ABANDONNER II KTH

Bởi windarasari

38.1K 2.8K 656

{Brothership, Friendship, Familly, Sickstory, Slice Of Life} Kamu akan mengerti makna egois dalam arti yang s... Xem Thêm

ABANDONNER II
BY ELLIOT
BY ELLIOT
BY ELLIOT
BY ELLIOT
BY ELLIOT
BY ELLIOT
ABANDONNER II
BY TAKSA
BY TAKSA
BY TAKSA
BY TAKSA
BY ELLIOT
BY ELLIOT
BY TAKSA
BY ELLIOT
BY TAKSA
BY ELLIOT
BY ELLIOT
BY TAKSA
Spill From Levo
BY ELLIOT
BY TAKSA
BY ELLIOT
BY TAKSA
BY TAKSA
Spill From Ibu
Heartfelt Goodbye
BY ELLIOT
BY ELLIOT
BY TAKSA
A Walk To Remember
BY TAKSA
BY TAKSA
Spill From Ibu
BY ELLIOT
BY ELLIOT
Spill From Ibu
A Walk To Remember
Spill From Papa
A Walk To Remember
BY TAKSA
Spill From Ibu
Spill From Papa
Heartfelt Goodbye
Spill From Ibu
ABANDONNER II
Epilog
Epilog-2
Epilog 3

BY ELLIOT

481 44 6
Bởi windarasari

Lolos keluar rumah sakit nyatanya tak membuat kehidupanku menjadi sedikit menyenangkan.

Sama saja. Tidak bebas pergi, selalu di awasi dan selalu di batasi, main ke taman samping melihat anak-anak bermain pun tak diperbolehkan lama-lama, padahal ibu dan Levo juga sama-sama jarang di rumah dan bisa-bisanya tega mengukungku seperti ini.

Minggu-minggu pertama seperti itu, hanya menurut dan pasrah.

Namun menjelang minggu kedua dan ketiga, sampai sebulan belakangan ini, jadi sedikit berbeda, mungkin karena bosan aku jadi sedikit membangkang dengan memaksa pergi diam-diam beberapa waktu di sekitar taman untuk sekedar menikmati udara segar.

Dan itu selalu kulakukan setiap kali selesai guru Lee datang mengajar.

"Nah selesai."

Potongan Lego terakhir berhasil terpasang, lantas ku serahkan pada seseseorang disebelahku. bukannya ungkapan kata yang keluar, justru dengan senyum lebarnya, anak itu memelukku tanpa aba-aba.

"Terimakasih kak, ini sangat indah. Aku akan memajangnya di tempat aman supaya adikku tidak melihatnya." Ucapnya sambil menggesekkan kepalanya di dadaku.

Aku sedikit meringis saat tak sengaja kepalanya itu menekan selang LVAD-ku, meski tau tak ada maksud menyakiti tapi aku paham dia sedang menunjukkan rasa terimakasih dengan cara seperti ini. setelah puas mengusap punggung kecilnya, perlahan pelukannya kulepas.

"Eh, tidak boleh seperti itu dengan adik sendiri." Kataku.

"Adikku sering menghacurkan mainanku, itulah alasan kami sering bertengkar. Makanya, karena ini barang berharga dari kakak jadi aku harus menjaganya dengan baik supaya tidak rusak ditangannya."

"Baiklah, kalau begitu, jaga baik-baik Lego ini untukku ya? siapa tahu jika suatu saat nanti kita tidak bisa bertemu, Lego ini bisa menggantikan kerinduanmu padaku."

Anak laki-laki bertubuh tinggi yang Bernama Rei ini mengerutkan alis. Dia tetanggaku, kami akhir-akhir sering Bersama duduk di taman.

"Kenapa seperti itu? Jika aku rindu, aku datang saja menemui kakak, kan, rumah kita bersebelahan."

Rei menjawab dengan sangat polos.

"Rei, kau tahu kan aku jarang di rumah?" Rei mengangguk. "Aku juga tidak menjamin berapa lama aku akan di rumah." Jawabku sembari memijat dadaku yang sedikit nyeri. Rei sendiri tahu kondisiku sakit dan selama ini berada di rumah sakit dalam kurun waktu yang lama. Anak itu terlihat panik, namun aku berusaha membuatnya agar tidak terlalu mengkhawatirkan dengan tetap menampilkan senyuman.

"Kenapa seperti itu kak? Kakak akan pergi ke sekolah pesantren ya?"

Lontaran polosnya lagi-lagi membuatku tak habis pikir dengan Rei. Aku tertawa jadinya. "Memangnya setiap orang yang tidak bisa berlama-lama di rumah selalu berakhir ke pesantren?"

Dia mengangguk. "Seperti Bang Jadas depan rumah itu, kak. Kata mama Dia jarang terlihat karena sedang di pesantren."

Bola mataku berputar, sekilas keadaanku memang mirip seperti anak santren tapi dengan konteks yang berbeda jauh. Dalam kukungan itu mereka menuntun agama, sedangkan aku menuntun...hah. Sulit di jelaskan.

Menuntun kematian mungkin.

Aku berusaha mengalihkan topik. "Eh lukamu sudah mengering?"

Rei melirik kakinya yang masih dibalut perban. Bercak merah dari obat yang bercampur luka kini mulai mencoklat.

"Sudah lebih baik, tapi masih perih." Dia tersenyum ke arahku. "Terimakasih ya kak Ell sudah menemaniku setiap sore disini, dengan Lego-lego yang kakak bawa ini. Kukira, aku akan mati bosan karena tidak bisa bermain bola dengan Yoga dan yang lainnya disana." Mata Rei menunjuk depan, tepat pada teman-teman sebayanya yang tengah asik berlarian mengejar bola.

Aku tahu rasa bosan yang Rei maksud, bahkan jauh lebih tahu dari itu. Saat tak sengaja melihat anak itu duduk sendiri di kursi taman, aku dapat melihat rasa iri sekaligus bosan Rei dengan keadaannya yang sedang cedera. Tak bisa bermain seperti yang lain adalah hal yang menyakitkan pernah ada.

Kedatangan Levo memecah lamunanku. Dia datang menepuk bahuku lalu ikut duduk di sebelahku. Dia baru saja pulang kampus.

"Dari mana kau tahu aku di sini?"

"Balkon kamarmu. Ayo pulang makan, minum obat. Besok juga jadwalmu kontrol."

Aku mendengus. Sudah kuduga, dia datang-datang dengan segala macam template nya seperti itu. Tidak ada hal lain apa yang bisa dia katakan saat aku di luar seperti ini misalnya. 'Apa permainan bola tadi menyenangkan? Apa yang kalian lakukan di sini?', 'Wah langit sore dari taman ini bagus ya? pantas kalian betah disini, bla bla bla...' Begitu misalnya... Oke meski mustahil untuk tawaran bermain bola itu, tapi minimal, bisakan dia basa basi dengan orang lain? Sulit sekali punya kakak kaku seperti ini.

Tanpa babibu pun manusia itu menyeretku pulang, berpamit singkat dengan Rei yang masih betah duduk disana. Aku yang tenaganya jauh lebih kalah ini pun tak bisa berontak, juga kalah dengan suara cicitannya yang menggema di seluruh kompleks.

Jarak rumah dari tempatku sekarang hanya bersebelahan, Tapi lumayan menguras tenagaku yang payah ini. Napas yang sudah diatur seapik mungkin terlihat normal juga pada akhirnya ternotifikasi oleh Levo yang super peka.

"Sesak?"

"Tidak, hanya sedikit Lelah. Berhenti sebentar di sini." Menghentikan Langkah untuk mengibas bajuku yang terasa lengket menempel dikulit karena keringat. Payah sekali, padahal aku sudah berdiri di depan gerbang rumah.

Levo menghampiriku dengan wajah sedikit kesal. "Kali ini berapa putaran sampai sesak begini?" nadanya penuh mengintimidasi.

Bagai tersambar petir di siang bolong. Bagaimana mungkin manusia ini tahu?

Aku menelan ludah kasar.

"Jangan tanya bagaimana bisa aku tahu. Katakan saja, berapa kali putaran hari ini?"

"Vo... aku hanya..mm..ini apa namanya mmm..."

Tanpa menungguku yang tengah mencari jutaan alasan karena ketahuan bersepeda keliling taman, tubuh Levo membungkuk di depanku. "Naik sekarang sebelum aku benar-benar marah."

Muluktu terkatup rapat. Mau tidak mau badan yang rapuh ini kuserahkan padanya, lalu menggulung lehernya dan menenggelamkan kepala di ceruk lehernya. Keringat basah terserap di kerah baju kemeja Levo.

"Maaf ya Vo." Bisikku saat di perjalanan.

Kaki Levo melangkah lebar menaiki tangga, dia bukan sedang mamerkan kekuatannya pada disiapapun karena mampu melakukan itu dengan beban berat dipunggungnya, namun lebih kepada perasaan ingin cepat sampai ke tujuan karena sosok yang dia bawa mulai kepayahan bernapas.

Levo membaringkanku di Kasur dengan setengah duduk. Tingkat rasa sesaknya mulai naik, aku berusaha melonggarkan jalan napas dengan membuka kancing baju. Sedangkan Levo sendiri tengah mengatur laju oksigen lalu memasangkan nasal cannula di hidungku tanpa banyak bicara.

Tanpa kusadari, aku menggenggam tangan Levo dengan kuat untuk mengurangi rasa panik lalu perlahan mengendur Begitu udara masuk, aku menghirupnya dengan panjang. Lega sekali rasanya. Untung saja si jantung tidak terlalu berulah, hanya dengutan kecil yang sakitnya bisa ditahan.

Aku sesekali membuka mata saat masih mengatur napas yang masuk dari benda itu. Kuperhatikan Levo yang menatapku jengah, lalu ku tutup lagi mata ini. menakutkan, tatapan itu terlalu menakutkan.

Kamarku berubah menjadi sangat dingin dan sunyi karena kami berdua tak ada yang bersuara. Mungkin lebih kepada Levo yang menahan semua amarahnya karena melihatku yang sedikit kepayahan ini mulai membuat onar. Jadi dia hanya diam, dan aku takut bersuara.

"Dadaku tidak sakit Vo, hanya sedikit Lelah saja. Masalah Tadi aku hanya bersepeda satu putaran saja kok." Niat mengklarifikasi kesalahpahaman dengan kata-kata yang baik dan benar rupanya tak cukup bagi Levo. Muka dia masih marah.

"Ini jam berapa, Vo? Kenapa ibu belum pulang? Aku sudah lapar." aku berusaha mengalihkan topik.

Levo melirik ponselnya. "Setengah enam." Katanya.. "Aku membawakanmu ayam Hainan, jadi makan duluan saja dari pada menunggu ibu nanti tidak hangat lagi." sambungnya.

Tubuhku jadi menegak mendengar menu makan malam kali ini. "Hainan? Wah ayo kalau begitu kita makan sekarang."

Helaan napas keluar berat dari bilah bibirnya. "Tunggu dulu Elliot, aku belum selesai bicara." Dia menahan tanganku, menatapku dengan dalam. "Kenapa bermain sepeda, mm? kau tau kan itu tidak boleh. Apa selama kami tidak di rumah kau selalu melakukan pantangan seperti ini?"

Aku memilin selang oskigenku. Rupanya pembahasan perkara sesak masih berlanjut dan tidak akan selesai tanpa mendengar penjelasan detail. Baiklah, Udara dalam nasal canulla kutarik lebih dalam lagi sebelum bicara Panjang lebar lalu berhembus melalui mulut.

"Aku bosan." Untuk sesaat, aku tak berani menatap Levo yang juga tengah menatapku, hanya lantai yang jadi fokosku.

"Vo, aku hanya bosan. Setelah pulang dari rumah sakit kalian tetap menahanku di rumah, tidak memperbolehkanku keluar. Aktivitasku hanya belajar saat guru Lee datang, tidur, makan dan menunggu kalian lalu tidur lagi. Saat-saatku keluar dari rumah adalah saat kembali ke rumah sakit untuk kontrol, itupun hanya terjadi seminggu sekali." Kini aku memberanikan menatap Levo. Dia menunduk saat mata hitamnya terlihat meneduh.

"Elliot, kau itu seperti kulit telur yang aku jaga bersama ibu agar tidak pecah."

"Sebaik apapun kau menjaganya agar tidak pecah, tapi kau melupakan fakta bahwa telur juga bisa membusuk dari dalam."

"Ell.."

"Vo, aku tahu kalian begitu menjagaku dan menyayangiku, aku tahu kalian tak bermaksud meninggalkanku dengan segala aktivitas kalian. Aku memahami jika apa yang kalian lakukan semua itu untukku, ibu bekerja untuk biaya pengobatanku yang mahal, kau kuliah dan bekerja sekaligus...aku tahu, aku cukup merepotkan..hanya saja..."

Begitu melihatku menjeda untuk menarik napas panjang, Levo mendekat dan mengusap dadaku. "Hentikan Ell, kau masih sesak."

Tentu aku tidak mudah menyerah begitu saja. Aku tetap lanjut mengeluarkan curahan hati yang beberapa minggu ini tersimpan rapat. Levo juga berhak tahu apa yang kurasakan beberapa minggu ini bukan?

"Hanya saja Vo... seberapa keras kalian menjagaku, aku akan tetap seperti ini...rapuh. Seberapa kuat kalian menahan kulit telur ini tidak pecah, pada akhrinya dia akan membusuk di dalam. Aku sama sekali tidak keberatan dengan semua kukurangan ini, hanya sedikit keinginanku pada kalian. Tolong biarkan inti dalam telur ini tidak membusuk. Kau tahu kan maksudku apa?" Levo tetap diam, tapi aku tahu dia setuju dengan ucapanku.

"Biarkan aku melakukan hal yang kusukai selagi dalam batas wajar. Aku bahkan tidak merengek untuk diantar bertemu Taksa karena paham kalian sedang sibuk, aku hanya memastikan perkembangannya dari bertukar kabar dengan Yanan. Aku bahkan tidak nekat ingin menemuinya tanpa persetujuan kalian bukan? Aku tidak ingin merusak kepercayaan kalian terhadapku, tapi kenapa kau dan ibu seolah tidak percaya padaku?"

Levo membisu. Gerakan mengelus dadaku pun berhenti mendadak dengan tatapan kosong ke bawah. Aku meraih tangannya agar tetap bertahan didadaku.

"Kalian tidak mempercayaiku jika aku akan baik-baik saja di luar sana."

Levo menggeleng tak setuju.

"Aku percaya padamu, tapi tidak dengan tubuhmu. Tubuhmu..kau tau kan apa maksudku."

Intinya sama saja kau tidak mempercayaiku Vo. Aku menarik sudut bibir. "Tubuhku, aku sendiri yang merasakannya, bang. Mau seperti apa pun menjaganya, jika waktunya tumbang ya tumbang. Seberapa keras kalian menjaga cangkang telur tidak pecah, inti telur ini tetap akan membusuk jika tidak di rawat dengan baik. Jadi bagaimana caranya agar inti telur ini tetap baik?"

Aku menggengam tangan kakakku dengan Lembut, berharap dia paham apa yang ku maksudkan ini adalah sebuah pesan yang membuatnya sadar tentang pentingnya menjaga mentalku.

"Bantu aku ya Vo... bantu aku menikmati hidup dengan baik selagi masih bisa kulakukan sekarang."

"Mm..." Levo hanya berdehem lalu mengalihkan pandang. Dia melihat ponsel sebagai pengalihan diri agar tidak larut perasaan sendu. Padahal aku tau anak itu mati matian menahan air matanya agar tidak jatuh.

Tanpa sengaja mataku bergulir pada figure Lego yang tersusun rapi di Lemari. Baru sadar jika kami membahas topik terlalu jauh. "Oh masalah tadi. aku hanya berniat menghibur Rei, anak itu nampak sedih dan bosan karena tidak bisa bermain dengan temannya. Jadi aku berinisiatif menghiburnya dengan bersepeda satu kali saja, rupanya itu tak membuat anak itu senang. Jadi kubawakan saja Lego yang ada di rumah dan mengambilnya dengan sepeda. Ehh dia senang setelah ku ajak merakit"

Ya kurang dan lebihnya aku menjelaskan kronologi penyebab kelelahanku.

Levo memutar mata malasnya. "Berati itu tidak satu putaran Elliot! Pantas saja tubuhmu kelelahan begini." Dia menunjuk kepalaku ke belakang.

Aku menghedikkan bahu untuk pertanyaan itu. Akhir-akhir ini dia memang sedikit manja. Padahal aku makan dan minum obat dengan baik.

Levo berdiri dengan niat mengambilku makan. Bukannya cepat-cepat melangkah tapi dia justru terdiam, berdiri di ambang pintu, seperti tengah terkejut.

"Ada apa? Apa kau melihat hantu?"

"Ah ini... b-bukan apa..a-ku turun dulu."

Levo menoleh kikuk, dia berbucap dengan nada gagu disertai gelengan beberapa kali lalu melangkah lebar ke bawah tanpa melanjutkan bicaraannya.

"Dia kenapa" kataku sendiri. Semakin orang bersikap aneh, semakin membuatku penasaran, maka dengan hati-hati aku melepas nasal canula dan melangkah pelan bertumpu pada pinggiran ranjang untuk memastikan. sosok yang membuat levo tergagap muncul memasuki kamar.

"Anak nakal. Kenapa di lepas? Ayo kembali, biar ibu pasang. Masih sesak kan?"

"Ibu? Kapan ibu datang?"

Sedikit memaksa ibu menarikku kembali ke ranjang. Sembari memasukkan selang ke lubang hidung, fokusku tertuju pada mata ibu yang sembab dan hidungnya memerah.

"Ibu, ibu kenapa menangis?" tanyaku langsung to the point.

Ibu menatapku dengan alis mengkerut "Ibu tidak menangis." Jawabnya sok tegar. Padahal ketara sekali suaranya serak khas menangis.

Detik ini dapat kusimpulkan jika ibu sudah datang sejak tadi dan mendengar semua keluh kesahku pada Levo tadi.

"Ibu tidak pandai berbohong." Kataku.

"Masih sesak?"

Alih-alih menjelaskan ibu malah balik bertanya. Ya sudah, akupun ikut-ikut mengalihkan rasa sedih dan bersalahku karena membuat ibu sedih.

"Aku punya hadiah untuk ibu."

Aku menarik laci sebelah ranjangku dengan jangkauan yang pas.

Setangkai bunga Matahari dari lego berwarna kuning dalam genggamanku kuserahkan pada ibu. Aku mencium ibu terlebih dahulu sebelum benar-benar memberikannya sebagai tanda maaf yang tak bosan kukatakan.

"Anak ibu romantis sekali." Ucapnya sembari mengelus punggungku.

"Jangan menangis bu, nanti bunganya jadi layu."

"Mana bisa bunga ini layu."

"Bisa. Layu dengan versinya sendiri. Rangkaiannya akan terlepas jika ibu terus menangis."

Lego bunga ini nampak abadi. Jika diibaratkan lego ini akan selalu seperti ini, nampak abadi tanpa layu sedikit pun, aku harap ingatan tentangku juga akan abadi dalam ingatan ibu.

.

.

---

Jika dikatakan ini adalah yang ditunggu-tunggu maka jawabannya benar.

Jadwal kontrol berbarengan dengan jadwal menjengguk Taksa adalah yang terbaik. Sepertiku kataku pada Levo, aku tak bisa sesuka hati pergi menjenguk Taksa begitu saja karena kepergianku bisa menimbulkan kepanikan untuk mereka berdua, dan tentu aku tak mau menambah daftar pengacau aktivitas mereka yang padat karena hal itu.

Sejauh ini hanya melalui Yanan aku mengetahui perkembangan kondisi Taksa. Terakhir kali, Yanan bilang jika Taksa mulai rehabilitasi pertamanya, dan kemarin malam kondisinya sangat baik. Kemarin malam pun untuk pertama kalinya kami video call  beberapa menit sebelum ponselnya di rebut perawat jaga karena anak itu tidak kunjung tidur.

Sedikit info, Taksa bangun tiga hari setelah aku kembali ke rumah. Menyebalkan, aku sudah menunggu lama kesadarannya kembali saat masih di sana dan baru sadar setelah aku baru saja pulang. Terlebih datang menemuinya sangat sulit, jadinya aku baru bisa bertemu seminggu setelahnya.

Semua itu tak masalah selagi dia baik-baik saja dalam pengalamatanku.

.

.

.

--

"Permisi...Permisi.."

"Elliot kau disini?" teriak salah satu perawat yang tak sengaja berpapasan denganku.

"Iya."

Selesai pemeriksaan, aku langsung melenggang ke kamar Taksa tanpa memperhatikan langkah, menabrak beberapa orang sampai mendapat teguran pun sepertinya tak kupedulikan.

"Elliot jangan lari-lari.!" Levo berteriak dari belakang sembari berlari kencang.

Tujuanku hanya satu...

Memberi informasi menyegarkan di hari minggu yang cerah ini padanya.

Secepat kilat Levo menyamai langkahku. Dia menarik pundakku untuk dipaksa berbalik.

"Bisakan kau jalan pelan-pelan saja? Kita tidak sedang terburu-buru anak nakal. Kau akan tetap bisa mengatakan itu pada Taksa kapan pun." Levo berdecak kesal. Dia klabakan karena melihatku berjalan cepat, padahal aku baik-baik saja.

Awalnya aku ingin mengumpat pada manusia ini karena menunda pertemuanku, tetapi setelah diingat-ingat perbuatan baik yang dia lakukan padaku hari ini membuatku tersadar jika sejak tadi aku belum sempat mengatakan...

Aku memeluk Levo terlebih dahulu.

"Terimakasih bang. Terimakasih karena telah membantuku membujuk dokter Hans dan ibu." Kataku setulus mungkin. Aku makin mengencangkan pelukanku saat dia mengelus kepalaku, berbisik 'sama-sama' dari mulutnya.

Kemudian...

Greppp.

Dia berbalik dan menggendongku tanpa aba-aba.

"Kalau sudah diberi izin jangan nakal. Ikuti aturannya atau kertasnya ku sobek dan kau tidak jadi pergi." Kata dia saat aku hendak berontak ingin diturunkan. Kan malu, dilihat banyak orang yang berlalu lalang di lobi rumah sakit begini.

Tapi jika dipikir-pikir benar juga, aku harus menghemat energi sebagi mungkin.

Sampainya di kamar Taksa aku disuguhkan dengan pemandangan yang tidak asing.

Dia tengah berlatih berjalan dengan alat bantu semacam kruk begitu dengan baju terusan Panjang berwarna biru. Di kedua sisinya ada kak Demi dan Yanan yang berjaga-jaga jika anak itu oleng atau memerlukan bantuan.

Dia tersenyum saat tau aku tiba, tak nampak kaget sama sekali karena sebelumnya aku telah memberitahunya jika akan datang menemuinya.

"Turunkan aku cepat." Cicitku pada Levo.

Bukannya menurunkan, dia malah makin mendekatkanku pada mereka, dalam gendongannya, aku berdecak. Untung saja tidak ada perawat lain yang tidak ku kenal. Jika ada, tak terbayangkan betapa malunya aku saat ini.

"Kau nampak lebih sehat dari sebelumnya, Taksa." kataku.

Benar, rona pucatnya berangsur lenyap berganti wajah sehat pada umumnya. Sayangnya, beberapa kabel dan selang infus masih tersemat dalam tubuhnya.

"Ini sudah mulai membaik." Sahutnya. Dia berjalan mendekatiku dengan langkah sangat pelan.

"Turunkan aku Vo, mau sampai kapan kau menggendongku seperti ini?" aku mencicit lagi sembari mencubit pinggangnya. Hanya itu cara terbaik melawannya.

Levo menurut dan menurunkanku.

Aku kembali memperhatikan setiap jengkal tubuh temanku yang kini benar-benar nampak sehat. Kabar baik datang dari Yanan saat aku cukup lama berada di sini. Taksa dikatakan remisi parsial.

Cukup melegakan meski tak sepenuhnya melegakan. Kondisiku jadi mirip dengannya. Kami sama-sama memiliki waktu istirahat untuk melawan kesakitan luar biasa yang biasanya terus menyerang. Sel kanker dalam tubuh Taksa sedang tidur, sedangkan jantungku sedang tidak manja karena terbantu sementara dengan robot ini. Begitu. Bukankah itu hal yang sangat menguntungkan untuk kami berdua menikmati masa-masa kejayaan tanpa rasa sakit sementara waktu?

Maka jawabannya iya. Oleh sebab itu, dengan senang kumemberi tahu kabar baik jika Levo berhasil membujuk mereka dan aku diizinkan melakukan perjalanan balas dendam dengan Taksa secepatnya.

Sebelum maut menggagalkannya.

"Aku dibolehkan untuk melakukan simulasi, kau ikut ya? Gallen juga akan ikut."

"Simulasi?"

"Mm. Mereka telah menekan kontrak disini, jadi tidak ada yang bisa seenaknya menggagalkan rencana kita nantinya." Aku melirik sinis Levo yang merebahkan badan di sofa bad Bersama Yanan, lalu memerkan kertas yang berisi tanda tangan dari ibu, Levo, papa, mama, dokter Hans dan Yanan yang sejak tadi ku bawa pada Taksa."

Taksa hanya melongo, otakknya seperti setengah-setengah merespon ucapanku. Beberapa saat diam dan terpaku membaca setiap kata dalam lembaran putih itu, akhirnya dia tersenyum dan mengangguk.

"Ayo lakukan Bersama." Katanya.

.

..

.

..

.

.

...

.

..

.

..

.

..

Ada yang kangen mereka??

Bunga lego yang Elliot rakit buat ibu Nara bentukannya begini nih.

Yogyakarta, 13 Mei 2023

Anyeong....

Đọc tiếp

Bạn Cũng Sẽ Thích

422K 8K 13
Shut, diem-diem aja ya. Frontal & 18/21+ area. Homophobic, sensitif harshwords DNI.
7.5K 599 13
"Maaf, tae membuat abang pergi" lirihan suara itu di iringi air mata, menunduk sedih dan menyesal. "Kak" Jungkook mendekat, berdiri tepat dihadapan k...
13K 1.4K 8
"Sampai bertemu lagi, Alvin. Kakak sangat merindukanmu" batin Kenan yang sampai saat ini masih menjerit dan terluka karena kepergian adiknya.
7.2K 840 16
Runner up ke-3 Indonesia Fanfiction Award. Semuanya bermula ketika Solar menerima sebuah buku tua yang dikirimkan oleh saudaranya. Di dalam buku tua...