"Claude Archer baik-baik saja~" Roh angin berseru dengan riang. "Memang, pria aneh itu mengunci Claude Archer, Feliard, dan Robin di dalam jeruji besi, tapi mereka tidak terluka."
Aku menghela napas lega. Untunglah, Claude baik-baik saja. Setidaknya, walau dia tertangkap, dia tidak terluka. Aku sangat mengkhawatirkan Claude begitu kami terpisah. Untungnya roh angin, di mana dia memperkenalkan diri sebagai Pixy, bisa bicara dengan alam, sehingga bisa tahu informasi seperti ini.
"'Pria aneh'?" Dahi Dillian mengerut. "Siapa itu, Ayah?"
Aku mengembuskan napas. Baik cepat atau lambat, Dillian pasti akan segera menemui orang itu, dan dia memang seorang pria yang aneh. Di dalam novel, Dillian yang mengunjungi Gunung Dulchie setelah gelombang monster berhasil dilenyapkan, bertemu dengan seorang pria yang memiliki penampilan aneh.
Itu adalah pria yang kulihat sebelumnya. Pria itu bernama Felix. Seorang penyihir gelap yang tak diberikan identitas lebih lanjut di dalam novel selain seorang pengguna sihir gelap serta seorang pengendali monster yang berperan sebagai antagonis.
Ketika Dillian dalam novel bertemu Felix di bagian utara Gunung Dulchie, mereka bertarung. Dillian menggunakan pedangnya, sementara Felix menggunakan seruling di mana dia menyalurkan sihir gelapnya lewat musik. Di sana, mereka bertarung habis-habisan.
Sihir dan ahli pedang adalah dua kubu yang bertolak belakang, sulit untuk mengalahkan satu sama lain di kala kekuatan mereka imbang. Namun, kekuatan seorang protagonis tak akan kalah, Dillian menang pada akhirnya. Dia berhasil menusuk jantung Felix dengan pedangnya. Felix, di masa sekaratnya, hanya tertawa sambil menyemburkan darah dari mulutnya.
Di sana, Dillian menatap Felix dengan tatapan merendahkan. Bahkan kala Felix mengucapkan kalimat terakhirnya yang berupa, "Kau akan mati pada akhirnya." Dillian sama sekali tak berkutik, bahkan sorot takut atau keputusasaan tak ada dalam kedua maniknya yang berwarna kelam.
"Ian, aku ingin kamu tidak terkejut, oke?" tuturku dengan lembut.
Dillian mengangkat alis. "Baiklah."
Aku menarik napas. "Pria aneh itu adalah orang yang mengendalikan monster."
Meski aku ingin Dillian tak memberikan reaksi berlebihan, tetapi dia tetap membulatkan mata. "Maksud Ayah, para monster yang mengejar kita itu dikendalikan oleh pria aneh itu?"
"Benar. Dan tujuanku mengunjungi gunung ini adalah untuk menghentikan apa pun yang hendak direncanakan pria aneh itu." Lalu, mengambil permata biru di mana roh angin bersemayam.
Dillian terdiam sejenak, tetapi langkah kami yang masih menyusuri tepi sungai masih belum terhenti.
"Mengapa?"
"Apa itu, Ian?"
"Mengapa Ayah ingin menghentikan apa yang direncanakan pria aneh itu?"
Mengapa aku ingin menghentikannya? Mungkin karena aku adalah orang yang mudah bersimpati pada orang lain. Misalnya, jika aku melihat seorang pengemis di jalanan, aku pasti akan menyisihkan uang untuk mereka, walaupun itu adalah uang terakhirku.
Makanya, saat aku membaca novel Became the Most Popular Hero is Hard, pada adegan gelombang monster yang sangat merugikan, itu penuh dengan tragedi. Para monster akan menyerang desa, terutama wilayah Archer, tanpa pemberitahuan, datang bagaikan tsunami yang menghantam desa.
Rumah dan bangunan akan roboh, anak-anak akan mati terinjak, orang-orang akan dimakan habis oleh monster, tak ada pengampunan sama sekali. Di sana, tidak hanya Archer yang menderita kerugian, melainkan dua wilayah bangsawan yang mengapit Archer, Marquis Edver dan Viscount Vernon.
Ketiga wilayah itu, plus ibu kota, akan hancur bagaikan kiamat pernah terjadi di sana. Banyak anak-anak yang kehilangan orang tua, orang dewasa yang kehilangan kekasih dan keluarga, warga desa yang kehilangan tempat untuk berpulang. Saking parahnya hal itu, Dillian di dalam novel, menangis saat melihat kondisi menyedihkan Archer dan wilayah setempat, terlepas dari pribadinya yang dikenal sebagai dingin dan tak hidup.
Makanya, untuk mencegah tragedi itu, aku sebisa mungkin ingin menemui Felix.
"Aku hanya berupaya untuk mencegah suatu tragedi, Ian," balasku atas pertanyaan Dillian. "Jika itu kamu, apa yang akan kamu lakukan jika tahu bahwa sebuah tragedi akan jatuh di tanah Archer?"
Dillian terdiam untuk sepersekian saat. "Aku akan mengikutimu, Ayah."
Aku terkekeh. "Itu tidak menjawab pertanyaanku, tetapi aku senang kamu bersedia untuk mengikutiku."
"Huhuhu, interaksi yang manis dari ayah dan anak," komentar Pixy sambil berputar dengan riang di udara. "Kelith Archer dan Dillian Archer, kalian manis sekali~"
Apakah interaksi kami cukup manis? Jika memang ya, itu bagus untuk memperkuat ikatan antara kami.
"Omong-omong, energi dari saudaraku meningkat dengan signifikan! Kita berada di jalur yang tepat!"
Pixy adalah roh angin yang senang mengoceh, dan aku akan dengan senang hati mendengarkan. Selama perjalanan kami, Pixy menceritakan banyak hal sehingga perjalanan ini menjadi cukup sedikit menyenangkan.
"Sudah dekat! Energi saudaraku sudah dekat~" Pixy berputar di udara semakin cepat, dia juga bergerak maju secepat mungkin sehingga aku harus mempercepat langkahku supaya tidak tertinggal.
Dillian di sampingku memiliki stamina yang tinggi, sehingga dia tampak tidak kesulitan untuk mengikuti langkah angin Pixy yang lincah. Sementara aku, sudah merasa cukup kelelahan. Rasanya, kami memang sudah berjalan jauh menyusuri tepi sungai, tetapi tidak ada jaminan bahwa saudara Pixy berada di mana, makanya secara insting aku merasa letih.
"Kelith Archer!" Pixy yang sudah berada jauh di depan kami memanggil namaku. "Di sini! Di sini saudaraku berada!" serunya dengan riang.
Aku ikut senang, akhirnya perjalanan melelahkan sudah berakhir. Aku mempercepat langkah, dan berdiri di dekat Pixy.
"Di mana itu, Pixy?" tanyaku, napasku sedikit terengah akibat berlari.
"Di sini, di sini!" Pixy berputar di atas tanah. "Saudaraku terkubur lima meter di bawah tanah~"
Pixy mengatakannya dengan riang, tak tahu bahwa apa yang dia katakan membuat semangatku hancur seketika.
***
"Mengapa Tuan mengatakan pada anak itu bahwa Kelith telah mati?" Seorang manusia, bukan, itu adalah seorang monster dengan rupa manusia, bertanya kepada Felix dengan nada yang santun. Dia pun berjalan perlahan di belakang Felix, tak memiliki keberanian untuk bersanding di samping tuannya.
Felix terkekeh kecil. Jubahnya yang sewarna biru malam melambai dengan lembut dan menyapu tanah, menciptakan noda cokelat samar di sudut pakaiannya. "Karena itu terasa cukup menyenangkan."
"Apa maksud Tuan?"
Monster dengan wujud manusia itu benar-benar menyerupai manusia. Tubuh dan wajahnya, identik dengan ras manusia. Akan tetapi, apabila tak melihat sebuah tanduk di kepala kanannya, serta taring runcing di sela-sela giginya, monster itu pasti sudah bisa dikatakan sebagai seorang manusia. Terlebih, pupil berwarna kuning yang menyerupai reptil, membuat sosoknya terlihat bagaikan kucing ganas.
"Eden."
Bahkan seorang monster yang dikatakan bodoh sehingga digelari tak memiliki otak, memiliki nama.
"Ya, Tuan."
Felix tersenyum miring. "Bukankah sangat menyenangkan melihat sorot keputusasaan anak itu?"
Senyuman Eden mengembang. Terlepas dari statusnya sebagai seorang monster yang seharusnya tak mampu berpikir, Eden cukup istimewa dibandingkan dengan monster hibrida yang memiliki rupa abstrak.
Seorang monster, seharusnya tak melawan hukum kaidah alam apabila mereka tak seharusnya memiliki kecerdasan, tak dapat memproses suatu hal, serta menganggap seluruh mahkluk hidup sebagai makanan, bahkan kanibalisme mungkin untuk terjadi. Akan tetapi, berbeda dengan Eden, seorang monster istimewa yang dapat berpikir dan mengendalikan hawa nafsunya.
"Tuan, saya berada di pihak Anda," sambung Eden. "Sorot keputusasaan seorang manusia sangat memuaskan kami."
Felix tak menjawab, hanya mendengus ringan.
"Tuan, biarkan saya berdiri di samping Anda untuk melihat sorot itu lebih banyak lagi."
"Tentu, Eden. Bukankah akan ada sebuah rencana yang begitu mendebarkan di masa yang akan datang?"
Langkah Felix terhenti, membuat Eden pula harus berdiri di belakang sang tuan.
"Saya sangat menantikan rencana itu, Tuan. Sebuah perang. Sebuah perang yang akan terlukis di dalam lembar sejarah manusia, bahwa para monster, untuk pertama kalinya akan menguasai tanah manusia."
Mendengar kalimat Eden membuat senyuman Felix di bibirnya melebar, dadanya pula mulai dipenuhi oleh rasa antusiasme yang meledak-ledak.
***
Pusing ngga baca dialog Pixy itu harus italic? Soalnya suara Pixy itu cuma bisa didenger sama Kelith dan Ian doang, jadi ga kayak kita lagi ngomong, kan ada suaranya ya di udara tuh, kalau Pixy beda lagi, dia ngomongnya ke otak kita langsung. Makanya aku pake italic buat dialog Pixy.
18/12/23