Semenjak Sera sudah dinyatakan sehat total oleh Ardan. Entah mengapa, suasana di mansion terasa hangat. Hari itu, cahaya matahari menerobos masuk melalui jendela-jendela yang tinggi. Sera dan Ardan dengan langkah ringan berjalan di sepanjang koridor.
Di sepanjang perjalanan, mereka pun bertemu dengan para pelayan yang berkerja di mansion tersebut. Tak hanya sekali atau dua kali. Namun, berulang kali mereka bertemu dengan para pelayan yang mengukir senyum tipis di wajah mereka saat melihat Sera dan Ardan.
Bahkan para pelayan tersebut tak sengaja mendengar suara tawa ringan dan melihat mata mereka yang bertatap satu sama lain. Karena hal itu mulai terbersit di benak mereka bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekedar pertemanan biasa antara Sera dan Ardan.
"Ah, aku bosan." Keluh Sera sembari menyandarkan tubuh pada tembok pembatas.
Dari kejauhan matanya bisa melihat pemandangan kehidupan di luar mansion itu. Seketika terbesit rasa rindu dalam lubuk hatinya saat melihat pemandangan itu.
Ardan yang mendengar keluhan Sera, sontak mengernyitkan keningnya. Selama dia bersama gadis itu, rasanya baru kali ini gadis itu mengatakan bosan.
"Aku ingin keluar." Gumam Sera dengan kedua mata tak lepas dari pemandangan itu.
"Bukankah kau sudah keluar sana ini." Ucap Ardan dengan sebelah alisnya yang sedikit terangkat.
Sera seketika mendelik pada Ardan. "Maksudku, aku ingin kesana." Tunjuk Sera pada sebuah pemandangan di depan sana.
Ardan sontak mengalihkan pandangannya pada sesuatu yang ditunjuk oleh Sera. Terlihat sebuah kota yang ramai dengan aktivitas para penduduk. Ardan yang menatap pemandangan itu hanya menatap datar.
"Dulu saat di kehidupan sebelumnya, meski aku sudah sering kemari. Tapi aku belum pernah jalan-jalan disana. Aku hanya melewati saja." Ardan pun kembali menoleh pada Sera. Menatap gadis itu yang terlihat sedang menghela nafasnya.
"Aku berpergian keluar pun ketika di Imperium Marinos saja. Itupun hanya untuk berbelanja hadiah untuk Lucian. Bukan untuk bersenang-senang. Karena hanya dengan membelikan hadiah untuk Lucian sudah menyenangkan bagiku." Sera seketika tersenyum getir saat mengingat itu.
"Tapi sayangnya walau aku selalu memberikan dia hadiah. Dia tak pernah menerima atau memakainya. Jangankan memakai, untuk sekedar mengucapkan terima kasih pun dia tak pernah." Sambungnya.
Saat memori yang menyakitkan itu kembali menghampirinya. Ia hanya bisa tersenyum getir. Meskipun kejadian itu sebenarnya terjadi di kehidupan sebelumnya. Namun luka itu masih membekas hingga saat ini. Rasa sakit itu tetap terlekat pada jiwa dan tubuhnya.
Mata Sera memandang ke kejauhan. Seolah mencoba menyingkirkan bayang-bayang masa lalu. Namun, kehadiran kenangan yang menyakitkan tak terhindarkan.
Ardan hanya memperhatikan dengan seksama bagaimana Sera berusaha keras untuk menyembunyikan rasa sakitnya. Ekspresi tegar di wajahnya seolah menjadi topeng yang terus dipertahankan oleh gadis itu.
Namun, di balik tatapan perhatian itu, ada sesuatu yang tersirat dalam mata Ardan. Ketika melihat Sera yang berusaha menutupi rasa sakitnya, membuatnya kesal bukan main. Dia seolah tak suka melihat gadis di sampingnya terlihat seperti itu.
Setelah mengetahui semua tentang penderitaan yang dialami gadis itu di kehidupan sebelumnya. Seketika amarah dalam dirinya naik meluap. Rasanya, ia ingin melampiaskan segala kekesalannya pada pria itu.
"Kita kembali saja." Ucap Sera dengan tiba-tiba.
Sera kemudian berjalan mendahului Ardan yang masih terdiam tak berkutik. Ardan sontak menatap jalanan yang ramai dengan aktivitas manusia tersebut dengan datar.
"Ayo, keluar."
Ajakan Ardan yang tiba-tiba membuat Sera seketika menghentikan langkahnya begitu mendengar perkataan Ardan. ia sontak menoleh ke belakang dengan kedua mata yang terbelak sempurna.
"Kau bilang apa?"
Ardan seketika mengalihkan pandangannya pada Sera yang menatapnya terkejut. "Kau bilang ingin kesana. Ayo, kita kesana. Aku akan menemanimu."
Sera sontak mengerjapkan matanya berkali-kali. Lalu mengalihkan pandangannya pada jalanan tersebut. Ia seketika tersenyum kecil.
"Kau lupa, ayah melarangku keluar."
Ardan sontak memutarkan kedua bola matanya dengan malas. "Kau lupa aku punya sihir."
Sera terhenyak. Tak lama ia tersenyum miring. Ardan yang melihat itu hanya mengernyitkan keningnya.
"Ah, Jadi, sekarang kau mengakui jika dirimu seorang penyihir."
Ardan seketika membelak. Gadis ini benar-benar. Dia sontak berdecak kesal. "Terserah kau, saja. Kau ingin keluar atau tidak? Sebelum aku berubah pikiran."
Sera sedikit memiringkan kepalanya. Mencoba mempertimbangkannya. "Baiklah, ayo kesana. Tapi bagaimana caranya kita kesana."
Sera kemudian mengalihkan pandangannya pada gerbang utama yang terlihat di jaga ketat oleh beberapa para kesatria. "Gerbangnya di jaga ketat." Sambungnya.
Ardan sontak mengikuti arah pandang Sera. Lalu Ardan tersenyum miring. "Siapa bilang kita lewat gerbang."
"Hah?"
Sera mengerutkan keningnya bingung. Ardan seketika mengangkat tangan kanannya dengan cepat. Hanya dengan sekali jentikkan jari. Dalam sekejap, mereka berdua berpindah dari koridor mansion ke jalan Armor.
"Selamat datang, ayo kemari rasanya sangat manis."
"Hei, bawa barang itu kemari."
"Silakan, beli apel ini! Harganya murah dan rasanya sangat manis."
Sera memandang sekeliling dengan takjub, hampir tidak percaya dengan apa yang terjadi. Jalan Armor merupakan pusat perbelanjaan rakyat yang ramai di ibukota kekaisaran Emberlyn.
Dia bisa mendengar suara pedagang yang berteriak riuh rendah, menawarkan beragam barang dagangan mereka. Bau wangi rempah dan makanan yang baru memenuhi hidungnya.
Cahaya matahari menyinari jalanan yang ramai, menciptakan bayangan-bayangan di antara para pengunjung yang sibuk.
"Ardan, sebe-"
Saat Sera hendak mengajukan pertanyaan pada Ardan, ia sekali lagi dihadapkan dengan kejutan lain. Entah sejak kapan Ardan mengubah penampilannya.
"Sejak kapan kau merubah penampilanmu?" Sera mengerutkan keningnya bingung.
Ardan hanya memiringkan sedikit kepalanya. "Penampilanmu pun sudah berubah sejak tadi."
Sera tak bisa menyembunyikan kekagetannya saat melihat dirinya sendiri. Gaunnya kini telah berubah menjadi pakaian yang lebih sederhana yang membuatnya bergerak leluasa.
"Apa? Sejak kapan penampilanku berubah." Tanya Sera seraya memeriksa penampilannya
Ardan melihat kebingungan Sera hanya tersenyum tipis. "Kita tak mungkin berkeliling dengan penampilan seperti tadi."
Ardan kemudian melangkah terlebih dahulu, mendahului Sera. Sera yang masih terkejut seketika menyadari jika Ardan sudah berjalan terlebih dahulu.
"Ardan!"
Dengan cepat Sera melontarkan seruan panggilan pada Ardan. Ardan yang mendengar hanya tersenyum kecil. Seraya tetap melanjutkan langkah kakinya.
"Aish." Umpat Sera. Ia kemudian berlari sekuat tenaga mengejar langkah panjang yang diambil oleh Pria itu.
"Tidak bisakah kau berjalan pelan-pelan? Aku lelah terus-menerus menyesuaikan langkahku dengan langkahmu," desah Sera dengan napas terengah-engah.
Ardan hanya melemparkan pandangan singkat pada Sera yang memandangnya dengan ekspresi tajam. "Ya, baiklah." ujar Ardan akhirnya.
Dia akhirnya memperlambat langkahnya. Memungkinkan agar kaki Sera untuk menyesuaikan dengan langkahnya yang besar. Mereka berjalan beriringan, menyelusuri jalan Armor yang penuh dengan kehidupan dan aktivitas para rakyat kekaisaran.
Sesaat, Sera hampir saja menabrak seseorang karena terlalu terfokus pada pikirannya sendiri. Ia tak begitu memperhatikan sekelilingnya dengan seksama. Namun, untung saja, dengan sigap Ardan segera menarik pergelangan tangan Sera.
"Ck, kau harus benar-benar berhati-hati saat berjalan," tegur Ardan dengan pandangan yang tajam.
Sera hanya terkekeh kecil sebagai tanggapan. "Baik, baik, aku minta maaf," ucap Sera dengan nada lembut dan ringan.
Saat senyum itu muncul di wajah Sera dengan mata bersinar dengan kilau keceriaan. Ardan yang melihat itu seketika terpaku. Sayangnya, Ardan segera mengalihkan pandangannya ke arah lain.
"Ayo, jalan kembali." Ucap Ardan sembari meninggalkan Sera.
"Kenapa kau sering meninggalkanku?!" Teriak Sera tak terima.
Ardan tak menjawab pertanyaan Sera. Kakinya terus melangkah tangan kanannya seketika menutup hidung dan mulutnya. Sial, ada apa dengan dirinya.
"Tunggu, aku!"
Di sepanjang jalan, terkadang Ardan menatap Sera yang terus-menerus mengeluarkan decak kagum saat mereka menyelusuri jalanan tersebut. Entah mengapa rasanya menyenangkan saat berjalan dengan gadis di sampingnya ini.
*****
Namratsr | Na