Replaying Us

By kianirasa

609K 54.6K 5.7K

Athalia Sharafina menyukai Narado Risyad dalam diam selama bertahun-tahun. Tapi tidak pernah menyatakannya b... More

Bagian Satu : Nyata atau Ilusi?
Bagian Dua: Menuju Masa Lalu
Bagian Tiga: Malaikat dan Donat
Bagian Empat: Ide Yang Buruk
Bagian Lima: Obrolan dan Rencana Menetap
Bagian Enam: Pengakuan, Kesepakatan
Bagian Tujuh: Seragam Putih Abu-abu Lagi
Bagian Delapan: Tidak Terlalu Buruk
Bagian Sembilan: Memalukan
Bagian Sepuluh: Mendadak Galau
Bagian Sebelas: Cinta Segitiga atau Segi Empat?
Bagian Dua Belas: Berbahaya
Bagian Tiga Belas: Dia-lo-gue
Bagian Empat Belas: Bolos Sekolah
Bagian Lima Belas: Semakin Dalam
Bagian Tujuh Belas: Dalam Gelap
Bagian Delapan Belas: Diluar Dugaan
Bagian Sembilan Belas: Sekali pun Dalam Mimpi
Bagian Dua Puluh: Getaran Aneh
Bagian Dua Puluh Satu: Penguntit, Menguntit
Bagian Dua Puluh Dua: Debaran dan Rasa
Bagian Dua Puluh Tiga: Begitu Berarti
Bagian Dua Puluh Empat: Bisa Jadi
Bagian Dua Puluh Lima: Kebenaran, Ungkapan, dan Perasaan
Bagian Dua Puluh Enam: Pertemuan Pertama
Bagian Dua Puluh Tujuh: Virus Cinta
Bagian Dua Puluh Delapan: Bimbang
Bagian Dua Puluh Sembilan: Tidak Lama Lagi
Bagian Tiga Puluh: Pertama Yang Abadi
[EKSTRA]: Dalam Ingatan
EPILOG
PEMBERITAHUAN

Bagian Enam Belas: Curhatan dan Sepatu?

13K 1.4K 62
By kianirasa

==

Bagian Enam Belas: Curhatan dan Sepatu?

==

Kariza perlahan membuka kedua kelopak matanya. Mengerjap untuk beberapa saat sebelum akhirnya terbangun sepenuhnya. Mata hazel pemuda itu menyisir ruangan―dan pandangannya jatuh pada jam di sudut ruangan yang didominasi warna putih serta bau obat-obatan ini.

Menyadari hanya dirinya yang tersisa sendiri disana, Kariza lantas beranjak dari posisi baringnya. Dia menghela napas berat dan memegangi dahinya untuk beberapa saat. Panas. Meski dia sudah berada disini sejak tiga jam terakhir tapi kondisi tubuhnya belum membaik.

"Permisi." ucap sebuah suara tak asing. Tak lama, dari balik tirai yang menutupi bilik kasurnya muncul Nanda yang sedang memeluk ransel Kariza. Dan tentu saja Kariza secara otomatis langsung menyambutnya dengan senyuman seribu watt. "Eh Kari―lo udah bangun ya ternyata."
"Udah pulang ya?"

Nanda mengangguk lalu mengangkat kedua tangannya. "Dari sepuluh menit yang lalu." jawabnya.

"Tapi kok lo yang bawain tas gue kesini? Haykal mana?" Kariza lagi-lagi bertanya. Kali ini sambil mendongakkan kepala, berharap salah satu teman kelasnya yang lain menungguinya di belakang Nanda―namun tidak ada satu pun disana.

"Tadi Haykal yang mau bawain tapi karena dia lagi buru-buru jadinya nitip ke gue. Anaknya baru aja ngacir." jelas Nanda. Kariza mencibir Haykal pelan.

"Makasih Nan, udah bawain tas gue. Maaf ngerepotin lo." ucap Kariza, menambahkan.

Nanda tertawa. "Yah elah. Lo mah emang selalu bikin gue repot kali." timpalnya seraya menyerahkan ransel yang dipeluknya pada si pemiliknya.

Kariza menerimanya dengan senang hati. Memakai selempangannya sebelum memakai sepatu dan beranjak berdiri. "Gue bosen banget disini daritadi."

"Lagi siapa suruh situ sakit." sahut Nanda yang membuka pintu ruang UKS lebih dulu.

Begitu keluar, Kariza langsung menolehkan kepalanya kearah langit dari sisi koridor. Sebelah tangannya terangkat. Membiarkan bulir hujan mengenainya. "Hujan. Sejak kapan?"

"Daritadi pagi. Kalau nggak salah." Nanda menjawab lagi.

Kariza melangkahkan kakinya cepat dan menghalangi Nanda sesampainya tepat di depan perempuan itu. Senyum miring tersungging di bibirnya yang masih pucat.

"Hadiah buat orang sakitnya mana?" tanya Kariza yang kemudian merentangkan tangannya lebar. Bersiap menerima hadiahnya.

Nanda memutar kedua bola matanya, mendengus dan menendang tulang kering Kariza agak keras yang sukses mendapat ringisan kesakitan darinya.

Daripada marah, senyuman Kariza malah semakin lebar. Mengetahui bahwa cinta pertamanya sejak masih duduk di bangku taman kanak-kanak itu tidak pernah berubah sejak dulu. Jadi dengan hati yang riang Kariza menyusulnya dan berjalan bersisian dengan Nanda, menyusuri koridor.

"Gue heran," ujar Nanda tiba-tiba, beberapa saat setelahnya. Kariza yang di sebelahnya hanya melirik perempuan itu melalui ekor mata. "Murid baru itu loh―si Athalia, dia tadi pagi masuk tapi mendadak hilang. Padahal tasnya masih di kelas."

Kariza menghentikan langkahnya. Otaknya baru saja ingat akan Atha. Pemuda itu menutup kedua matanya sejenak dan menghembuskan napas. Berusaha tabah menghadapi sikap perempuan yang menumpang di rumahnya belakangan ini tersebut.

"Kenapa lo?"

"Nggak. Nan, lo duluan aja―gue ada yang ketinggalan di kelas." jawab Kariza yang dengan cepat berlari ke arah yang berlawanan. Padahal tinggal beberapa meter lagi, keduanya sudah sampai di depan gerbang sekolah.

Nanda memperhatikan punggung Kariza yang berlalu dan mengecil seiring pemuda itu menjauh.Sebelah alisnya terangkat, penasaran.

》》》

Atha mencuri-curi pandangan kearah Nara yang berada di depannya. Memegangi payung hijau yang dibelinya selagi berjalan menyusuri jalanan kecil yang sama―yang dilewati mereka sebelum pergi ke taman hiburan di bukit. Jalanan yang berseberangan langsung dengan ladang jagung.

Angin yang berhembus cukup kuat membuat Atha sesekali meniup sebelah telapak tangannya. Mencari kehangatan. Selagi tangan kanannya sibuk memegang payung merahnya agar tidak terbang terbawa angin.

"Nara, gue boleh nanya ke lo nggak?" Atha mengajukan pertanyaan, memecahkan keheningan yang sudah cukup lama terjadi diantara keduanya.

"Apa?"

Atha menarik napas. "Gue tahu lo sama Kariza pernah deket. Terus kenapa sekarang jauh-jauhan gitu?" sambungnya, menyelesaikan.

Nara menghentikan langkahnya dan membalikkan badan. "Kenapa?" ulangnya.

Atha mengangguk dengan ragu.

"Karena Nanda sih, salah satunya." jawab pemuda itu. Dia menghadap kearah Atha, namun sengaja membuang muka saat menjawabnya.

Ada sedikit jeda keheningan setelahnya, yang kemudian hanya diisi oleh suara rintikan hujan.

"Kenapa dia?" Atha bertanya lebih dalam. Perempuan itu sedikit menurunkan payungnya, bersiap untuk mendengar apa pun jawaban yang keluar dari mulut Nara.

"Kariza dan gue suka orang yang sama."

"Ooh."jadi beneran, tambah Atha dalam hati.

Mendadak suasana menjadi canggung. Jarak diantara Atha dan Nara yang sebenarnya tidak terlalu jauh kini terasa menjadi jauh. Terlalu jauh sampai rasanya Atha bahkan sulit untuk menyusulnya dan berjalan di sampingnya.

Beberapa detik berlalu dan keduanya sama sekali tidak memulai pembicaraan lagi. Bergerak pun tidak. Namun sesaat setelah satu menit berlalu―Atha yang menunduk, melamun, dikejutkan oleh sepasang sepatu kets hitam yang tiba-tiba saja berada di depannya. Saat mendongak, payung merahnya justru mengenai sesuatu dihadapannya.

"Aduh,duh, sakit idiot." gerutu Nara sambil mengusap-usap hidung mancungnya. Atha mengulum bibirnya kedalam, menahan tawa.

"Gue nggak minta lo ada disitu ya. Idiot."

"Habis gue bingung kenapa lo diem aja disitu. Gue kan nggak enak kalau ternyata lo naksir gue terus patah hati gitu dengernya."

"Idiot." ucap Atha dengan wajah datar, merasa agak kesal. "Kayak Nanda mau sama lo aja sih, Nar."

Nara mengendikkan bahu. "Kalau belom dicoba nggak bakal tahu hasilnya kan?"

Atha hanya mengangguk lalu kembali berjalan. Mata coklatnya menatap kebawah.

Nara selalu begitu. Maksudnya, di kala Atha merasa jarak yang terbentang diantara keduanya terlalu jauh hingga Atha tidak yakin harus melanjutkan perasaannya atau tidak―Nara malah yang akan menghampirinya. Seperti tadi. Seolah-olah menyuruh Atha agar dia tidak menyerah. Aneh.

"Gue sama Kariza sempet masuk klub basket bareng-bareng. Dia duluan sih." Nara mendadak bercerita. Memecahkan lamunan Atha.

Perempuan berponi itu menoleh. Menunggu Nara menyelesaikan cerita yang dimulainya.

"Kejadiannya tahun lalu. Sebelum gue masuk klub, dia cerita ke gue kalau ada pencalonan ketua klub basket buat tahun ini―dan dia berniat buat ikut. Lagian dari angkatan kita dia masuk kandidat terkuat kan," Nara menghembuskan napas. "Gue yang denger sih seneng-seneng aja. Tapi terus gue disuruh ikut klub basket sama wali kelas, karena kebetulan waktu itu gue sengaja nggak milih eskul apa pun. Nggak minat. Waktu gue masuk, beberapa bulan kemudian ada pertandingan gitu kan―lawan nggak sengaja nyikut Kariza sampai dia jatuh. Lututnya cedera parah sampai dokter bilang dia bisa aja nggak bisa sembuh kalau nggak langsung ditanganin."

Kedua alis Atha bertaut. Dia manggut-manggut mengerti.

"Untungnya―Kariza sembuh tiga setengah bulan setelahnya. Nah, waktu dia cedera, gue yang pemain cadangan disuruh gantiin. Karena kapten tim pas itu nggak yakin Kariza cederanya bakal benar-benar pulih akhirnya dia dibatalin jadi calon ketua klub sepihak sama kapten. Dan nggak tahu kenapa kandidatnya jadi gue."

"Jadi, Kariza ngiranya lo manfaatin peluang gitu waktu dia cedera?" tanya Atha.

Nara menggeleng lalu mengendikkan bahu. "Nggak tahu juga sih. Tapi pokoknya habis itu gue kepilih, cuman nggak lama kemudian gue mengundurkan diri dan pindah ke boxing. Karena gue suka olahraga tinju." jawabnya yang diselingi tawa pelan. Atha mengulum senyum. Nara pernah bercerita tentang itu padanya.

"Lah, tapi kenapa Kariza jadi masuk klub boxing?" pertanyaan Atha yang ini mendapat balasan gelak tawa dari Nara. Gelak tawa yang memperlihatkan sepasang lesung pipitnya dengan jelas.

"Karena Nanda―dia sering datang waktu gue latihan. Kariza kayaknya nggak suka ngelihat dia sering-sering deket sama gue. Lagian Nanda itu first love dia dari tk."

Atha geleng-geleng. Lantas, wajar saja bila Kariza sangat sentimen dan memilih untuk tidak memberitahu orang tuanya soal kepindahannya ke klub boxing. Hanya untuk sebuah alasan sederhana.

Mungkin itu yang dinamakan pengorbanan untuk cinta. Halah.

"Eh Tha." panggil Nara.

Atha menoleh dan menautkan kedua alisnya. "Ya?"

"Nggak jadi. Lupa."

》》》

"Ngapain lo balik ke kelas?" Nanda yang berdiri di dinding samping pintu kelas langsung memborbardir Kariza dengan pertanyaan―tepat setelah pemuda itu membuka pintu dengan sebelah tangannya memegangi ransel milik Atha.

"Bukannya tadi gue nyuruh lo duluan Nan?kok malah disini?" Kariza balik bertanya. Sekarang memutar badannya menghadap Nanda yang melipat kedua tangan di dada.

Perempuan itu mengendikkan bahu. "Terserah gue." jawabnya sambil tersenyum.

Kariza ikut-ikutan mengulum senyum. "Gue pulang duluan ya Nan." ucapnya yang justru kedengaran aneh di telinga Nanda. Tidak biasanya seorang Kariza pamit lebih dulu.

"Kari." panggil Nanda sambil menyamai langkahnya.

"Mm."

"Gue baru ingat, hadiah ulang tahun gue mana? kayaknya lo pernah janjiin deh."

Kariza mendadak menghentikan langkahnya. Memaksa Nanda mau tak mau ikut berhenti. Perempuan itu mengerutkan dahi sambil memperhatikan Kariza yang menatapnya balik. Menarik dan menghela napasnya dengan gerakan lambat.

Hadiahnya tidak akan terasa seperti hadiah meski Kariza memberikannya. Toh, Nara sudah memberikannya lebih dulu pada Nanda. Walaupun album Bring Me The Horizon yang dibelinya masih berada di dalam tas ranselnya, tapi dia sama sekali tidak punya niat untuk memberikannya pada Nanda.

"Sini deh Nan." ucap Kariza sambil mengayunkan tangannya di udara. Menyuruh Nanda mendekat.

Yang disuruh pun terlihat semakin bingung. Meski begitu, Nanda tetap memasang wajah datarnya dan melangkah mendekat. Kariza membungkukkan badan dan mendekatkan bibirnya ke telinga Nanda.

Untuk sepersekian detik, waktu terhenti. Nanda tidak memasang reaksi apa-apa, kentara sekali dengan Kariza―yang sepertinya punya efek samping luar biasa setiap berada di dekat Nanda. Pemuda itu bahkan sampai menahan napasnya dan mengumpat dirinya sendiri dalam hati.

"Hadiah lo―" Kariza memberi jeda. "HA." lanjutnya, berteriak persis di telinga kanan Nanda. Tawa Kariza pun pecah saat membenarkan posisi badannya dan melihat mata kehijauan Nanda terbelalak kaget.

Mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya, Kariza buru-buru ngacir. Walau sepertinya agak telat karena Nanda keburu meninju lengannya.

"Najis lo. Dasar Kari." gerutu Nanda saat melihat Kariza berjalan tergopoh-gopoh sambil memegangi lengannya yang baru saja terkena tinjuan cukup keras dari Nanda.

Perempuan itu melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Hari ini sekolah pulang cepat, dan jadwalnya benar-benar kosong.

Rasanya ada yang kurang. Setelah dipikir-pikir Nanda jadi teringat seseorang. Narado Risyad. Pemuda yang hobinya mengintil di belakangnya ketika berada di sekolah―cengengesan tidak jelas, dan juga hobi menghilangkan alat tulis yang dipinjamkan Nanda padanya.

Kenapa hari ini pemuda dengan rambut di cat pirang itu tidak masuk sekolah?

"Apa gue mampir ke rumahnya aja ya?"

》》》

"Rain rain go away, come again another day." Atha bernyanyi pelan kemudian melompat kecil untuk menghindari genangan air di sepanjang jalan yang kedua anak manusia itu lewati.

"Little Atha wants to go home, rain rain go away." Nara yang persis berjalan disampingnya melanjutkan. Dan sukses mendapatkan raut bingung dari Atha.

"Apa?" tanya pemuda bermata coklat itu. Nara sepertinya sadar kalau dirinya sedang diperhatikan oleh makhluk berjenis perempuan disebelahnya. Bahkan tanpa diminta, raut jutek itu kembali ada disana. Terpatri di wajah tampannya.

Atha selanjutnya menggelengkan kepala. "Nggak nyambung." balasnya. Kemudian keduanya diam. Melanjutkan perjalanan menuruni jalanan beraspal yang disampingnya diberi pagar pembatas.

"Tha."

"Kenapa?"

"Gue kepikiran lo."

Mendadak, darahnya berdesir. Jantung Atha makin berdegup cepat selagi kakinya berhenti melangkah. Dia mengedipkan matanya cepat. "Ha-hah?"

Nara memutar kedua bola matanya lalu berdeham pelan. "Yang gue maksud, perkataan lo." koreksinya. Atha yang sudah dibuat melayang di angkasa pun mendadak harus merasa kecewa.

"Ooh, yang mana?" tanyanya sambil membuang pandangan kearah lain. Pipinya terbakar. Dia jadi malu sendiri memikirkan hal yang hampir mustahil untuk terjadi.

"Yang kata lo, masa depan." Nara menarik napas dalam-dalam lalu mengulum senyum super tipis yang hanya bisa dilihat bila Atha menyipitkan mata. "Gue jadi penasaran apa yang bakal terjadi nantinya. Di masa depan. Apa yang bakal gue lakuin buat orang-orang di sekitar gue dan apa nantinya gue bisa raih mimpi gue atau nggak―menurut lo gimana Tha?" sambungnya. Nara kali ini menoleh, menunggu jawaban dari mulut Atha yang setengah terbuka.

Apa yang bakal terjadi di masa depan?

Atha segera menutup matanya dan menggeleng saat bayangan kecelakaan mobil yang dialami Nara muncul di benaknya. Sebisa mungkin, Atha mengalihkan pandangannya ke jalanan beraspal yang ditapakinya. Membiarkan hujan mengisi kekosongan untuk beberapa saat selagi keduanya berjalan berdampingan.

"Menurut gue.." Atha menggigit bibir bawahnya dan menghembuskan napas panjang. "Lo pasti jadi cowok nyebelin yang hobinya cengengesan waktu ngomongin soal gebetan, bisanya ngelamun sambil ngelihatin gebetan dari jauh―Nggak jutek. Beda sama lo yang sekarang. Kurang lebih gitu sih, menurut penerawangan gue." tambah Atha. Memaksakan tawa keluar dari sana. Meski kedengarannya aneh.

Nara menoyor belakang kepalanya pelan. "Menyedihkan banget kesannya gue." balasnya lalu berjalan lebih dulu.

Atha tersenyum dan menyadari pandangannya memburam karena air mata. Perempuan berambut sebahu itu menyingkirkan sedikit payungnya lalu mendongakkan kepala, menatap langit yang masih menitikkan air hujannya ke bumi. Dia membiarkan rintikan itu mengenai wajahnya sengaja, supaya menyatu dengan air matanya.

"Oi, gue haus deh. Mampir ke―" omongan Nara terhenti sesaat ketika sadar kalau teman membolosnya hari ini tidak menyusulnya. Pemuda itu menolehkan kepala ke belakang dan berdecak pelan. "woi anak baru."

Mulai deh, sikap menyebalkannya.

"Apa?" Atha menanggapi setelah sebelumnya berdeham pelan.

Nara mendengus dan berjalan kearahnya. Menarik pergelangan tangannya tanpa kata.

"Mau kemana lagi?"

"Haus. Mau beli minum." jawab Nara seraya mengendikkan dagunya kearah minimarket seberang jalan.

Beberapa saat kemudian, begitu keduanya memasuki pintu minimarket, mata Atha langsung jatuh pada selebaran kertas yang dipasang dengan ketikan huruf kapital. Usai menyipitkan mata, dia pun sadar kalau itu adalah kertas iklan lowongan kerja yang bertempat di minimarket ini.

Melihat kertas itu Atha jadi teringat kalau saat ini dia tengah tinggal sementara di rumah Kariza. Dan saat kembali ke masa depan nanti, tidak mungkin Atha hanya sekedar berterima kasih tanpa meninggalkan beberapa lembar uang.

"Minimal anak SMA?" gumamnya.

Senyum terukir dibibir Atha pada detik berikutnya. Dia melirik kearah Nara yang sibuk berjalan, mondar-mandir di depan mesin minuman. Mumpung ada kesempatan, Atha berjalan menuju kasir. Menghampiri pemuda bertopi dan berseragam minimarket yang sedang berdiri, kelihatannya sedikit lebih tua dari Atha.

"Ya ada yang bisa di―"

"Saya mau ngelamar kerja disini, Mas." potong Atha cepat.

》》》

Kariza baru menyalakan motornya dan mengendarainya keluar gerbang sekolah disaat Nanda yang berjalan di sisi jalanan menghentikannya dengan merentangkan sebelah tangan. Mengagetkan Kariza yang sedang melamun, dan hampir saja menabrak perempuan itu.

"Kari kadonya kasih gue tumpangan aja mau kan?" tanyanya tiba-tiba.

Yang ditanya mengerutkan dahi. Seolah tidak mengerti. "Tumpangan ke rumah?"

Nanda berdecak lalu tanpa meminta izin lagi, dia menaiki kursi penumpang di bagian belakang motor tanpa berpikir panjang. Nanda mengikat rambutnya keatas, menyisakan beberapa anak rambut sebelum memegangi pundak Kariza erat. Tanpa disadarinya membuat si pengemudi gerogi luar biasa, meski memasang tampang biasa saja.

"Udah lo jalan aja." ucap Nanda yang justru membuat Kariza menelan ludah dengan susah payah sebelum akhirnya menancap gas motornya. Pulang.

Jujur saja, ini baru pertama kalinya Nanda menebeng motornya sejak terakhir kali saat kelas sepuluh. Kalau saja hari ini Nara masuk, Kariza yakin dia tidak akan mungkin bisa begini.

"Rumah lo sama Nara dekat kan?"

Kariza mengerjapkan sepasang mata hazelnya dan melirik Nanda melalui kaca spion. "Lumayan. Jalan kaki bisa sih. Kenapa?"

"Ooh nggak."

Setelahnya, suasana mendadak canggung. Namun sepertinya itu hanya berlaku untuk Kariza sendiri―Nanda nampaknya tenang saja karena sejak tadi dia sibuk menoleh ke kiri. Memperhatikan jalanan yang keduanya lewati.

Tak lama kemudian, pikiran Kariza ikut melayang. Bertanya-tanya mengenai Atha yang tidak ku jung balik ke kelas hingga bel terakhir hari ini. Membiarkan Kariza menunggu roti isi daging di kelas dengan perut keroncongan.

Sepintas, sebuah pemikiran membuat mata hazel Kariza terbelalak.

Atha yang membolos dan Nara yang tidak masuk―apa bisa diambil kesimpulan kalau keduanya; membolos bersama?

Atha lihat aja lo nanti, batin Kariza. Diluar kesadarannya menancapkan gas kelewat keras hingga Nanda yang duduk dibelakangnya melotot. Kariza bahkan dua kali menerobos lampu merah dan hampir menabrak seorang pejalan kaki.

"Kari, lo gila atau sinting?" cerocos Nanda yang kelewat kesal begitu keduanya sampai di depan gerbang rumah Kariza. Dia berkacak pinggang sambil mengatur napasnya, tak lupa memincingkan mata kearah Kariza.

Alih-alih menanggapi, pemuda itu melepas helmnya lalu malah memasang senyum tebar pesonanya.

"Kayaknya dua-duanya deh." timpalnya, bercanda.

Nanda memutar kedua bola matanya hingga suara dua pasan sepatu yang sedang berjalan kearah mereka terdengar. Sepasang mata Nanda beralih ke kanan, menatap dua sosok yang muncul dari atas tanjakan. Diikuti juga mata hazel Kariza, yang menyipit saat memastikan dua sosok familiar mendekati mereka.

》》》

Atha hampir menjatuhkan payungnya saat sesuatu yang dingin menyentuh pipi kirinya. Perempuan itu baru saja akan berteriak saat sosok Nara dengan raut juteknya memberika sekaleng minuman soda tepat usai keluar dari pintu minimarket.

"Lama ya?"

"Banget." jawab Atha sambil mengambil kaleng soda yang diberikan Nara. Dia tersenyum kecil sebelum membuka tutupnya dan meneguknya hingga setengah.

"Makasihnya mana?"

"Lho, gue kan nggak minta dibeliin lo."

Tidak mendapat reaksi apa pun dari makhluk disebelahnya, Atha menoleh. Disaat yang sama mendapat cubitan pada pipi kirinya―cukup keras untuk membuatnya meringis dan merutuki perbuatan Nara. Tapi tetap saja, namanya perasaan tidak bisa diingkari.

Hati dan mulut memang kadang tak sejalan.

Sepuluh menit pun berlalu dengan begitu saja tanpa Atha atau Nara mengangkat topik apa pun. Keduanya hanya berjalan dan sibuk dengan pikiran masing-masing, sampai pada akhirnya Atha angkat bicara.

"Gue boleh curhat nggak Nar?"

Nara yang sedang menyesap sodanya menoleh lalu mengerutkan dahi.

"Terserah. Kalau itu bisa membuat lo ngerasa lebih baik." balasnya―tipikal jawaban yang akan keluar dari mulut seorang Nara.

"Jadi," Atha menendang kerikil kecil dihadapannya. "Gue suka sama orang ini―tapi dia suka sama teman gue. Menurut lo, gue harus gimana biar dia ini bisa balas perasaan gue? apa gue harus berubah gitu?"

"Yang namanya perasaan nggak bisa dipaksa," Nara menarik napas lalu melanjutkan, "Gini aja deh, lo tahu bahasa inggrisnya sepatu?"

Atha mengerjapkan mata. "Hah?tahu lah, shoes."

"Nama lain dari sepatu?"

"Alas kaki." Atha menjawab dengan raut bingung. Bertanya-tanya apa hubungan sepatu dengan curhatannya.

Menyadari kebingungan Atha, Nara pun tersenyum. "Masih nggak ngerti?"

Atha menggeleng.

"Coba nanti lo tanya sama tetangga lo."

Kariza?

"Atha."

Baru saja memikirkan pemuda itu dan suaranya tiba-tiba saja muncul? benar-benar mistis. Namun Atha sadar kalau suara itu benar bukan ilusi semata―karena pada saat Atha menoleh, Mata coklatnya melihat Nanda dan Kariza berada di depan gerbang rumah pemuda itu.

Masih menggunakan seragam sekolah. Dan seketika Atha menepuk dahinya, baru ingat sesuatu. []

==

16:51

A/n: aku lagi uas 2 mingguan tapi pengennya tetep apdet..jadi kayaknya...apdet tapi agak2 ngaret ya guys...maafkan atas ketidaknyamanannya *halah

Budidayakan vote dan komen \m/

Copyright 2015 by saviranc

Continue Reading

You'll Also Like

1.4K 543 21
Langit Acacio tidak terasa lengang tanpa kehadiran mereka. Bumi pun tidak merasa tersanjung atas kedatangan kembali mereka. Bahkan tidak banyak yang...
Quartam By Rend

Science Fiction

9K 1.2K 39
Langit biru hanya ada di buku dan mungkin di pulau itu, tidak di sini. Tidak ada yang pernah tahu seperti apa indahnya langit seperti itu. Terlahir d...
7K 1.1K 47
Juara ketiga dalam The Goosebumps Love yang diadakan oleh @WattpadRomanceID Salah satu kepercayaan menyebutkan kalau arwah manusia yang telah mening...
695K 54.8K 30
ace, bocah imut yang kehadirannya disembunyikan oleh kedua orangtuanya hingga keluarga besarnya pun tidak mengetahui bahwa mereka memiliki cucu, adik...