ETERNAL PART OF THE SKY ; Kim...

By DavinaMhr

8.3K 4.6K 681

❝ Sebelum kamu pergi, tolong izinkan aku melukis wajahmu di kaki langit.❞ Akasa tidak tahu bahwa pertemuannya... More

PROLOG : Beginning and End
1. Hello, Jakarta!
2. Lucrexia Academy
3. I Know You
4. Scramble
5. Beats and Rhythm
6. Un Pomeriggio
7. Perubahan
8. Ersen's Habitat
9. Hidden
10. About (We)
11. Lucy's Mood
12. Pelanggaran
13. Medicine
14. Something That Needs To Be Heard
15. Day Before War
16. The War
17. Who Is He?
18. Serene Night
19. Escape
20. Gift Box
21. His Arrival
22. Lost
23. Meet again?
24. Dance Party
25. Eclipse
26. Lo(u)ve
27. Truth
28. Long Time No See
30. The Show
31. Death
32. Right and Wrong
33. 2 Weeks
34. Sakura
35. Karantina
36. Sidang Pertama
37. A Week Without You
38. First Mission
39. Tragedi
40. Letter From The Sky
EPILOG : THE REASON WHY ILU
TERBIT & PEMBELIAN

29. Thing Who Called Love

95 50 1
By DavinaMhr

Eternal Part of The Sky
Chapter 29 — Thing Who Called Love

Aku menyebut waktu sebagai cinta.
Mengapa demikian?

Sederhana saja, waktu membuatku merasakan banyak hal. Sedih, senang, marah, kecewa. Semua perasaan itu terbendung menjadi satu, itulah yang ku sebut cinta.

Cinta itu tidak berbentuk, tetapi ia bisa dirasakan. Sama halnya dengan waktu. Ia terus berjalan maju tanpa pernah melangkah mundur. Tidak bisa dihentikan, hanya bisa dirasakan saja.

Sesuatu yang ku sebut cinta itu merenggut segalanya bagiku. Masa kecil, kasih sayang, dan orang yang ku cintai. Hanya saja, tidak akan ku biarkan ia merenggut impianku.

𓋜

Sejak saat itu Sadhara tidak pernah menampakkan wajahnya di hadapan Akasa. Sesekali Akasa hanya mendapat pesan dari Sadhara yang memiliki banyak sekali makna. Seolah gadis itu hanya diizinkan mengirim satu gelembung pesan saja untuk Akasa.

Asa, ayo nonton bioskop. Ada Disney favorit aku!

Im sorry, ur Ara can't meet u :(

2 more days is our show!!

Aku kangen.

I love u

Sudah lima hari berlalu. Selalu seperti itu. Louve setiap hari datang ke rumah untuk berkunjung, menemui eyang dan membawa makanan yang lezat sekali. Tentu saja Akasa senang. Ibunya akhirnya datang, dan setelah bertahun-tahun akhirnya ia merasakan kasih sayang seorang ibu.

Benar. Louve terlihat sangat menyayangi Akasa. Mengajaknya berbincang segala hal tanpa. Menunjukkan pada ibunya tumpukan lukisan Gunung Rinjani yang pernah ia buat. Mengajak ibunya untuk datang ke kafe yang sudah ia dan eyangnya kelola.

Itu semua sangat menyenangkan bagi Akasa dan Louve. Akasa memang bahagia. Sangat bahagia. Ia pun paham betul untuk tidak membawa hubungannya dan Sadhara dalam kedekatannya dan Louve. Sementara ini, biarkan Akasa merasakan kasih sayang seorang ibu yang mungkin sebentar lagi akan hilang.

Lelaki itu tersenyum sembari menatap piano di hadapannya. Ia mengusap tuts putih yang begitu mengkilap. Ia begitu bahagia jika mengingat kenangan manisnya bersama Sang Ibu akhir-akhir ini. Sampai rasanya ia ingin menangis.

Jemarinya menekan tuts piano itu dengan sentuhan emosional. Memainkan melodi asal yang terdengar begitu indah.

Akasa berada di Lucrexia bersama ibunya. Apakah kalian tahu mengapa Louve ikut datang? Tapi mungkin kalian tahu bahwa Akasa dan Sadhara akan menjadi partner dalam pentas nanti.

Itulah sebabnya Louve datang. Ia ingin mengubah partner Akasa, dan ia ingin meminta agar Sadhara tampil solo saja. Jelas Akasa merasa hatinya terasa ditikam ribuan anak panah. Ia sudah bermimpi besar untuk pentas ini. Terlebih lagi, dirinya dan Sadhara sudah berlatih dengan segala macam penghalang. Lalu, ketika dua hari menuju pentas, Louve ingin menggagalkan semuanya?

Akasa ingin sekali menangis ketika pertama kali Louve membicarakan hal ini...

Nak, untuk pentas nanti, bunda pasti hadir buat kamu dan juga Sadhara. Tapi, bunda nggak bisa lihat kalian berdua berada di satu panggung yang sama.

Tetapi ia tak bisa. Ia hanya diam. Diam yang Louve artikan sebagai tanda setuju.

Akasa tidak mau ikut membicarakan ini bersama ibunya di ruang kepala sekolah. Itulah sebabnya ia melarikan diri untuk datang ke ruang musik yang kebetulan sedang kosong.

Setiap kali ia melihat piano, ia teringat pada Sadhara. Gadis angkuh yang sering sekali mengangkat kepalanya. Hey, tapi kemana perginya kebiasaan itu? Sadhara yang sekarang sudah tidak seperti dulu lagi.

Jemari Akasa kembali menekan tuts, kali ini dengan sebuah melodi yang familiar. Ia tersenyum, tersenyum begitu tulus diantara kesedihannya. Suara lembutnya kemudian terdengar, ia ikut bernyanyi.

"Ku buka album biru, penuh debu dan usang."

"Ku pandangi semua gambar diri, kecil bersih belum ternoda."

Entah mengapa matanya semakin memanas. Mata indah yang kian membuat penglihatan Akasa memburam itu seolah ingin memuntahkan air matanya.

Saat itu, pintu ruangan terbuka. Louve membeku di tempatnya ketika melihat putranya. Raut wajah wanita itu menjadi pilu. Alunan piano dan suara Akasa yang dapat ia rasakan betapa hancurnya lelaki itu.

"Pikir ku pun melayang, dahulu penuh kasih."

"Teringat semua cerita orang, tentang riwayatku."

Hancur sudah pertahanan Akasa. Air matanya mengalir dengan begitu deras, membasahi pipi dan hidungnya yang juga kian memanas. Suaranya bergetar, ia gemetar setengah mati. Meski begitu, Akasa tetap melanjutkan nyanyian indahnya.

"Kata mereka diriku selalu dimanja."

"Kata mereka diriku selalu ditimang."

Akasa memejamkan matanya, jemarinya terus menekan tuts piano seolah para tuts itulah yang memanggil jemarinya untuk disentuh.

Sama seperti itulah, sejauh apapun Akasa melangkah, Astrid akan selalu berada di pikirannya. Sebab eyangnya lah yang memanjakannya, menimangnya, dan tetap berada di sisinya hingga saat ini. Bukan bundanya.

"Nada nada yang indah, selalu terurai darinya."

"Tangisan nakal dari bibirku, takkan jadi deritanya."

Astaga, Akasa bahkan tidak tahu kapan terakhir kali ia menangis sebelum ini. Astrid selalu membuatnya merasa bahagia sekalipun ia hanya tinggal berdua. Astrid selalu membuatnya merasa cukup dengan memerankan banyak peran untuk membuat Akasa menjadi anak paling bahagia.

"Tangan halus dan suci, telah mengangkat tubuh ini."

"Jiwa raga dan seluruh hidup, rela dia berikan."

Di belakang sana, Louve menutup mulutnya rapat-rapat dengan tangan. Ia terisak. Ia berusaha menahan isakan tangisnya. Dalam hatinya ia merutuki diri, mengapa ia dengan begitu tega meninggalkan buah hatinya sendirian di sini.

"Kata mereka diriku selalu dimanja."

"Kata mereka diriku selalu ditimang."

Akasa membuka kedua matanya. Seketika saja air mata langsung membuat matanya kabur. Setetes air mata itu jatuh mengenai tuts yang ia tekan, sementara sisanya terjatuh bersama harapan yang kian memusnah.

"Ooh bunda ada dan tiada dirimu kan selalu ada di dalam hatiku..."

Tepat setelah dentingan piano terakhir, tubuh Louve oleng. Ia nyaris terjatuh jika saja tidak langsung berpegangan pada dinding. Hal itu mengundang perhatian Akasa. Putranya menoleh, menatap ibunya yang menangis sembari menatap kasihan dirinya.

Akasa menggeleng, ia mengusap pipinya yang basah, kemudian beranjak dari bangku piano. Lelaki tampan itu menghampiri ibunya, menatap wajah ibunya yang begitu mirip dengan dirinya dan Sadhara.

Mengapa ia tak pernah menyadari semua ini? Bahkan mata dan senyum ibunya mirip sekali dengan Sadhara, mirip sekali dengan dirinya pula. Mengapa semua baru terungkap setelah perjalanannya sudah begitu jauh?

"Asa... Maafkan bunda..." rintih Louve. Ia menangkup wajah putranya, mengecup keningnya berkali-kali sampai akhirnya Akasa memeluk tubuhnya dengan erat.

"Bunda... Asa nggak bisa bunda... Akasa sayang Ara..." bisik Akasa begitu menyakitkan.

Louve mengangguk, ia mengusap kepala anaknya yang lebih tinggi. Membiarkan anak laki-lakinya itu menangis di bahunya.

"Bunda tau nak, bunda selalu tau. Maafkan bunda karena telat menyadari kasih sayang, ya?"

"Bunda menarik lagi permintaan pergantian partner kamu dan Ara. Setidaknya, bunda bisa lihat kedua orang yang bunda sayang tampil bersama."

Akasa merasa lega. Ada sedikit rasa syukur di hatinya sebab ia masih memiliki moment istimewa bersama orang terkasihnya.

𓋜

Sepertinya hari ini adalah family time bagi Akasa. Sejak pagi hingga malam, ia ditemani ibunya kemana-mana. Lelaki tampan itu diajak pergi berbelanja bersama Astrid, meskipun sebenarnya ia sudah menolak mentah-mentah.

Louve membelikannya baju, celana, tas, hingga aksesoris yang sangat cocok untuk dirinya. Akasa juga dibelikan gitar baru! Entah sudah berapa juta uang yang dihabiskan Louve untuk semua ini. Namun tetap saja, bagi Louve, semua ini tidak sebanding dengan moment yang tidak ia rasakan selama Akasa kecil.

Setelah lelah berkeliling ibu kota, Louve mengajak Akasa dan Astrid untuk makan di barbeque yang terletak di lantai paling atas sebuah mall. Akasa bisa melihat city light.

Ah, ia jadi teringat pada city light ketika bersama Sadhara.

"Bu, ibu mau pesen apa selain daging?" tanya Louve seraya memilih menu.

"Daging juga cukup, gigi ibu masih kuat kok," jawab Astrid bercanda.

"Ah, ibu, sayur tomyam aja mau?" tawar Louve diiringi kekehan.

"Yasudah, pesan aja yang menurutmu enak," ucap Astrid tak mau pusing.

Beralih pada putranya, Louve tersenyum manis. "Akasa sayang, mau minum apa?"

"Mint choco ya, Bunda?" kata Akasa sambil menunjuk salah satu minuman dengan mata berbinar.

"Anak bunda suka yang rasa pasta gigi." Louve tertawa kecil.

"Ini enak loh, Bunda. Kenapa bunda sama eyang bilang kalau ini mirip pasta gigi. Padahal enak banget, kalah pasta gigi mah," omel Akasa tak terima.

"Tapi eyang cobain rasanya pedes," balas Astrid membela diri.

"Itu bukan pedes, Eyang. Kan rasanya begitu... Coklatnya juga banyak kok," lanjut Akasa.

"Tapi mint nya lebih banyak loh, Sa," Louve ikut menimpali.

"Kalo coklatnya banyak nanti jadinya choco mint, lagian kan kalo dinikmati nggak akan terasa."

"Kalo terlalu manis juga nggak bagus. Kayak Ara, dia suka rasa red velvet. Makanya tiap dia minta ke kafe selalu Asa kurangin kadar gulanya."

Tersadar akan ucapannya, Akasa pun terdiam. Bibir yang sejak tadi mengomel itu refleks merapat. Hal itu mengundang senyum miris dari Louve dan Astrid.

"Bunda, ini aja," kata Akasa sambil menunjuk buku menu.

Karena ini adalah meja VIP, maka hidangan pun datang tidak lebih dari 10 menit. Daging segar dengan wajan untuk memanggang sudah siap di meja. Akasa yang memandu, ia suka me dengar suara antara daging dan wajan panas.

"Hati-hati, itu jangan terlalu deket," ucap Louve waspada.

"Kamu itu loh, anakmu sudah sering terciprat minyak, air panas juga," ucap Astrid merasa tak setuju Louve berbicara seperti itu.

Louve menjadi sedih. Berapa banyak hal yang ia lewatkan dalam pertumbuhan putranya? Jatuh bangun yang Akasa hadapi. Ia bahkan tak pernah menanyakan kabar Akasa sejak Kares menikah dan dibawa terbang ke Italia.

Akasa tersenyum. Ia makan dengan hati-hati. Mengunyah sedikit demi sedikit sampai makanan di mulutnya habis. Dibanding mengangkat gelas dan menyedot minuman, Akasa memilih mendekatkan mulutnya pada sedotan, sebab sedotan itu terlihat memang dibuat untuk dipakai seperti itu.

Ibunya memperhatikan semua gerak-gerik putranya. Ia tak mau melewatkan sedikit bagian pun dari moment yang ia habiskan. Semua yang Akasa lakukan itu membuatnya teringat pada seseorang.

"Nak, kamu itu mirip sama ayah kamu," ucap Louve tiba-tiba.

"Sifat kamu, keperawakannya, cara makan, cara bicara..."

Louve kemudian menoleh pada ibunya. "Ibu nggak mikir dia mirip sama mendiang anak ibu?"

Astrid tersenyum tipis. "Andai kamu tau, selama ibu hidup berdua dengan Akasa, ibu serasa kembali ke masa muda dimana anak ibu masih ada."

"Andai aja ayah masih ada, semua bakal baik-baik aja kan, Bunda?" Akasa masih memanggang daging, tetapi mulutnya ikut berucap.

"Asa—"

"Kita bisa hidup sama-sama di rumah eyang. Aku sama Ara bisa jadi saudara yang saling menyayangi."

"Akasa, anak bunda, hidup itu memang sebuah permainan, Nak. Semuanya sudah diatur sama yang di atas. Kalau memang jalannya begini, kita sebagai pemeran bisa apa?"

Akasa diam, ia menyedot minumannya sekali teguk. "Jadi, aku harus ngikutin permainan ini. Tapi bunda, hati Asa bukan mainan... Sejauh apapun aku coba buat terima, rasanya susah, Bunda..."

"Bunda tau, sayang. Ini berat buat kamu. Percaya sama bunda, kamu bisa bersikap normal lagi setelah beberapa lama. Waktu yang bisa sembuhkan."

"Tapi kalau ternyata waktu justru membawa Asa semakin dekat sama Ara, apa yang harus Asa lakuin?" tanya Akasa. Louve mengalihkan pandangannya, ia menjadi tidak sanggup menatap wajah putranya.

"Waktu terus membawa Ara buat deket sama aku, Bunda. Tapi ini bukan permainan semesta, ini permainan dari ayahnya Ara untuk jauhin dia dari aku, benar kan?"

Louve tak berkutik. Ia kalah telak. Putranya memang pandai, sangat pandai. Ia memang ditekankan untuk menjauhkan Akasa dari Sadhara, sementara Dario yang ingin mengambil tanggung jawab Sadhara.

Itulah sebabnya ia mencoba memisahkan pentas mereka. Jika Dario sudah mengeluarkan perintah seperti itu, Louve tak punya pilihan lain selain menurut. Nyawa orang lain bisa terancam, dan ini sungguhan.

Ia tidak mau kejadian di masa lalu terulang kembali.

"Cucu eyang yang paling eyang sayang. Eyang, dan bundamu paham rasa sedih kamu, Nak. Tapi kalau hal ini terus kamu jalani, itu akan ajdi kesedihan yang nggak akan pernah berbuah manis..." ucap Astrid penuh kehati-hatian.

Akasa tahu kemana pembicaraan ini akan berlangsung. Ia merasakan hidungnya memanas lagi. Entah mengapa rasa emosionalnya tinggi sekali hari ini.

"Untuk itu... Eyang minta untuk kamu sekali lagi melepas apa yang seharusnya nggak kamu miliki, ya?" Astrid menggenggam tangan cucunya, mengusapnya dengan tangan lain yang gemetar.

"Eyang..."

Akasa melemah, sungguh jika menyangkut keluarga, ia menjadi yang terdepan dalam hal perasaan.

"Bunda mohon... Maafkan bunda, karena untuk kesekian kalinya bunda ngecewain hati kamu, Nak," kata Louve dengan berderai air mata.

Akasa duduk di hadapan eyang dan ibunya. Mereka terpisah oleh meja untuk tempat hidangan. Di atas meja itu, tangan Akasa digenggam. Tangan kanannya dirangkum oleh Sang Bunda, kemudian tangan kirinya digenggam erat oleh eyangnya.

Sekali lagi?

Haruskah Akasa melakukannya sekali lagi? Bukankah itu begitu kejam? Tapi apa yang bisa ia lakukan selain mengikhlaskan?

EPOTS

Emang ada ya yang bisa kalahin kasih sayang ibu?

Thank u and see yaa, Epotiess 💗

Continue Reading

You'll Also Like

1.1K 64 17
New Story ••• Baik buruknya 02z ini tergantung situasi. Ketika sedang baik, mereka sangat baik. Namun ketika prilaku buruknya muncul, jangan harap d...
3.7K 747 17
Bagaimana pendapat kalian jika kalian yang awalnya ingin mencari kasus disebuah hutan, namun malah berujung diteror? Itulah yang kelima member TXT ra...
11.3K 1.6K 21
Kisah 7 siswa SMA yang memiliki ikatan saudara tinggal dalam satu rumah. Senang sedih dilewati bersama, di temani kisah sekolah, keluarga, hingga per...
1.6K 358 20
{ On Going } Kisah yang bercerita tentang perjalanan 5 bersaudara yang mencari kebenaran murni dari kenyataan yang bercampur dengan kebohongan, keben...