ABANDONNER II KTH

By windarasari

38.1K 2.8K 656

{Brothership, Friendship, Familly, Sickstory, Slice Of Life} Kamu akan mengerti makna egois dalam arti yang s... More

ABANDONNER II
BY ELLIOT
BY ELLIOT
BY ELLIOT
BY ELLIOT
BY ELLIOT
BY ELLIOT
ABANDONNER II
BY TAKSA
BY TAKSA
BY TAKSA
BY TAKSA
BY ELLIOT
BY ELLIOT
BY TAKSA
BY TAKSA
BY ELLIOT
BY ELLIOT
BY TAKSA
Spill From Levo
BY ELLIOT
BY TAKSA
BY ELLIOT
BY ELLIOT
BY TAKSA
BY TAKSA
Spill From Ibu
Heartfelt Goodbye
BY ELLIOT
BY ELLIOT
BY TAKSA
A Walk To Remember
BY TAKSA
BY TAKSA
Spill From Ibu
BY ELLIOT
BY ELLIOT
Spill From Ibu
A Walk To Remember
Spill From Papa
A Walk To Remember
BY TAKSA
Spill From Ibu
Spill From Papa
Heartfelt Goodbye
Spill From Ibu
ABANDONNER II
Epilog
Epilog-2
Epilog 3

BY ELLIOT

601 55 16
By windarasari

"Kak Demi marah ya, Len?"

"Jelas lah, dia marah karenamu."

"Begitu saja marah."

"Ya jelas marah, kau menambah pekerjaan kak Demi. Dia pasti mendapat hukuman gara-gara ulahmu. Setelah ini kau harus minta maaf padanya. YA!"

Aku mengangguk; mengakui kesalahan. Ya mau bagaimana lagi, aku hanya ingin bertemu Taksa dan tidak menyangka keasikan bermain disana.

Jadi ingat beberapa menit yang lalu saat kak Demi datang ke kamar Taksa dengan tangan di pinggang. Perawat itu marah karena aku yang tak kunjung ke kamar lantaran sedikit melimpir ke kamar depan; kamar Taksa ditengah kegiatan terapi jalan yang kulakukan hari ini. kak Demi menyusulku dan menyeretku paksa kembali ke kamar. Hehe...

Sebenarnya aku masih ada di jam terapi fisik, namun ada hal menarik yang bisa kulakukan agar terapi kali ini tidak terasa monoton; pikirku, mencetuskan ide agar terapi yang biasanya dilakukan di dalam kamar; yang berupa hanya jalan beberapa Langkah sekitaran kamar; kini menjadi keluar kamar, dan tujuan akhirnya mendarat di kamar Taksa. Sebenarnya itu hanya sebuah alasan supaya bisa melihat anak itu, memastikan bagaimana keadaanya setelah beberapa lama tak bertemu.

Sebenarnya Gallen dan Levo itu tau hanya akal-akalanku saja, tapi setelah aku meyakinkan mereka dengan segudang cara, pada akhirnya mereka setuju dan jadi ikut terjerumus dalam permainan Uno yang seru.

Aku berjalan tertatih di bantu Gallen dan Levo, keduanya berada disisiku kanan kiri memegang kedua tanganku menuju kamar Taksa. sedangkan sisi tangan mereka yang lain juga repot megang tiang infus dan mesin-mesin yang masih terhubung di tubuhku. Meski sebentar tapi cukup menguras tenaga, rasa kakiku sangat kaku dan sedikit kebas Langkah demi Langkah. Awalnya mereka memaksaku berhenti dan kembali ke kamar, namun aku tetap bersikukuh.

Sampai disana, aku menemukan Taksa yang tertidur pulas dengan sebuah infus di punggung tangan yang tertutup selimut sebatas dada. Awalnya aku sempat ingin mengumpat lagi ketika melihat Taksa yang lagi-lagi sendirian ditengah badan lemas seperti itu, bagaimana saat dia bangun kemudian butuh minum, pergi ke toilet, dan makan; dia harus ada yang mendampingi. Kalau tidak, dia bisa pingsan karena tidak ada yang membantunya berdiri.

Pantas saja Levo semarah itu pada Yanan-Yanan itu karena tak becus menjaga Taksa dengan baik, namun pikiran negatifku sedikit luntur saat melihat seseorang menegakkan tubuh dari posisi tertelungkup.

Pada awalnya aku tidak melihat sosok itu karena dia duduk di posisi yang tertutupi tubuh Taksa dari arah pintu. Setelah ku perhatikan dengan seksama, orang yang berada disisi Taksa itu adalah anak yang beberapa waktu lalu masuk ke kamarku dengan wajah arogannya. Kalau tidak salah, dia adik Taksa kan? Mmh kalau tidak salah waktu itu namanya Jeha.

Kami berencana masuk seperti biasa, menyapa dengan sopan pada anak itu, namun karena hal yang di lakukan Jeha membuat kami jadi diam terpaku menyaksikan. Anak itu sibuk mengerjakan sesuatu di sisi ranjang Taksa sambil berceloteh seolah-olah mengobrol dengan Taksa. Sesekali dia akan menoleh dan tersenyum pada Taksa yang terpejam, kemudian melanjutkan lagi kesibukannya.

Sebenarnya bukan tingkah randomnya yang membuat kami terpaku, tetapi ucapan anak itu yang membuat kami tak bisa tidak diam untuk terus mendengarkan kalimat demi kalimat yang di lontarkan pemuda itu.

Jeha bilang, dia selalu ingin meraskan bermain dengan Taksa, ingin diajarkan bermain Taekwondo karena Jeha begitu mengagumi kakaknya itu, Dia bahkan selalu membanggakan kakaknya pada teman-teman sekolahnya dengan ucapan penuh semangat, namun setelah itu ekpresinya berubah sedih dan tak lama anak itu menangis. Jeha takut kehilangan Taksa, dan yang membuat mataku ikut perih karena perkataan anak itu adalah, dia ingin memberikan apapun yang bisa di berikan asalkan Taksa sembuh, karena bagi Jeha, Taksa adalah kakak yang paling dia sayang.

Wah aku benar-benar tersentuh, akhirnya aku lega, ku kira Taksa benar-benar kehilangan sosok orang-orang kesayangan karena dia terlihat begitu kesepian karena tidak ada yang menemaninya, tapi ternyata ada orang tulus yang begitu menganggap dirinya berharga.

Setidaknya aku bisa bernafas lega jika kelak aku meninggalkan rumah sakit, ada yang menjaga Taksa nantinya. Tapi Taksa, kau tenang saja, aku akan sering berkunjung dan menemanikmu jika kau mengalami kesulitan.

Aku sangat yakin, Jeha begitu menyayangi Taksa, meski aku sendiri bingung dengan Taksa. Terakhir bertemu dengannya, anak itu seakan enggan bercerita lebih tentang adikknya itu. Aku yakin ada sesuatu yang terjadi pada hubungan mereka yang menyebabkan jarak diantara keduanya. Jika bisa kilas balik mungkin ini berkaitan dengan hubungan mereka yang saudara tiri, ditambah lagi saat melihat sikap kedua orangtua Taksa yang pernah kulihat.

Terlalu asik mendengar kalimat curhatan Jeha, tanpa kusadari, kedua orang disampingku menunjukkan sikap aneh.

Saat ku tanyai "Kalian seperti berkaca dengan anak itu ya?" dan mereka langsung glagapan tak bisa mengontrol nafas seakan menahan sesuatu di hati mereka. Seperti di tampar angin, mungkin mereka merasakan hal yang sama seperti apa yang diraskan Jeha. Tebakanku berkata seperti itu.

Seakan tak dibiarkan berlarut dalam suasana melankolis, Yanan datang dari luar; hendak masuk ke dalam dan terhenti karena ada kami yang berdiri mematung. Pria itu datang sendiri setelah menjelaskan pulang mengantarkan ayah Taksa setelah urusan dengan rumah sakit selesai.

Pada akhirnya kami masuk dan membuat Jeha terkejut; sejak kapan ada orang masuk ke kamar kakaknya; pikirnya. Awalnya kami disambut galak oleh anak itu, kemudian lama kelamaan setelah dijelaskan Yanan, sedikit demi sedikit raut wajah galak anak itu luntur.

Tak di sangka, adik Taksa yang bernama Jeha itu sangat menggemaskan, padahal ku kira awalnya anak itu sangat angkuh, namun setelah di dekati rupanya dia definisi anak remaja polos dan baik hati. Tak butuh lama untuk menjadi akrab dengan anak itu, sebab Dia memiliki kesamaan denganku; suka mengkoleksi lego dan Action figure jadilah komunikasi kami berdua begitu seru sampai Gallen dan Levo menguap mendegar pembahasan kami.

Kemudian, selama aku disana, Yanan sempat beberapa kali bercerita menganai kondisi Taksa yang sepertinya tidak baik. Separuh tubuhku seakan mati rasa saat mendengar penuturan Yanan yang mengatakan jika Taksa sempat beberapa kali kejang; membuatku teringat saat dia aku menyaksikan kesakitannya dalam tidur setelah kemo waktu itu, segitu saja sangat menyeramkan, apalagi ini, yang lebih parah dari itu.

Aku berharap Taksa selalu baik karena dia anak yang baik, dan semoga saja pengobatan yag di jalaninnya berhasil. Saat ini, kata Yanan dia tengah menunggu hasil tes dan semoga saja tidak seburuk yang di tuturkan pria itu.

Ada orang-orang yang mengharapkan kesembuhannya, aku harap Taksa tak menyerah. Seperti titah dokter Hans waktu lalu, aku harus membuat Taksa tak menolak pengobatannya.

Kami menunggu sampai Taksa sadar. Menunggunya cukup lama, kami akhirnya memutuskan bermain Uno. Kami lupa waktu dan tempa hingga membuat pasien disini terganggu.

Taksa bangun...dan yah seperti itulah... dia kembali terkejut dan sedikit kesal karena bangun dalam kondisi tidak baik. walaupun demikian, kegiatan kami terus berlanjut. Dan Meskipun waktu yang kuhabiskan dengan Taksa tidak banyak, sampai titik ini aku mulai banyak tahu seperti apa Taksa ini.

Terkadang Perhatian-perhatian kecil yang biasa ditunjukkan keluarga terkadang asing Sebagian orang, begitu halnya dengan Taksa. Anak itu nampak canggung saat Levo maupun Gallen menyuapinya makan yang dimana menurutku itu adalah hal lumrah. Dia menolak dengan malu-malu yang terlihat jelas sekali dari wajah merahnya. tapi tidak Gallen Namanya jika tidak pandai merayu, jadi mau tidak mau anak itu pasrah dan menerima suapan Gallen dan menelan bulat-bulan makanan saking canggungnya.

Dia... sebenarnya anak berhati hangat dan penuh perhatian, hanya saja tertutupi dengan sifat keras yang mungkin saja ada hal yang menyebabkan dia menjadi gengsi mengakui kepeduliannya terhadap perasaan orang lain.

Hanya contoh kecil bisa ku simpulkan seperti itu, saat Taksa yang tiada henti memperhatikan Jeha yang tengah bermain, tatapan seorang kakak yang sangat gemas melihat kelakukan sang adik, tapi saat Jeha balik memperhatikannya, Taksa akan berpaling buang muka seolah tak peduli. Lucu sekali, karakter mereka sangat berbeda. Taksa yang gengsi dan Jeha yang sangat asertif. Jeha yang secara blak-blakan menunjukkan perhatian padanya ternyata mampu membuat Taksa klabakan. Mungkin Taksa tak pernah merasakan keterbukaan emosional dengan orang lain makanya bisa seperti itu.

Ahh, sok tahu sekali aku...tapi lihat saja, pasti sok tahuku ini berujung kebenaran, tunggu saja tanggal mainnya. Haha.

--

"Haahha..."

"Mmh?"

"Eh?" aku mendongak ke atas. Menyadari jika tawa imajinasiku kelepasan.

"Kenapa tertawa?" tanya Gallen, bola matanya sesekali bergulir ke bawah dan ke depan memperhatikan Langkah karena kami sedang dalam perjalanan menjuku kamar. Dia mendorong kursi rodaku.

"Ah itu... hanya lucu."

"Apanya yang lucu?"

"Tidak ada..."

"Kalau tidak ada yang lucu kenapa tertawa? Dia menulang lagi pertanyaannya.

Buru-buru aku mengalihkan perhatian Gallen, tidak mungkin kan aku cerita persepsi sok tahu ku itu. "Len..Len.." tanyaku sok heboh.

"Mmm." Gumanan Gallen terdengar sangat malas.

Aku mencebik. "Besok makan siang di kamar Taksa lagi ya? atau bagaimana kalau kita ajak Taksa dan Jeha ke taman belakang?" Ajakku. Siapa tau dengan begitu aku makin mengenal Taksa lebih jauh lagi dan bisa membantu anak itu agar jauh dari keterpurukan dan semangat menjalani pengobatan dengan baik.

"Menarik juga, tapi apa di bolehkan dokter Hans? Kau kan masih masa pemulihan. Besok kata bibi selang sisa darahmu akan di cabut."

"Ya sudah, selesai cabut selang saja perginya." Kataku, simpel.

"Lihat saja besok."

Jawaban Gallen terdengar ragu. Tapi tak masalah. "Ya sudah besok kau bantu bujuk mereka agar aku di perbolehkan keluar lagi seperti tadi." kataku, ingat kejadian tadi yang anak itu ikut memohon seperti bayi pada ibu agar aku bisa di perbolehkan keluar kamar.

Aku menatap mata Gallen yang mata itu melihat lurus ke depan..

"Hmmm."

Aku mengangguk mantap, meski hanya gumanan seperti itu, aku yakin. Jika bersama Gallen semua jadi mudah, Tidak seperti Levo yang pasti akan banyak tanya.

Cklek... Pintu kamar terbuka.

Di dalam sudah ada ibu yang tengah membersihkan beberapa barang yang sempat berantakan karena ulah Gallen dan aku juga sih. Kemarin Levo tidak ikut bergabung karena ada mengajar bimbel. Kemudian kami dibuat terkejut dengan suara nyaring Levo yang bernyanyi dalam kamar mandi; seolah kamar mandi adalah tempat karaoke.

Ibu menyadari kehadiran kami, dan menoleh. "Oh, sedikit lagi padahal ibu akan menyusul kesana. Tapi tertunda agak lama, soalnya ibu masih membersihkan sisa bungkus snack yang berserakan oleh beberapa pemuda disini." Sindiran ibu membuatku dan Gallen hanya meringis saling pandang. Setelah itu aku menghendikkan bahu.

"Aku tidak ikutan." Aku kan tidak boleh makan snack, jadi aku tidak bersalah dan mengabaikan tatapan memohon Gallen untuk membujuk ibu supaya tidak marah. Dengan kesalnya anak itu padaku dia melengos dan ekspresinya berubah seketika saat mendekati ibu; ikut membantu merapikan barang dengan cengiran bersalah; menarik perhatiannya.

"Maaf ya bi, kemarin aku lupa membereskannya. Kemarin aku menyetok banyak cemilan gara-gara anak bungsu bibi tak mau lepas denganku. Terus aku jadi ketiduran dan lupa membereskannya." Dari ujung mata Gallen, dia melirikku disertai senyum licik yang membuatku geram. Ibu pun ikut terkekeh meski tangannya masih sibuk berberes.

"Ka-kapan aku seperti itu?" tanyaku ketus.

"Hmmm...begitu ya... tidak ingat, dan berpura-pura bodoh lagi." Kata anak itu, yang kemudian menghampiriku untuk membantuku beranjak dari kursi roda ke ranjang, ya meskipun aku tetap di hadiahi tatapan datar.

Aku merentangkan tangan seolah siap memeluk Gallen. Kemudian dengan hati-hati aku menggulung leher sepupuku itu karena tanganku yang kiri terbebat perban infus dengan banyak selang. Kemudian aku meringis saat perlahan anak itu mengangkat tubuhku dan membuatku berdiri sedikit tegak.

"Aww.. Ack!... Pelan-pelan... pelan-pelan..." gerutuku pada sepupuku tercinta. Sambil ku pukul-pukul punggungnya. Sebenarnya dia tidak salah, hanya saja aku takut jika semua selang yang masih menempel di perut dan kateter urine bergeser karena tangan anak itu, membuat ibu mendengus sedikit sebal melihat polahku.

Ibu mendekat dan ikut membantu Gallen menuntunku ke ranjang.

"Huh... kau yang salah tapi Gallen yang kau marahi. Repot kan kalau sudah seperti ini, tidak mau menunggu sampai benar-benar pulih baru berkeliaran." Sekarang balik ibu yang menggerutu, sembari membenahi selang-selang dan kabel, bibir manis ibu masih saja sempat-sempatnya mengomeli bungsunya yang kesakitan.

"Aku kan bosan bu tiduran seperti ini terus. Lagi pula aku hanya pergi ke kamar Taksa yang hanya berjarak beberapa Langkah saja. Bagaimana jika aku pergi ke taman belakang, pasti ibu lebih kejam dari ini." Kataku dikala sedikit meringis karena rasa perih di luka operasi.

Lalu berubah ekspresi secepat kilat saat kedua orang dihadapanku memperhatikanku dengan raut khawatir.

"Hehehe, sudah tidak apa kok." Lalu Levo lewat "Oh, ibu lihat Levo, dia pakai handuk seperti itu lagi sehabis mandi." Dan berhasil, kedua orang itu menoleh ke arah orang yang kutunjuk. Aku tertawa puas...

Ibu langsung menghampiri Levo dan langsung menghadiahi anak sulungnya pukulan punggung cukup kencang. "Sudah ibu katakan langsung pakai bajunya di kamar mandi jika mandi disini, nanti kalau ada perawat Wanita tiba-tiba masuk bagaimana, huh?"

"Ack, iya-iya maaf. Ssst.. pukulan ibu memang TOP, mengalahkan Manny Pacquiao," Levo mengacungkan jempol pada ibu yang masih marah... "Berati perawat itu beruntung melihat tubuh anak ibu yang perfect ini dong." lalu ibu kembali memukul lebih keras lagi karena wajah Levo sangat tengil. Membuatku dan Gallen tertawa karena melihat aksi mereka.

Aku menghela nafas Panjang tanpa sadar.

Huh... pemandangan seperti itu, meski tidak ada baik-baiknya, tapi membuat hatiku berdenyuh Rasanya aku tak ingin melepas momen kebersamaan seperti ini. Tuhan biarkan aku merasakan kehangatan seperti ini selama mungkin. Jangan biarkan badai apapun merusak kebahagiaan keluarga kecilku ini. Tolong buat keluargaku selalu sehat dan Beri kekuatan dalam menghadapi cobaan karenaku.

Lamunanku pecah saat Gallen berjalanan menuju arah pintu dengan jaket di tangan.

"Mau keman, Len?" tanyaku.

Gallen berhenti dan berbalik badan. "Beli boba di café sebrang sana."

"Jangan pergi, disini saja!"

"Apa sih, aku ingin minum yang manis-manis tahu." Katanya seakan tak peduli laranganku.

"Disini kan masih ada minuman kaleng yang kemarin kau beli. Masih utuh, minum yang ini saja."

"Tidak mau, aku bosan. Mau boba saja."

"Jangan pergi Gallen!" Kataku sedikit bernada.

Sedikit berteriak membuat luka operasi terasa ngilu. Aku menjeda untuk meringis sebentar sembari memperhatikan Gallen yang diam menatapku.

"Kau disini saja. Pakai pesan antar saja." Kataku dengan nada penuh penekanan, dan hal itu memimbulkan reaksi bingung oleh ibu dan Levo, bahkan aksi mereka terhenti saat mendengar nada bicaraku yang terkesan memaksa, tapi tidak dengan Gallen yang justru memutar mata malas di tempatnya.

"Hanya di depan sana, tidak perlu pesan antar seperti itu. Lagi pula aku ingin jalan kaki dari kemarin hanya duduk saja." Katanya tidak peduli tatapan memelasku, nada yang di keluarkan anak itupun jadi ikutan tinggi. Setelah mengatakan itu Gallen kembali berbalik dan siap memegang gagang pintu.

Melihat itu, Jantungku jadi berpacu sedikit cepat, "Jangan pergi, disini saja jangan hilang dari pandanganku." Anak itu sungguh...menyebalkan, dia tetap saja membuka pintu.

"Gallen jangan pergi kataku... Gallen!" Pekikku sekali lagi, sebelum tubuhnya benar-benar menghilang, andai saja aku tidak dalam kondisi seperti ini, sudah ku kejar manusia menyebalkan itu. Aku makin meringis, menyebalkan sekali, tegang sedikit perut ikut sakit.

Ibu dan Levo berhamburan menghampiriku. "Ada apa, Ell? Kenapa berteriak seperti itu pada Gallen. Dia hanya pergi sebentar." Kata ibu mungkin berniat menjelaskan secara hati-hati.

Sedikit tersenggal, aku menatap ibu dan berkata. "Gallen tidak boleh kemana-mana bu, tidak boleh pergi." Lalu mataku bergulir pada Levo "Vo, jangan biarkan Gallen pergi dari kamar ini. Pokoknya tidak boleh kemana-mana." Lalu beralih lagi ke Gallen yang masih berdiri di abang pintu. "Gallen sini cepat!" Panggilanku membuatnya mengalah. Anak itu mendengus disertai tangan yang memijat tengkuk hidung berjalan menuju arahku.

Dia duduk disebelahku, dan langsung ku ambil tangannya, Kupeluk erat dan tak akan kulepas.

Gallen melirik ibu dan Levo "Inilah yang ku katakan anak bibi tak mau lepas denganku dari kemarin." Aku melirik jaket yang masih tersampir di tangannya. "Iya-iya tidak jadi pergi." Katanya kemudian membuang jaketnya ke sofa; menyakinkan meski dengan helaan nafas yang kencang.

Aku tersenyum dan menyandarkan kepala di bahunya.

Mendengar penuturan Gallen, Levo mengangguk, begitu pula dengan ibu yang langsung mengelus rambutku. Mereka mungkin baru ingat dan paham sekarang apa yang membuatku menahan Gallen.

"Sayang, itu hanya bunga tidur. Jangan terlalu dipikirkan."

Aku menggeleng dalam diam, tetap saja, aku takut. Takut jika mimpi itu jadi nyata dan membuat Gallen pergi.

Setelah ku ceritakan masalah mimpi itu pada semua orang, mereka sedikit memaklumi perasaan dan mengapa aku bersikap seperti itu pada Gallen. Apa kata dokter Hans waktu itu? Trauma? Yah mungkin aku memiliki trauma kematian yang menyebabkan sebegitu takutnya diriku terhadap kehilangan.

Bayangan kematian sebenarnya dimiliki setiap orang, hanya kadarnya saja yang berbeda. Mungkin aku ada di tingkat yang sedikit tinggi dari orang lain sehingga menyebabkanku seperti ini, dan itulah satu hal yang menjadi masalah utama kognitifku, yakin Aku lebih takut dengan kematian orang-orang kesayangku dari dari pada kematianku sendiri.

---

Hari ini, adalah hasil pemeriksaanku, setelah beberapa minggu menjalani masa rehabilitasi, perlahan kata dokter itu kondisiku membaik. Dan satu demi satu alat-alat nemompang di tubuhku di cabut satu persatu. Nah kali ini giliran selang kecil tempat pembuangan sisa darah di dalam tubuh yang di cabut.

Kali ini tidak ada ibu, Levo maupun Gallen yang menemani, mereka dalam mode aktivitasnya; mobilitas ketiga orang itu sangat tinggi jadi tidak boleh terlewati. Apa-apa saja kegiatannya tidak perlu ku sebutkan. Pasti kalian tahu sendiri. Ibu harus bekerja karena aku banyak mengabiskan biaya karena operasi ini, biaya yang tidak murah. Kadang aku mengakumulasikan seluruh biaya pengobatanku yang bisa saja seharga enam mobil Lamborghini. Astaga aku ini menyusahkan sekali. Tapi setiap kali aku bertanya, ibu selalu mengatakan.

"Jangan pikirkan biaya, asal Ell sehat ibu senang. Ibu memiliki banyak asuransi dan beberapa donator dari rumah sakit untuk biaya perawatanmu." Aku jadi sedikit lega, tapi tak selega itu, jika berfikir logis dan realistis, benarkah masih ada manusia dermawan di muka bumi ini? sedermawan itu sampai sangat pamrih memberikan sesuatu tanpa imbalan. Setahuku tidak ada manusia seperti itu di muka bumi ini.

Ngomong-ngomong masalah kenapa Gallen bisa lolos dari pandanganku, mungkin karena lebih terpaksa melepasnya; dokter mengatakan aku harus mendoktrin diriku sendiri agar tidak terlalu mencemaskan masalah mimpi itu, jadi pelan-pelan aku membiasakan diri Gallen pergi dari pandanganku, dan membuat anak itu dapat pergi ke tempat les seperti biasanya. Padahal sekarang masih masa libur, tapi anak itu selalu saja sibuk. Huhf awas saja sebentar lagi aku bisa menyaingi kesibukannya itu.

So, lanjut ke topik.

Pencabutan selang ini tak membutuhkan waktu lama jadi tak masalah jika tanpa mereka.

Aku mengutak atik ponsel, men-scroll sana sini aplikasi yang sebenarnya aku bukanlah tipe orang yang Nomophobia jadi membuatku gampang bosan. Aku benar-benar sendiri di kamar dan tidak ada apapun yang bisa ku kerjakan sekarang.

Dan.. penantian 30 menit menunggu akhirnya membuahkan hasil. Dokter Hans datang Bersama kak Demi. Datang dengan senyum lebar membawa alat-alat yang dibutuhkan lalu dengan kompak mereka berucap "sepenuh hati siap melayaniku."; mereka nampak sedikit bersalah karena datang terlambat saat ku sambut tatapan datar.

Aku melirik mereka sekilas, kemudian menatap langit-langit kamar dengan tangan tergulung di bawah kepala disertai hembusan nafas Lelah yang dibuat-buat. "Lihat-lihat, pasien kalian sampai menjadi fosil begini."

Dokter Hans tersenyum dengan tangan yang dimasukkan ke kantong jas putihnya. "Tidak ada fosil yang bisa bicara."

Aku menatap sebal, "Lama sekali. Aku kan ingin cepat-cepat ke kamar Taksa."

"Percuma kau kesana, dia sedang tidak ada di kamar. Dia sedang di ruangan dokter Brian." Ucap kak Demi sembari sibuk menuangkan alcohol ke kasa untuk diberikan ke dokter Hans.

Mendengar itu, mataku jadi bergulir ke dokter Hans. "Bukankah Taksa pasien dokter, kenapa sekarang jadi pasien dokter tua itu?" Seingatku, pertama kali datang, Taksa dalam pengawasan dokter Hans. Kenapa jadi pindah Haluan?

"Hei, aku ini dokter bedan Toraks." Ucap pria itu sembari membuka plester perban operasiku "Taksa itu pasien kanker, jadi dia ada di bawah pengawasan dokter Brian sebagai spesialis Onkologi."

"Ackh!"

Aku sedikit meringis saat dokter itu menyentuh Lukaku, membuatku meringis. Tapi tak juga membuat mulutku berhenti bicara. "Tapi waktu itu, dia bersamamu." Kataku masih penasaran.

"Bocah ini, asal kau tau, Taksa itu adalah penderita kanker langka. Dokter Brian sebagai dokter yang sudah berpengalan di bidang itu jadi satu-satunya dokter harapan Taksa sekarang. Tidak hanya dokter Brian saja yang di kerahkan, tapi beberapa Profesor ikut terlibat untuk diskusi masalah kondisi Taksa."

Kalimat dokter Hans membuat perasaanku jadi tidak enak tentang kondisi Taksa. Aku sempat dengar jika kanker jantung adalah salah satu kanker langka di dunia. Jika semua orang hebat di kerahkan berati kondisi Taksa cukup berat.

"Dokter, Taksa akan baik-baik saja kan?" tanyaku pada dokter itu, namun Dokter Hans hanya tersenyum dan berpaling pada kak Demi. "Apa terjadi sesuatu dengan Taksa?" Seakan tidak mendapat jawaban yang puas aku terus bertanya pada mereka berdua. Keengganan menjawab mereka seakan mulus tertutupi karena kesibukan mengurusku. Kak Demi yang menulis beberapa dukumen sambil berguman dan Dokter Hans yang fokus mengecek kantung urineku.

"Kenapa diam saja? Dokter, seperti katamu waktu memperkenalkanku dengan Taksa, buat dia nyaman dan mau bersedia mejalani pengobatan. Sekarang kondisi mulai membaik, aku percaya diri untuk menyemangatinya. Jadi bisakah kau memberitahu bagaimana kondisi Taksa padaku?"

Aku terus menuntut dokter Hans untuk bicara, dia harus bertanggung jawab karena dia sendiri yang membuatku dalam posisi ini, jadi dia tidak boleh setengah-setengah memberi titah begini, terlebih aku merasa sangat sayang dan peduli pada Taksa.

"Dokter Hans." Kataku penuh memohon, sampai bahkan jadi sedikit mencondongkan badan ke arahnya.

Pria itu lantas bangkit, terdengar helaan nafas yang terdengar pasrah. "Kondisinya memburuk, awalnya kondisinya tidak terlalu parah, pengobatan melalui kemo nampaknya tidak mempengaruhi tumor ganas dalam jantungnya. Tumor itu terus berkembang dan kini meluas ke beberapa bagian penting dalam jantungnya." Dokter Hans menoleh kak samping. "Dam, siapkan Nierbeken." Lalu dia menatapku "Kita lakukan sekarang."

Kan... dokter ini pandai sekali mengakhiri pembicaraan penting. Mulus.

"Tunggu!... Apa tidak ada sedikit saja harapan?" Ini. Hanya ini saja, ku mohon jawablah dengan jawaban yang melegakan dokter.

"Itulah kenapa mereka tengah berdiskusi. Itu juga kenapa para professor datang untuk menangani kasus Taksa. Itu ranah mereka, yang jelas tugasmu cukup menyemangati Taksa supaya tidak putus asa dalam menjalani pengobatannya, bukankan begitu tugas seorang teman, Elliot Watra Wijaya?"

Aku mengangguk. Benar, aku harap para dokter disana memberi solusi baik untuk pengobatan Taksa. Akupun tak akan putus semangat untuk memberi dukungan untuk Taksa, temanku. Belum. Aku bahkan belum bertindak sebagai mestinya teman. Aku belum mengerahkan segalanya untukmu, Taksa, jadi tolong beri aku kesempatan untuk membantunya.

"Kau, penasaran dengan kondisi orang lain, memangnya tidak penasaran dengan kondisimu sendiri? Aku sendiri juga jadi lupa harus menjelaskan kondisimu dulu sebelum mencabut ini." Pria itu lantas mengambil beberapa dokumen di trolli dan membacakannya tanpa menunggu menjawab pertanyaannya.

"Semua hasil baik, mesin juga bekerja dengan baik, tapi ada beberapa yang menunjukkan angka sedikit mendekati tidak normal. Hasil tes Agregasi trombosit sedikit tidak baik. Ell kau sudah tau kan jika kau memiliki Riwayat genetic darah yang gampang membeku?" aku mengangguk atas pertanyaan itu.

Ya aku sempat di jelaskan sejak dulu jika darahku adalah jenis yang cukup sering mengalami masalah pembekuan sehingga yah begitulah tak heran karena ulahnya beberapa fungsi vital di jantungku jadi ada-ada saja.

"Setelah benar-benar pulih, kau harus rutin meminum obat mengencer darah, no skip, don't forget and Never. Sedikit saja kau lupa itu berakibat fatal untuk kondisimu. Kau tidak mau merusak benda mahal ini kan?" tunjuknya pada dadaku, tepatnya LVAD, tentu aku mengangguk. "Juga jangan sia-siakan usaha semua orang untukmu, termasuk aku yang memasang ini. Asal kau tau, aku berdiri 6 jam padahal sebelumnya aku belum makan hanya demi memastikan benda ini terpasang sempurna di dadamu." Dokter Hans dan Kak Demi terkekeh saling pandang. Mungkin ada sesuatu menarik yang membuat mereka tertawa saat operasi berlangsung.. mungkin, aku hanya asal tebak.

"Iya, aku akan menjaga benda ini dengan sangat baik, asal aku di perbolehkan sekolah setelah ini. iya kan?"

"Untuk masalah itu, kita diskusikan lagi nanti."

"Hah, kenapa begitu bukankah kau yang memberi izinku pergi ke sekolah formal."

Dokter Hans seakan tak peduli dan tak mau berlama-lama mendengarku bicara dia langsung memegang pundaku dan berbisik. "Sssssttt Aku mencintaimu." Begitu katanya dengan mulut yang dimajukan seperti tengah mencium, membuatku melotot geli.

Tapi...

Belum sempat melawan, aku memekik kencang karena sebelah tangan dokter itu rupanya menarik selang di perutku. Selangnya cukup Panjang dan berwarna merah yang terlapisi darah. "Dokter! Astaga, kenapa kau tak memberi aba-aba dulu sih. Sssshhhh..." aku mendesis lagi namun kali ini meremas lengan kak Demi yang tengah menutup bekas selang itu dengan plester. Pria tak bersalah itu jadi sasaran karena ulah dokter pucat itu.

Dokter itu terkekeh tanpa merasa bersalah.

Tak lama setelah proses selesai, dokter Hans pamit dan aku sendiri lagi. Tidak lama kok karena beberapa saat kemudian Yanan datang dengan ekspresi yang...

"Ada apa Yanan?"

Yanan terlihat menghapus jejak air mata menggunakan lengan berototnya. Suara tarikan ingusnya terdengar sangat basah.

Aku tiba-tiba gelisah melihat sikap pria itu. "Yanan, kenapa kau menangis?"

"Elliot, sepertinya aku butuh bantuanmu."

---

.

.

.

.

.

.

.

.

Siyu...

Continue Reading

You'll Also Like

423K 8K 13
Shut, diem-diem aja ya. Frontal & 18/21+ area. Homophobic, sensitif harshwords DNI.
290K 22.5K 103
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
34.9K 2.1K 34
Ditinggal dalam kekayaann bukanlah sesuatu yang diingin Min yoongi Ia tak ingin kekayaan jika hal itu bisa merebut kemampuan untuk melihat dan berjal...
866K 42.1K 40
Alzan Anendra. Pemuda SMA imut nan nakal yang harus menikah dengan seorang CEO karena paksaan orang tuanya. Alzan kira yang akan menikah adalah kakek...