian alam bawah sadar merenggutku.

*

Setidakmasukakal apapun kepercayaan tentang reinkarnasi, aku tetap ingin bertanya beserapa besar dosaku di kehidupan lampau sampai harus menanggung karma sebegini rupa.

Apakah aku membunuh pemuka agama?

Tidak. Itu tak seberapa.

Atau seorang Raja?

Tidak juga. Paling-paling aku akan ditugaskan sebagai pencabut nyawa.

Atau orang tuaku sendiri?

Mungkin. Makanya sekarang aku tak memiliki mereka.

Bukankah durhaka sekali jika seorang anak menghabisi ayah-ibunya?

Tapi ... benarkah aku sebiadab itu?

Serangkaian pertanyaan ini bukan sesuatu hal yang baru di kepalaku, ia justeru telah bersemayam lama, kronis dan menjadi toksin paling mujarab dalam melumpuhkan akal sehat. Di saat-saat tertentu, ia akan beraksi tanpa permisi dan ketika konsentrasiku habis dilahap olehnya, seharian aku akan terjerembab dalam nestapa. Sibuk bertanya-tanya, kenapa dan kenapa.

Kenapa aku dipertemukan dengan dua orang itu, jadi boneka mereka dan berakhir sebagai manusia menyedihkan yang tidak jelas identitasnya.

"Tidakkah menurutmu kita ini aneh?" Di usia tiga belas, dalam satu kesempatan aku pernah bertanya seperti ini.

Kiel, temanku itu menoleh dengan wajah pucat, salah satu tepi bibirnya terangkat sinis. "Kamu baru menyadarinya sekarang?"

Tidak. Selama ini aku tahu namun memilih diam karena bingung harus bicara pada siapa.

"Sebenarnya bukan hanya kita," dia menyambung. "tapi semua anak di sini."

"Kemarin seorang anak baru datang. Umurnya kisaran antara delapan-sembilan tahun," kataku, menginfokan meski tidak penting-penting amat.

Alisnya menukik lantaran heran. "Bukankah sudah terlalu besar?"

Aku menggedikan bahu. "Entahlah."

Nanar karena bibirnya yang kehilangan rona, tatapanku tak bertahan walau semenit. Berpendar, kemudian tersaruk pada dedaunan yang rontok di luar jendela. Terbetik kabar bahwasanya musim gugur telah tiba. "Menurutmu ... bagaimana jika kukatakan kalau aku sudah tidak tertarik dengan dunia luar?"

Kiel sedikit memaksakan diri guna mengubah posisi. Untuk sesaat aku memperhatikan ia yang kepayahan, sebelum memanjangakan tangan dengan sebuah bantuan. Tanpa aba-aba ia menodong. "Apa maksudmu?"

Cepat-cepat aku lari dari maniknya. Segan untuk menerima segala tanya yang membayang di sana. "Akhir-akhir ini aku memikirkan seperti apa dunia akan menghakimiku jika tahu–"

"Jika tahu apa, huh?!" Kiel menyela, nadanya naik seoktaf.

Aku sudah memprediksi hal ini, tidak kaget dengan hardikannya. Menunduk. "Kamu tahu persis maksudku ...."

"Lantas kamu ingin terjebak selamanya di sini?"

"Bukankah itu lebih baik? Kamu sendiri yang bilang kalau manusia itu mengerikan."

Kiel menarik napas kasar. "Tapi tidak ada yang lebih mengerikan daripada manusia-manusia di tempat ini."

Bagaimana caraku agar bisa mengatakan padanya jika ia salah besar.

"Maaf jika mengecewakanmu, tapi aku belum bisa membunuhmu," ucap lelaki yang tengah duduk di sofa itu tanpa melihatku, fokus pada tangannya yang dibebat perban. Mengingat kelakuannya sebelum aku tak sadarkan diri, tidak heran ia tahu aku sudah siuman.

Insting penjahat pasti tajam, bukan?

Dia berdiri, menatapi karya hasil kebringasannya terakhir kali. "Bagaimana kondisimu? Ah, tentu saja baik, kan? Sekarang kamu tidur di kasur yang empuk dan susah tidak tergantung di tiang."

Aku bergeming, membiarkannya mengoceh sendiri. Akan tetapi saat berniat menghindari tangannya, sesuatu membuatku tersentak. Tubuhku luar biasa lemas.

"Pantas bahkan seorang Na Jaemin berani ambil resiko besar demi membuatmu bersepakat dengannya." Sembari membelai kepalaku, ia mengekeh penuh cela, menelitiku dari atas sampai bawah.

Sambil mewaspadai tindak tanduknya, aku memikirkan agaknya apa yang dia lakukan semasa aku tak sadarkan diri– selain menelanjangiku. Dia pasti tak sebatas bengong menungguku bangun, sesuatu pasti sudah terjadi– menjadikan tangannya sebagai bantalan agar belati tak langsung melukaiku pun ia bisa.

"Singkirkan tangan kotormu itu dari tubuhku!" gertaku. Yang sebenarnya takut setengah mati karena dia membuka pahaku dan menyentuh area sensitif.

Balasan yang kuterima berupa dengusan, sedikitpun ia tak terpengaruh. "Coba saja hentikan aku, itupun kalau kamu bisa."

Aku mengumpat di setiap jengkal yang berhasil ia gerayangi. Lagi-lagi dia menang telak.

"Jangan, kumohon. Jangan ...." lirihku putus asa, sesak dengan air mata berjatuhan.

Barang sedikit ia tak menaruh peduli. Tatkala merintih ketakutan, seberkas keberuntungan menamparku lewat dering yang menginterupsi. Lelaki ini mendecak sebab kegiatannya terganggu, namun tetap memeriksa ponselnya. Aku lega karena ia berlalu, tapi lanjut waswas menunggu ia kembali. Ketika pintu dikuak dan ia menjulang di sebelah, aku menutup mata.

Degup jantungku tak beraturan, melesat melewati batas normal. Terlebih saat merasakan napas hangat menerpa. Kelopak mataku bergetar atas satu kecup yang disematkan pada kening. "Aku harus pergi. Bersikap baiklah dan tunggu aku, Sayang."

Di kala bukan hanya kelopak mata namun seluruh sendiku gemetar, derum mobil menjauh berhasil membuat darahku kembali beredar. Perasaanku campur aduk dengan situasi yang memprovikasi tangisku sampai sesengukan. Lalu ketiduran.

*

Bangun dengan entah berapa jam terlelap, batinku bersorak begitu tahu tubuhku mulai seperti sediakala. Walau belum seratus persen, setidaknya aku sudah bisa bergerak.

Beringsut, aku bersandar di headboard bertepatan pintu diketuk sekali. Aku mendengus saat melihat pelakunya menyeruak. Ahjumma menjengkelkan itu.

"Sudah saatnya makan, Nyonya. Anda ingin saya suapi atau makan sendiri?"

Aku buang muka.

"Baiklah, biar saya sua–"

"Aku tidak ingin makan kalau orang itu belum kembali."

"Ne?" Ia terdengar kaget.

"Katakan padanya kalau aku mogok makan sampai ia pulang dan menemuiku."

Ahjumma menahan senyum, sementara aku berusaha agar tak mengernyit dan mencibirnya. Kata wanita itu, "Baik, Nyonya. Akan saya sampaikan jika anda tidak mau makan kalau bukan Tuan yang menyuapi."

Hampir saja bola mataku melompat keluar mendengar kesimpulannya. Sialan. "Bisakah kamu ganti air putih itu dengan yang lain? Aku sedang ingin minum jus."

Masih dengan senyum yang tercantel, Ahjumma mengangguk. "Baik, Nyonya. Akan saya buatkan."

Tcih. Apa-apaan dia.

Sekitar dua jam berselang, lelaki itu muncul dengan airmuka semringah. Ia memakai kemeja putih yang dikikis sampai siku dan celana bahan, memperlihatkan kaki jenjangnya dengan apik. Kalau dinilai dari apa yang sempat Ahjumma beritakan,

"Tuan adalah pemilik perusahaan besar, tetapi dia bekerja di balik nama ayahnya. Ia tidak mau disorot media."

orang ini akan terlihat sebagai lelaki berkharisma yang mengugah selera. Maksudku, penampakannya bahkan lebih bagus dari aktor matang nomor satu di Korea. Barangkali kalau dia bukan sasaeng gila yang sampai menjadi back dancer demi mengintaiku, aku akan mempertimbangkan untuk menjadikannya pasangan hidup. Realistis saja. Siapa yang tidak mau punya suami seorang CEO dengan kekayaan tumpah ruah? Huh, untuk beberapa lama mungkin aku akan serasa habis keluar dari cerita karangan remaja yang penuh imajinasi nan tak masuk akal.

"Katanya kamu menolak makan kalau tidak disuapi olehku?" Senyum cerah terbit di bibirnya. "Benarkan ini Huang Renjun yang tadi pagi masih menolakku mentah-mentah?"

Diam-diam aku merotasikan bola mata. "Kalau tidak mau ya sudah."

"Tentu saja aku mau. Bukankah sudah kubilang aku akan melakukan apapun untukmu?"

Kalau begitu kenapa tidak tutup mulutmu dan laksanakan saja? Aku bergeser, menyediakan tempat untuknya.

Ia melirik pakaian yang sudah membungkus tubuhku. "Kamu cocok dengan baju itu."

Kubiarkan komentarnya mengambang tak terbalas, memilih menerima setiap suapan darinya sambil berusaha agar tak terlihat terpaksa.

"Andai kamu menurut sejak awal, aku tidak perlu mengurungmu dan berbuat kasar padamu."

"Itu karena pada dasarnya kamu gila."

Dia terkekeh. "Aku seperti itu karena kamu bersikeras melawan."

"Bukankah sudah kubilang sebelumnya, kita tidak kenal. Bagiamana aku bisa duduk tenang di sampingmu?"

"Jika itu masalahnya, kenapa kita tidak mencoba saling mengenal mulai sekarang?"

Kali ini, aku tak tahan ingin mendelik. "Aku ragu apa yang belum kamu ketahui soal diriku."

Ia terbahak ringan, masih dengan santai mengangsurkan sendok demi sendok makanan ke arahku– yang kadang kalau ingat itu adalah olahan hasil si Ahjumma, ingin kulepeh saja. "Berarti tinggal dirimu yang perlu mengenalku."

Sesi makan yang terasa sangat panjang rampung jua. Aku menandaskan isi piring guna menyimpan tenaga.

"Kenapa?" Dia bertanya, saat aku menolak sodoran jus darinya.

"Ahjumma itu membenciku karena aku selalu membuatnya jengkel, dia pasti memasukkan sesuatu ke dalamnya."

"Itu tidak mungkin."

"Bagaimana kalau kamu yang memerintahnya memasukkan sesuatu? Setelah semua yang kamu lakukan padaku, di dalamnya pasti sudah dicampur racun." Aku mencantumkan jeda guna melihat reaksinya yang ternyata sekadar melipat dahi. "Ahjumma itu pergi sangat lama padahal hanya membuatkan jus."

Dia terkekeh dengan tuduhanku. "Aku maupun Ahjumma tidak memasukkan apapun–"

"Kalau begitu buktikan!" potongku berseru.

Keningnya yang spontan berkerut, kasat mata menjelaskan kekesalan si empu. Tanpa bicara dia meneguk jus tersebut sampai habis, telanjur ingin membuktikan bahwa aku salah.

Sayangnya aku benar.

Sudah kukatakan bukan, setelah semua yang kamu lakukan padaku, di dalamnya pasti sudah dicampur racun. Seharusnya dia lebih hati-hati.

Aku melipat tangan, bersiap menikmati pertunjukan. Lelaki itu mulai berkeringat, tangannya merambat ke dada sedangkan yang satunya menumpu kepala. Napasnya cepat dan gelisah, lalu menjadi sulit. Ia beranjak, posturnya tidak tegak dan menatapku dengan sorot seakan telah tersadar. "Se–sebenarnya ... hhh ... apa yang kamu ... apa yang kamu masukkan ke dalam jus?"

Aku menyeringai dengan mata berbinar. "Coba tebak, apa yang aku temukan di taman belakang rumah ini?"

Nadaku mengejek, sangat memancing emosi namun sebelum ujung jarinya sempat meraihku, ia lebih dulu memuntahkan isi perutnya.

Berharap melihatnya lebih jelas, aku bergeser sampai di bibir ranjang. Sepenuh puas melihat ia mati-matian bertahan. Tetapi biar kukatakan, itu percuma.

"Seperti katamu, aku tidak selemah itu."

Kali ini gilirannya yang pingsan. Atau boleh jadi nyawanya tercerabut dan melayang.

***

Continuer la Lecture

Vous Aimerez Aussi

62.8K 6.8K 27
[On Going] Ini hanya tentang Lee Jeno, si ketua osis yang selalu berurusan dengan Huang Renjun, si Berandalan sekolah. Dominant: Lee Jeno Submissive:...
1.1K 175 6
Hanya tentang kisah Renjun dan cintanya kepada seorang mayor
ARGA [END] Par zara

Roman pour Adolescents

3M 229K 62
Arga Rajendra adalah sosok laki-laki berhati dingin, angkuh dan tak perduli pada siapapun, selain keluarga dan teman dekatnya sendiri. Ada rumor yang...
27K 2.9K 12
Just like rain, love doesn't choose the grass on which it falls. ~Adoption~ __________________♡♡__________________ Huang Renjun - [Sub]. Na Jaemin...