ABANDONNER II KTH

By windarasari

38.1K 2.8K 656

{Brothership, Friendship, Familly, Sickstory, Slice Of Life} Kamu akan mengerti makna egois dalam arti yang s... More

ABANDONNER II
BY ELLIOT
BY ELLIOT
BY ELLIOT
BY ELLIOT
BY ELLIOT
BY ELLIOT
ABANDONNER II
BY TAKSA
BY TAKSA
BY TAKSA
BY TAKSA
BY ELLIOT
BY ELLIOT
BY TAKSA
BY ELLIOT
BY TAKSA
BY ELLIOT
BY TAKSA
Spill From Levo
BY ELLIOT
BY TAKSA
BY ELLIOT
BY ELLIOT
BY TAKSA
BY TAKSA
Spill From Ibu
Heartfelt Goodbye
BY ELLIOT
BY ELLIOT
BY TAKSA
A Walk To Remember
BY TAKSA
BY TAKSA
Spill From Ibu
BY ELLIOT
BY ELLIOT
Spill From Ibu
A Walk To Remember
Spill From Papa
A Walk To Remember
BY TAKSA
Spill From Ibu
Spill From Papa
Heartfelt Goodbye
Spill From Ibu
ABANDONNER II
Epilog
Epilog-2
Epilog 3

BY ELLIOT

541 52 5
By windarasari

Putar lagunya dan hayati setiap lirik. Bayangkan ada Elliot kecil di sana.

🎵When I was just a little girl, 'I ask my mother what will I be?'

Will I be pretty, will I be rich?

Here's what say to me.

Que sera, sera...

Whatever will be, will be...

The futere's not our's to see...

Que sera, sera...

What will be, will be...🎵

***

🎶When I was just a little boy, 'I ask my mother what will I be?'

Will I be handsome, will I be rich?

Here's what say to me.

Que sera, sera...

Whatever will be, will be...

The futere's not our's to see...

Que sera, sera...

What will be, will be...🎶

Lantunan lembut yang berbisik tepat telinga mampu menyihir memori kembali ke masa lalu. Tepat saat berusia lima tahunn, aku berdiri di atas panggung kecil dengan beberapa teman pasien lainnya membawakan lagu ini.

Que sera sera... sebuah lagu sederhana yang memiliki makna mendalam untuk sebagaian anak sepertiku. Tentang sebuah pertanyaan besar mengenai masa depan yang sulit di gapai bagi segelintir anak yang bahkan keinginannya hanya sebatas ingin terus hidup. Bukan menjadi apa dan seperti apa. Yes, Hanya ingin hidup.

Ingat saat itu, Penampilan singkat kami disaksikan oleh orangtua dan beberapa perawat yang bangga dan salut akan penampilan luar biasa dari anak yang spesial sepertiku. Padahal saat itu hanya Latihan beberapa kali tapi penampilan kami mampu menyihir emosi semua orang kala itu.

Keinginan kami hanya ingin hidup, namun Sayangnya, setelah pertunjukan paduan suara itu, satu persatu temanku pergi.

Pergi dalam banyak situasi seperti pindah rumah sakit yang lebih baik maupun pindah ke rumah Tuhan.

Mungkin situasi inilah yang menyebabkanku tidak pernah benar-benar memiliki teman yang sesungguhnya. Semua temanku kebanyakan mendahuluiku.

🎶Que sera, sera...🎶

🎶What will be, will be...🎶

Nyanyian itu terus mengalun di tengah rintikan hujan yang membawa udara dingin menembus kamar.  Sentuhan lembut tangan halus yang mengusap pipiku disisi kanan serta hembusan hangat nafas ibu disisi pipi kiri seakan menjadi perisal agar tubuhku telindungi dari udara dingin tersebut.

Ntah apa maksud ibu menyanyikan lagu ini lagi disaat diriku mulai menginjak dewasa. Tumben sekali pikirku, Namun karena ibu jarang seperti ini membuatku jadi bernostalgia, Saat diriku frustasi melawan siksaan nyeri dan sesak karena serangan maupun saat menjalani terapi yang melelahkan. Maka ibu selalu menyanyikan lagu ini sebagai penghantar tidur sekaligus pelepas lelah.

Saking rindunya, sampai-sampai aku enggan bergerak meski telah bangun. Sangat betah dengan usapan lembutnya serta selalu ingin terus menimati kasih ibu yang setiap saat membuatku tenang. Meski tak lama kemudian aku mendengar suara ibu bergetar lalu di susul dengan Gerakan yang berhenti mengusap pipi.

Dapat kurasak sesuatu basah yang terasa hangat di pipi dan kuyakini ini adalah air mata. Ibu menangis. Lantasan nada lembut itu berganti dengan isakan kecil yang tertahan.

Aku membuka mata, lalu meraih tangan ibu yang ada di atas dadaku.

"Ibu..."

Suaraku terdengar serak dan kecil, ternyata cukup membuat isakan itu terhenti. Ia lantas menggeser kepalanya untuk beradu pandang denganku kemudian menyembunyikan kesedihannya dengan tersenyum.

Sambil membenahi selang oksigenku, ibu bertanya. "Sayang.. kenapa bangun? Apa ibu menganggu tidurmu?"

Aku mengangguk "Karena ibu menangis aku jadi gagal tidur lagi. Padahal aku sudah bersiap untuk melanjutkan mimpi bersama teman-teman lainnya di panggung dengan lagu yang ibu bawakan."

Ibu tersenyum seraya menyentuh keningku. "Begitu ya? teman-teman yang mana? Taksa?" katanya. "Syukurlah demammu sudah reda."

Lalu mengecup pipiku. "Nyanyian ibu cukup ampuh rupanya. Apa mau ibu lanjutkan lagi supaya Ell kembali tidur?"

Aku mencebik. "Tidak mau, aku sudah besar tidak perlu dinyanyikan lagu anak-anak seperti itu." Dan membuat ibu terkekeh.

Aku melanjutkan. "Bukan Taksa tapi Teman-temanku saat aku pertama kali masuk rumah sakit ini bu, Gea, Verno, Zaki. Mereka semua bagaimana kabarnya ya, bu?"

"Sekarang mereka pasti baik-baik saja. Apa Ell merindukan mereka?"

Aku mengangguk dengan mata fokus pada langit-langit kamar yang cahanya tamaram. Membayangkan rupa mereka terakhir kali sebelum Tuhan mengajak merema berpulang satu per satu. Aku rindu sekaligus iri pada mereka yang kini terbebas dari rasa sakit, sedangkan aku, aku masih berkalut dengan rasa sakit yang ntah sampai kapan ini akan berakhir.

Ibu menarik daguku untuk menatapnya, seolah ia paham kemana arah lamunanku. "Ell, kau boleh rindu tapi kau juga harus ingat kalau ada ibu yang akan selalu merindukanmu."

aku hanya mengangguk. Paham yang dikatakan ibu jika dia takut aku memiliki pikiran-pikiran mengarahan pada kematian.

Lantas aku menghapus jejak air mata di pipi ibu. "Ibu, kenapa menangis?"

Namun yang ada, ibu justru kembali memelukku seperti semula. Kali ini dengan pelukan yang semakin erat. Tangannya meraih tanganku dan membawa ke pipi mulusnya.

"Bagaimana tidak menangis saat tahu anaknya sangat nakal. Banyak gerak padahal belum pulih lalu berakhir demam tinggi yang tidak reda-reda. Asal Ell tau, Ibu sampai berlari dari parkiran saat tahu kau demam tinggi dan merintih kesakitan seperti itu."

Dengan hati-hati, aku menggeser tubuh menghadap ibu. Sepertinya seseorang telah bercerita banyak kejadian hari ini disaat aku tidur.

"Ibu, maaf. Kejadian tadi sangat urgent jadi aku tidak bisa melewatkanya." Kataku, penuh rasa bersalah.

"Ibu tahu, kau itu sangat menyayangi Taksa, tapi perhatikan juga kondisimu sendiri. Kau belum pulih dari operasi besar dan sudah banyak gerak seperti itu. Lihat, jahitan lukamu jadi infeksi dan itu yang membuatmu demam. Jadwal pulang yang seharusnya dalam waktu dekat ini jadi di undur dua minggu lagi."

Nada bicara ibu memang rendah, namun aku yang mendengarnya tetap merasa takut. Ibu sedang marah dan khawatir dalam waktu yang bersamaan. Yang bisa ku lakukan hanya memilin selimut sembari meratapi diri. Merasa bersalah.

"Benarkah ibu menangis karena itu. Bukan karena hal lain?"

Firasatku mengatakan bukan hal itu yang menyebabkan ibu menangis. Tetapi Seperti sesuatu yang berusaha ibu tutupi.

"Tentu saja. Memangnya ada hal lain lagi?" kata ibu. Dia mengusap lerban operasiku yang baru saja diganti. "Tidak ada orangtua yang bisa menahan kesedihan jika anaknya sakit."

"Kalau seperti itu, berati aku sering membuat ibu sedih karena selalu sakit." Cicitanku yang seketika membuat tangan ibu berhenti.

Ada sedikit jeda sebelum ibu bicara. Satu-satunya Wanita yang kusayangi itu tangannya menjulur ke atas nakas untuk meraih sesuatu. Lantas dengn gesit mengganti plester penurun panas baru ke keningku yang masih terasa menyengat. Aku hanya diam dengan apa yang dilakukannya, sesekali meringis saat rasa nyeri dari luka operasi bersamaan muncul sensasi melayang di kepala karena efek demam.

Selesai dengan kegiatannya lantas ibu kembali bersuara. "Benar. Tapi kesedihan ibu tergantikan dengan rasa haru dan kagum karena semangat anaknya yang tinggi untuk terus berjuang dan bertahan bersama-sama jadi itulah yang membuat ibu sangat bangga."

Ada desiran kesejukan di setiap kata yang ia sampaikan. Bagaimana mungkin sosok seperti malaikat ini harus menjadi ibuku? Berapa ribu kali pun rasa syukur tidak akan pernah bosan kuucapkan untuk wanita yang melahirkanku ini.

Namun tetap saja, jika di pikirkan, ibu juga manusia biasa yang bisa merasa Lelah dan marah. Selama ini, ibu tidak pernah menunjukkan gurat lelahnya padaku. lantas, hal itu menimbulkan pertanyaan untukku.

Pernahkah ibu mengeluh pada Tuhan karena memiliki anak merepotkan sepertiku? Pernahkah ibu merasa kehidupannya tidak adil karena memiliki anak penyakitan seperti ini?

Mengingat kehidupan Levo yang sangat cerah tampak berbanding terbalik dengan keadaanku yang terlampau suram, membuatku tak tahan untuk bertanya seperti apa perasaan ibu yang sesungguhnya padaku.

Aku menyentuh pipi ibu pelan dan mendapat balasan senyum oleh sang empu. "Ibu? Apakah ibu tidak Lelah merawatku? sedikit saja, apa tidak pernah menganggap jika aku ini beban untuk ibu? Atau menyesal mungkin karena aku tidak sesempurnah Levo?"

Senyum ibu luntur hingga aku dibuat terkejut saat ibu bangkit dari posisi menyamping jadi tegak.

"Bagaimana bisa kau bertanya seperti itu Elliot? Kau adalah anugerah yang Tuhan kirimkan untuk ibu. Kehadiran kalian berdua membuat hidup ibu penuh warna, karena kalian, ibu jadi mengerti apa arti cinta dan pengorbanan yang sesungguhnya. Jadi mana mungkin ibu berfikir kalau kau adalah beban. Ibu juga tidak pernah Lelah merawatmu. Jadi jangan pernah berfikir seperti itu lagi."

Tatapan teduh ibu yang tak lepas menyorot mataku itu seakan berusaha meyakinkan betapa besar dan tulus perasaannya padaku. Binggo, itu membuatku lega. Sekarang, tidak ada lagi yang bisa meragukan kasih sayang ibu padaku seperti apa.

Seperti apa? Jika diibaratkan seperti  Samudra yang luas. Seluas bumi.

Perkara kssih sayang Ini timbul gara-gara terlalu memikirkan sikap ayah Taksa kemarin. Hah, bicara soal itu, perasaan maluku masih terbayang, tetapi cepat kembali tertepis saat mengingat perlakuannya yang tidak masuk akal pada Taksa.

Kini pikiran itu hanya menyisahkan satu pertanyaan besar lainnya. Jika kasih sayang ibuku seluas Samudra, lantas bagaimana dengan ayah Taksa? Apakah juga seluas samudra? Atau hanya sebatas daun kelor?

"Ibu, bolehkan aku bertanya hal lain?" dan dibalas anggukan oleh ibu.

"Bagaimana pendapat ibu dengan ayah Taksa? dia terlihat tidak menyayangi Taksa. Dia tidak pernah menunjukkan sikap pedulinya pada Taksa seperti Bagaimana bisa seorang ayah lupa jika anaknya memiliki alergi." Kataku,

"Tidak ada orangtua yang tidak menyayangi anaknya, Elliot. Hanya saja, cara mengungkapkan rasa cinta mereka saja yang berbeda. Mungkin saja orangtua Taksa adalah tipikal orangtua yang tidak menunjukkan sikap kasih sayang secara langsung kepada anaknya." Kata ibu yang membuatku berfikir kebelakang pada ucapan Taksa. Salah satu orang yang ingin ia berikan dendam. Namun disisi lain, dia adalah orang baik yang membantu sesama.

"Menurut ibu, apakah Ayah Taksa orang baik?"

Ibu hanya mengulas senyum dan kembali merebahkan dirinya disisku tanpa menanggapi sepatah kata pun. Padahal pembicarn kami telah masuk dalam tahap klimaks. Seberapa keras aku menuntut, ibu tetap saja diam dan justru pura-pura tidur.

Aku memperhatikan ibu yang masih setia dengan aktingnya itu. Lalu menghela nafas. "Terimakasih bu sudah mengizinkanku sekolah."

Aku menyungingkan senyum samar kala ibu tiba-tiba terperajat dan menatapku dengan alis yang mengkerut. Usahaku untuk membongkar kebungkaman ibu selalu berhasil dengan cara pengalihan topik seperti ini.

"Kapan ibu bicara seperti itu?"

"Sebelum operasi dengan dokter Hans juga. Kalian memperbolehkanku sekolah." Aku memicingkan mata. "Ibu jangan pura-pura lupa."

Mata ibu kembali terpejam, dia mengelus lagi pipiku sembari sesekali menarik pelan selang oksigenku agar tetap rekat di telinga. "Hal seperti itu tidak bisa di putuskan seenaknya sayang. Akan ada banyak pertimbangan, jadi kita tunggu hasil pemeriksaan minggu depan dan pendapat dokter Hans ya? Sekarang, lebih baik kita tidur."

Aku menenggelamkan kepala di perpotongan leher ibu, menggulung tangan ke punggungnya dan mengeratkan pelukan sebelum ikut terjatuh kembali ke alam mimpi. Ada satu hal yang harus ku katakan pada ibu sebagai sesi akhir percakapan mendalam malam ini.

"Ibu, apapun hasil pemeriksaannya nanti ntah itu baik atau pun buruk, Tolong kali ini biarkan aku menikmati semuanya dengan bebas. Ibu tenang saja, aku akan tetap ingat diri dan tetap berada dalam kontrol. Bu, aku pernah dengar dari seseorang jika kesempatan tidak datang dua kali jadi aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu. Sekarang semua kesempatanku untuk bertahan tersisa tinggal dua, robot ini dan donor. Jika Tuhan tidak mengizinkanku mendapatkan donor itu, setidaknya aku sudah mendapatkan beberapa kehidupan yang kuinginkan karena benda ini, jadinya aku tidak mati penasaran. Hehe."

Aku tahu, dalam pejamnya ibu menangis lagi mendengar tutur kalimatku yang menyayat hati. Buktinya saja aku dapat merasakan Dada ibu tersentak seakan batinnya mencoba sekuat tenaga menahan pilu. Aku jadi semakin mengeratkan pelukan dengan kepala yang masih terbenam di dada ibu.

"🎶The futere's not our's to see..🎶 (masa depan tidak bisa lihat)" aku seolah bernyanyi.

"Oh aku lupa arti Que sera-sera. "Kataku, sok heboh. "Bu apa ya artinya. Aku lupa." Aku mendongak dan mendapati bibir ibu yang bergetar.

Tak kunjung menyahut lantas Aku tersenyum dan mengelus pipi ibu dengan tangan yang terpasang infus. "Bu, katakan padaku, apa arti Que sera sera?" ulangku, bohong kalau lupa.

Nyatanya aku sangat tau artinya, hanya saja aku ingin mendengar langsung dari ibu.

Pelukanku semakin kencang kurasa, setelah itu, yang ditunggu bersuara yang bergetar tanpa membuka matanya. "Apa yang terjadi, terjadilah."

Maka, aku pun tersenyum lega.

"Ah Benar, apapun yang terjadi, maka terjadilah. Jangan khawatirkan apapun ibu. Biarkan Tuhan yang mengengatur semua..."

"Bu, ayah Taksa orang baik atau jahat?"  Masih berusaha menemuman jawaban namun lagi-lagi ibu bungkam.

Baiklah, aku menyerah.

Setelah itu aku tak lagi bersuara, begitu pula dengan ibu. Kami mecoba untuk tertidur kembali berharap esok hari terbangun dalam keadaan baik dan membiarkan apapun yang terjadi maka terjadilah....

---

Waktu terus berlalu. Begitu pula dengan rasa perih karena infeksi Luka yang aku lewati penuh drama. Rasa sakit yang dirasa sangat menyiksa. Aku sampai tak sanggup melakukan apapun bahkan hanya sekedar berjalan ke kamar mandi.

Dengan kondisi seperti itu Jadi jangan berharap lebih bisa berkunjung ke kamar Taksa untuk melihat keadaannya meski aku sendiri juga sangat penasaran tentang kondisi anak itu setelah tidak.bertemu dua minggu.

Ngomong-ngomong, Aku sempat bertanya perilah penyebab infeksi ini pada dokter Hans. Mengapa sampai seserius ini hingga membuat demam berhari-hari, terlebih disertai sesak. Ya. sesak itu masih datang meski klaim dokter bilang kalau gejala itu tidak akan muncul lagi jika aku menggunakan robot ini.

Nyatanya, tidak ada yang berubah, aku tetap kesulitan dan makin kesulitan dengan efek sampingnya. Ingin ku mengumpat dengan pikiran kacau. Tapi tidak tahu kepada siapa.  Lantas apa gunanya benda ini jika pada akhirnya malah justru semakin menyakitiku.

Lalu dengan jawaban yang logis secara medis dokter Hans berkata:

"Sesungguhnya dari awal robot ini tidak pernah membuat Elliot sehat dan pulih. Benda kecil ini hanya membantu Sebagian fungsi kecil dari jantung yang tidak sanggup lagi memompa aliran darah ke seluruh tubuh karena mulai melemah. Jadi kita tidak boleh berharap lebih pada LVAD ini meski demikian kita patut mensyukuri kegunaannya karena membantu kondisi organ penting lainnya jadi tetap sehat. Jika saja tidak ada benda ini, mungkin kerusakan organ akan terjadi semakin cepat dan makin meluas sehingga peluang untuk memperoleh donor jadi gagal."

Aku menghela nafas sebal saat mendengar penuturan itu. Dokter Hans bicara terlalu berbelit-belit. Katakan saja jika dari awal memang jantungku yang sudah rusak.  Ya memang rusak kan.

Sesaat setelah penjelasan itu aku hanya tertawa hambar untuk diriku sendiri. Benar juga, kenapa aku berharap terlalu tinggi? Aku sempat terlena dengan benda ini hingga lupa jika sejak awal dia tak akan membantuku untuk sehat. Dan aku paham betul.

Pantas saja, makin hari makin terlihat keanehannya. Sebelum dokter Hans menjelaskan secara detail efek samping pemasangan LVAD ini padaku. Maksudku kembali mengulang ucapannya yang dulu sebelum operasi berlangsung.

Aku merasakan jika tubuhku sangat mudah memar saat tidak sengaja berbenturan pada benda keras. Efeknya cukup mengejutkan, ruas ungu kebiruan akan nampak menyeramkan dengan durasi penyembuhan sampai berhari-hari meski sakit yang dirasa tidak terlalu parah.

Kemudian aku juga sering mimisan tanpa sebab. Gejala ini baru muncul beberapa hari lalu, saat aku makan, tiba-tiba saja darah meluncur deras dari hidungku dengan jumlah yang tidak sedikit. Mengotori makanan dan bajuku hingga semuanya berwarna merah. Hal ini lantas menimbulkan kepanikan mama dan Gallen yang saat itu tengah menjengukku.

Saat itu dokter Hans menambahkan. "Peningkatan dosis dari obat pengencer memiliki efek samping seperti memar dan mimisan. Sebenarnya obat pengencer darah selalu di berikan bagi pasien yang memiliki masalah jantung, namun untuk kasus Elliot karena memiliki genetic sel plasma yang gampang membeku ditambah adanya pemasangan alat LVAD sehingga untuk menghindari pembekuan di area selang dan aorta maka dosisnya perlu di tambah. Oleh sebab itu pembatasan aktivitas agar menghindari resiko benturan adalah salah satu tindakan yang tepat, juga jangan lupa agar terhindar dari kelelahan sehingga mimisan dapat terhindarkan."

Tahu apa yang terjadi pada ibu, Levo, Gallen, papa dan mama setelah mendengar penuturan Panjang yang menegangkan itu?

Mereka luar biasa proktektif berkali kali lipat. Ruang gerakku jadi makin terbatas melebihi yang dulu-dulu. Alhasil mereka menentang keras keinginanku untuk mencicipi bangku sekolah meski hanya beberapa bulan saja.

Benci sekali. Jadi aku harus bagaimana, hidupku tidak pernah berubah meski selesai operasi.

Selalu saja ada hal yang membuatku selalu ingin perginsetiap kali selesai evaluasi pemeriksaan.
Rasanya jenuh dan memuakkan.

Huh...

---

"Kenapa?"

Aku menoleh ke samping dan mendapati Taksa yang baru kusadari sejak tadi terabaikan keberadaannya karena aku terlalu jatuh dalam lamunan.

Aku lekas merubah ekspresi. "Bukan apa-apa, hanya sedang berfikir bagaimana bisa meyakinkan mereka jika aku baik-baik saja untuk bisa bersekolah formal."

Lantas kusandarkan punggung ke sandaran bangku taman sembari menatap langit cerah dengan awan seputih kapas di atas kepala dengan tangan yang mengusap plester bekas infus. Menikmati waktu bebas dari bau-bau obat di kamar.

Aku menghela nafas lagi dan bertanya tanpa menatap Taksa yang duduk di sebelahku. "Menurutmu, apa aku mampu sekolah dengan fisik yang seperti ini?" Aku mengibas piyama rumah sakit dan memperlihatkan selang yang mencuat diperutku.

"Kau bicara seolah bukan dirimu. Kau—uhuk uhuk..."

Mendengar suara batut Taksa, mendadak aku panik sampai membuyarkan pandanganku. Aku bergeser mendekatinya yang tengah kesakitan dengan tangan menepuk dadanya.

Tanganku refleks menyingkirkan tangannya. "Jangan dipukul seperti itu. Sebaiknya kita kembali ke kamar saja." Namun Taksa menggeleng memberi jawaban.

Benar. Taksa pasti akan menolak ajakanku mengingat kami baru saja menginjakkan kaki di taman bahkan belum sampai 30 menit. Terlebih sebelum memutuskan kesini aku mendengar banyak keluhan yang keluar dari bibir kering anak itu tentang rasa bosannya. Jadi mana mungkin aku mengakhiri acara kabur kami.

Maka hal yang paling tepat saat ini hanyalah membimbing nafasnya agar cepat stabil. Tubuhnya sedikit membungkuk menekan sumber nyeri yang dapat ku rasakan juga. Wajahnya memutih berhias peluh yang bercucuran dari pelipis membuatku jadi khawatir.

"Ayo kita masuk saja."

"Aku baik-baik saja, Elliot. Aku Hanya tersedak."

Aku menghela nafas lega. "Benarkah? Yakin tidak apa?" tanyaku. Taksa mengangguk dan setelah itu dia menegakkan badannya kembali; meyakinkanku jika dia benar-benar baik-baik saja.

Kulihat nafasnya juga kembali stabil.

Aku menoleh ke belakang penuh waspada. "Jika si Dami tahu kita kabur, dia akan marah besar." Cicitku.

"Ini kan idemu. Harusnya kau juga memiliki rencana untuk menghindari amukannya?"

"Tidak ada rencana. Jika dia marah biarkan saja. Tapi Aku yakin dia tidak akan marah lagi, cuma dia paling sabar menghadapiku."

Taksa tertawa lantas menggeleng. "Kalau aku jadi dia, aku akan keluar dari rumah sakit ini karena tidak tahan menghadapi pasien sepertimu."

Aku mencebik. "Memangnya aku pasien yang seperti apa?"

"Kau seperti pasien rumah sakit jiwa." Dan perkataan anak itu ku hadiahi gigitan kecil di lengannya. Dia meringis meski tak melunturkan tawanya.

Bisa-bisanya menyamaiku dengan ODGJ.

"Hei kalian."

Kami melirik bersamaan saat mendengar suara itu yang rupanya Gallen berteriak dari dalam mobil. Pasti anak itu tak sengaja melihat kami disini mengingat lokasi parkiran bersebelahan dengan Taman rumah sakit.

Saking hebohnya bahkan anak itu minta papa untuk menurunkanya sebelum mobilnya terparkir. Dengan seragam sekolahnya yang selalu terlihat keren, Gallen berlari kecil yang jika diperhatikan malah seperti anak TK yang menghampiri mamamnya yang tengah menunggu di depan gerbang.

Sembari anak itu mendekat, Aku berbisik pada Taksa. "Kita pura-pura tidak kenal jika nanti anak itu bicara."

Taksa menautkan alis penuh tanya. "Kenapa?"

Gallen semakin dekat tanpa melunturkan senyuman sabitnya itu.

"Apa kau juga pakai seragam itu saat sekolah?"

Taksa melihat Gallen kemudian melirikku untuk memberi anggukan. Aku melipat tangan di dada dan membuang muka ke samping. Jiwa iriku kembali meronta-ronta.

Dengan nafas yang sedikit mengap Gallen sudah berdiri di depan kami.

"Kalian kenapa disini? Taksa apa kau sudah baik-baik saja?"

"Aku sudah baik-baik sa—"

Aku menoleh spontan dan menghentikan ucapannya dengan berdecak keras. Menatap Taksa yang menyebalkan; dia tidak bisa diajak bekerja sama tentang ajakanku tadi.

"Ada apa denganmu?" tanya Gallen yang menatapku heran.

Aku menatap Taksa. "Sudah ku katakan jangan mengajaknya bicara." Bisikku yang sebenarnya didengar jelas oleh si target.

"Maaf, aku lupa." Katanya sok dramatis dengan tangan-tangannya yang mengurut pangkal hidung. Seakan benar- benar selupa itu.

Lantas dia melanjutkan lagi "Tapi kenapa kita harus pura-pura tidak kenal Gallen?"

"Hei ada apa ini? aku kenapa? Apa aku melewatkan sesuatu disini?" tanya Gallen pada kami berdua. Dia menatap kami bergantian penuh bingung.

Aku memutar mata malas. "Kau! Sudah ku katakan jika menemuiku jangan pakai seragam sekolah." Tatapku pada Gallen yang kini sangat bingung.

"Biasanya juga tidak masalah kalau kesini pakai seragam, kenapa sekarang mendadak sensitif." Sahut Gallen.

Lagi-lagi aku melengos buang muka. Iya juga, kenapa aku sekesal itu ya.

"Elliot, kenapa kau sangat ingin sekolah?" tanya Taksa tiba-tiba. Anak itu berhasil mengalih perhatianku sehingga secara refleks aku menoleh mereka berdua. Bahkan Gallen sudah duduk bersimpuh dihadapanku seakan menunggu jawabanku.

"Itu... karena...hanya ingin merasakan sekolah saja. Belajar di kelas, punya teman-teman kelas yang menyenangkan lalu menggunakan seragam yang keren seperti kalian." kataku yang berakhir dengan tundukan.

Melirik baterai robot yang sebenarnya tidak kusukai ini. "Hanya sekali saja, aku ingin memakai seragam itu."

Lantas Gallen meletakkan tangannya di atas tanganku. "Aku sedang berusaha meyakinkan mama dan papa, bibi dan Levo tentang keinginanmu. Jadi maukah kau bersabar sedikit saja? Setidaknya kau persiapkan dirimu saat di rumah nanti dengan guru Lee dan jaga kondisimu agar mereka tidak khawatir." Katanya.

Mataku melebar mendengar penuturan sepupuku ini. Maka tanpa aba-aba aku menarik tubuhku untuk kubawa dalam pelukan. Terimakasih Gallen, kau selalu berhasil membuatku untuk terus menyayangimu. Dan membuat Rasa kesalku lenyap begitu saja.

"Ah iya jika boleh aku ingin mengatakan sesuatu pada kalian." Ucapan Taksa lantas menghentikan acara berpelukan kami.

"Tolong jangan beritahu siapapun termasuk teman-teman di sekolah jika aku adalah anak Jung Namjoon." Katanya yang kemudian membuat kami saling lirik dengan bingung.

"Kenapa?" kataku.

Taksa sedikit menaikkan bibinya sebelum melengkung ke bawah disertai kernyitan kening yang dalam. "Asal kalian tahu, seorang Jung Namjoon dan Jung Della hanya mempublikasikan Jung Jeha sebagai anak mereka, sedangkan aku-- Ssshh"

Desisan lolos dari mulut Taksa dan membuat kami berdua cemas namun anak itu kembali menepis dan melanjutkan tuturnya.

"Tidak ada yang tahu jika aku adalah anak Jung Namjoon, dan itulah alasan mengapa papa mengirimku disini. Agar tidak ada yang tahu jika aku adalah anaknya. Jika tahu orang-orang tahu bisa jadi itu mempengaruhi citra baiknya di publik."

Tidak ada waktu untuk menanggapi ucapan Taksa sebab kernyitan yang anak itu tunjukkan sudah cukup membuat kami jauh terkejut.

"Sudah-sudah hentikan. Lebih baik kita segera masuk sebelum kau kenapa-kenapa. Ayo, kau naik di punggung Gallen saja." Kataku dan mendapat tatapan tajam Gallen, meski pada akhirnya anak itu juga setuju karena melihat Taksa yang semakin kesakitan.

"Kalian! Astagaa sudah ku duga akan jadi seperti ini."

Gallen sudah siap berjongkok dengan Taksa yang siap naik ke punggungnya jadi tiba-tiba urung karena seseorang datang dengan suara lantangnya.

"Kak Demi, tolong Taksa, dia kambuh." Kataku yang seolah lupa jika aku sedang melarikan diri dari sesi terapi dengan perawat ini.

Laki-laki itu berlari kecil dengan raut antara cemas dan kesal secara bersamaan. Oh jangan lupakan juga gerutunya yang Panjang yang ditujukan padaku. Sudah pasti berkaitan dengan melarikan diri, mengajak Taksa keluar meski baru saja pulih dari ICU dan lainnya.

"Kau melarikan diri lagi Ell?" tanya Gallen yang baru menyadari setelah mendengar cicitan kak Demi.

Aku menyengir sembari mengangguk. Namun setelah itu kembali berubah cemas saat mendengar ringisan Taksa yang semakin keras di gendongan kak Demi.

"Astaga kau—"

"Ssst, tidak ada waktu untuk mengomel, Gallen. Ayo kita menyusul Taksa."

Tanpa menunggu jawaban sepupuku itu lantas aku menyusul Taksa dan Kak Demi yang sudah melenggang di depanku. Berlari kecil untuk menyamai mereka namun justru tanganku ditarik Gallen.

"Jangan berlari. Pelan-pelan saja." Dan aku hanya menurut tanpa bantahan. Lupa sesaat karena panik. Benar. Aku harus jaga kondisi. Aku mengusap dadaku dengan sayang. Maafkan aku ya sayang, jangan nakal ya.

---

Sampainya di kamar Taksa, anak itu segera di rebahkan oleh kak Demi. Syukurnya anak itu masih dalam kondisi sadar jadi lebih mudah untuk menanganinya. Taksa hanya mengeluh sesak dan hanya membutuhkan oksigen sebagai penanganan tercepat sebelum dokter datang.

Kak Demi memasangkan selang oksigen di hidung Taksa dan ntah mengapa kegiatan itu malah membuatku teringat perkataan Yanan tempo lalu.

Sesak nafas jadi gejala baru yang Taksa alami efek dari tumor yang makin menyebar di rongga sebelah kiri di jantungnya, sehingga untuk meminimalisir pembesaran tumor maka Tindakan operasi harus segera di lakukan.

Begitu, hanya sepenggal itu yang masih ku ingat. Tepat ketika Taksa bangun dari ruang ICU pasca kollapsnya di atap waktu lalu.

Saat itu, aku sangat lega karena sebelum 24 jam, Taksa berhasil bangun sehingga title koma terbuang jauh dari kondisinya.

Saat ini, Taksa sedang dalam tahap observasi untuk persiapan operasi yang hampir sama seperti yang ku lalui.

Melihatnya yang kembali drop membuatku merasa bersalah karena mengajaknya kabur dengan maksud menghiburnya dari rasa bosan.

"Taksa, maafkan aku. Harusnya kita bermain di kamar saja jangan keluar." Kataku sembari menatap wajahnya yang sayu. Dia belum tidur, aku dan Gallen ada disisinya. Sedangkan kak Demi keluar untuk mengambil beberapa keperluan Taksa.

Taksa melirikku dan tersenyum "Pergi ke Taman adalah ide yang buruk, lebih baik kita pergi ke atap saja." Suaranya lemah karena tenaganya habis melawan serangan kecil.

"Itu ide yang lebih tidak masuk akal. Dasar." Kataku dan dia terkekeh lemah.

Gallen yang dua hari ini tak berkunjung menatap sekeliling kamar Taksa dengan heran, mungkin pikiran tertuju pada dua orang yang selama ini melekat jika berhubungan dengan Taksa. Dua sosok itu tak ada di hadapannya.

"Dimana Yanan dan Jeha?"

"Yanan sedang mengantar Jeha pulang." Sahut Taksa singkat. Matanya mengedip semakin lambat tanda mulai mengantuk.

Tak ingin lagi menganggunya, aku dan Gallen memutuskan untuk kembali untuk memberinya waktu beristirahat.

Namun sebelum benar-benar pergi, Taksa kembali bersuara. "Elliot. Kau harus menikmati kepulanganmu. Gunakan waktumu sebaik mungkin terutama untuk balas dendam." Dia meliriku sekilas lalu menutup mata diiringi dengan senyuman tipis.

Ahh dadaku jadi kembali sesak mendengar dia bicara seperti itu. Satu sisi aku merasa sangat senang karena setelah enam bulan mendekam pada akhirnya aku pulang ke rumah. Tetapi perasaan sedih juga muncul saat membayangkan hari-hari Taksa yang kembali seorang diri. Berjuang tanpa ada yang menemani.

Jadi inilah yang membuat pertimbanganku tak ingin pulang.

"Aku akan sering-sering berkunjung Taksa, jadi kau harus baik-baik saja." Kalimat akhirku dibalas anggukan hingga perlahan Langkah kakiku menjauhi tubuh ringkih yang berbaring disana.

---

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Aku tau kalian nunggu adegan sakitnya...

Ga muncul ya? sabar...

Kasian di kasi sakit mulu, kesannya aku terlalu jahat.

Nanti deh tunggu aja ya.

Continue Reading

You'll Also Like

12.4K 854 32
kehidupan keluarga besar ravindro yang penuh suka dan duka. terdiri dari nyonya besar dan tuan besar beserta anak-anak dan cucu cucu nya Intinya rumi...
102K 7.2K 13
Taehyung sangat frustasi tiba-tiba saja Seokjin mengirimnya ke sebuah kota kecil untuk tinggal dengan Yoongi. hampir separuh dari hidup Taehyung tak...
843 65 9
menceritakan kisah tentang dua namja bersaudara yang sama-sama berjuang memepertahankan hidup
7.5K 599 13
"Maaf, tae membuat abang pergi" lirihan suara itu di iringi air mata, menunduk sedih dan menyesal. "Kak" Jungkook mendekat, berdiri tepat dihadapan k...