ETERNAL PART OF THE SKY ; Kim...

By DavinaMhr

8.8K 4.6K 682

❝ Sebelum kamu pergi, tolong izinkan aku melukis wajahmu di kaki langit.❞ Akasa tidak tahu bahwa pertemuannya... More

PROLOG : Beginning and End
1. Hello, Jakarta!
2. Lucrexia Academy
3. I Know You
4. Scramble
5. Beats and Rhythm
6. Un Pomeriggio
7. Perubahan
8. Ersen's Habitat
9. Hidden
10. About (We)
11. Lucy's Mood
12. Pelanggaran
13. Medicine
14. Something That Needs To Be Heard
15. Day Before War
16. The War
17. Who Is He?
18. Serene Night
19. Escape
20. Gift Box
21. His Arrival
22. Lost
23. Meet again?
24. Dance Party
25. Eclipse
26. Lo(u)ve
27. Truth
28. Long Time No See
29. Thing Who Called Love
30. The Show
31. Death
32. Right and Wrong
33. 2 Weeks
34. Sakura
35. Karantina
36. Sidang Pertama
37. A Week Without You
38. First Mission
39. Tragedi
EPILOG : THE REASON WHY ILU
TERBIT & PEMBELIAN

40. Letter From The Sky

134 42 3
By DavinaMhr

Eternal Part of The Sky
Chapter 40 — Letter From The Sky

Gemy mondar-mandir di kamarnya. Tangannya memegang ponsel yang sejak tadi tidak menampilkan notifikasi apapun. Ini sudah hampir satu jam lamanya, tetapi Raka belum juga mengabari Gemy.

Di luar pun hujan turun sangat deras. Apakah Raka terjebak hujan lalu baterai ponselnya habis?

Perempuan itu kemudian keluar dari kamar, ia mengitari dapur untuk mengambil jus jeruk dari lemari es. Samurai dan Erlangga yang sedang bermain UNO di sofa dekat dapur pun mendelik bersamaan.

"Kak, ujan-ujan minum es," tegur Samurai.

"Lo berdua dapet chat dari Raka nggak?" kata Gemy yang membuat Samurai dan Erlangga semakin terkejut.

"Bang Raka? Mang napa?" Erlangga menjawab.

Gemy berdecak sebal, "dia udah nyampe rumah belum sih?"

"Mana gue tau, harusnya sih udah ya," kata Samurai menjawab.

"Emang rumahnya dimana sih?" tanya Gemy lagi.

"Buset," pekik Erlangga.

"Lo ngapain tiba-tiba nanyain Bang Raka." Samurai menuding kakaknya dengan senyuman jahil. "Hayo..."

"Apasih! Gue nanya baik-baik ya, masalahnya ini udah mau sejam dia nggak ada kabarin gue." Gemy meminum jusnya seteguk lagi, lalu kembali membuka ponselnya.

"Lah, emang ngapain Bang Raka ngabarin lo?"

"Iya, emang Kak Gemy siapanya?"

Ditimbun pertanyaan menyebalkan, Gemy pun melempar tisu yang ada di meja dapur ke arah Samurai dan Erlangga. Untung saja tisu itu tidak dilapisi oleh kotak. Mungkin kedua laki-laki di sana sudah mengaduh kesakitan.

"Galak bener," celutuk Erlangga.

"Apa gue bilang," balas Samurai.

Ponsel Gemy bergetar. Perempuan itu langsung mengangkatnya setelah melihat nama yang tertera di layar. Ia tersenyum lebar sekali bahkan sebelum menempelkan ponselnya ke telinga.

"Raka! Ya ampun, lo tau nggak gue nyariin lo dari tadi..."

Bukannya mendapat sambutan balasan, Gemy justru terdiam saat tak mendapat respon apapun dari sana. Bola matanya bergerak gelisah, rasa senangnya berganti dengan ketakukan yang semakin lama semakin terasa.

"H-halo?" ucap Gemy takut-takut.

Halo, selamat malam.

Tidak. Itu bukan suara Raka.

"Iya? Ini siapa?"

Saya dari pihak kepolisian. Kami menemukan ponsel ini tersangkut di kursi dalam mobil. Lalu nomor ini adalah nomor yang terakhir berinteraksi dengan pemiliknya.

"Polisi? Ada apa? K-kemana pemiliknya?"

Maaf saya harus menyampaikan ini. Tetapi pemilik dari ponsel dan mobil ini ditemukan mengalami kecelakaan parah. Mobilnya terguling dan sebagian sisinya hancur, lalu pengemudinya tidak sadarkan diri dan sedang dilarikan ke rumah sakit.

Gemy menjatuhkan ponselnya. Air matanya tanpa sadar menetes. Melihat itu, Samurai dan Erlangga pun melompat dari sofa dan berlari ke arah Gemy. Samurai mengambil alih ponsel Gemy, sementara perempuan itu masih syok atas apa yang didengarnya.

"Halo? Pak? Dimana? Dimana dia sekarang?"

Beliau sudah dilarikan ke rumah sakit terdekat...

Begitu mendengar nama rumah sakit, Gemy berlari keluar rumah dengan pakaian seadanya. Ia mengusap air matanya yang tak kunjung berhenti. Sementara yang lainnya mengintil dengan terbirit-birit sebab Gemy berlari dengan cepat.

Setibanya di rumah sakit, Gemy langsung menanyakan keberadaan Raka kepada resepsionis. Ia ingin marah ketika ditanya-tanya mengenai privasinya. Apakah tidak bisa ia memberitahu nanti saja? Ia harus menemui Raka sekarang.

Dokter yang menangani Raka menghampiri mereka. Ia memasang wajah sedih dan cemas. Namun, karena ia adalah seorang dokter, ia harus tetap memberitahu kepada pasiennya.

"Dokter..."

"Pasien mengalami luka serius di bagian kepalanya. Ia juga kehilangan banyak darah. Kami menyarankan untuk melakukan operasi sesegera mungkin agar pasien bisa lebih mudah ditangani," ucap Dokter tersebut.

Operasi... Apakah separah itu? Gemy menutup mulutnya, ia menggaruk kepalanya dengan ssbal.

"Lo berdua kenal keluarganya Raka?" tanya Gemy pada Samurai dan Erlangga.

"Nggak."

"Lakukan dokter, lakukan apapun asalkan Raka bisa pulih lagi," pinta Gemy.

"Operasi ini memiliki kemungkinan besar untuk berhasil, akan tetapi... Dampaknya adalah pasien akan mengalami koma," lanjut dokter.

Jika Raka koma... Lalu bagaimana dengan Astrid dan Akasa? Bagaimana dengan sidang itu? Bagaimana...

"Berapa lama dia koma?"

"Kami tidak bisa memastikan. Itu semua tergantung bagaimana respon pasien terhadap tindakan yang kami lakukan. Sisanya, terserah pada Tuhan."

𓋜

Sidang terakhir

Pengadilan saat itu ramai sekali, sungguh. Wartawan ada di depan gerbang seperti mengerumuni seorang artis. Untungnya para polisi siap sedia dan gerak cepat dalam menangani para wartawan itu.

Entahlah, mungkin pengadilan pun membatasi jumlah orang yang diperbolehkan masuk ke dalam ruangan. Sebab kini di dalam ruangan tersebut hanya ada beberapa orang saja. Ada Samurai dan Erlangga yang duduk di sana, lalu keluarga Lucy dan orang-orang yang seperti kerabat dari Zerren.

Pada sidang pertama, kubu di daerah Samurai dan Erlangga tidak sesepi ini. Sekarang benar-benar sepi. Pihak penuntut pun terlihat enggan untuk sekadar menoleh ke arah mereka. Tapi tak masalah jika ini tidak merugikan Samurai dan Erlangga.

Persidangan dimulai. Semua orang berdiri ketika hakim datang. Lalu, Astrid dengan tubuh kurusnya memasuki ruangan sambil menundukkan kepala. Jika saja Akasa ada di sini, ia pasti sudah mengomel kepada petugas di lapas karena tidak memberi makan eyangnya dengan baik.

"Yang Mulia, sebelumnya saya ingin menerangkan sesuatu. Bagaimana persidangan ini akan berlanjut apabila pengacara dari pihak yang dituntut tidak ada?" kata pengacara penggugat.

Orang-orang mulai berbisik. Namun, pada saat itu pintu ruangan terbuka. Seorang wanita dengan kemeja putih dan jubah hitam memasuki ruangan dengan wajah tak kalah angkuh. Ia mengemban berkas-berkas di tangan kanannya, kemudian berjalan lurus memasuki ruangan.

Sontak kehadirannya mengundang perhatian banyak orang. Mereka bertanya-tanya, siapakah wanita yang tiba-tiba datang ini?

Dua hari yang lalu...

Gemy harusnya fokus pada skripsi saja. Bukan kepada tumpukan kertas dan flashdisk yang ada di kotak milik adiknya. Ia meraba tumpukan itu dengan tangan gemetar, ia sudah lelah menangis, ia bahkan tidak tidur setelah mengetahui bahwa Raka telah koma.

"Kak, lo mending tidur dulu, sumpah mata lo jelek banget," kata Samurai yang tak tahan melihat kakaknya seperti ini.

"Tapi Bang Asa gimana, Rai? Kita nggak bisa kasih tau dia. Mentor juga nggak akan kasih tau ke peserta karena khawatir ganggu konsentrasinya," ucap Erlangga merasa cemas.

"Mustahil kita cari pengacara lain yang bersedia dalam waktu yg kurang dari tiga hari doang," lanjut Erlangga.

Mendengar ucapan Erlangga, Samurai pun kemudian melirik kembali kakaknya yang sedang membaca-baca dokumen dengan teliti. Ia juga yakin Gemy tidak mendengar ucapan Erlangga berusan.

"Kak, jangan bilang lo mau ambil alih posisi Bang Raka?" tanya Samurai waspada.

"Kalau iya kenapa?" balas Gemy tanpa mengalihkan pandangannya.

"Raka udah kerja keras buat ini semua. Dia mau kasusnya berhasil."

Padahal, ia baru hitungan hari bertemu dengan Raka. Itu pun hanya bertukar kabar melalui ponsel saja. Namun, Gemy yang tidak mudah tertarik dengan lelaki itu untuk pertama kalinya jatuh cinta pada Raka.

"Yang Mulia, saya Gemy Lullaby. Pengacara pengganti dari Nyonya Astrid."

Samurai dan Erlangga tersenyum senang, mereka ingin sekali berjingkrak.

"Baik, silahkan menempatkan diri," jawab Sang Hakim.

"Yang Mulia, selama satu minggu ini kami melakukan penyelidikan, hasilnya telah diungkap pada saat sidang pertama."

"Namun, pada saat itu terdapat kendala sehingga apa yang kami temukan tidak digubris."

Gemy mengangkat flashdisk yang berada di tangannya. "Kali ini, saya memiliki bukti kuat tentang siapa dalang dibalik kematian Tuan Zerren."

Hakim meminta seseorang untuk memutar flashdisk itu. Selama rekaman itu terputar, orang-orang menutup mulutnya tidak percaya. Terlebih lagi ketika mendengar nama yang disebutkan pada rekaman tersebut.

Lucy melotot kaget, ia pun sama terkejutnya seperti yang lain. Fargo? Lelaki tampan yang selalu menjadi idola para perempuan itu? Mengapa? Mengapa harus dia?

"Benar. Demetrio Fargo adalah orang yang telah membuat rencana busuk atas kematian Zerren dengan menumbalkan Nyonya Astrid."

"Nona Gemy, mungkin anda lupa bahwa bukti itu bisa saja di edit, terlebih ini adalah bukti suara yang bisa diubah-ubah," sergah pengacara penggugat.

"Oh ya? Tolong ajarin saya, saya gaptek sampai-sampai baru tahu kalau ada bukti yang bisa dipermainkan di pengadilan ini," balas Gemy dengan penuh penekanan.

"Jangan pura-pura bodoh—"

"Jaga bicara anda." Gemy mendelik sarkas. Mungkin wajah garang nan cantik dari Gemy mampu membuat pengacara itu terdiam.

"Nyonya Astrid, apakah anda mengenal Demetrio Fargo?" tanya Hakim pada Astrid.

Namun, Astrid menggeleng. "Tidak."

"Perempuan yang berbicara di rekaman ini, apa anda mengenalnya juga?" tanya Hakim lagi.

Astrid tahu itu adalah suara Sadhara. Namun lagi-lagi Astrid menggeleng. "Tidak."

Gemy menatap Astrid dengan pandangan penuh tanya. "Eyang? Eyang jawab yang jujur," kata Gemy pada Astrid.

"Eyang ini pengadilan, eyang bakal bebas setelah eyang jawab semuanya dengan jujur." Gemy mendekat pada Astrid, matanya menatap penuh harap pada wanita paruh baya di hadapannya.

"Hey, jangan mendesak Nyonya Astrid," kata pengacara penggugat.

"Yang Mulia, Nyonya Astrid mengenal perempuan yang ada di rekaman!" Gemy kembali mengahadap hakim.

"Pengadilan hanya mempercayai apa yang keluar dari mulut tersangka."

"Jangan takut, Eyang..." Gemy melirih.

"Kalau begitu, rekaman ini menurut anda palsu?" Astrid tidak menjawab, ia menatap kosong pada dinding pengadilan yang dingin.

"Nyonya Astrid, saya bertanya. Apakah semua bukti ini benar? Apakah anda tidak melakukan semua ini?" tanya Hakim sekali lagi.

"Saya yang melakukanya, Yang Mulia. Saya yang telah membunuh Tuan Zerren dengan tangan saya sendiri. Semua orang selain saya tidak bersalah, Yang Mulia," jawab Astrid pelan.

Samurai dan Erlangga bahkan sampai berdiri dari duduknya. Gemy menggeleng cepat, ia mengguncang bahu Astrid dengan tangan gemetar.

"Eyang, apa eyang tau resiko berbohong dengan bilang begitu?!"

"Nak, Gemy... Terima kasih sudah membantu saya, tapi ini demi kebaikan kita semua..."

"

Wah, pada akhirnya semua bukti-bukti ini palsu, Nona Gemy, hebat!" Pengacara penggugat itu tersenyum puas sekali.

Gemy menangis, ia menatap hakim dengan wajah memerah. "Yang Mulia, dia berbohong. Pasti ada yang mengancamnya sampai dia bicara begitu."

"Nona Gemy, beliau sudah mengakui kesalahannya sendiri. Apa boleh buat?"

Lutut Gemy melemas, ia terjatuh hingga duduk di lantai pengadilan ketika hakim mulai berbicara mengenai hukuman Astrid. Dalam benaknya, terbayang wajah Raka yang cerita sekali ketika bercerita bahwa ia akan memenangkan kasus ini.

Raka... Gue gagal?

"Berdasarkan bukti-bukti dan pengakuan dari tersangka atas pembunuhan Tuan Zerren. Maka, pengadilan memutuskan untuk memberikan hukuman mati kepada tersangka."

𓋜

"GUE BILANG, INI PENTING!" bentak Gemy pada petugas yang berada di meja lobby Lucrexia.

"Mohon tunggu sebentar, saya akan menghubungi pihak talent..." ucap pertugas itu sambil menekan-nekan layar yang menghubungkan langsung ke gedung talent.

"Panggil Akasa sekarang! Ini tentang keluarganya!" lanjut Gemy masih bersikeras dengan wajah panik.

"Mohon maaf tapi peserta tidak diperbolehkan pergi dari gedung istimewa sebelum tiga bulan—"

"INI PENTING ANJIR! PANGGIL AKASA SEKARANG JUGA!!" Samurai menggebrak meja resepsionis dengan wajah memerah karena amarah.

Morana datang dengan langkah tergesa, ia cukup terkejut melihat kericuhan yang terjadi di tempat ini. "Ada apa ini? Samurai? Erlangga?"

"Miss, panggil Bang Asa sekarang, tolong..." pinta Samurai.

"Samurai, kamu tahu kebijakan di Lucrexia bukan?"

"Tapi ini tentang keluarganya Bang Asa, Miss. Dia bakal nyesel nanti," ucap Erlangga ikut menjelaskan.

"Saya sama sekali nggak kenal siapa anda. Saya Gemy, kakaknya Samurai. Apa yang mereka bilang itu bener, Akasa bakal nyesel kalau dia tetap di dalam sana." Gemy maju beberapa langkah menghadap Morana langsung.

"Tapi kenapa?"

"Karena eyangnya ditetapkan hukuman mati."

Morana terkejut, ia menggelengkan kepalanya pelan. "A-apa?"

"Itulah sebabnya... Saya memohon supaya dia bisa izin keluar untuk ketemu sama eyangnya sekali lagi."

𓋜

Akasa baru saja selesai tampil pada misi pertama. Senyumnya secerah deburan ombak di pantai yang tenang. Lelaki itu mendapat respon yang bagus dari para mentor, terutama mentor bidang menari.

Ketika ia melepas atribut panggungnya dan menyisakan kaus putih serta celana hitam, saat itulah Morana datang menemuinya dengan wajah panik dan sedih.

"Miss? Ada apa? Saya lakuin kesalahan ya tadi?"

Morana menggeleng, "nggak... Kamu harus ikut saya."

"Kemana?"

"Eyang kamu..."

Akasa yang semula tersenyum itu kini menjadi cemas bukan main. Ia berlari lebih dulu keluar dari ruangan ganti. Berbagai macam pintu ia tarik dan dorong untuk membuatnya terbuka. Tetapi nihil.

"BUKA!!"

"Akasa... Lewat sini." Morana yang berhasil mengejar pun menuntun Akasa melewati salah satu pintu yang semula dikunci.

"Miss... Eyang baik-baik aja, kan? Eyang bebas, kan?" ucap Akasa saat memasuki mobil milik Morana.

Namun Morana tidak menjawab. Ia justru mengemudi sambil meneteskan air matanya tanpa bersuara.

𓋜

Gedung ini... Ini adalah gedung untuk pidana mati.

Sejak memasuki lorongnya saja Akasa sudah memiliki tatapan kosong. Ia berjalan memasuki koridor dan kini berdiri di depan jeruji besi. Ia menunggu seseorang.

"Nak... Cucu eyang," panggil Astrid lemas.

Akasa menoleh. Lemah sekali. Ia menangis lagi. Hanya dengan menatap wajah Astrid saja mampu membuatnya meneteskan air mata.

"Jangan nangis. Jangan tangisi apa yang sudah seharusnya terjadi, Nak..."

"Kenapa eyang? Kenapa? Eyang tega ninggalin Asa sendirian di sini?" ucap Akasa lirih.

"Sudah banyak korban yang nggak bersalah karena kita, Nak. Eyang sudah capek," jawab Astrid.

"Kita bisa atasi semuanya, Eyang. Jangan khawatir. Eyang ngapain sih di sini, ayo kita pulang..." Akasa menggenggam tangan Astrid dari celah jeruji besi.

"Eyang..."

Genggaman di tangannya terlepas. Ia merasakan sebuah kertas terselip diantara jemarinya.

"Baca ini saat kamu di asrama, ya?"

Akasa menunduk, ia melihat surat di tangannya yang terbalut amplop warna hijau pastel. Warna kesukaannya.

Astrid menjauh dari Akasa. Ia dibawa oleh petugas untuk masuk ke dalam sana. Sementara Akasa meraung semakin kencang melihat punggung eyangnya semakin mengecil.

"EYANG!!! EYANGG JANGAN KEMANA MANA!"

"EYANG NANTI ASA SAMA SIAPA???"

"Eyang dan ayah kamu akan selalu bersama kamu di atas sana, Akasa," ucap Astrid sebelum akhirnya benar-benar menghilang dari pandangan Akasa.

Tubuh Akasa merosot hingga terduduk di lantai. Kepalanya bersandar pada jeruji besi yang dingin. Ia menangis deras sekali. Sungguh? Apakah ia benar-benar akan sendirian?

"Bunda... Akasa sendirian..." gumamnya di sela-sela tangisan.

𓋜

Untuk malaikat di hati eyang,

Akasa, waktu itu kamu kecil sekali. Waktu pertama kali eyang menggendong kamu sepenuhnya, dan bertanggung jawab atas hidup kamu sepenuhnya.

Eyang selalu memperhatikan pertumbuhan kamu, Nak. Foto-foto ini adalah foto yang eyang ambil ketika kamu ulang tahun. Dari umurmu satu tahun, sampai tahun ini yang ke delapan belas. Semuanya lengkap. Setiap kali eyang lihat foto-foto ini, eyang semakin menyayangi kamu. Tapi maafkan eyang, karena eyang nggak bisa mengabadikan kamu di usiamu tahun ini.

Bukannya eyang tega meninggalkan kamu sendiri, Nak. Tapi ini karena eyang sudah nggak kuat lagi. Eyang sakit. Selama di penjara, eyang berobat setiap hari. Dokter bilang penyakit eyang sudah parah dan kecil kemungkinan untuk bisa bertahan lebih lama.

Melihat caramu menyayangi eyang, eyang benar-benar bersyukur sekali. Tapi nak, sudah berapa orang yang menjadi korban karena kasus ini? Pak Zerren, Yoo Ta, lalu Raka. Siapa selanjutnya?

Ingat pesan eyang baik-baik...

Kamu akan selalu menjadi malaikat di hati eyang, dan di hati orang-orang terdekat kamu. Jadi tetap simpan amarahmu dalam diam. Lampiaskan dengan tenang.

Ayahmu dulu pengen jadi musisi. Kepengenan ayahmu ternyata nurun ke kamu. Wujudkan keinginan itu, ya? Nanti ketika kamu berhasil dan ayahmu bangga, eyang akan sampaikan rasa senang itu melalui bunga tidur kamu.

Jangan biarkan siapapun menghalangi kamu. Jika sudah takdirnya begini, mau sekeras apapun manusia berusaha, semuanya akan sia-sia.

Kamu boleh menyayangi Ara, tapi cukup sayangi dia sebagai saudaramu saja, ya?

Dulu eyang khawatir karena takut tidak bisa membesarkan kamu dengan baik dan layak. Tapi ternyata eyang salah, kamu tumbuh jadi anak yang sempurna di mata eyang. Eyang lega...

Akasa, ikhlaskan eyang, ya?

Berbahagialah cucuku. Dengan ataupun tanpa eyang, kamu akan selalu menjadi sinar paling terang di kaki langit.

EPOTS

NANGIS AKU MAHH😭
Cungg yg nungguin endingg :(

Continue Reading

You'll Also Like

26.7K 1.9K 68
𝑲𝒆𝒃𝒂𝒉𝒂𝒈𝒊𝒂𝒂𝒏 𝒊𝒕𝒖 𝒈𝒂𝒌 𝒂𝒃𝒂𝒅𝒊 -adhivano Niki alvariski
59.5K 12.6K 21
"He's always under the rain, with his black umbrella." ⚠️PTSD, mental illness.
18.4K 3.5K 20
𝗦𝗘𝗤𝗨𝗘𝗟 𝗢𝗙 𝗗𝗘𝗔𝗥 𝗚𝗢𝗗 "Seandainya aku bisa memilih, aku tidak ingin dilahirkan dengan wajah yang mirip seperti dia."
1.4K 139 5
Sequel of "Father's Great Children" "Di bilangin gue bukan Junkyu ngeyel banget si Lo babi" Bagaimana jika seseorang yang sangat polos berwajah pers...