السلام عليكم
Cerita ini tokohnya masih berkaitan dengan tokoh cerita sebelah(TERATAI) Jadi, yang belum baca TERATAI silahkan baca dulu biar ... biar apa yah, biar lebih mudah mahamin aja gitu, tokoh-tokohnya
Udah baca 𝐓𝐄𝐑𝐀𝐓𝐀𝐈 belum?
FOLLOW INI DULU•≫ 12kentang
🔥Notif update & info yang berkaitan dengan cerita ini aku saya share di Instagram
»@wp.12kentang
»@teratai_zinnia
Follow akun instagram roleplayer:
•≫zayden.abdijaya
•≫zainaayya
•≫elvanraymd
•≫sakyaalara
•≫eki.nuganteng
•≫dylanganedra
•≫nilaanitaa
•≫galih.saguna
🔥Spoiler di tiktok ini:
»@wp.12kentang_
»@desember.10
YouTube : @12kentang
🔥Info cast di pinterest
»12kentang
Jangan lupa vote & komentar
≪•≪•◦ ❈ ◦•≫•≫
Request spam komen ZAZA dulu dong sebelum baca
.
.
.
.
Area pemakaman sudah mulai sepi. Namun, Zayden dan Zaina masih betah di samping pusara yang masih basah di depan mereka. Di hadapan mereka ada dua orang masih menangis jauh sebelum acara pemakaman dimulai.
Zaina menggapai tangan Zayden, laki-laki itu otomatis menoleh ke arah istrinya.
"Semuanya akan baik-baik aja," bisik Zaina.
"Aamiin," balas Zayden menggenggam tangan Zaina.
"Anak mama gak boleh pergi secepat ini, mama gak mau kamu pergi, Sayang!"
Zayden tak tega melihat pemandangan di hadapannya sekarang. Namun, ia tetap diam tanpa bersuara.
"Ma, ini memang berat, tapi kita harus ikhlaskan," ujar laki-laki di samping wanita yang mengaku Mama.
"Nggak bisa, Pa! Mama sayang sama dia, di nggak boleh pergi secepat ini!"
Zaina berinisiatif untuk menggapai tangan wanita di depannya yang sekarang sedang mengacak tanah makam.
"Ma--"
"DIAM KAMU!"
Zayden melotot tidak percaya saat tangan Zaina ditepis dengan kasar.
"Maaf--"
"KAMU JUGA DIAM! GARA-GARA KALIAN ANAKKU PERGI! GARA-GARA KALIAN!" bentak wanita itu.
"Tapi--" Ucapan Zayden terpotong saat Zaina memberi kode untuk tetap diam.
"PERGI KALIAN DARI SINI!"
"PERGI!!"
"Nak, mohon pengertiannya dulu, ya. Kalian boleh pulang sekarang," ucap laki-laki yang masih merangkul istrinya yang masih menangis histeris itu.
Zayden paham, untuk itu ia mengajak Zaina pulang.
"Kak Zayden ...." lirih Zaina saat mereka berjalan keluar dari pemakaman.
"Aku khawatir," ucap Zaina.
Zayden menghentikan jalannya, ia membawa Zaina untuk menghadap ke arahnya.
"Enggak ada yang perlu kamu khawatirkan, Sayang," ucap Zayden.
"Z-zaya ...."
Zayden menghela napas lelah. Ia maju dan memeluk Zaina dengan erat. Kepalanya bertumpu pada puncak kepala Zaina.
"Kak Zayden, kamu nggak sedih?"
***
"Ma ...."
Zena mendongak saat mendengar suara putranya. Seketika itu juga ia berdiri dan memeluk Zayden.
"Ini salah mama, Zaya seperti ini karena mama. Andai tadi mama gak marahin dia, Zaya nggak akan kabur ke rumah kalian dan ini semua nggak akan terjadi," sesal Zena.
Zayden mengusap bahu Zena dengan penuh kasih sayang.
"Mama tenang dulu, jangan nyalahin diri sendiri, semuanya udah terjadi, Ma--"
"Gimana mama bisa tenang?! Zaya belum sadar juga, Zayden!"
Zein mengambil alih untuk memeluk istrinya. Laki-laki berkepala lima itu menuntun istrinya untuk duduk di sofa yang terdapat d ruangan mereka berada.
"Minum dulu." Zein mengulurkan minum ke Zena.
Setelah istrinya nampak lebih tenang, Zein barulah bertanya kepada Zayden.
"Bagaimana di pemakaman, Zay? Bagaimana keluarga korban?"
Sebelum menjawab, Zayden lebih dulu menarik kursi di samping berangkar, lalu Zaina ia suruh duduk di sana.
Zaina menggeleng.
"Aku berdiri aja, Kak. Kamu aja berdiri, masa aku duduk," tolaknya.
"Kamu duduk, ini perintah bukan penawaran," tegas Zayden tersenyum di akhir kalimatnya
Zaina hanya bisa pasrah.
"Enggak baik-baik aja, Pa. Ibu anak itu nggak terima dan malah menyalahkan kita." Zayden menjawab pertanyaan dari Zein.
"Kenapa gitu?! Salah mereka sendiri nggak becus jagain anak. Teledor banget, bisa-bisanya anak sekecil itu dibiarin main di jalanan, giliran ditabrak malah nyalahin orang," ungkap Zena dengan emosi.
"Dan kalo ada yang patut disalahkan itu dia, gara-gara dia yang teledor Zaya bisa jadi gini," lanjut Zena.
Zayden langsung melihat kondisi adiknya yang saat ini masih terbaring lemah dan belum sadar.
Saat pulang dari rumah Zayden dan Zaina, Zaya mengalami kecelakaan. Mobil taksi yang ia tumpangi tidak sengaja menabrak anak kecil yang tiba-tiba menyebrang tanpa pengawasan orang tua. Naasnya si sopir taksi tidak sempat menginjak pedal rem. Namun, ia sempat membanting setir hingga mereka menabrak bahu jalan. Namun, tabrakan itu tidak bisa dihindari, anak kecil yang masih berumur hampir 3 tahun tersebut meninggal dunia setelah satu jam sempat ditangani di rumah sakit.
Kondisi Zaya cukup parah, ada luka gores di pelipisnya, dan benturan yang cukup keras mengenai kepalanya, sama halnya dengan si sopir taksi. Sampai saat ini Zaya belum juga sadarkan diri.
Zayden mengusap puncak kepala sang adik. Ia meringis saat melihat infus yang terpasang di tangan Zaya.
Jika dibandingkan dengan keadaan Zaina waktu itu, kondisi Zaya belum ada apa-apanya. Dulu, ketika Zayden melihat Zaina untuk pertama kali setelah menikah di rumah sakit, Zayden pernah berpikiran bahwa Zaina tidak akan selamat karena melihat alat medis yang membantu Zaina untuk tetap hidup.
"Zaya, ayo bangun. Jangan bikin kita semua khawatir," bisik Zayden di dekat telinga Zaya.
"Ma, ini pelajaran juga untuk, Mama. Jangan terlalu memaksakan Zaya ini itu, liat sekarang anak itu," celetuk Zein. Zena hanya mengangguk. "Jangan sampai Mama menyesal lebih dari yang sekarang," lanjut Zein.
Bukannya tidak percaya, tapi Zayden yakin bahwa Mamanya belum juga mau berubah. Ia yakin setelah Zaya sembuh, sifat penuntut Mamanya akan kembali kambuh.
Setelah beberapa waktu mereka di sana, Zaya belum juga sadar.
"Zayden, Zaina, kalian pulang aja, Zaya biar Papa sama Mama yang jagain. Kalian harus istirahat, bagaimanapun tadi kalian sudah bersusah payah menyelesaikan masalah ini dengan pihak korban," ujar Zein.
"Nggak apa-apa, Pa, kita di sini aja ikut jagain Zaya," tolak Zaina.
"Enggak, Ay. Kita pulang sekarang, ya," ucap Zayden.
"Tapi--"
"Kita pulang," pungkas Zayden.
Jika sudah begini Zaina hanya bisa pasrah.
Setelah berpamitan, pasangan suami-isteri itu langsung pulang.
"Gimana, Kak?"
"Apanya?" tanya Zayden tidak mengerti. Ia menoleh ke samping, di mana Zaina duduk di sana. Detik berikutnya ia kembali fokus memperhatikan jalan.
"Suasana hati kamu?"
"Hm?" Zayden berpikir sejenak.
"Lagi deg-degan. Biasalah, Ay, dekat cewek cantik," lanjut Zayden terkekeh.
"Berarti setiap dekat cewek cantik kamu selalu deg-degan, Kak?" tanya Zaina menyelidik.
"Iya," jawab Zayden dengan jujur.
"Ih, kok gituuuu?"
"Ya, kan, aku baru ketemu cewek cantiknya itu kamu doang, Ayana," jawab Zayden tertawa.
Zaina langsung menggigit pipi dalamnya. "Masa, sih?" gumamnya.
"Aku cantik berarti, Kak?"
"Cantik banget," jawab Zayden.
Tangan kiri Zayden terangkat untuk menggapai pipi Zaina, jari telunjuknya bergerak untuk menusuk-nusuk pipi putih istrinya itu.
Zaina sontak cemberut karena tingkah suaminya.
"Kok bisa ada lesungnya gini?" tanya Zayden menoleh sekilas. Tangannya kirinya masih asik memainkan pipi Zaina, dan sesekali ia mencubit pipi itu. Sedangkan tangan kanannya fokus menyetir.
"Udah dari sononya, Kak," jawab Zaina. Ia menahan tangan Zayden, berikutnya ia mengambil alih permainan.
Sekarang tangan Zayden Zaina genggam. Jari mungil itu bergerak memainkan jari-jari Zayden.
"Ini tangan aku yang kekecilan atau tangan kamu yang kegedean, ya, Kak?" tanya Zaina.
Zayden tertawa.
"Ini wajar-wajar aja kok, tangan kamu juga nggak kekecilan. Coba liat ini ...." Zayden membalikkan keadaan. Sekarang ia yang menggenggam tangan Zaina.
"Tangan kamu seakan-akan tercipta untuk aku genggam. Pas banget," lanjut Zayden.
Zaina tersenyum manis melihat tautan tangan mereka.
"Aku bangga jadi tulang rusuk kamu, Kak," ungkap Zaina menoleh ke arah Zayden.
"Aku yang bangga, Ay. Tulang rusuk aku ternyata kamu," balas Zayden.
Zaina reflek menutup wajahnya dengan tangan Zayden yang tadi menggenggam tangannya.
"Kok gitu, sih?" seru Zayden merasa gemas dengan tindakan Zaina.
"Bisa nggak jadi istri itu jangan terlalu gemesin?" lanjut Zayden.
"Gemesin gimana? Aku biasanya aja, ya. Jangan lebay, deh," jawab Zaina setelah menurunkan tangan Zayden dari wajahnya.
"Nggak lebay, kamu bener-bener segemesin itu, Ayana."
Zaina hanya manggut-manggut.
"Ay ...."
Zaina menoleh. "Iya?"
"Kamu pake skincare apa?
🌼🌼🌼
"Alhamdulilah kalo gitu."
"Iya, besok kakak ke sana. Sekarang kamu istirahat."
"Waalaikumsalam."
Zayden kembali meletakkan ponselnya di atas meja makan.
"Zaya?" tanya Zaina dan diangguki Zayden.
"Kondisinya udah membaik, besok juga udah boleh pulang," jelas Zayden sebelum Zaina bertanya.
"Alhamdulilah kalo gitu," jawab Zaina terlihat bahagia.
"Hm, kenapa Kak Zayden nggak suka makan daging?" tanya Zaina setelah terjadi keheningan beberapa menit.
Setiap ia ingin memasak dan bertanya kepada Zayden, suaminya itu mau dimasakin apa, pasti Zayden jawabnya terserah asal jangan daging. Setiap berbelanja pun Zayden tidak membolehkan Zaina membeli daging. Ia lebih suka ikan. Zaina jadi penasaran sebabnya.
"Karena harganya mahal," jawab Zayden.
Zaina melongo tidak percaya. Yakin karena harganya mahal?
"Masa, sih, Kak?"
Zayden terkekeh.
"Nggak suka aja, Ay. Nggak ada alasan khusus kok, nggak suka baunya," jawab Zayden. "Mau sapi, kerbau ataupun kambing," lanjutnya.
"Udah dimasak, kan, aromanya harum," ujar Zaina berpendapat.
"Tetap beda." Zayden berpendapat.
Saat ini mereka baru saja selesai makan malam, tapi tadi Zaya menelepon.
"Aku mau nanya boleh?" izin Zaina sebelum bertanya.
"Sini," perintah Zayden.
"Duduk di sebelah aku," lanjut Zayden menepuk kursi di sebelahnya karena saat ini Zaina duduk di hadapannya.
Zaina menurut. Perempuan itu bangkit dari duduknya, lalu pindah ke sebelah Zayden.
Sebelum Zaina duduk di sampingnya itu, Zayden lebih dulu menarik lengan perempuan itu hingga terduduk di pangkuannya.
Mata Zaina melotot, terlebih lagi jantungnya yang langsung berdegup kencang. Apa suaminya itu ingin membuatnya jantungan? pikir Zaina.
"K-kak ...."
"Udah, di sini aja," ucap Zayden tersenyum puas saat istrinya itu meringkuk di depan dadanya.
"Malu?" tanya Zayden lagi.
Zaina spontan mengangguk dan menyembunyikan wajahnya di dada Zayden.
"Malu sebagian dari iman, tapi malu sama suami itu nggak perlu nggak, sih, Ay?" tanya Zayden terkekeh.
"Malu itu termasuk emosi seorang manusia, jadi kita sebagai manusia nggak bisa mengendalikan perasaan malu, Kak," jawab Zaina terkikik.
"Gitu, ya?" Zayden manaik-turunkan alisnya saat Zaina mendongak.
"Iya, lagian kak Zayden kenapa suruh aku duduk di pangkuan kamu? Memangnya nggak berat? Itu kasian kursinya dibuat tapi nggak digunain," ujar Zaina menunjuk kursi-kursi yang ada di sekitar mereka.
"Biar mesra," jawab Zayden mengulum senyum.
"Tapi, kan, nggak harus gini posisinya--"
"Harus gini," potong Zayden final.
"Bikin suami senang itu pahala, Ay. Bersyukur kita udah menikah, jadi bermesraan itu bisa jadi ladang pahala," lanjut Zayden sambil mengusap puncak kepala Zaina.
"Ayana masih amatiran, Ayana belum bisa buat suami senang, tapi Ayana akan belajar ...."
"Zaina akan lawan semua ketakutan, melawan rasa malu juga hanya untuk ...." Zaina menjeda ucapannya.
Tangannya bergerak untuk melingkar di leher Zayden. "Untuk kak Zayden," lanjutnya tersenyum lembut.
Zayden cukup kaget dengan feedback yang diberikan Zaina, tapi ia juga senang.
"Kamu tau nggak kenapa aku suruh kamu duduk di sini?" tanya Zayden menyeringai.
Zaina meneguk ludahnya dengan kasar saat melihat seringai itu.
"Karena di bibir kamu ada tamu," beritahu Zayden.
"Tamu?"
Cup
"Masih ada nasi yang belum masuk, Ay," jelas Zayden setelah mengambil sisa nasi yang berada di bibir Zaina dengan bibirnya.
.
.
.
.
CUKUUUUPP!!
Kurangi siders plisss
Jangan lupa follow akun ig wp.12kentang
3,2k vote+3,5k komen langsung update
Spam next
Spam zaza
Spam huruf z
Spam 12kentang
Jangan lupa nabung dari jauh hari untuk zaza wkwk
See u
Eh, bentar aku mau nanya seriusss
Kalian pilih partnya pendek, tapi up 2 kali seminggu atau up sekali seminggu tapi partnya panjang???
Jangan bilang maunya up tiap hari kalo siders masih bertebaran 😌