Replaying Us

By kianirasa

609K 54.6K 5.7K

Athalia Sharafina menyukai Narado Risyad dalam diam selama bertahun-tahun. Tapi tidak pernah menyatakannya b... More

Bagian Satu : Nyata atau Ilusi?
Bagian Dua: Menuju Masa Lalu
Bagian Tiga: Malaikat dan Donat
Bagian Empat: Ide Yang Buruk
Bagian Lima: Obrolan dan Rencana Menetap
Bagian Enam: Pengakuan, Kesepakatan
Bagian Tujuh: Seragam Putih Abu-abu Lagi
Bagian Delapan: Tidak Terlalu Buruk
Bagian Sembilan: Memalukan
Bagian Sepuluh: Mendadak Galau
Bagian Sebelas: Cinta Segitiga atau Segi Empat?
Bagian Dua Belas: Berbahaya
Bagian Tiga Belas: Dia-lo-gue
Bagian Empat Belas: Bolos Sekolah
Bagian Lima Belas: Semakin Dalam
Bagian Enam Belas: Curhatan dan Sepatu?
Bagian Tujuh Belas: Dalam Gelap
Bagian Delapan Belas: Diluar Dugaan
Bagian Sembilan Belas: Sekali pun Dalam Mimpi
Bagian Dua Puluh Satu: Penguntit, Menguntit
Bagian Dua Puluh Dua: Debaran dan Rasa
Bagian Dua Puluh Tiga: Begitu Berarti
Bagian Dua Puluh Empat: Bisa Jadi
Bagian Dua Puluh Lima: Kebenaran, Ungkapan, dan Perasaan
Bagian Dua Puluh Enam: Pertemuan Pertama
Bagian Dua Puluh Tujuh: Virus Cinta
Bagian Dua Puluh Delapan: Bimbang
Bagian Dua Puluh Sembilan: Tidak Lama Lagi
Bagian Tiga Puluh: Pertama Yang Abadi
[EKSTRA]: Dalam Ingatan
EPILOG
PEMBERITAHUAN

Bagian Dua Puluh: Getaran Aneh

14.9K 1.5K 121
By kianirasa

A/N: wordsnya nggak nanggung, 4000+ mudah-mudahan aja pada suka.. hope u love it!
P.s: di play dong lagunya hehe
-sav

==

Bagian Dua Puluh: Getaran Aneh.

==

Kariza menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu kamarnya usai bersiap lebih dahulu. Dia hendak berangkat ke Arena, tempat pertandingan boxingnya diadakan. "Kariza Tarazio, lo harus menang hari ini." ucapnya pada diri sendiri. Sedang berusaha mengumpulkan keyakinan.

Begitu membenarkan selempangan tasnya dan menuruni beberapa anak tangga, langkahnya terhenti. Kariza memutar kedua mata hazelnya dan membalikkan badan. Kakinya melangkah ke depan pintu kamar sedang ditumpangi oleh perempuan berambut sebahu dengan poni ala bocahnya. Athalia Sharafina. Entah apa yang membuatnya kemari, tapi tangan Kariza rasanya gatal untuk membuka pintu kamarnya sejak terbangun tadi pagi.

Semalam, Kariza tertidur diatas sofa ruang keluarga. Televisi bahkan masih menyala. Dan seingat dia, dia tidak memakai selimut apa pun―namun ajaibnya begitu terbangun paginya Kariza mendapati tubuhnya dibalut selimut hangat dan televisi sudah mati. Kalau Diana, Mamanya, pasti akan langsung membangunkannya dan mengusir Kariza ke kamar. Sama halnya dengan Erik, Papanya.

Maka dapat disimpulkan, pelaku utamanya adalah Atha. Orang yang ditungguinya pulang semalam. Bahkan sampai Kariza sesekali ke teras rumah, sekedar melihat tanda-tanda kepulangannya.

Tangan kanannya terkepal, terangkat di udara untuk mengetuk pintu. Tapi detik selanjutnya, Kariza menghentikan niatnya lalu mengacak rambutnya. Dia merasa aneh sejak terbangun tadi pagi. Walau begitu, setelah labil beberapa saat, Kariza akhirnya memilih memutar kenop pintu yang ternyata tidak dikunci.

Pemuda itu berjalan masuk dengan alis yang bertaut tinggi. Menyadari si pemakai kamar masih bergelung nyaman didalam selimutnya meski matahari sudah bersinar terang diluar sana. Kariza melangkah mendekat dan berdecak pelan. "Kebo." ejeknya.

Tanpa sepengetahuannya, Faust memperhatikan Kariza dari ujung kepala hingga kaki sambil melipat kedua tangan di dada. Makhluk itu melayang turun ke bawah dan menapakkan kakinya di lantai. Memutuskan untuk mengawasi lebih lanjut.

"Bangun woi, udah siang." ucap Kariza. Menyentuh pipi kiri Atha dengan ujung telunjuknya pelan. Kalau melihat perempuan itu tertidur seperti ini, Kariza rasanya ingin tertawa. Saat tertidur mulut Atha seperempat terbuka sementara kedua tangannya terlentang ke kedua sisinya. Layaknya seorang bocah. "Lo nggak mau dukung gue apa pas tanding?biar gue bisa jalan sama Nanda, dan terserah deh lo apain tuh si Nara."

Tidak mendapat respon apa pun―mata hazel Kariza teralih pada sebuah benda bertali yang dipegang Atha erat di tangan kanannya. Sontak membuat rasa penasaran Kariza mencuat ke permukaan.

Dia menjulurkan tangannya, meraih benda tersebut. Merebutnya perlahan sambil sesekali melirik Atha. Berusaha untuk tidak memperhatikannya―tapi yang ada Atha tiba-tiba saja menarik tangannya, menyebabkan Kariza hampir jatuh menindihnya. Untunglah, hal itu tidak terjadi karena dengan cepat Kariza menahan tubuhnya menggunakan sebelah tangan.Namun demikian, kini dia bisa merasakan jarak yang terpaut antara wajahnya dengan Atha kelewat dekat.

Saking dekatnya, Kariza bisa merasakan hembusan napas teraturnya. Dan seolah waktu terhenti, Kariza harus dengan susah payah mengambil napasnya. Tubuhnya mendadak bereaksi aneh dengan segala perasaan campur aduk mengikuti. Kariza menggelengkan kepalanya lalu menyelesaikam apa yang menjadi tujuannya. Dia mengambil benda yang ternyata adalah sebuah kalung itu. Kalung dengan batu berwarna merah sebagai pendannya.

Kariza membenarkan posisinya dan menyipitkan mata. Memperhatikan kalung tersebut dengan seksama. "Kalung dari siapa nih?"

Suara decitan pintu yang kembali terbuka memecahkan lamunan singkatnya. Kariza secara spontanitas memasukkan kalung tersebut kedalam saku celana selututnya, selagi Diana menongolkan diri dari balik daun pintu. Wajahnya nampak bingung saat melihat Kariza berdiri dengan kikuk di dekat kasur Atha. Bukan hanya Kariza yang terlihat kaget dengan kehadiran Diana yang terbilang tiba-tiba, Faust pun juga sama.

"Loh, kamu belum berangkat?"

"Mama sama Papa belum berangkat?" Kariza bertanya balik.

Diana tertawa pelan saat Kariza justri menanyakannya balik. Wanita setengah baya itu mengulum senyum. "Ini mau pamit berangkat sama Atha. Kirain kamu udah pergi. Mumpung kamu belum pergi kenapa nggak ajak Atha nonton tandingnya aja?" usulan Diana langsung ditolak oleh Kariza dengan gelengan kepala. Kedengarannya bukan ide yang bagus.

"Mama aja bangunin dia. Riza berangkat duluan ya, Ma."

》》》

Sabtu pagi menuju siang Atha di masa lalu diawali dengan kerusuhan. Perempuan bermata coklat itu kelihatan frustasi setelah tidak berhasil menemukan kalung yang diberikan Nara semalam. Sampai Atha sudah membongkar kasurnya. Dia mengacak rambutnya pelan dan untuk yang kesekian kalinya menoleh kearah Faust.

"Lo beneran nggak ngelihat kalungnya?" tanyanya lagi untuk yang ke seribu kalinya sejak terbangun setengah jam lalu.

Dengan napas berat Faust lagi-lagi menjawabnya dengan gelengan kepala. Berpura-pura tuli dan memilih untuk tidak memberitahu Atha bahwa kalung pemberian Nara sekarang tengah dibawa oleh Kariza.

Meskipun begitu, Atha tetap bisa mengendus bau-bau kebohongan yang sengaja ditutupi Faust. Tapi dia sendiri tidak begitu yakin apakah makhluk itu berbohong atau tidak. Wajah datar dan tenang Faust sama sekali tak terbaca.

"Udahlah, nanti saja kubantu carikan pulangnya. Mending sekarang kita berangkat." balas Faust yang pada akhirnya mengakhiri aktivitas mencari Atha.

Atha beranjak turun dari kasur lalu mengambil tas ransel kecilnya―namun pandangannya terhenti pada seragam atasan SMA yang dipakainya kemarin. Dia tiba-tiba teringat sesuatu dan wajah Irina yang muncul dalam ingatannya pun menjawabnya. "Ah iya, Irina kemarin nitip sesuatu buat Kariza." ucapnya sambil merogoh kantung seragamnya, mengeluarkan sebuah benda yang ternyata adalah makanan.

Permen.

"Permen?" Atha mengucapkannya dengan tidak yakin. Seolah dia baru saja salah ambil. Tapi ketika dirogoh kembali, Atha tidak menemukan apa pun selain satu buah permen rasa jeruk tersebut. Mengendikkan bahu, akhirnya Atha memasukkannya kedalam tas.

"Oh iya." dia meraih gantungan kunci buzz lightyear yang didapatkannya dari Nara dan memakaikannya pada resleting ranselnya sambil mengulum senyum. "Selesai. Bagus nggak?"

Faust hanya manggut-manggut. Atha memutar kedua matanya melihat reaksi Faust yang terlihat tidak peduli. Memilih tidak terlalu memikirkannya, Atha pun membalikkan badan dan berjalan pergi menuruni tangga. Rumah sudah sepi sejak Diana dan Erik pamit padanya untuk pergi ke rumah Bibi Kariza, Jilan, kalau tidak salah namanya.

"Faust." Atha memanggil makhluk itu setelah keduanya mulai berjalan keluar dari kompleks perumahan. Sejak keluar rumah, Faust mengekorinya dengan terbang di sisi Atha―dia terlihat sangat lucu karena mengubah dirinya lebih dulu menjadi ukuran seekor peri. Ditambah lagi, pendar biru di sekujur tubuhnya yang memikat.

"Mm?"

"Gue nggak tahu jalannya."

Faust mengerem sayapnya mendadak dan dengan berat hati menghela napas. Makhluk itu berkacak pinggang lalu memutar badan menghadap Atha. Iris matanya yang hitam kelihatan besar dan menggemaskan menatap Atha lekat. "Yah, apa boleh buat." ucap Faust kemudian menjentikkan jarinya dan boom! dia berubah kembali ke ukuran normal. Faust membentangkan sepasang sayap hitamnya lebar dan mulai melayang di udara lagi―kali ini makhluk itu mengulurkan sebelah tangannya.

"Pegang tangan aku, Athalia."

Atha meneguk ludahnya lalu menutup mata. Dia menerima uluran Faust dengan ragu. Namun dalam sekejap Faust menariknya, merengkuhnya dalam pelukan yang tidak terlalu erat sebelum terbang tinggi di langit.

Ini seperti saat pertama kali Atha datang ke masa lalu bersama Faust. Makhluk itu memeluknya agar Atha tidak terjatuh ke bawah.

"Faust, emangnya kalau kayak gini nggak bisa dilihat orang ya?" Atha bertanya sementara memberanikan matanya melihat ke bawah. Beberapa orang mondar-mandir di bawah sana, ada juga sejumlah cidomo dan kendaraan bermotor lain.

"Nggak. Selama kamu pegangan, nggak akan kelihatan." jawabnya.

"Maksudnya?kok bisa gitu?"

"Pendarku. Pendarku yang membuat kamu nggak kasat mata."

Atha mengangguk mengerti. Saat diperhatikan, dia seolah baru sadar kalau selama Atha memegangi Faust―pendar biru milik makhluk itu pun ikut bersinar disekujur tubuh Atha. Membuatnya berdecak kagum.

Tidak sampai berapa menit setelahnya, Faust sudah mendaratkan keduanya di belakang sebuah gedung yang cukup besar. Cat dindingnya berwarna kehijauan. Lain dengan kendaraan darat, memakai Faust sebagai kendaraan darurat adalah pilihan yang terbaik mengatasi keterlambatan. Mungkin motor akan kalah pamor bila disandingkan dengan Faust.

Usai mengebas celana jeansnya, Atha menoleh kearah Faust dan tersenyum. "Makasih."

Faust mengangguk dan lagi-lagi menjentikkan jarinya. Mengubah wujudnya ke ukuran mungil lagi. Membuat Atha gemas.

"Yaampun, lo mending nggak usah balik ke wujud asli lo deh Faust. Kayak gini lebih bagus. Kenapa nggak dari dulu aja?" celoteh Atha yang disambut cibiran oleh Faust.

Bibir makhluk bersayap itu mengerucut. "Kamu menghinaku ya?lagipula ini terpaksa, karena aku nggak mau ditembus lautan manusia."

"Emangnya sakit?"

"Nggak. Tapi tetap terasa, kalau untukku." balas Faust lagi. "Udah. Ayo masuk."

》》》

Hal yang menyambut Atha ketika menyelinap masuk dari pintu belakang gedung adalah kamar ganti peserta tanding boxing. Beberapa pemuda yang memiliki tubuh atletis keluar-masuk dari pintu berwarna coklat beberapa meter di depannya. Hampir membuat Atha terkena serangan jantung. Yang mengejutkan lagi, Nara baru saja keluar dari sana. Memperlihatkan bisep atletisnya dari balik kaos kutang berwarna merahnya. Penyeban utama Atha mengidap asma mendadak.

"Berlebihan. Lebay." oceh Faust. Dengan angkuhnya melipat kedua tangan di dada. Ukurannya yang mini membuat Atha lebih menganggap reaksi makhluk itu terlihat lucu ketimbang menyebalkan. Jadi, alih-alih mengoceh balik, Atha hanya mencubit sebelah pipi Faust keras. Membuat dia meringis kesakitan.

Atha melirik papan penunjuk arah di sisi kanannya. Gambar toilet wanita seolah jadi penyelamat Atha.

"Faust, gue ke toilet dulu." kemudian, Atha pun segera ngacir menuju toilet. Faust mengekori di belakangnya dengan santai, dia bahkan bersiul pelan.

Memasuki toilet sambil tersengal-sengal, Atha mendapat berbagai tatapan aneh dari pengunjung toilet. Perempuan itu menggigit bibir bawahnya lalu mengusap belakang lehernya canggung seiring berjalan menuju ke depan kaca. Mematut dirinya di cermin. Berantakan.

Atha menggerutu kesal karena rambutnya seakan menyaingi medusa―ini semua efek samping dari meminta tebengan kepada Faust. Omong-omong soal Faust, mata coklat Atha dibuat melotot kaget melihat makhluk itu menyusulnya masuk kedalam toilet dan berdiri di sampingnya.

"Ngapain lo ikutan masuk?!" Atha berbisik dengan penuh penekanan. Faust sendiri hanya mengangkat sebelah alisnya tinggi.

"Emangnya nggak boleh?"

"Ini toilet perempuan!" Atha spontan menutup mulutnya. Merutuki perbuatannya sendiri. Ucapannya kelewat kencang sehingga lagi-lagi menarik perhatian beberapa pasang mata.

"Tapi aku bukan perempuan." jawab Faust, polos.

"Justru itu!"

"Aku juga bukan laki-laki."

Kali ini, malah Atha yang mengerutkan dahi bingung.

"Aku bukan manusia. Ingat?" sambung Faust. Pada akhirnya dia pun ikut bercermin.

Atha memutar kedua matanya malas dan mengendikkan bahu. Mengambil sisirnya dari tas kemudian menyisir rambutnya, menatanya hingga rapi. Detik selanjutnya, yang Atha tahu, satu sosok familiar keluar dari salah satu bilik toilet perempuan. Dia memperhatikannya melalui pantulan dari cermin.

Menyadari diperhatikan, orang tersebut menatap Atha balik dan menyungging senyum. Berjalan mendekatinya. "Hai, Tha."

"Hai, Nanda." Atha menyapanya balik sambil mengulum senyum ramah. Namun itu semua hilang pada detik saat pandangan Atha jatuh pada kalung familiar yang dikenakan Nanda. Walau warnanya berbeda, tapi serupa.

"Sendiri aja kesininya?"

Atha spontan membuang pandangannya dan memutar keran hingga air mengucur. "Iya, lo?"

Faust memperhatikan raut Atha dengan seksama.

"Nara. Dia maksa sih." ujar Nanda, setengah curhat. "Tapi lumayan sih, dia bilang kalau hari ini menang, dia bakal traktir pizza." sambungnya.

Atha memaksakan senyum kecilnya. "Ooh bagus dong."

Bohong. Atha merutuki dirinya sendiri yang selalu seperti ini. Bahkan saat Nara menaksir Irina di masa depan pun, reaksi Atha juga sama saja.

"Kalungnya dari siapa Nan?" Atha kembali bertanya setelah mengeringkan tangannya di mesin pengering.

Nanda menundukkan kepalanya, sebelah tangannya memegang kalung yang terkait dilehernya. Dia pun tertawa. "Nara. Bagus nggak sih?"

"Bagus kok."

Atha menutup matanya sejenak. Dia mengambil napas dalam-dalam. Merasa paru-parunya membutuhkan oksigen lebih supaya Atha tetap bisa bertahan hidup. Sebelah tangannya terkepal, alisnya bertaut ragu.

Nara memberikannya kalung yang sama dengan Nanda. Hanya berbeda warna. Apa artinya?

Mendadak Atha sedikit lega karena kalung yang diberikan Nara lenyap entah kemana. Pasalnya, Atha berniat memakainya hari ini.

Faust menyolek sebelah pundaknya. Menyadarkan Atha yang berjalan lunglai keluar toilet setelah sebelumnya pamit lebih dulu pada Nanda. Beberapa kali perempuan itu hampir menabrak orang-orang yang berjalan dari arah berlawanan. Berkali-kali juga dia mendapat teguran.

"Atha hati-ha―"

Atha meringis pelan. Merasakan dahinya terbentur sesuatu yang keras. Rupanya dia baru saja menabrak dinding di depannya karena berjalan tanpa repot memperhatikan sekelilingnya. Detik berikutnya, Atha merasakan sepasang tangan memegangi bahunya. Memutarkan badannya menghadap ke sisi lain.

"Ck. Tuh kan, makanya jalan yang benar."

Suara menyebalkan Kariza membuat Atha mendongakkan kepala. Pemuda bermata hazel itu memasang wajah datarnya selagi keringat bercucuran dari dahinya. Sebuah handuk kecil berwarna ungu diletakkan di bahu kirinya. "Woi." panggilnya.

Atha berdecak pelan. "Apa?"

Kariza sedikit membungkukkan badannya. Mata hazelnya mengunci mata coklat Atha. "Nih ya, Athalia, kalau jalan pakai mata yang disini," dia mengangkat jari telunjuk dan tengahnya―menunjuk pada kedua mata Atha. "Bukan mata batin." sambungnya.

Atha mengangkat kedua bahunya dan berniat berjalan pergi sesaat setelah Kariza kembali berdiri tegak. Namun dengan cepat pemuda itu menahannya. "Mau kemana?"

"Cari Nara."

"Nara lagi tanding." balas Kariza, membuat Atha mendelik dan ingin segera beranjak pergi dari sana. Perempuan itu berusaha menyingkirkan tangan Kariza dari lengannya. "Eits, tunggu dulu."

"Ja, apaan lagi sih?"

Kariza merogoh saku celananya. Berniat menyerahkan kalung milik Atha yang diam-diam dicurinya tadi pagi―namun ketika melihat kondisi mood Atha yang sekarang, Kariza memasukkannya kembali kedalam saku dan menggeleng. "Nggak. Gue cuman mau nanya, lo bangun jam berapa sih?gue selesai tanding baru datang. Final nanti lo harus nonton ya. Dukung gue." ujarnya.

"Nggak jelas." gumam Atha. Dengan sekali sentakkan, dia menyingkirkan tangan Kariza dan berlalu pergi.

"Tha, final habis ini. Jangan lupa dukung gue!" teriak Kariza dari belakangnya. Suaranya bergema di lorong yang cukup luas namun sepi ini. Atha sendiri tidak tahu bagaimana dia bisa berada disana.

Dalam diam, Faust yang terbang disisinya hanya memperhatikan Atha melalui ekor mata.

》》》

Sorakan dan teriakan riuh memenuhi ruangan. Gerombolan manusia mengerumuni sekeliling ring tinju yang hanya diisi oleh dua orang pemuda yang mengenakan kostum dengan warna berbeda. Rupanya penonton lebih banyak dari yang Atha perkirakan. Mungkin karena pesertanya tidak hanya dari satu sekolah saja. Atha berjalan mendekati kerumunan, meski begitu dia tidak.mungkin menembus hingga barisan terdepan.

"Nara tim merah." ucapan Faust yang terbilang dadakan sontak membuat Atha menyipitkan mata. Memperhatikan wajah dari kedua petinju yang sedang saling meninju tersebut seksama. Bibirnya sumringah melihat Nara berdiri disana―walau pipi kiri bagian atasnya lebam dan sedikit berdarah.

Atha meneguk ludah. Terbesat dibenaknya untuk meneriaki Nara, namun dia ragu. Lagipula seumur-umur Atha tidak pernah berbuat seperti itu di depan umum. Sejak dulu Atha bukan sosok yang periang atau seseorang yang pandai membuat lelucon ―dia lebih menyukai kesendirian dan suasana damai. Karena itu pula Atha menjadi pendiam.

"Atha." Faust mendaratkan tubuh kecilnya lalu duduk di bahu sebelah kanan Atha. "Lakukan aja apa yang ingin kamu lakuin. Selagi kamu masih disini, masih bisa bertemu Nara." ucapnya. Seakan tahu apa yang sedang dipikirkannya.

Atha melirik Faust dan mengulum bibirnya kedalam. Benar. Kalau bukan sekarang, kapan lagi Atha bisa melihat Nara bertanding seperti ini?

"NARA SEMANGAT!" teriaknya. Begitu melihat sekeliling, Atha mendapati orang-orang disekelilingnya menatap kearahnya. Seketika membuat dia menunduk karena malu.

"Tha, lihat."

Perlahan Atha mengangkat kepalanya. Mata coklatnya melebar saat melihat Nara meninju cepat lawannya hingga pemuda berpakaian biru itu jatuh tergeletak di lantai. Sesaat setelahnya, wasit menghentikan pertandingan, dan mengangkat sebelah tangan Nara tinggi di udara. Pemuda dengan rambut yang berantakan dan wajah lebam-lebam itu pun menyeringai lebar. Mata coklatnya bertemu dengan Atha, membuat perempuan itu mematung di tempat.

"Yo. Makasih." dua kata singkat itu lah yang Atha dapatkan dari gerakan bibir Nara. Meski dia mengucapkannya tanpa suara. Beberapa menit kemudian Nara pun turun dari ring―disambut sorakan riuh dari para pendukungnya. Yang tidak lain dan tidak bukan adalah teman-temannya sendiri.

Nara mengusap kepalanya dengan handuk kering yang diberikan temannya. Satu diantara temannya menarik perhatian Atha. Wajah tampan berketurunan Arab itu nampak familiar―saat diingat-ingat pipi Atha memerah. Itu pemuda yang sama yang memergoki Atha ketika sedang mengikuti Nara ke studio. Pemuda yang juga Atha peloroti celananya tanpa disengaja. Atha menepuk kedua pipinya. Panik sendiri.

Diantara sekian banyak orang, mengapa harus ada dia?Atha bahkan belum minta maaf soal kejadian tersebut.

Tangan seseorang menepuk bahu kirinya ―membuat Atha menoleh kearah kiri dan mengerutkan dahi bingung karena tidak mendapati siapa-siapa. Saat menghadap ke depan, jantungnya dikejutkan oleh jarak wajah Nara yang terlalu dekat. Rambutnya yang di cat pirang kelihatan berantakan, tapi senyum yang memperlihatkan kedua lesung pipitnya tetap membuatnya menawan. "Oi."

Atha berkedip cepat setelah sadar kalau dia menahan napasnya untuk beberapa detik. Dia pun mengulurkan sebelah tangannya, menjauhkan wajah Nara sejauh mungkin. "Jangan dekat-dekat." ucapnya.

Nara menaikkan sebelah alisnya, memasang wajah juteknya. "Nggak ada juga sih yang mau dekat sama lu." balasnya lalu menjulurkan lidahnya keluar. Bertingkah seperti bocah berusia lima tahun.

Atha berdecak sebal. Saat ingin angkat bicara, mulutnya terhenti karena melihat arah mata Nara yang sudah berpaling kearah lain. Dan saat Atha ikut menoleh ke belakang―Nanda.

Nanda tersenyum kecil dari jauh sambil melambaikan tangannya. Menatap Atha dan Nara bergantian. Di sisi kanannya berdiri Salsa yang tersenyum lebar dan terlihat tanpa Irina mengekori hari ini, selagi sisi kirinya diisi dua orang perempuan yang kelihatannya anggota klub tenis.

"Ah." Nara menoleh pada Atha lagi. Mata coklatnya turun, dari wajah Atha ke lehernya. Dia memiringkan kepala. "Lo nggak pakai kalungnya ya?" tanyanya.

Atha spontan memegang lehernya dan mengalihkan pandangan dengan canggung. "Mm, nggak cocok di gue." ucapnya, beralasan.

Nara mengangkat tangan kanannya. Menangkup kedua pipi Atha―memaksa dia menatapnya. "Masa sih?padahal menurut gue warna merah cocok buat lo kok." Nara membalas dan mengakhirinya dengan mengacak puncak kepala Atha.

Kini, Atha bisa merasakan pipinya yang terbakar. Darahnya berdesir sementara detak jantungnya memompa lebih cepat.

"Oi, nggak kesana?"

Atha menggeleng menyadari Nara sudah mengambil selangkah lebih maju darinya. Dia baru ingat ketika melihat Salsa―Atha masih ada tugas yang harus diselesaikan dengan Kariza. "Lo duluan aja, gue ada urusan."

》》》

Kariza sedang meneguk habis botol air mineralnya usai membelinya dari mesin minuman terdekat yang disediakan di bagian belakang gedung saat Atha tiba-tiba muncul. Mengagetkannya, membuat Kariza hampir mengeluarkan isi mulutnya ke lantai. "Lo ngagetin gue aja sih." gerutunya, sesaat setelahnya.

Atha mengendikkan bahu lalu menunjuk bangku panjang yang kosong di sisi lain dinding. "Duduk disitu."

Tanpa banyak protes, Kariza menuruti kemauan Atha. Dengan wajah bete dia duduk diatas bangku―disebelah Atha sambil menekuk sebelah kakinya ke samping. Menopangnya dengan kaki yang satunya.

"Apaan?"

Atha merogoh saku jeansnya lalu mengulurkan tangan. "Nih. Dari Irina." jawab Atha dengan cepat.

Kariza mengerutkan dahi saat mendengar nama yang disebut Atha. Pemuda itu mengulurkan tangan dan menerima permen rasa jeruk tersebut. "Permen?" dia bertanya pada Atha.

Yang ditanya tentu hanya bisa menggeleng. Sama-sama tidak mengerti.

Setelah satu menit berlalu pun Kariza beranjak berdiri. Membuka bungkus permennya, membuangnya ke tong sampah terdekat kemudian memakannya dengan senyuman manis. Senyuman yang kelihatannya bukan senyum tebar pesona dia yang biasanya.

Senyuman yang kelihatannya merupakan senyuman tulus seorang Kariza.

"Kenapa sih lo?"

Kariza meliriknya. "Kepo." jawabnya lalu berjalan pergi. Meninggalkan Atha sendirian bersama Faust yang sejak tadi hanya diam membisu.

》》》

Salsa menjulurkan tangan kanannya sambil tersenyum. Memecah lamunan Atha yang tengah berdiam diri, menatap kosong kearah Nanda dan Nara yang sibuk mengobrol beberapa meter di depannya. "Jangan galau, Tha." ujar Salsa.

Atha menoleh dan menerima smoothies stroberi yang dititipkannya pada Salsa beberapa menit lalu.

"Siapa yang galau?"

"Lo."

Atha menyeruput smoothiesnya. Dia menghela napas panjang setelahnya.

"Gue tahu lo suka sama Nara." ucap Salsa tiba-tiba. Mengagetkan Atha.

Perempuan berambut sebahu itu memiringkan kepalanya, menatap Salsa dalam diam.

Membaca raut wajah Atha yang jelas-jelas heran, Salsa pun tertawa pelan. "Dari awal kelihatan tahu―lagian menurut gue, Nara cocok kok sama lo. Dan Nanda, dia nggak kelihatan suka sama Nara lebih dari teman, seharusnya lo nggak usah khawatir." tambahnya.

Kalau bukan Nara, lantas siapa?Kariza?

Memilih untuk mengganti topik pembicaraan, Atha berdeham pelan. "Irina kenapa hari ini nggak datang?"

"Dia ada acara lain. Makanya minta tolong lo kasih permennya ke Kariza," teringat sesuatu, Salsa menatapnya. "udah dikasih belom?"

Atha mengangguk.

"Lo pasti heran ya, kenapa permen?"

Ah. Nampaknya Salsa ahli dalam membaca pikiran Atha. Dia bahkan tidak harus repot bertanya padanya.

Menundukkan kepalanya, Salsa mengedarkan pandangannya ke sekeliling lalu mendekatkan mulutnya ke telinga Atha. "Kejadiannya waktu acara sekolah tahun lalu. Irina sekelas sama Kariza juga, dan mereka berdua wakilin kelas buat fashion contest―tapi karena Irina gugup, lo tahu apa yang Kariza lakuin?dia kasih Irina permen. Bilang kalau itu semacam good luck charm dari dia. Permennya juga sama kayak yang Irina titipin ke lo buat Kariza." jelasnya panjang, mendengarnya tentu membuat Atha takjub tidak percaya.

Kariza yang itu?yang menyebalkan itu―bisa menjadi semanis itu? Atha dibuat menahan tawa karenanya.

"Kalau gue jadi lo. Gue mungkin lebih milih buat jatuh cinta sama Kariza daripada Nara. Kayaknya gue juga pernah bilang gitu kan ya, ke lo?"

Perkataan Salsa yang terakhir membuat Atha tenggelam dalam dunia kecilnya sendiri, hingga tersadar ketika Nanda menghampiri keduanya―dibelakangnya mengekori dua orang temannya. Perempuan bermata kehijauan itu tersenyum.

"Berdirinya barisan depan yuk. Finalnya Nara lawan Kariza." ucapnya yang mendapat reaksi pelototan kaget dari Atha.

》》》

Dia tidak menyangka kalau perkataan Nanda bukan omong kosong belaka. Atha pikir, karena Nara dan Kariza mewakili sekolah―keduanya tidak akan bertemu atau melawan satu sama lain diatas ring meski nyatanya mimpi buruk itu terjadi. Keduanya bertarung, bahkan kini sudah memasuki ronde akhir.

Atha sesekali harus membuang pandangannya ke tempat lain. Nara yang berpihak pada tim merah meninju Kariza keras hingga dia terpental ke pinggir ring. Kariza mengelap sudut bibirnya dengan pinggiran sarung tangannya―matanya terlihat lelah. Sementara Nara tetap siap siaga di tempatnya, menunggu Kariza menyerangnya lebih dulu.

Detik berikutnya, terlintas wajah Kariza saat meminta dukungannya beberapa jam yang lalu. Atha baru ingat kalau saja Nara memenangkan pertandingan, maka dia akan kencan dengan Nanda hari minggu besok―tujuan Atha saat ini seharusnya mendukung Kariza, menyemangatinya agar menang. Seperti yang dilakukan Salsa disebelahnya dan beberapa perempuan lainnya.

Atha melirik Nanda. Dia hanya diam saja sejak pertandingan di mulai.

"Ka..KARIZA!lo harus menang!" teriak Atha. Dari sudut mata, Kariza diam-diam meliriknya. Perlahan pemuda itu bangkit dan berjalan kearah Nara, sekali lagi dia melayangkan tinju padanya. Tapi Nara berhasil menghindar, alih-alih Nara malah meninju Kariza hingga dia jatuh tersungkur. Mengakhiri ronde terakhir sebagai pemenang.

Napas Atha tertahan saat melihat tim medis menaiki ring tinju. Membantu Kariza berdiri dan menyingkir darisana. Membawa pemuda itu ke ruangan lain yang ada di sisi lain gedung.

"Yaampun, Kariza." ujar Salsa sambil menggigit jari panik. Kelihatan khawatir.

Atha mengulum bibirnya kedalam dan mendesah pelan. Bimbang antara harus menemui Nara lebih dulu atau Kariza.

"Tunggu apaan?sana temuin Nara." suruh Faust sambil mengendikkan dagunya. Menunjuk kearah Nara yang tengah mengobrol di samping ring dengan beberapa temannya.

Menggelengkan kepala, Atha justru berlari kecil kearah yang berlawanan. "Kali ini, gue nggak bisa Faust."balasnya

"Mau kemana Tha?" Salsa bertanya dengan setengah berteriak dari belakangnya.

Atha hanya melambaikan tangan sebagai isyarat pada Salsa agar dia menunggunya disana. Tetap di tempat. Selagi Atha berlari kecil, untuk menemui Kariza.

Ya. Kariza Tarazio.

Tanpa Atha sadari, jauh disana, dua pasang mata memperhatikannya. Salah satunya milik Nara, dan satunya milik Nanda.

》》》

Atha melengos, napasnya tersengal-sengal akibat berlari. Ketika sampai di depan sebuah ruang bertuliskan infirmary, dia menghentikan langkahnya, mengintip kedalam dan menghela napas lega saat menemukan Kariza yang sedang diolesi obat merah oleh seorang suster. Kaki pemuda itu berselonjor, sementara dia duduk di pinggir kasur sambil meringis.

Usai memantapkan diri, Atha pun membuka pintu. Mengalihkan perhatian dua manusia di dalamnya.

"Kari." panggilnya sambil menghampiri Kariza. Menatapnya dari ujung kepala hingga kaki. "Lo nggak apa-apa kan?"

"Nggak." Kariza mendongakkan kepalanya, menatap Atha setelah suster muda itu berlalu pergi menuju lemari. "Gue nggak baik-baik aja." sambungnya.

Atha mengangkat sebelah alisnya.

"Gue kalah, jadi nggak bakal baik-baik aja."

Senyum tipis terkulum di bibir Atha. Menyadari sosok lain dari Kariza kini berada di hadapannya. "Lo payah sih." candaan garing Atha dibalas tatapan sinis dari Kariza.

"Udah lo sana deh, mood gue tambah jelek ngelihat muka lo yang jelek." ujar Kariza setelahnya.

"Dih ngambek. Bocah." ejek Atha.

Dia pun membalikkan badan dan berlalu keluar ruangan. Sengaja menutup pintu dengan agak keras. Atha jadi sedikit menyesal karena mengkhawatirkan Kariza yang nampaknya baik-baik saja.Kelihatannya dia hanya kesal karena kalah dari Nara. Well, tipikal Kariza.

"Nan, gue nggak terima tolakan dari lo. Sesuai janji lo, karena gue menang hari ini, lo harus nge-date sama gue besok." suara Nara membuat Atha mengintip ke balik dinding. Faust yang terbang diatas kepalanya pun juga melakukan hal yang sama.

Disana berdiri Nara dan Nanda. Pemuda bermata coklat itu menyodorkan sebuah tiket―tiket masuk taman hiburan Neverland.

Ketukan sepatu dibelakang Atha pun terdengar semakin jelas seiring langkah kakinya mendekat, berhenti tepat dibelakang Atha.

"Woi."

Kariza. Itu suaranya.

Atha memutuskan untuk diam di tempat. Memilih tidak bereaksi apa pun karena kini
sesuatu di dalam tubuhnya berdenyut. Tenggorokannya tercekat.

Tanpa mengeluarkan suara, Kariza mengambil langkah supaya lebih dekat. Pemuda itu sadar betul apa yang membuat Atha tidak bereaksi ketika dipanggil olehnya―sama halnya Atha, Kariza pun merasakan hal yang sama. Namun dia memilih untuk tidak memperlihatkannya.

Kariza merogoh kalung Atha dari saku celananya. Sebelah tangannya menyingkirkan rambut Atha perlahan sebelum memasangkan kalung tersebut di lehernya.

Dengan meletakkan kedua tangannya diatas bahu Atha, Kariza memutarkan badannya.

"Woi, Athalia Sharafina." panggil Kariza sekali lagi, tangan kirinya menyingkirkan poni Atha.

Lamunan Atha terpecah, dia pun mendongak.

"Kalungnya―cocok buat lo."

Pada detik yang sama, suara Salsa terngiang di kepalanya.

Kalau gue jadi lo, gue mungkin lebih milih buat jatuh cinta sama Kariza daripada Nara.

Andai saja Atha bukan Atha, mungkin saja itu bisa terjadi.Masalahnya karena ini Atha, apa bisa?

Disaat Atha berkutat dalam pikirannya sendiri, Kariza memperhatikannya dengan seksama. Dia pun baru menyadari satu hal aneh yang terjadi pada dirinya sejak terbangun tadi pagi―setiap kali Kariza melihat Atha, dia merasakan ada getaran aneh.[]

==

07:43 pm

A/n: Next chapter secepetnya. Part ini sempet ulang 3 kali, mohon maaf yg udah nunggu. Jangan lupa xinggalin jejak xx

―sav

Copyright © 2015 by saviranc

Continue Reading

You'll Also Like

174K 36.9K 65
[Pemenang Watty Awards 2019 Kategori Mystery & Thriller] Orang bilang Klub Jurnalistik dijuluki "Klub Jurik" karena ruangannya berhantu. Kalau itu be...
2.6K 480 11
SHORT STORY | TAMAT Sayf Fahreez, murid pindahan yang terkenal dengan kemampuan akademik di atas rata-rata, mendapat hukuman untuk merenungi kesalaha...
5.6K 1.5K 24
[Kelas X] Completed Synesthesia yang ia miliki, terus membuatnya tidak bisa hidup dengan tenang. Murid-murid sekolah menjauhinya karena kesalahpahama...
767K 27.9K 50
"Gue tertarik sama cewe yang bikin tattoo lo" Kata gue rugi sih kalau enggak baca! FOLLOW DULU SEBELUM BACA, BEBERAPA PART SERU HANYA AKU TULIS UNTUK...