Replaying Us

By kianirasa

609K 54.6K 5.7K

Athalia Sharafina menyukai Narado Risyad dalam diam selama bertahun-tahun. Tapi tidak pernah menyatakannya b... More

Bagian Satu : Nyata atau Ilusi?
Bagian Dua: Menuju Masa Lalu
Bagian Tiga: Malaikat dan Donat
Bagian Empat: Ide Yang Buruk
Bagian Lima: Obrolan dan Rencana Menetap
Bagian Enam: Pengakuan, Kesepakatan
Bagian Tujuh: Seragam Putih Abu-abu Lagi
Bagian Delapan: Tidak Terlalu Buruk
Bagian Sembilan: Memalukan
Bagian Sepuluh: Mendadak Galau
Bagian Sebelas: Cinta Segitiga atau Segi Empat?
Bagian Dua Belas: Berbahaya
Bagian Tiga Belas: Dia-lo-gue
Bagian Empat Belas: Bolos Sekolah
Bagian Lima Belas: Semakin Dalam
Bagian Enam Belas: Curhatan dan Sepatu?
Bagian Tujuh Belas: Dalam Gelap
Bagian Delapan Belas: Diluar Dugaan
Bagian Dua Puluh: Getaran Aneh
Bagian Dua Puluh Satu: Penguntit, Menguntit
Bagian Dua Puluh Dua: Debaran dan Rasa
Bagian Dua Puluh Tiga: Begitu Berarti
Bagian Dua Puluh Empat: Bisa Jadi
Bagian Dua Puluh Lima: Kebenaran, Ungkapan, dan Perasaan
Bagian Dua Puluh Enam: Pertemuan Pertama
Bagian Dua Puluh Tujuh: Virus Cinta
Bagian Dua Puluh Delapan: Bimbang
Bagian Dua Puluh Sembilan: Tidak Lama Lagi
Bagian Tiga Puluh: Pertama Yang Abadi
[EKSTRA]: Dalam Ingatan
EPILOG
PEMBERITAHUAN

Bagian Sembilan Belas: Sekali pun Dalam Mimpi

13.5K 1.4K 187
By kianirasa

==

Bagian Sembilan Belas: Sekali pun Dalam Mimpi.

==

"Gue suka sama lo."

Atha mematung. Otaknya perlahan mencerna perkataan pemuda bermata hazel di depannya sambil menatapnya seakan dia gila. Pada akhirnya, Kariza pun diam dan menggigit bibir bawahnya. Tanpa berkata apa pun, dia membuang muka kemudian memasang helmnya.

"A-apa lo bilang?" tanya Atha sesaat setelahnya. Dia menunjuk kearah Kariza dengan mata yang membelalak kaget.

Yang ditanya pun hanya berdecak pelan―menghela napas dengan berat hati sebelum mengacak rambutnya dan menoleh menghadap Atha. "Lo..nggak ngerasain apa-apa?deg-degan gitu misalnya?" dia bertanya balik. Membuat Atha terheran-heran.

Daripada menjawab, Atha malah menggeleng cepat.

"Padahal gue yakin banget hari ini gue lagi ganteng." Kariza menutup kedua matanya dan mengepalkan kedua tangannya yang berada diatas speedometer vespanya. "Benar. Masalahnya karena ini lo. Seorang Atha." gumamnya pelan.

Makin nggak jelas aja deh ini manusia, batin Atha. Melipat kedua tangannya di dada, Atha menarik sebelah sudut bibirnya lalu menatap Kariza malas. "Ada apa dengan gue?"

"Lo."

"Apa?"

"Lo, Athalia Sharafina."

"Apa sih Ja, ngomong yang jelas."

Kariza mendengus kesal. "Gue lagi latihan nembak Nanda kalau misalnya gue menang tanding boxing besok."

"Ooh jadi gue kelinci percobaannya?" Atha bertanya seraya menaikkan badannya ke bagian belakang motor kemudian memegangi erat bahu Kariza.

"Ya, kurang lebih."

"Kariza―lo salah memilih kelinci percobaan." Atha berdecak. "Gue kan nggak suka sama lo." sambungnya.

Kariza menginjak pedal gas motornya, menjalankannya keluar parkiran motor. "Terus gue harus pilih siapa?" tanyanya lagi.

Atha berpikir sejenak. "Irina. Gue jamin dia bakal memberikan respon yang lo inginkan."

Pemuda bermata hazel itu meliriknya melalui kaca spion, memasang raut bete. "Lo cocok kerja di biro jodoh kayaknya, Tha." tuturnya yang dihadiahi pukulan pelan di atas helmnya oleh Atha.

"Kariza, mau tahu nggak―kenapa Nanda nggak suka sama lo?"

Kariza yang sedang menyetir motor vespanya mengangkat tangan kanannya ke udara, menyebabkan Atha hampir menjerit karena Kariza hampir saja menabrakkan motornya ke cidomo yang melintas dari arah berlawanan."KARIZA!"

Kariza meminggirkan motornya. "Telinga gue mau pecah dengar suara cempreng lo."

"Jantung gue mau berhenti ngelihat kelakuan lo!" teriak Atha sekali lagi.

"Gini Tha," Kariza menarik napas dalam-dalam. "Kita ada di posisi yang sama. Sama-sama suka doi, tapi nasib kurang berpihak sama kita. Makanya―seharusnya kita kompak, saling kerja sama, namanya simbiosis mutualisme. Jadi lo jangan menjatuhkan harapan gue dengan bilang Nanda nggak suka gue. Nembak dia aja belom." cerocosnya panjang lebar. Dia pun kembali menjalankan motornya. Keduanya pun melanjutkan perjalanan menuju rumah. Atau lebih tepatnya, rumah Kariza Tarazio.

》》》

Atha memeluk erat bantalnya sambil sesekali menenggelamkan kepalanya disana. Tepat beberapa menit setelah dia memasuki kamar dan berganti baju―kasur adalah tempat pertama yang dia tuju. Sementara, di lain sisi, Faust duduk di pinggirannya. Turut memperhatikan tingkah Atha yang sedang bermalas-malasan diatas kasur.

"Kamu mulai magang hari ini kan?" tanya makhluk bersayap hitam tersebut. Mengubah posisinya dengan berbaring disamping Atha, meski dia sendiri sepertinya terlalu sibuk dalam pikirannya hingga Faust tidak yakin kalau Atha sadar akan kehadirannya. "Jam berapa shift nya?"

Perempuan berponi itu menopang dagunya memakai kedua telapak tangan, menoleh ke kiri sambil menautkan alis. "Hah?―" Atha melirik jarum jam. "Oh iya! magang!" ujarnya sambil menepuk dahi. Menanggapinya, Faust lalu memutar kedua bola matanya dan menguap lebar.

Dengan gerakan super cepat, Atha beranjak turun dari kasur. Mengambil beberapa pakaian dari dalam lemari di ujung ruangan kemudian berlari kecil memasuki kamar mandi di dalam kamar untuk mengganti kaos oblongnya yang kedodoran. Kalau saja Faust tidak mengingatkannya, Atha mungkin akan menghabiskan sisa harinya dengan berleyeh-leyeh diatas kasur.

"Duh, untung lo ingat Faust, makasih." ucap Atha, usai selesai mengganti bajunya dan memasukkan barang-barang yang diperlukannya kedalam sebuah tas kecil bermotif bunga. Tas yang dimunculkan Faust dengan sihirnya beberapa detik lalu. "Makasih juga tasnya." tambahnya yang lalu diangguki makhluk itu.

Suara gonggongan anjing yang terdengar saat Atha sibuk berkaca demi menguncir rambutnya, otomatis mengalihkan perhatiannya kearah jendela. Tidak ketinggalan Faust yang baru saja membuka halaman pertama majalah berdebu yang ditaruh di deretan rak buku. Keduanya pun saling menatap dan sama-sama mengendikkan bahu.

"Anjing siapa tuh?"

Faust menggeleng. Tidak ada ide mengenai jawaban dari pertanyaan Atha. Namun setelah diingat-ingat, suaranya gonggongannya terdengar familiar. Dibanding membaca majalah berdebu, Faust pun memilih mendekati jendela. Mengintip sedikit ke halaman depan rumah Kariza. Benar saja, disana ada si penghuni rumah dan seekor anjing golden retrievernya―Kariza tengah berjongkok sambil mengusap-usap bulu anjing tersebut diselingi tawa pelan yang keluar dari mulutnya.

"Peliharaannya Kariza yang waktu itu." ucap Faust setelahnya. Selesai menguncir rambutnya serta menyisakan beberapa helainya―menyisipkannya di belakang telinga, Atha ikut-ikutan mengintip melalui jendela ke bawah. Dan sepertinya karena sadar diperhatikan oleh dua makhluk yang berbeda jenis, Kariza mengangkat kepalanya. Mata hazelnya langsung manangkap sosok Atha meski ada tirai berwarna merah menghalangi. Dengan ekspresi jutek, Kariza mengayunkan tangan kanannya di udara. Menyuruhnya kebawah tanpa suara.

Atha mendengus kesal lalu memakai jaketnya untuk menutupi pakaian seragam pegawai minimarket. Tempat magangnya mulai hari ini―well, mungkin hanya untuk dua hari kedepan. Sebelum benar-benar pergi menuruni tangga, Atha yang baru saja membuka pintu menengok kebelakang. Memperhatikan Faust yang entah sejak kapan sudah menutup wajahnya dengan majalah berdebu yang sama, yang sejak tadi membuatnya tertarik.

"Lo nggak mau ikut gue, Faust?" tanya Atha.

Faust menggeleng. "Ada banyak hal yang harus kulakukan." tolaknya halus.

Atha berdecak. "Hal apaan? baca majalah? nonton televisi?" timpalnya dan berlalu pergi.

Berjalan menuruni tangga serta melewati ruang keluarga rupanya membuat Diana yang sejak tadi menonton acara berita di televisi sambil mengemil keripik singkong bertaut bingung saat melihat Atha berpakaian rapih. "Mau pergi, Tha?" suara lembut Diana ketika bertanya mau tak mau menghentikan langkahnya.

"Eh, iya Tan. Aku mau ke rumah teman." bohongnya sambil menyeringai.

Omong-omong soal bohong, Kariza tiba-tiba saja berjalan memasuki ruang keluarga dengan rambut yang berantakan. Meski tetap membuatnya terlihat keren. "Bohong tuh Ma, mau dugem dia." sahutnya seraya merenggangkan tangannya di udara.

Atha mendelik.

Diana hanya tertawa pelan mendengarnya. Tidak terlalu menghiraukan perkataan Kariza. "Sampai jam berapa Tha?" tanyanya lagi.

"Malam mungkin."

Mengerti, Diana pun mengangguk dan meraih remot televisi. Mengganti-ganti salurannya, mencari sesuatu yang lebih menarik ketimbang acara berita ulangan tadi pagi. Tidak langsung pergi, Kariza yang sejak tadi masih berdiri di tempat yang sama pun kemudian meraih pergelangan Atha. Menariknya keluar rumah dan berdiri dengan angkuh di teras rumah sambil menatap tajam kearahnya.

"Sebelum pergi, mandiin Pero dulu." suruhnya dengan nada yang menyebalkan. Membuat Atha berniat melemparkan sesuatu ke wajah tampannya―supaya wajah yang dibangga-banggakannya itu hilang sudah. Kariza menunjuk kearah anjing yang berukuran cukup besar, berlari mondar-mandir mengejar seekor kupu-kupu di halaman rumah.

"Lo lah, peliharannya siapa?" Atha menyuruh balik. Yang ternyata justru membuat Kariza geram sendiri.

"Kalau gue bisa gue nggak bakal nyuruh lo ya."

"Lagian perasaan, kemarin-kemarin peliharaan lo nggak ada disini. Kenapa tiba-tiba ada lagi?" ujar Atha yang ujungnya mengekori Kariza dari belakang. Pemuda bermata hazel itu meraih anjingnya, memeluknya, dan mengangkatnya.

"Gue titipin dia di rumah saudara, kalau disini―gue jarang ada waktu buat ajak dia jalan-jalan. Dan gue juga nggak bisa mandiin dia. Biasanya gue bawa ke toko hewan gitu, sedangkan hari ini tokonya tutup." penjelasan singkat Kariza membungkam mulut Atha. "Bantuin gue lah."

Atha menghela napas untuk yang kesekian kalinya hari ini. Walau menolak sekali pun, Kariza tetap saja akan bersikeras memaksanya. Bahkan, sebelum Atha berkata iya pun, Kariza sudah menyiapkan ember yang terisi penuh dengan air dan sabun khusus anjing tidak lupa juga sikatnya.

"Jadi," Kariza menyerahkan sikat dan embernya yang sudah terisi kearah Atha, setelah menurunkan kembali peliharaannya. "Nih tolong mandiin dia. Yang bersih ya." lanjutnya diikuti seringaian iblis khasnya.

Kali ini Atha memutuskan untuk mengalah dengan terpaksa. Kalau tidak begitu―waktu yang dihabiskannya hanya untuk berdebat dengan Kariza akan membuatnya terlambat magang. Jadi dengan menggulung lengan jaketnya sampai siku, Atha menarik napas dalam-dalam dan mulai berjongkok. Lain halnya dengan Kariza, dia malah duduk di kursi santai yang ada di teras. Melipat kedua tangannya di belakang kepala sebagai senderan sambil memejamkan mata.

Gigi Atha bergemeletuk saking kesalnya. Cukup ditambahkan kedua tanduk diatas kepalanya, Kariza akan benar-benar terlihat seperti iblis.

Atha mengambil sikatnya dan menyisir bulu anjingnya dengan cepat sementara Pero sibuk mencoba menjilati pipinya.

"Heh, Kari." panggil Atha seraya beranjak berdiri beberapa menit setelahnya. Berkacak pinggang dan membalikkan badan, menatap galak Kariza yang masih dalam posisi sama. "Gue juga ada urusan kali. Lo sini kek, belajar mandiin peliharaan lo sendiri." tambahnya.

Merasa tidak ditanggapi sang pemilik anjing, Atha berdecak lalu menghampiri Kariza. Menarik sebelah kakinya yang berselonjor santai diatas kursi. Mengganggu ketenangannya.

"Eh buset. Santai dong bos." omel Kariza dengan raut menjengkelkan.

Atha tidak menghiraukannya. Dia segera menyeret Kariza lalu menyerahkan ember dan sikatnya. "Nih ya Kakak Kariza, sekarang lo pegang dulu sikatnya. Gosoknya jangan keras-keras." ucapnya.

Kariza meliriknya tajam kemudian memutuskan untuk berjongkok. Memilih tidak membantah. Dia menggosokkan sikatnya pelan pada Pero selagi Atha menyeringai puas sambil melipat kedua tangannya di dada. "Yang bersih ya, jangan lupa." tambah Atha, memakai intonasi persis seperti Kariza beberapa saat yang lalu.

Dia berdecak lalu tiba-tiba menyipratkan sedikit air yang ada di dalam ember kearah Atha. Membuatnya menjerit karena jaketnya baru saja terkena cipratan air sabun. "KARIZA TARAZIO!"

Kariza menarik kedua sudut bibirnya keatas, membentuk seringaian iblisnya. "Aduh, kena ya?yah basah deh." tuturnya. Atha hendak meninju lengan pemuda itu ketika tangan Kariza menghentikannya. Dia mengacungkan jari telunjuknya, menggoyakannya di udara sambil menatap Atha lekat. "Eits, jangan kasar dong mba."

Atha mendengus dan menatap jam dipergelangan tangannya. Mata coklatnya terbelalak kaget melihat jarum jam yang hampir menunjukkan pukul lima. Dengan gerakan cepat Atha membenarkan tas selempangannya. "Gue pergi dulu."

"Eh eh kemana?" tanya Kariza, setengah berteriak, dari kejauhan.

"Kepo." jawab Atha.

"WOI SERIUSAN."

Atha memutar badan, menjulurkan lidahnya dan pergi berlalu begitu saja. Meninggalkan Kariza yang bercucuran keringat selagi memandikan Pero―anjing berbulu keemasan itu terlihat tidak bisa diam jika berada di sekitarnya.

》》》

Atha memasuki minimarket sambil meneguk ludahnya dengan susah payah. Entah kenapa, tapi dia merasa gugup karena ini kali pertamanya dia magang. Berhubung kedua orang tuanya selalu menentang setiap kali Atha meminta agar dibolehkan magang. Saat masuk, Rasta―pemuda yang sama, yang kemarin berada di bilik kasir saat Nara dan dia datang―langsung menyambutnya dengan senyuman lebar.

"Oh Athalia kan?" tanyanya sedikit ragu.

Atha mengangguk mengiyakan. "Lo shift hari ini juga?"

Rasta menggeleng dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Gue datang karena kemarin ada yang ketinggalan. Hari ini temen shift lo bukan gue." jawabnya.

Atha mengangkat sebelah alisnya tinggi. "Siapa?"

"Isyad. Temen shift lo. Tuh." Rasta mengendikkan dagu kearah seorang pemuda bertopi yang sedang sibuk menaruh beberapa barang diatas rak. "Syad, Syad!" panggilnya.

Yang dipanggil menoleh namun dengan cepat membuang mukanya ketika sadar keberadaan Atha disana. Berdiri di dekat Rasta. Atha menyipitkan matanya, menyadari sesuatu yang aneh pada wajah pemuda bertopi tersebut. "Siapa namanya, Rasta?"

"Isyad."

"Ooh." balas Atha. Setelahnya, dia membuka jaket di ruang ganti dan kembali menghampiri Rasta yang baru saja selesai melayani pelanggan. Pemuda yang kelihatan beberapa tahun lebih tua darinya itu tersenyum mendapati Atha lagi-lagi berdiri di depannya.

"Jadi, sekarang, gue ngapain?" tanya Atha.

Rasta mengusap dagunya. "Lo jadi kasir. Tapi bisa bantu-bantu Isyad masukkin barang ke rak nggak? banyak tuh barangnya. Kasihan juga dia."

Atha mengangguk mengerti lalu menghampiri pemuda bernama Isyad yang sejak tadi gerak-geriknya terasa aneh. Terlebih, dia sesekali merapatkan topinya dan berusaha supaya tidak bertemu pandang dengan Atha.

"Isyad kan ya?"

Dia mengangguk.

"Mm, gue disuruh bantuin lo sama Rasta. Lo bisa kasih tahu yang mana yang harus gue taruh di rak?"

Isyad tidak bersuara. Dia hanya memberikan beberapa barang pada Atha kemudian menunjuk sebuah rak di bagian atas yang masih kosong. Mau tak mau memaksa Atha yang kurang tinggi untuk berjinjit.

"Ting―gi bange...aduu duh." Atha mengaduh keras saat barang yang ingin ditaruhnya justru mengenai kepalanya. Jatuh berantakan keatas lantai dan menimbulkan bunyi yang memekakkan telinga. Meski begitu, untung lah Atha tidak terjerembab jatuh kebawah. Tangan Isyad melingkar di pinggangnya, membuat Atha deg-degan entah kenapa. Ditambah lagi, deru napasnya yang cepat langsung mengenai permukaan kulit lehernya.

"Ada apa?kenapa..." pertanyaan dari mulut Rasta terhenti. Dan disaat yang sama pula Atha menyadari sosok yang wajahnya hanya berjarak beberapa senti darinya. Mata coklat yang sama yang sejak dulu dikaguminya.

Atha melirik kebawah lantai, topi berwarna merah yang sejak tadi dipakai Isyad untuk menutupi wajahnya terpental jatuh. Membuat Atha bisa melihat keseluruhan wajahnya.

"Isyad?" gumam Atha. "Narado Risyad?"

Yang ditanya pun lalu berdeham kecil. Pada detik itu pula, Atha mengetahui kalau dia tidak sekedar berimajinasi. Isyad adalah Nara. Narado Risyad.

Tapi mengapa dia ada disini?

》》》

"Kenapa dunia sempit banget sih?" ujar Nara, satu menit setelah keduanya keluar dari minimarket. Berganti shift dengan Ben, mahasiswa baru yang mencoba mencari biaya hidup sendiri. Langit sudah gelap ketika keduanya berjalan berdampingan meski dengan jarak yang terpaut sedikit jauh.

Atha memasukkan kedua tangannya kedalam saku jaket lalu menarik sudut bibirnya keatas. "Namanya, takdir. Dimana-mana dunia kan luas." timpalnya.

Nara berdecak sebal. "Harusnya gue tahu kenapa dari kemarin firasat gue nggak enak." racaunya.

Atha mengerutkan dahi dan tertawa pelan. Sesaat setelah Atha menyadari kalau Isyad―nama yang diberikan Rasta pada Nara―adalah seorang Nara, pemuda dengan rambut yang dicat pirang itu segera memohon padanya untuk mengunci mulut supaya tidak memberitahu siapa pun yang ada di sekolah. Well, sejujurnya, itu merupakan salah satu hal teraneh yang pernah Atha lihat dari diri Nara.

Setahunya, Nara tidak pernah mau repot-repot magang demi mendapatkan sesuatu. Kondisi finansial keluarganya yang mapan adalah salah satu faktornya.

"Lo nggak bawa motor atau apa gitu Nar?"

"Kan dekat sama rumah gue."

"Ooh."

"Tapi kenapa deh, lo magang?" Atha bertanya karena penasaran.

"Lo sendiri kenapa?"

Atha mengulum bibirnya kedalam. Skak mat. Dia tidak bisa menjawab apa pun karena tidak satu pun alasan terlintas dipikirannya.

Saat itulah, kemudian, Nara mencibir. "Nanya orang tapi pas ditanya diam."

Nara merenggangkan tubuhnya dan menguap kecil. Langit pulau gili saat jam segini terlihat indah. Dan karena ini bukan perkotaan, Atha bisa melihat dengan jelas bintang yang bertaburan di angkasa. Terlihat semakin indah dengan bulan purnama berada diantaranya.

Nara menjawabnya pun dengan santai. "Sebenarnya, gue mau ajak Nanda nge-date hari minggu nanti.Kalau misalnya gue menang tanding boxing sih." jawabnya.

Mendengarnya cukup membuat Atha sakit hati. Namun rupanya perkataan Faust yang kemarin-kemarin itu benar. Nara akan nge-date dengan Nanda. Sepertinya Faust tipikal makhluk yang tahu segalanya yang akan terjadi hanya saja menutup rapat mulutnya.

"Ooh. Date dimana?"

Mendapat pertanyaan baru dari Atha. Nara malah terdiam kemudian memalingkan wajahnya kesamping sementara telapak tangan kirinya menutupi mulutnya. Membikin Atha semakin penasaran. Semburat merah pun mulai kelihatan samar-samar di pipi Nara. Meski pemuda itu tetap berusaha terlihat keren. Untuk menutupinya, Nara bahkan sengaja terbatuk dan memincingkan mata tajam pada Atha.

"K-e-p-o. Kepo."

Atha berdecak. "Paling kemana sih?restoran?bioskop?..pantai?"

"Neverland." jawabnya cepat. Nara pun kembali melangkahkan kakinya.

"Hah?Neverland-nya peter pan?"

Nara memutar kedua matanya. "Bukan. Itu loh, yang kemarin, taman hiburan."

Atha mengerjapkan matanya cepat. "Kenapa kesana?" Kan itu tempat gue sama lo bolos kemarin. Gue sama lo, tambahnya dalam hati.

Nara melipat kedua tangannya di belakang kepala. "Karena lo bilang, semua cewek suka kesana. Lagian Nanda sendiri juga bilang pengen kesana kok. Jadinya gue magang buat ngumpulin duit, beli tiketnya dari jauh-jauh hari." Nara menjelaskan panjang lebar.

Atha tidak menanggapi. Dia hanya mendengus kesal hingga suasana kembali hening.

"Lo mau pulang ke rumah?"

"Yaiyalah, kemana lagi?" Atha balik bertanya. Mendadak dia merasa sensitif, padahal sedang tidak datang bulan. Sama sekali seperti bukan Atha.

"Sewot amat. Gue pengen ngajakin lo ke suatu tempat nih, padahal. Mumpung lagi bulan purnama." ucap Nara. Ajakannya terdengar menggiurkan untuk Atha yang tentu ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengannya. Menciptakan kenangan kecil untuk dikenang, sebelum memori tentang Nara benar-benar hilang nantinya.

"Sekarang jam berapa dulu?"

Nara menatap jam di pergelangan tangannya. "Jam tujuh."

"Yaudah, ayok."

Nara menyeringai lebar kemudian menarik pergelangan tangan Atha dengan tiba-tiba. Menariknya ke sebuah tempat yang tidak Atha ketahui keberadaannya sebelumnya.

》》》

"Menang, kalah, menang, kalah, menang, kalah. Kalah. Dih kok cacat deh ini daun." racau Nara yang sejak beberapa saat lalu duduk bersila disebelahnya. Diatas rerumputan hijau. Sementara di depan keduanya terdapat sungai jernih yang kelihatan indah akibat pantulan benda-benda langit di permukaan airnya.

"Lo kuno banget sih. Masa peruntungan lewat jumlah daun. Nggak ngefek kali." timpalnya.

Nara berdecak lalu melemparkan sisa dedaunan di tangannya kearah Atha. Membuat perempuan itu terbatuk pelan karena mulutnya hampir kemasukan daun.

"Ya apa salahnya sih?gue main-main ini."

"Tetap aja. Lo jadi kelihatan idiot gara-gara ngomong sama daun."

Alih-alih menanggapi perkataan Atha, Nara justru meraih beberapa kerikil dan melemparkannya satu per satu ke sungai yang berada di depan mereka. Menimbulkan bunyi percikkan air diantara bisingnya suara jangkrik di malam hari.

"Lo kenapa ajak gue kesini deh?"

"Bosen." jawab Nara diselingi tawa. "Omong-omong mana teman setan lo?ada disini nggak?"

"Dia bukan setan dibilang." ucap Atha yang merujuk pada Faust.

"Haha nggak deng, gue bercanda." Nara memberi jeda. "Sebenarnya emang lagi pengen kesini. Kebetulan ada lo, gue ada yang mau diomongin." lanjutnya.

Atha mulai bisa merasakan darahnya berdesir kembali. Jantungnya pun ikut memompa lebih cepat. "Soal apaan?"

"Lo tahu alasan gue jutek, terutama ke lo?"

Atha menggeleng ragu. "Nggak. Emang―kenapa?"

"Karena dari awal," Nara menarik napas dalam-dalam. Menatap Atha lekat. "Dari detik pertama gue ngelihat lo. Gue merasa lo itu―nggak seharusnya ada disini."

Atha meneguk ludah.

Nara pun melanjutkan. "Awalnya gue juga heran. Tapi rasanya aneh tiap ngelihat lo Tha. Apalagi waktu ngelihat lo ngomong sendirian di belakang waktu itu, kayak paranormal."

Pada perkataan terakhir, tawa Atha pecah. Tawa lepas yang sudah cukup lama tidak didapatkannya dari celotehan Nara.

"Idiot. Gue bukan paranormal atau apa pun yang berhubungan sama mistis. Gue cuman Athalia Sharafina, cewek biasa, teman sebangku lo buat sementara." Atha mengecilkan suaranya ketika mengatakan kata 'sementara', tidak ingin Nara mendengarnya.

"Iya. Gue tahu kok, lo cuman Athalia Shavafina."

"Sharafina." koreksinya.

"Ya apalah. Udahan Tha, pulang. Udah malam nih. Bisa-bisa gue dituduh penculik lagi." Canda Nara. Garing. Dia beranjak berdiri dan mengebas celana jeans yang dikenakannya diikuti Atha.

Ketika keduanya ingin berjalan ke arah yang berlawanan, Nara tiba-tiba angkar bicara. Lebih dulu menahannya. "Eh Tha."

"Mm?" Atha memutar badannya.

"Gue kelupaan," Nara merogoh saku celananya dan menyerahkan sesuatu kepada Atha. "Nih. Nggak usah tanya darimana, pokoknya, ambil aja―bye." sambungnya kemudian pergi berlalu.

Atha menatap benda bertali diatas telapak tangannya. Batu berwarna merah yang menjadi hiasan satu-satunya disana membuat senyumnya terkulum. Ruby. Nara baru saja memberikannya kalung dengan batu ruby yang cantik―walaupun kelihatannya tidak asli tapi hal sederhana seperti ini saja cukup untuk membuat Atha nantinya susah tidur.

Menyadari dirinya sudah terlalu lama berdiri di tempat yang sama dan tersenyum layaknya orang idiot, Atha pun membalikkan badan lagi lalu pergi. Menyusuri jalanan setapak menuju rumah Kariza.

Sesampainya di depan rumah Kariza, Atha segera membuka pagar. Matanya melirik kearah Pero yang kelihatan nyenyak tidur di teras.

"Good night, Pero." bisiknya pelan. Tepat sebelum memasuki rumah.

Suara televisi yang menyala dari ruang keluarga membuat Atha sontak penasaran. Dengan perlahan dia mengintip―agak terkejut ketika melihat Kariza tertidur di sofa depan televisi sambil memeluk bantal. Remot yang semula dipegangnya bahkan perlahan turun, hampir terjatuh ke lantai kalau saja Atha tidak segera menghampirinya. Membenarkan posisi tidur Kariza sambil geleng-geleng kepala.

"Gimana sih lo, nanti sakit gue yang disalahin." Atha bergumam pelan. Setelah celingak-celinguk kesana kemari, Atha pun berinisiatif memakaikan Kariza selimut dengan membawakannya dari laci seberang televisi. Melihat wajah tenangnya saat tertidur seperti sekarang, sama sekali membuat Atha pangling karena Kariza kelihatan seperti dua sosok yang berbeda.

Ibaratnya nih, kalau saat tidur dia bisa berwajah bak malaikat―saat bangun dia bak iblis bertanduk yang hobi cengar-cengir tidak jelas.

"Night, Kariza."

Atha hendak pergi namun pada detik berikutnya, langkahmya terhenti mendengar panggilan Kariza.

"Tha."

Perempuan itu pun menoleh ke belakang. "Lo bangun?kenapa?" tanyanya spontan. Tapi ketika dilihat, Kariza bahkan masih memejamkan matanya.

"Masakan lo tuh gosong. Dasar nggak berbakat. Cewek macam apaan." celoteh Kariza yang ternyata larut dalam mimpinya sendiri. Membuat Atha ikut geram, entah mengapa.

Bahkan dalam mimpi pun, seorang Kariza Tarazio tetap menjadi iblis bertanduk untuk Athalia Sharafina. Ya. Sekali pun dalam mimpi. []

==

20:37

A/N: part ini sebenernya mau dipost kemaren, tapi karena ngantuk banget jadi aku tidur deh. Ini juga lama banget karna berulang kali kutulis terus kuapus gais hehe. Jangan lupa tinggalkan jejak ya xx

Pertanyaan: kalo seandainya nih ya seandainya nara msh hidup di masa depan, kalian lebih ngeship siapa?Kariza-Atha atau Nara-Atha?jujur aja, author sendiri cinta mati sama dua2nya...jadi labil hmm...#ketularanAtha

―sav

Copyright © 2015 by saviranc






Continue Reading

You'll Also Like

Quartam By Rend

Science Fiction

9K 1.2K 39
Langit biru hanya ada di buku dan mungkin di pulau itu, tidak di sini. Tidak ada yang pernah tahu seperti apa indahnya langit seperti itu. Terlahir d...
3.5K 578 13
โˆ†sasuhina "Eum.... Sasuke-san... -panggil Hinata ragu. Sang pemilik nama melirik, terlihat di sana Hinata menunduk meremas ujung pakaiannya. ... -s...
7K 1.1K 47
Juara ketiga dalam The Goosebumps Love yang diadakan oleh @WattpadRomanceID Salah satu kepercayaan menyebutkan kalau arwah manusia yang telah mening...
1.7K 381 60
[A ๐“๐ž๐ž๐ง๐Ÿ๐ข๐œ๐ญ๐ข๐จ๐ง (๐˜๐จ๐ฎ๐ง๐  ๐€๐๐ฎ๐ฅ๐ญ) ๐๐ฌ๐ฒ๐œ๐ก๐จ๐ฅ๐จ๐ ๐ฒ๐œ๐š๐ฅ Story] [๐Œ๐š๐ฌ๐ฎ๐ค ๐๐š๐Ÿ๐ญ๐š๐ซ ๐›๐š๐œ๐š๐š๐ง "๐Š๐ž๐ค๐ฎ๐š๐ญ๐š๐ง ๐–๐š๐ง๐ข๏ฟฝ...