ETERNAL PART OF THE SKY ; Kim...

By DavinaMhr

8.3K 4.6K 681

❝ Sebelum kamu pergi, tolong izinkan aku melukis wajahmu di kaki langit.❞ Akasa tidak tahu bahwa pertemuannya... More

PROLOG : Beginning and End
1. Hello, Jakarta!
2. Lucrexia Academy
3. I Know You
4. Scramble
5. Beats and Rhythm
6. Un Pomeriggio
7. Perubahan
8. Ersen's Habitat
9. Hidden
10. About (We)
11. Lucy's Mood
12. Pelanggaran
13. Medicine
14. Something That Needs To Be Heard
15. Day Before War
16. The War
17. Who Is He?
18. Serene Night
19. Escape
20. Gift Box
21. His Arrival
22. Lost
23. Meet again?
24. Dance Party
25. Eclipse
26. Lo(u)ve
27. Truth
28. Long Time No See
29. Thing Who Called Love
30. The Show
31. Death
33. 2 Weeks
34. Sakura
35. Karantina
36. Sidang Pertama
37. A Week Without You
38. First Mission
39. Tragedi
40. Letter From The Sky
EPILOG : THE REASON WHY ILU
TERBIT & PEMBELIAN

32. Right and Wrong

92 47 3
By DavinaMhr

Eternal Part of The Sky
Chapter 33 — Right and Wrong

Mari bicara, sebentar saja. Aku ingin mengingatkan betapa kau masih begitu berarti.

Tidak peduli kau yang akhirnya menemukan yang baru, merebahkan seluruhmu pada sosok selain aku.

Aku ingin kamu memutar kembali semua yang pernah, yang tidak pernah berani kau selesaikan.

𓋜

Pada halaman belakang kantor polisi, angkasa berdiri sembari menundukkan kepalanya, menatap jalanan yang terasa begitu panjang dan jauh. Lelaki itu menghembuskan nafas berat. Jemarinya memegang sebuah kertas berisi surat pernyataan yang membela eyangnya.

Akasa sudah lelah menangis. Otaknya seperti tak lagi memiliki stok air mata untuk dikeluarkan. Ia merasa wajahnya begitu lengket, juga matanya yang terasa berat. Tetapi Akasa tidak bisa menangis lagi. Kepalanya memikirkan bagaimana caranya membuat Astrid dinyatakan tidak bersalah sementara ia tidak memiliki bukti apapun.

Dalam keheningan itu, suara langkah kaki dengan irama yang begitu ia kenal membuatnya menoleh. Di sana, perempuan cantik menatapnya dengan sorot rapuh. Perempuan yang begitu ia cintai, yang kini sudah membuatnya sadar bahwa cintanya bukan lagi sebagai seorang pasangan.

Kini, Sadhara berdiri selangkah di depan Akasa. Mereka bertatapan sangat lama, namun tak ada satu kata pun yang mereka lontarkan. Sadhara tersenyum kecil, sebelum akhirnya memulai percakapan.

"Eyang... Baik-baik aja?"

Akasa mengangguk pelan, "iya, dia baik."

Mendengar suara Akasa yang serak, Sadhara menjadi cemas. "Dan kamu?"

Yang ditanya tak langsung menjawab. Akasa menatap Sadhara dengan sendu seolah tak ingin berbicara banyak hal. Bahkan suaranya saja terdengar jauh berbeda dari nyanyiannya dua jam yang lalu.

"Semua bakal baik-baik aja, Sa..."

"Apa? Apa yang baik, Ra?" potong Akasa cepat.

"Kamu tau? Waktu pertama kali aku lihat eyang di sini, eyang masih bisa buat senyum, Ra. Tapi justru itu bikin aku gagal sebagai cucunya," kata Akasa. Lalu, laki-laki itu menunjukkan kertas di tangannya.

"Apa yang harus aku tulis di sini? Eyang sama sekali nggak salah, aku tau itu. Sekalipun eyang nggak cerita, dan banyak bukti yang memberatkan eyang, tapi eyang nggak mungkin tega bunuh orang pake pisau..." lanjutnya kesal bercampur sedih.

"Aku tau... Aku tau, Sa... Eyang pasti dijebak sama seseorang," ucap Sadhara.

Demi Tuhan, Sadhara ingin sekali mengatakan bahwa Fargo lah dalang dibalik semua ini. Tetapi ia tidak memiliki bukti apapun. Ponsel Varsha rusak parah, hancur. Katanya harus menunggu 2-3 Minggu untuk memperbaikinya, itupun jika bisa dipulihkan. 

Jika ia mengatakannya sekarang, Akasa pasti akan menyalahkan dirinya sendiri karena telah berani mendekati Sadhara. Tidak. Tidak boleh. Sadhara tidak mau jauh dari Akasa untuk saat ini.

"Kamu tau siapa orangnya, Ra?" tanya Akasa seolah tahu isi pikiran Sadhara.

"Hum?"

"Kasih tau aku, Ra..."

"Asa... aku—"

Akasa tertawa, tertawa yang menyakitkan. Wajahnya merah lagi, kali ini merah karena menahan amarahnya. Lelaki itu mundur beberapa langkah dari Sadhara, menatap Sadhara dengan sorot kecewa.

"Aku harus percaya siapa sekarang, Ra? Bunda? Nggak mungkin, aku bahkan nggak ngeliat batang hidung bunda di sini," ucap Akasa diiringi tawa.

"Kamu? Bahkan kamu lagi-lagi nyembunyiin rahasia dari aku."

Sadhara belum pernah melihat Akasa seperti itu. Akasa seperti orang yang habis minum alkohol. Tetapi Sadhara tahu betul bahwa Akasa sadar sepenuhnya. Akasa hanya merasa sedih, marah, dan kecewa, dan itu karena dirinya.

Lagi-lagi Sadhara menangis. "Ini karena aku, Sa... Maaf..."

"Varsha punya jawaban dari pertanyaan kamu. Tapi dia juga nggak bisa berbuat apa-apa karena buktinya rusak, dan harus dibenerin." Sadhara berucap pelan, ia berusaha meyakinkan Akasa.

"Bilang sama aku, Ra. Siapa orangnya?"

Akasa memegang kedua bahu Sadhara, menatap Sadhara dengan mata berair dan merah. Hal itu membuat Sadhara menangis semakin deras, dan justru membuat pegangan di bahu Sadhara berubah menjadi cengkraman.

"BILANG RA! INI BUKAN TENTANG AKU ATAU KAMU, TAPI EYANG!" teriak Akasa kesal.

"Kamu nggak tau rasanya kasih sayang dari eyang. Kenapa? Karena dari kecil, kamu tumbuh di lautan kasih sayang ayah dan ibu."

Benar. Sadhara tidak mengelak semua penuturan Akasa. Ia bertohok. Sakit sekali rasanya menerima kenyataan bahwa ia tidak ada artinya dibanding Akasa dalam hidup Astrid. Tetapi lebih menyakitkan bagaimana sepinya hidup Akasa tanpa kasih sayang ayah dan ibunya.

Maka dari itu, Sadhara memeluk tubuh Akasa seerat mungkin. Pelukan yang membuat amarah Akasa mereka. Pelukan yang tenang dan hangat. Juga pelukan yang semakin merunyamkan masalah saat ini.

Pada posisi itu, ponsel Akasa bergetar. Sadhara yang menyadarinya pun menoleh pada Akasa.

"Ada yang telfon," ucap Sadhara.

"Biarin aja."

Begitu. Jadi itu alasannya sejak tadi pesan dan panggilan teleponnya tidak kunjung dibalas.

Gadis cantik itu memaksa mengambil ponsel Akasa dari saku, kemudian melihat siapa yang menelpon.

"Miss Morana," kata Sadhara sambil menunjukkan layar ponselnya.

Mau tidak mau, Akasa pun mengangkatnya. "Miss—"

Akasa, bisa ke sekolah sekarang?

Akasa mengerutkan alis bingung. "Tapi ada apa, Miss?"

Pengumuman penampilan terbaik dan peserta yang lolos akan diumumkan. Miss yakin kamu lolos.

"Sekarang?" Astaga, bagaimana bisa ia kembali ke Lucrexia dalam keadaan seperti itu?

Of course, datang sama Sadhara ya.

Akasa refleks menoleh pada Sadhara, perempuan yang juga tengah memperhatikannya. "Baik, Miss."

Setelah panggilan berakhir, Akasa sekali lagi menghembuskan nafasnya. "Ayo kita ke Lucrexia."

"Ah iya, pengumuman bakal diumumkan." Sadhara ikut menghela nafasnya.

"Lihat, muka kamu basah. Sini cuci muka," ajak Sadhara. Ia menarik lengan Akasa menuju kran air yang berada di sisi kantor polisi.

"Lady first," ucap Akasa dengan senyum tipisnya.

Sadhara tersenyum sambil sedikit membungkuk, kemudian membasuh wajahnya dengan air. Hal yang serupa dilakukan oleh Akasa, dengan sedikit candaan yang dilontarkan oleh Sadhara.

Lihatlah, untuk kesekian kalinya Akasa terpesona pada wajah cantik Sadhara. Bahkan dengan wajah tanpa riasan pun Sadhara masih terlihat sangat cantik.

"Ehm, aku naik motor," celutuk Akasa.

"And then? What's the problem?" tanya Sadhara.

Akasa tak menjawab, ia hanya tersenyum sembari mengusap puncak kepala Sadhara. Mereka berjalan bersisian, menaiki motor sambil membelah jalanan ibu kota yang semakin malam semakin sepi. Benar, ini sudah nyaris tengah malam.

Beruntung sekali, ketika tiba di Lucrexia, seorang MC tengah membacakan nama-nama yang lolos beserta menampilkan profil siswa tersebut di background panggung. Sudah ada Yume dan Yara serta Janus dan Atlas yang profilnya ditampilkan di layar itu.

Varsha, Ersen dan Faith masih menunggu dengan raut cemas di bawah panggung. Begitu juga Akasa dan Sadhara yang ikut menunggu.

"Selanjutnya, solo singer and pianist, Faith!"

"Ah, selamat!" ucap Varsha.

"Congratss, Bro," lanjut Ersen.

"Selamat, Faith," kata Akasa.

Faith hanya tersenyum kikuk, ia naik ke atas panggung dengan raut heran. Mengapa dirinya bisa lolos sampai tahap ini?

"Senyum yang lebar anjir," bisik Janus pada Faith ketika tiba di atas panggung. Faith pun menurut.

"Duo maut yang tidak kita duga, Varsha dan Ersen!"

Varsha refleks memeluk Ersen. Gadis yang ponselnya rusak itu terlihat senang sekali, ia membungkuk sopan kepada setiap orang yang mengucapkan selamat. Ersen menurut saja ketika tangannya digandeng menuju panggung dan berdiri bersisian di samping Varsha.

"The one and only, Best Show Tonight! Akasa dan Sadhara!"

Tahukah kalian apa yang ada di pikiran Akasa ketika mendengar namanya disebut dengan sangat meriah? Ialah wajah Astrid yang hangat, yang menasihatinya tentang impian.

"Jangan, jangan kemana-mana sebelum kamu berhasil tampil dengan baik."

Akasa berjalan bersama Sadhara ke atas panggung dengan sorot berbinar. Kepalanya terus berputar tentang apa yang eyangnya katakan. Sorot lampu, tepuk tangan meriah, serta wajah cerita dari orang-orang tak dikenal yang begitu mendukungnya membuatnya merasa bahwa ia sudah cukup mampu menampilkan yang terbaik.

Kepala sekolah memberikan penghargaan dan piala kepadanya. Indah sekali. Piala ini yang selalu ia dambakan ketika pertama kali menjadi siswa. Kini, Akasa menggenggamnya!

"Eyang, Asa berhasil... Asa berhasil tampil dengan baik..." ucapnya dalam hati.

𓋜

Sumpah demi apapun, Akasa menghabiskan harinya dengan melotot pada layar laptop yang berada di atas meja belajar. Ia belum makan, hanya minum saja ketika tiba di rumah. Tadinya ia pikir akan menangis semalaman karena situasi yang dihadapinya sekarang. Akan tetapi, ketika melihat piala penghargaan di tangannya, ia menjadi memiliki banyak energi.

Benar. Akasa harus menyelidiki kejadian ini. Eyangnya tidak bersalah dan ia harus membuktikannya.

Apalagi ketika Akasa mengingat ucapan Astrid setiap kali ia melihat penghargaan di hadapannya.

"Banyak hal yang terjadi belakangan ini, eyang mohon, jangan sampai itu menghambat impian kamu, Nak..."

Tidak akan. Impiannya akan tetap berjalan sesuai permintaan Astrid.

Akasa memulai penyelidikannya dengan mencari tahu siapa itu Zerren. Ia hanya tahu bahwa Zerren adalah ayah dari temannya, Lucy. Untuk itu, ia akan menemui Lucy pagi ini dan berbicara dengannya.

Ada beberapa hal yang ia ketahui sejauh ini. Pertama, Zerren baru saja pulang dari Jepang dua hari yang lalu. Itu artinya, satu hari sebelum ia ditemukan meninggal. Kedua, Zerren pergi ke Jepang untuk menandatangani kontrak dengan salah satu perusahaan yang belum lama dirintis.

Ketiga, usai menandatangani kontrak tersebut, Zerren ditemukan meninggal di rumahnya dengan luka tusuk di bagian perut dan dada. Kejadian inilah yang membuat Astrid dituduh bersalah.

Tapi bagaimana bisa Astrid dituduh sementara wanita itu baru akan menandatangani kontrak dengan Zerren?

Akasa menghela napasnya. Matanya terasa merah dan berat. Ia mengusap wajahnya dengan pelan, kemudian melirik ke arah jam di kamarnya. Sekarang sudah pukul lima pagi. Baiklah, sudah cukup ia mendapatkan informasi penting hari ini.

Misi selanjutnya adalah Akasa harus mencari tahu perusahaan apa yang bekerja sama dengan Zerren sebelum kejadian ini. Ia akan pergi menemui Lucy dan bertanya pada gadis itu.

Tapi pertama-tama, Akasa harus membersihkan diri dan mengisi perutnya yang kosong.

Pukul 7.00 pagi.

Disinilah Akasa berdiri. Di depan pintu besar yang menjadi TKP. Ketika ia ingin memencet bel rumah, skor matanya melihat seorang gadis yang duduk melamun di sebuah bangunan terpisah di halaman.

"Lucy," panggil Akasa dari bawah.

Gadis itu menoleh, kemudian menutup jendelanya dengan segera. Lagi-lagi, Akasa menghembuskan napasnya. Tapi ia tidak akan menyerah begitu saja. Akasa akan terus berusaha untuk bicara dengannya.

"Lucy, saya tau kamu sedih. Saya juga sedih waktu kehilangan ayah dulu," kata Akasa berbicara sendiri.

"Saya juga yakin kamu butuh pendengar buat keluarin isi hati kamu," lanjutnya.

"Saya juga butuh pedengar, Lucy. Eyang saya dipenjara, dan ada beberapa hal yang perlu saya tanyakan sama kamu." Akasa menatap jendela dari bawah, berharap Lucy membukanya lagi.

"Saya nggak akan maksa kalau memang kamu masih mau sendiri." Setelah mengucapkan itu, Akasa memutar balik langkahnya dengan berat hati.

Akan tetapi, suara pintu dibuka membuka Akasa berhenti dan menoleh kembali. Syukurlah, Lucy berdiri di depan pintu sambil menyuruhnya masuk. Akasa menaiki anak tangga satu per satu, lalu masuk ke dalam ruangan itu.

Ini seperti ruangan yang dibuat khusus untuk Lucy. Ada banyak buku, televisi, lemari es, sofa yang bisa dijadikan tempat tidur, dan lain-lain. Atau memang ini adalah kamar Lucy, Akasa pun tidak tahu.

Akasa duduk di salah satu sofa, disusul Lucy yang duduk di dekatnya. Jujur saja, Lucy terlihat sangat kacau. Gadis itu sepertinya sama saja seperti Akasa, tidak tidur.

"Are you okay?" tanya Akasa hati-hati.

"Hm, apa yang mau kamu tanya?" ucap Lucy lemas.

"Saya cari tau tentang papa kamu semalaman. Jangan salah sangka, saya lakuin ini untuk selidiki siapa yang udah jebak eyang."

"Sebelum pulang ke sini, papa kamu pergi ke Jepang. Benar?" tanya Akasa.

"Ya."

"Di Jepang, papa kamu jalin kontrak sama perusahaan baru. Apa kamu tau perusahaan apa itu?" Kali ini, Lucy tidak langsung menjawab.

"Lucy? Kamu tau?"

Lucy diam saja. Hanya tatapan kosong yang Akasa dapat dari raut wajah temannya itu.

"Lucy, saya mohon. Kasih saya informasi tentang perusahaan itu kalau memang kamu tau. Saya perlu untuk kumpulin informasi sebelum saya sewa pengacara," ucap Akasa memohon.

"Percuma, Sa."

"Apa maksud kamu?"

Lucy menatap Akasa dengan datar. "Pengacara mana yang mau melawan kasus pengusaha terkenal yang udah meninggal?"

Sakit, sakit sekali. Kalimat yang dilontarkan Lucy sungguh membuat hatinya bagai tertusuk ribuan jarum. Akasa menunduk, ia menyadari hal itu. Ia sadar Astrid dan dirinya bukanlah orang penting dan terkenal.

"Apa salahnya berusaha, Lucy? Saya cucunya... Saya berhak tau." Akasa masih bersikeras.

"Maaf, Sa. Gue nggak bisa kasih info apa-apa sekarang. Kepala gue kosong, gue... Gue..." Lucu menutup wajahnya, ia menangis.

Akasa mencoba menenangkan Lucy. Pasti berat bagi Lucy untuk mengatakan sesuatu. Akasa juga yakin, sudah banyak orang yang berdatangan untuk menanyakan berbagai hal kepadanya. Sudah sewajarnya jika Lucy lelah.

"Oke, saya pamit, ya." Akasa berdiri.

"Tolong kabari saya kalau kamu udah siap buat kasih saya informasi."

"Saya permisi."

Lucy menatap kepergian Akasa dengan sorot sedih. Ia menangis semakin deras saat melihat teman laki-lakinya yang baik hati itu meninggalkan pekarangan rumahnya dengan wajah sedih.

"Bodoh, Lucy..." lirihnya.

EPOTS

Kata akuma Lucy boong gasi ges?

Thank u and see yaa, Epotiess 💗

Continue Reading

You'll Also Like

1.4K 134 8
"maafin gue ken... Jun....," "gue nyerah ken!" "kalian bohong! nyesel gue percaya Ama kalian berdua," treasure 00L -park jihoon -kanemoto Yoshinori ...
9.2K 4K 30
Bagaimana bisa orang tua tidak menyukai anaknya, bukannya anak itu buah dari hasil kasih sayang ayah dan ibunya? aku kadang tersenyum memperhatikan w...
51.7K 9.6K 27
PARK SUNGHOON :: LOKAL AU SEQUEL SEGA DAN SAGA (Slow Update) Setelah kisahnya dengan Sega berakhir, kini dimulailah kisahnya bersama Jesia dan circl...
3.9K 486 11
Jungwon Local Kala hanya seorang laki-laki biasa yang hidupnya penuh tekanan dan keterpaksaan. Saat sedang melakukan studinya, Kala bertemu dengan se...