Dengan langit senja yang memerah di cakrawala Grand Duke Ravenscroft akhirnya kembali ke tanah airnya, Imperium Marinos. Perjalanan panjang dan melelahkan telah membawanya dari ibukota.
Di mana dia bertemu dengan Kaisar Arcturus untuk membahas mengenai benda peninggalan Emberlyn. Kudanya yang kuat dan tegap melangkah dengan langkah berirama di atas jalur batu yang mengarah ke gerbang megah Imperium Marinos.
Saat kaki Grand Duke akhirnya menyentuh tanah Imperium setelah perjalanan yang panjang. Dia merenung sejenak rasanya mansion benar-benar sepi tanpa kehadiran kedua anaknya. Dia tahu saat ini Sera sedang dia tugaskan dan Rowan sedang bersekolah di akademik.
Hanya sisa dirinya dengan para pelayan dan kesatria lainnya. Namun, sebelum dia benar-benar bisa mengambil napas. Langkah-langkahnya dihentikan oleh kehadiran Kepala Pelayan Mansions Imperium seorang pria tua yang bijaksana dan setia bernama Willem.
Dengan langkah-hati yang lembut, Willem mendekati Raven dan membungkuk dengan hormat. "Selamat kembali, Yang Mulia," kata Willem dengan suara lembut yang merangkul kehangatan penghormatan. "Kami merindukan kedatangan Anda."
Raven mengangguk rendah. Tanda terima kasihnya terpatri dalam ekspresi seriusnya. "Terima kasih, Willem. Apa kau mendapatkan kabar tentang Sera? Semenjak kepergiannya, aku tak pernah menerima kabarnya."
Willem melirik sejenak ke arah kuda yang masih bernafas berat, lalu memalingkan pandangannya kembali ke Raven. "Yang Mulia, Nona Sera," ucapnya dengan berat. "Telah kembali."
Raven merasa jantungnya berdebar lebih cepat. Sera -putri sulungnya- telah kembali. Kegelisahan dan harapannya bercampur aduk saat dia bertanya, "Bagaimana kabarnya? Apakah dia baik-baik saja?"
Willem mengangguk membuat Raven kelegaan. "Nona baik-baik saja, Yang Mulia. Nona pun berhasil kembali dengan selamat, tanpa ada luka satu pun."
Rasa lega yang mendalam terpancar di wajah Grand Duke. Dengan lembut Willem melanjutkan, "Saat ini, Nona Sera berada di area latihan para kesatria. Beliau ingin kembali berlatih selama, Yang Mulia kembali."
Raven menganggukkan kepalanya. "Biarkan aku sendiri yang menghampirinya." Ucapnya.
Willem memberi hormat lalu sedikit menyingkir, membuka jalan agar tuannya berjalan terlebih dahulu. Raven melanjutkan langkahnya, hatinya penuh dengan kebanggaan dan semangat menyambut kembali Sera. Walau sedikit telat dia mengetahui kabar kembalinya putri sulungnya.
Dengan latar belakang senja yang memancarkan kilauan keemasan Raven berjalan menuju area latihan para kesatria. Suara pedang yang berdenting menciptakan suasana hidup dan penuh semangat.
Di luasnya tempat Latihan yang sering digunakan para kesatrianya. Dia melihat putri sulungnya sedang berlatih seorang diri dengan ditemani pelayan pribadinya yang berdiri di sisi lapangan.
Dia bisa melihat dalam pakaian pelatihan yang sederhana. Sera tampak begitu kuat dan penuh energi mengendalikan pedangnya dengan keahlian yang luar biasa. Dengan senyuman bangga di wajahnya Raven memandang putrinya. Dia merasa benar-benar merasa bangga dan haru saat bisa kembali melihat Sera.
"Sera," panggil Raven dengan suara lembut saat dia mendekati putrinya.
Sera menghentikan latihannya dan membalikkan tubuhnya. Bola mata birunya yang tegas bertemu dengan mata ayahnya. "Ayah."
Raven melangkah lebih dekat dan merangkul putrinya dengan erat. "Aku senang kau kembali. Aku selalu khawatir semenjak kau pergi dari istana. Kau tak pernah memberi kabar apapun pada ayahmu ini. Kupikir kau sudah melupakan ayahmu."
Sera terkekeh dalam pelukan. "Maafkan aku, ayah."
"Sudahlah yang penting kau bisa kembali dengan selamat. Aku sudah sangat bersyukur."
Di tengah area latihan yang hening dalam pelukan ayahnya, Sera merasa hangat dan aman. Akhirnya setelah sebulan lebih ia tak bertemu sang ayah. Ia kembali bertemu dengan ayahnya. Para pelayan berserta para kesatria yang mengawal Raven pun menyaksikan momen penuh haru tersebut.
Dengan pelukan hangat dan penuh cinta, Raven melepaskan diri pelukannya. Dia memandanginya dengan mata yang penuh kasih dan rasa syukur yang mendalam. Setelah perjalanan mencari benda peninggalan yang berbahaya.
Melihat putrinya kembali dengan selamat dan tanpa luka sedikit pun adalah anugerah yang tak ternilai. Raven memberi senyuman penuh pengertian dan menyapu lembut rambut keemasan Sera.
"Kami semua merindukanmu, Nona. Kepulanganmu adalah berita yang sangat kami tunggu." Ucap Aria dengan haru sambil mengusap matanya yang berair. Ucapan yang dilontarkan Aria itupun sontak disetujui para pelayan dan kesatria yang lain.
"Ah, terima kasih sudah menunggu kepulanganku."
Raven yang melihat itupun ikut tersenyum. Namun, rasa bahagia ini belum cukupnya. Dia merasa harus merayakan momen ini dengan cara yang lebih istimewa. Dengan keputusan tegas, dia memutuskan untuk memanggil Willem, kepala pelayan kerajaan yang selalu setia mendampinginya.
"Willem," panggil Grand Duke dengan suara yang tegas namun lembut.
Tak lama kemudian Willem muncul dengan langkah lembut. Dia memberikan hormat pada Grand Duke Ravenscorft dan Sera sebelum berdiri dengan sikap tenang menanti perintah.
Raven menatap Willem. "Willem, aku ingin kita merayakan kepulangan Sera dengan makan malam istimewa. Siapkan segala yang diperlukan untuk menyambutnya kembali ke Imperium Marinos."
Willem mengangguk tunduk, mengerti arti penting dari perintah ini. "Tentu, Yang Mulia. Makan malam akan diatur dengan sebaik-baiknya."
Sera sontak terkejut mendengarnya. "Ayah, kau tak perlu merayakan."
"Tidak, tidak. Kita harus merayakannya. Ayah, akan mengundang seluruh para pelayan serta kesatria untuk merayakan ini semua."
Sera hanya bisa pasrah mendengar perkataan ayahnya. "Kau selalu seperti ini, ayah. Yah, walau begitu. Aku menyayangimu."
*****
Di tengah malam yang sunyi, cahaya gemerlap dari lilin-lilin menghiasi ruangan kerja Lucian. Meja penuh dengan tumpukan buku, gulungan kertas, dan peta-peta yang rumit menjadi pusat perhatian. Tiba-tiba suara ketukan lembut mengganggu ketenangan ruangan.
"Masuklah," ucapnya dengan suara tegas.
Pintu terbuka perlahan, menampilkan seorang Kaelen yang masih mengenakan pakaian yang sama saat siang hari tadi. Dia berjalan dengan langkah tegas dan memasuki ruangan Lucian. Lalu membungkuk memberi hormat dengan sopan.
"Sesuai dengan perintah Anda, Yang Mulia," ucap Kaelen dengan suara tegas namun hormat, "saya mendapatkan informasi mengenai Kesatria wanita Imperium Marinos."
Lucian mengangguk sebagai tanda bahwa dia siap mendengarkan informasi yang disampaikan.
"Imperium Marinos memang memiliki beberapa kesatria wanita dalam pasukan mereka," ungkap Kaelen dengan suara yang terkendali.
Lucian menatap jengah Kaelen. "Kalau itu aku tahu."
Ia pikir akan mendapatkan informasi lebih dari Kaelen. Ternyata sama saja. Sedangkan Kaelen yang mendengar itu sedikit terkejut. Namun, ia kembali merubah raut wajahnya dan tetap menjelaskan informasi yang ia dapatkan.
"Tapi, Yang Mulia" Kaelen melanjutkan dengan nada yang sedikit lebih berat, "Dari beberapa para kesatria wanita itu. Hanya ada satu yang memiliki kemampuan pedang setara dengan seorang swordmaster."
Telinga Lucian terpicu oleh pernyataan tersebut mengerutkan keningnya. Dia merasa ada sesuatu yang menarik di balik informasi ini dan memutuskan untuk mendengarkan lebih lanjut.
"Siapa?" tanya Lucian dengan rasa ingin tahu yang jelas terpancar di matanya.
Kaelen menjawab dengan tegas, "Dia adalah putri sulung dari Grand Duke Ravenscroft, Yang Mulia."
Lucian merenung sejenak, membiarkan informasi tersebut meresap ke dalam pikirannya. "Keahlian pedangnya yang dimiliki oleh Keluarga Grand Duke Ravenscorft secara turun menurun ini. Diturunkan pada putri sulungnya, keahlian pedang yang dimilikinya membuatnya berdiri di barisan terdepan para kesatria wanita di Imperium Marinos." Jelas Kaelen.
"Namun, sayangnya, tak banyak informasi yang bisa saya peroleh mengenai putri sulung Grand Duke." Lanjutnya.
Lucian mengernyitkan kening. Dia mengetahui bahwa Grand Duke Ravenscroft memiliki kebijakan yang ketat dalam membatasi akses informasi tentang keluarganya, terutama putri sulungnya.
"Grand Duke sendiri yang menutupi akses informasi mengenai putri sulungnya, Yang Mulia." tambah Kaelen, memahami kebingungan Lucian. "Keterbatasan ini menyulitkan saya untuk memperoleh lebih banyak informasi mengenai latar belakang dan karakternya."
Ekspresi Lucian menunjukkan bahwa dia mengerti bahwa ada banyak hal yang harus dipecahkan dalam mengumpulkan informasi lebih lanjut tentang putri sulungnya. Jika begini berarti harus ia sendiri yang mencari tahunya.
"Terima kasih, informasimu aku terima. Kau bisa beristirahat sekarang." Putus Lucian.
"Baik, terima kasih banyak, Yang Mulia. Saya ijin pamit undur diri." Kaelen membungkuk hormat sebelum melenggang keluar dari ruangan tersebut.
Setelah Kaelen keluar dari ruangannya. Lucian duduk dalam kesunyian. Mata tajamnya memandang ke arah kosong, merenung dalam keramaian pikirannya. Kaelen telah menyebutkan bahwa hanya ada satu kesatria wanita di Imperium Marinos yang memiliki keahlian pedang setara dengan swordmaster.
Apa mungkin wanita itu yang telah membantunya? Lalu apa wanita itu juga yang ia lihat di puncak gunung waktu itu? Apakah dia memiliki bukti lebih lanjut untuk menguatkan dugaannya?
Namun, sejauh ini semuanya hanya spekulasi. Lucian menghela nafas berat, menyadari bahwa dia butuh bukti lebih kuat untuk mengonfirmasi teori ini. Dia memandang keluar jendela, melihat cahaya bulan yang bersinar lembut di langit malam. Ada begitu banyak hal yang perlu dia pahami dan begitu banyak langkah yang harus dia ambil.
*****
Namratsr | Na