Blue

By Ddiasya

142K 15.8K 2.9K

Saat Hatake Kakashi menolak perintah pernikahan dari Godaime, Sakura harus mencari cara agar pria itu mau mem... More

Prolog
Awal
Misi tingkat A
Hari Pertama
Permainan
Insiden
Kecewa
Jejak
Perjalanan ke Takigakure
Awal Rasa
One Step Closer
Blood
Masalah
Rencana Jahat
Pengumuman
Masa Lalu
Just for fun
Kebangkitan Siluman Naga Berkepala Delapan
Di Ambang Batas
Segel Terakhir
Selongsong Kosong
Daisuki
Rencana yang Menyesatkan
Tanzaku di Ranting Bambu
Malam yang Istimewa
Secuil Ingatan yang Hilang
Pulang
Babak Baru
Q n A
Tidak Ada Judul
I Love You So
Bayang Ketakutan dan Penyesalan
Abu-abu
Menggantung Rasa
Gembok Rasa
Ternyata ia bukan rumah, hanya sekadar tempat singgah
Dinding Rahasia
Batas yang Jelas
Bunga yang Gugur
Dua Wajah Pias
Darah Dalam Tubuh
KLTK (Kenangan Lama Teringat Kembali)
Semangkuk Rasa
Feeling Blue
Darah
Mesin Waktu
I Wanna Love You but I Don't Know How
Setiap Bahu Memiliki Beban
Kemalangan Tanpa Ujung
Sadness and Sorrow
Pulang
Ruang Kesakitan

Hujan Tidak Benar-benar Datang

1.3K 175 47
By Ddiasya


"Dan mereka hidup bahagia selamanya," ujar Sakura menutup buku bersampul biru dengan gambar seorang gadis memakai kimono sutra berwarna merah muda didampingi pemuda tampan memakai hakama hitam.

"Sebenarnya, aku tidak menyukai dongeng semacam ini," balas Taka memperhatikan buku itu.

Sakura mengangkat bahu lemah, kemudian tertawa kecil menyentuh bahu Taka. "Aku juga tidak begitu menyukainya."

Taka mengangguk setuju. "Minami-chan pasti menyukainya. Anak-anak perempuan suka sekali pada cerita putri dan pangeran. Bahagia selamanya, mana ada. Bukankah begitu, Sakura-san?"

Mendengar pendapat Taka, Sakura tercenung. Entah berapa lama ia meninggalkan Taki sampai ia merasa Taka sudah lebih dewasa dari usia sepantaran. Bahagia selamanya hanya kata yang tertera di sampul akhir untuk memberikan kesan ending yang menyenangkan. Alih-alih bahagia, hidup kadang tidak bisa ditebak. Ia yang merasa bahagia beberapa waktu lalu, kemudian hidup membantingnya begitu cepat. Kesedihan terasa datang bertubi-tubi tanpa memberikan jeda untuknya. Bernapas, ambil napas panjang sekarang, Sakura!

"Kita akan mencari buku yang bagus lain kali," kata Sakura memandang Taka yang tengah bergelung dengan selimut tebal sampai dada.

Taka mengangguk. "Mungkin buku yang dimiliki Toru-san waktu itu. Buku bersampul oranye yang selalu ia bawa ke mana-mana. Bahkan ia tidak meminjamkan padaku saat aku merengek ingin membaca halaman depan saja."

Bola mata hijau Sakura melebar seketika, mengumpat pada Kakashi dalam hati. Tentu ia tidak akan pernah mengizinkan Taka membaca buku menjijikkan seperti itu.

"Hahaha," Sakura tertawa kikuk, bingung hendak menjelaskannya, menatap Taka sebentar dan berkata, "kau boleh membacanya saat sudah besar nanti. Oh ya, namanya bukan Toru tapi Hatake Kakashi. Saat bertemu dengannya, kau tidak boleh salah memanggilnya lagi, ya!"

Alis Taka tertarik ke atas, lalu tersenyum lebar. "Apakah aku akan bertemu dengannya lagi? Naruto-san pun, aku juga ingin bertemu dengannya."

Sakura menghembuskan napas panjang. "Mungkin. Sudah malam Taka-kun, sebaiknya kau segera tidur, ya!"

"Oyasumi, Sakura-san."

Sakura menarik selimut yang sudah melorot di perut Taka dan membalas ramah, "Oyasumi, Taka-kun."

Setelah mematikan lampu di kamar Taka, Sakura bergegas menutup pintu geser dan agak terkejut melihat Sora sudah menunggu.

"Taka mungkin belum tidur," ucap Sakura yang menyingkir dari pintu lebih cepat.

Alih-alih masuk ke dalam kamar Taka, tangan Sora menyentuh pergelangan tangan Sakura.

"Mungkin kita bisa minum teh," tawar Sora yang menatap Sakura lebih jeli.

"Uhm ...," tiada sanggup menolak, akhirnya Sakura mengangguk pasrah, "baiklah."

***

Aroma teh yang mengepul membuat Sakura merasa lebih tenang. Rasa daun teh Taki sangat berbeda dengan jenis teh yang acap disajikan di Konoha. Namun, keduanya memiliki rasa yang kuat dengan aroma yang menenangkan. Dua rasa yang berbeda, tapi sama-sama memberikan perasaan yang nyaris meledak di dalam dada. Rasa untuk kembali.

"Taka-kun sangat menyukaimu, Sakura-san," ucap Sora yang mengambil topik lebih dulu saat kediaman melanda di antara dua wanita itu.

"Ia hanya sedikit manja," balas Sakura tersenyum hangat.

"Aku senang bila kau akan tinggal di sini lebih lama," ujar Sora memandang Sakura lagi, "tapi aku tidak yakin."

Sakura menelan ludah gugup. Ia tahu ke mana arah pembicaraan Sora, maka ia berpura-pura fokus pada acara minum teh.

"Kau kehilangan kemampuan mengendalikan kekuatan dengan chakra, tapi kau tidak kehilangan kemampuan medismu. Ramuan penyembuh untuk pemuda itu akan segera siap, kemudian ia akan mendapatkan penglihatannya kembali."

Itu artinya ia berada di ambang kematian atau kehidupan, semua tergantung pada keputusan Sasuke. Pegangan pada tatakan cangkir agak menguat pertanda Sakura telah mengalami kecemasan yang hebat.

"Aku tidak keberatan membantu temanmu untuk segera sembuh, Sakura, tapi ...," jeda Sora menatap Sakura cemas, "bagaimana denganmu?"

Sakura mendongak. "A-aku akan baik-baik saja. Kau tidak perlu cemas, Sora-sama. Kau sudah memberikan tempat tinggal pada kami, itu sudah cukup. Setelah semua selesai, kami akan melanjutkan perjalanan kembali."

Sora menghembuskan napas panjang. "Melahirkan di tempat lain akan sangat berbahaya, Sakura. Apa kau tidak ingin tinggal di sini sampai ia lahir?"

Cangkir keramik itu benar-benar tergelincir lepas dari genggaman, meluberkan air teh yang masih hangat ke mana-mana. Mengacaukan segalanya, termasuk perasaan Sakura. Tentu perutnya yang semakin membesar tidak akan bisa menipu orang yang lebih berpengalaman seperti Sora. Meski ia mengatakan bahwa ia mengalami peningkatan berat badan, Sora tidak akan percaya. Bagi orang-orang yang bisa merasakan chakra, maka janin itu akan lebih mudah terpindai, apalagi ada aliran chakra kuat dari salah satu klan tertua mengalir dalam darahnya.

"Teman atau musuh? Aku hanya ingin memastikannya, Sakura," kata Sora menatap tajam pada Sakura.

"A-aku tidak mengerti maksudmu," sahut Sakura yang merasa genggaman pada cangkir semakin kebas. Bila tidak bisa menjaga kekuatan dengan baik, ia pasti akan tergelincir.

"Desa kami hanya sebuah desa kecil yang ada di Taki. Agak mustahil memastikan ada orang dari luar desa yang datang, kemudian mengenali kalian. Maksudku, kedatanganmu tidak terlapor secara resmi ke penguasa Desa Taki. Mungkin aku hanya terlalu cemas," ucap Sora.

Missing nin, tentu Sakura tidak menyalahkan Sora yang tahu kondisi sebenarnya. Tentu kelompok Sasuke sangat jauh berbeda dengan penampilan shinobi yang tergabung dengan desa resmi. Ya, semua orang mungkin menganggap penampilan Suigetsu lebih mirip ninja bayaran, Sakura bergidik.

"Aku akan baik-baik saja, Sora-sama. Setidaknya sampai salah satu temanku sembuh, kami akan segera melanjutkan perjalanan."

Sora mengernyit saat menelisik jauh pada perubahan wajah Sakura. Ia menyentuh pergelangan tangan Sakura yang dingin.

"Ini memang terdengar tidak sopan, tapi aku bisa merasakan chakranya. Aku bisa melihat bagaimana pemuda berambut hitam itu begitu protektif. Namun, aku tidak bisa melihat kesamaan chakranya," ucap Sora yang semakin membuat Sakura bergetar karena arah pandang ke bagian perut, kemudian wanita bermata hijau sama sepertinya itu melanjutkan, "apa kau benar-benar menolak tawaranku? Sebaiknya kau melahirkan di sini, Sakura. Aku tidak akan melapor ke Konoha. Hanya ingin memastikan kau melahirkan dengan selamat."

Sakura mungkin sedikit terkejut saat Sora mengira Sasuke adalah ayah dari anaknya, tapi kemampuan merasakan chakra wanita itu cukup bagus. Tentu ia mengingat pengalaman saat misi batu giok di Iwa, tentang bagaimana ia berusaha menekan chakra agar tidak bisa dipindai lebih dalam oleh Sora.

"Sakura-san, tetaplah tinggal di sini demi kebaikanmu!"

Ingin sekali Sakura mengiakan permintaan Sora, tapi ia tidak berdaya. Ia membalas pegangan Sora pada punggung tangan kanan dengan sopan.

"Terima kasih, tapi aku akan melahirkan di Konoha, Sora-sama," dustanya.

Ketidakpercayaan itu terlihat jelas, tapi Sora hanya membalas dengan anggukan. "Jika kau membutuhkan sesuatu, aku akan siap membantu."

"Terima kasih," balas Sakura.

"Aku akan menghadiri pelantikan hokage beberapa hari kedepan. Apakah ...," ujar Sora menahan pertanyaan diujung lidah.

Sakura mendongak, tampak kaget sekaligus bingung saat berkata, "Kurasa kami sudah melanjutkan perjalanan saat rombongan kalian tiba di sana."

Sora mengangguk seiring gerakan mengangkat cangkir lebih tinggi dan menyahut lirih, "Oh, aku mengerti."

Mereka menandaskan isi cangkir teh terakhir tanpa kata lagi.

***

Sakura memandang langit kamar dengan perasaan lebih gundah sejak ia menerima undangan Sora dua jam lalu. Teh tidak mengandung kafein terlalu tinggi, tapi ia tetap gagal terlelap. Disingkapnya selimut dengan cepat, lalu ia melipat futon dan meletakkannya di ujung kamar. Dengan langkah pelan untuk meredam suara yang bisa membangunkan penghuni kuil, maka ia bergegas keluar kamar. Dari kejauhan, ia bisa melihat penginapan untuk tamu-tamu yang acap datang ke kuil sudah gelap. Tidak ada lampu yang tersisa yang menandakan semua penghuninya sudah terlelap, kecuali Juugo. Mungkin lelaki bertubuh kekar itu memiliki jam tidur lebih sedikit dibandingkan manusia normal lain.

Ia berjalan menuju ke pinggiran Danau Mashu, mengalihkan perhatian pada patung naga yang memiliki batu giok hijau. Pendar batu itu tampak menyilaukan, membawa angan pada hal yang telah lalu. Pandangan Sakura teralih pada pulau kecil yang ada di tengah Danau dengan tugu peringatan untuk menandai makam Tetsuo dan Yuu yang terisap ke dalam danau bersama Yamata.

Dengan langkah yang hati-hati, ia melangkah dekat ke pinggiran pembatas. Malam itu lebih mendung dan gelap sehingga cahaya bulan tidak mampu menerangi sekitaran danau. Bila tidak ingin terjatuh, maka ia memutuskan berdiri agak jauh. Hanya ingin merasakan kesunyian sekitar danau yang mampu memberikan ketenangan. Rasanya ia memang perlu mengonsumsi obat penenang beberapa waktu terakhir. Tentu ia tidak bisa melakukannya demi janin yang dikandung.

Gadis berambut merah jambu itu mengambil sesuatu dari dalam yukata tidur dan tersenyum memandangi benda mungil di telapak tangan. Ia sempat membuat boneka teru-teru bozu bersama Taka dan Minami petang tadi. Demi menyenangkan anak-anak, ia tertawa kecil. Bukan hanya menyenangkan hati Taka dan Minami saja, tetapi ia ingin menghilangkan semua stress yang melanda. Benda mungil itu mengingatkannya pada kejadian di mansion Iwa yang susah enyah. Sekali lagi, ia memandang pada boneka teru-teru bozu itu. Dengan langkah hati-hati, ia menggantungkannya di salah satu ranting terendah pohon dekat Danau Mashu. Meski Taki memiliki curah hujan yang tinggi, tapi ia ingin hujan datang malam ini.

Setetes air hujan terasa membasahi pundak Sakura, maka ia menengadah. Menyaksikan arakan mendung yang semakin gelap membentang. Seharusnya ia bergegas kembali, tapi ia tidak ingin beranjak. Bukankah ia memang rindu hujan?

Ditengadahkan kedua tangan di depan dada demi menunggu tetesan-tetesan air lain yang datang membasahi tubuh mungil itu. Ia teringat ucapan Taka waktu itu bahwa anak itu menyukai hujan. Entah kenapa, ia menjadi lebih sentimen bila hujan datang. Bola mata hijau itu tidak lagi memendarkan cahaya sebab bongkahan air sudah menutupi keindahannya. Air mata itu terjatuh bersamaan dengan air hujan yang datang dengan intensitas ringan.

"Tidak ada yang tahu kau sedang menangis saat hujan."

Sakura nyaris terlonjak saat menyadari Sasuke sudah berdiri di samping kiri. Pemuda itu masih memakai kain penutup mata tanpa menoleh ke arah Sakura. Pandangan pemuda itu lurus ke depan seolah ia tidak bisa merasakan kehadiran orang lain di sekitarnya.

"Aku hanya tidak bisa tidur," bohong Sakura.

Telinga Sasuke mendengarkan, tapi ia tidak menyahut. Mereka benar-benar menikmati kesunyian yang ditawarkan Danau Mashu seiring hujan yang masih turun rintik-rintik.

"Kau bisa sakit besok," balas Sasuke lebih lirih.

Sakura tertegun mendengar ucapan Sasuke yang seolah memberikan perhatian. Kemudian ia tertawa kecil menyadari bahwa Sasuke mungkin bermaksud lain. Bila ia sakit, maka proses penyembuhan bungsu Uchiha itu akan lebih lama. Tawa kecil yang mengundang kernyitan aneh di dahi Sasuke.

"Terkadang aku ingin menikmati suasana alam. Aku merindukan hujan. Konoha tidak sering turun hujan, 'kan?" Sakura tersenyum lagi.

Tidak ada jawaban sampai suara khas Sasuke kembali terdengar. Seperti mereka kembali menjalin pertemanan dari awal setelah sekian lama.

"Kau ingin kembali ke sana?" Meski nada tanya Sasuke terasa dingin, tapi Sakura terhenyak mendengarnya.

"Sakura?" ulang Sasuke.

Bola mata Sakura agak membesar, lalu ia menghembuskan napas panjang. "Ten—tidak, err ... setidaknya belum sekarang."

Hujan datang semakin deras, tapi kedua insan itu tidak bergerak. Sasuke menarik salah satu sisi jubah hitam panjang yang ia pakai dan mengulurkannya di atas kepala Sakura.

Srat!!

"Aku benci hujan," bisik Sasuke seiring gerakan lelaki itu yang cukup mengagetkan Sakura.

Kini Sakura bisa melihat boneka teru-teru bozu itu sudah terpotong menjadi dua bagian di tanah dengan kunai menancap di salah satu sisi. Mungkin kehadiran hujan yang diharapkan tidak akan pernah datang, batinnya sendu.

"Kembalilah ke kamarmu!" perintah Sasuke yang kemudian lenyap lebih cepat menuju ke penginapan.

Sakura memandang ke arah Sasuke pergi, lalu menarik jubah lebih ketat. Aroma Sasuke benar-benar masih tertinggal meski rintik hujan berusaha mengaburkannya.

"Seandainya kita bisa kembali ke Konoha bersama. Kaki bisa terus melangkah, tapi kerinduan pada rumah akan tetap ada, Sasuke."

Suara itu lirih sekali, tapi Sasuke bisa mendengarnya dari jarak puluhan meter. Ia tidak boleh menggunakan sharingan untuk sementara, tapi ia melanggar aturan itu. Ditatapnya tubuh Sakura nan rapuh terbalut jubah hitam miliknya berjalan menuju ke kuil. Terasa jauh dan semakin sulit direngkuh.

***

Kaki telanjang Sakura terasa dingin saat ia menapak jalan setapak di perbatasan hutan itu. Ia mencoba mengingat, tapi otak terasa macet untuk mengetahui ia berada di mana. Bukankah ia berada di Taki, tapi kenapa tempat itu terasa lebih familier? Bukan, ia tidak berada di Taki sekarang.

Kedua tangan Sakura memegang masing-masing sisi tubuh, mencoba mencari sesuatu. Apa yang ia inginkan atau siapa yang ia cari? Ia terus berjalan tanpa arah mengikuti jalan setapak itu. Kemudian tampak sebuah rumah bergaya tradisional yang berada di ujung jalan membuatnya mengerjap beberapa kali. Ia sangat yakin pernah berada di sana.

Kakinya terus melangkah sampai ke bagian depan dan bibir merah muda itu mengucap, "tadaima." Sayang sekali, tidak ada yang menyahut sampai ia memutuskan untuk masuk lebih dulu. Saat melihat ke arah dapur, ia mendadak ingat bahwa dirinya berada di rumah lama Hatake. Tangga kayu yang ada di dapur membuatnya tercenung agak lama, lalu ia bergegas menuruninya. Benar sesuai dugaan, ada orang lain yang berada di ruang bawah tanah itu. Meski terlihat samar karena cahaya temaram yang ada di pinggir ruangan tidak mampu menyinari semua ruang secara utuh, ia bisa mengenal tubuh itu dengan jelas.

Jubah khas hokage Konoha yang menutupi punggung si lelaki berkibar tertiup angin dari pintu tingkap ruang bawah tanah yang tidak tertutup. Saat berbalik, Sakura menekap mulut. Hatake Kakashi tampak berlumuran darah dengan bola mata hitam yang lebih gelap. Pewaris klan Hatake itu mendekat, kemudian segera meraih tanto yang terselip di pinggang dan menusukkannya ke perut Sakura.

"Darah klan ini bisa membunuhmu."

Sakura memandang sendu pada darah yang menetes dari dalam perutnya yang membuncit. Tidak, ia sedang hamil anak Kakashi. Bagaimana bisa sang ayah membunuh anaknya sendiri? Gila.

"Tidak! Kakashi, tidak!"

"TIDAK!!!"

Sakura menjerit dan terengah saat ia terbangun di salah satu kamar kuil. Matanya sudah berair, lalu ia meraba perut yang tampak membuncit itu. Seolah nyata, wajah dan tangan Kakashi yang berlumuran darah masih teringat jelas.

"Kau aman. Hanya mimpi buruk, aku hanya bermimpi," ucapnya panik.

Hanya sebuah mimpi, ia kembali berbisik dan merangkak dekat ke jendela. Dibukanya jendela kayu yang menghadap langsung ke Danau Mashu itu. Menyadari bahwa malam masih bergulir dengan hujan yang membasahi Takigakure. Saat ia terlelap, hujan benar-benar datang, bahkan mungkin petir ikut menyambar.

"Hanya sebuah mimpi," katanya lagi, kemudian ia menutup wajah dengan kedua tangan.

Ia hanya terlalu cemas, bingung dan sedih berpadu menjadi satu. Suasana hati itu menciptakan bunga tidur yang mengganggu. Ada rindu yang tidak bisa ia ucapkan, ada ketakutan yang ia sembunyikan.

Tanpa ia sadari ada jendela lain yang terbuka dini hari. Dari jarak ratusan meter, Uchiha Sasuke bisa melihatnya. Rahang pemuda itu terlihat mengeras, tampak berpikir apa yang akan ia lakukan. Ia harus memilih diantara beberapa pilihan yang akan membawa nasib Sakura atau masa depannya sendiri. Selalu ada konsekuensi, batinnya frustasi seiring kepalan kedua tangan yang menguat di bingkai jendela kayu yang mulai rapuh.

***

Saya kehilangan sense pada cerita ini sehingga memutuskan untuk mengakhirinya lebih cepat setidaknya 3-5 chapter kedepan. Outline cerita ini hilang dan terasa lenyap dari otak karena saya tidak menulis kerangka lengkapnya di memo. Bila cerita ini usai, saya akan melanjutkan random story untuk mengatasi mood menulis yang tidak kunjung kembali. Udah males ngecek typo, langsung update, maaf.

Terima kasih sudah setia pada cerita ini. 😊 Have a nice weekend.

Continue Reading

You'll Also Like

1.2M 88.9K 64
[Brothership] [Not bl] Tentang Rafa, hidup bersama kedua orang tuanya yang memiliki hidup pas-pasan. Rafa tidak mengeluh akan hidupnya. Bahkan ia de...
67.8K 12K 34
Cerita berisi tentang seorang Pemuda Cantik menganggap Pria yang selalu bersamanya itu adalah Ayah Kandungnya, tapi ternyata tidak seperti kenyataann...
907K 84.6K 45
Bertransmigrasi menjadi ayah satu anak membuat Alga terkejut dengan takdirnya.
312K 28.7K 45
Jake, dia adalah seorang profesional player mendadak melemah ketika mengetahui jika dirinya adalah seorang omega. Demi membuatnya bangkit, Jake harus...