─── ・ 。゚☆ : .☽☽☽. : ☆゚• ───
MEMPUNYAI sistem kurikulum sedikit berbeda dari sekolah pada umumnya. Atraxia meniadakan ujian tengah semester untuk kemudian mengambil rata-rata nilai untuk rapor evaluasi dari ulangan harian. Sebab karena itu sensasi ulangan harian nan diselenggarakan secara serentak setiap bulannya luar biasa mencekam. Ketat pengawasan mata guna meminimalisir kecurangan kapabel membuat jantung berdetak tak normal kian waktu berjalan. Kendati demikian mengingat watak penghuni sekolah usai melewati ragam tes masuk Atraxia, dapat tertebak mudah akan spesifikasi lampiran jawaban; runtut sekali, tentunya.
Hingga walaupun absen datang sehari rasanya seperti ketinggalan puluhan episode sebuah mahakarya film. Maka pada saat-saat genting darurat menyambut ulangan harian akhir bulan terakhir sebelum ujian semester datang, kehadiran Yezira sangat-sangat dibutuhkan. Well, berkenaan dengan Kanaya. Manusia perusuh itu sejujurnya bisa saja membantu mereka dalam pelajaran, apalagi mengenai senyawa-senyawa kimia. Akan tetapi kembali ditegaskan jikalau karakter pembanyol anak ini benar-benar tak bisa diharapkan. Alih-alih menghapal nama larutan, justru mereka akan berujung terbahak-bahak atas lelucon. Atau kemungkinan terburuk, perang dunia ketiga resmi terjadi lantaran sukses memancing ledakan sumbu pendek amarah Joanna.
Ugh! Mereka masih ingin lulus dengan nilai memuaskan, bukan gelar memalukan.
Mempercayai sepenuhnya kegiatan belajar-mengajar pada Yezira. Jam berdetak pukul lima pagi kurang sedikit, puan berkelereng karismatik itu sempat menghilang entah kemana guna tahu-tahu kembali menenteng tas tangan berukuran besar. Gelagat aneh tak sungkan-sungkan tercium sebelum lawan menaruh belasan buku di meja. Beberapa tampak usang dan sisanya tersegel rapi oleh plastik.
“Ayo belajar!” ajaknya bersemangat '45 bersama senyuman secerah mentari. “Belajar subuh bagus untuk kondisi otak yang masih fresh. Nyerap pelajaran gampang karena ibaratnya masih setelan pabrik. Ayo-ayo bangun! Jangan males-malesan gitu. Belajar yang giat supaya dapat nilai cantik!”
Joanna menguap besar selagi meregangkan otot-otot kaku yang sepanjang malam bersemayam nyaman dalam dekapan posesif Kanaya. Semerta-merta menyorot kosong tiada minat selanjutnya. “Hoaamㅡapa harus sepagi buta ini? Orang-orang bahkan belum melek.”
“Karena orang-orang belum melek, makanya kita yang melek. Bangun-bangun!” Yezira menepuk-nepuk halus pundak sang kawan sembari mendorong lawan turun dari ranjang. “Cuci muka yang bener.” dan ia pun segera beralih menuju Kanaya yang menungging bersama tubuh terbalut sempurna oleh selimut. “Nayaaa! Bangun-bangun-banguuun! Katanya harus dapet seratus karena lagi taruhan sama bang Gala. Masa gini aja nyerah, sih.”
Kanaya mengibaskan bokoknya sebagai tanda penolakan absolut. “Semangat ada untuk berguguran dan sekarang gue lagi gugur di babak pertama medan perang. Silakan panggil gue sewaktu matahari udah mau terbenam lagi. Sekian, mau bocan!”
Barangkala cuma Ghaitsa yang mandiri terbangun dan menyeret kaki mendekati toilet selagi terus-menerus menguap. Kekurangan tidur akibat menangis sepanjang malam bersama Yezira. Tentu menjadi tanda tanya besar bagi Ghaitsa, sebab darimana datangnya energi tambahan si empu yang digasak air mata semalam suntuk? Ck-ck, kalau sudah sayang, badai topan pun diarungi. Lalu, memilih tidak acuh terhadap Joanna yang mengangkat kaki tinggi-tinggi guna menendang bokong Kanaya yang berkibas serupa ekor anak anjing tanpa belas kasih.
Joanna tersenyum miring. Kanaya mengaduh histeris. “Pantat tepos lo nggak berhak dipamerin. Tulang-belulang begitu, bikin sakit mata aja. Cuci muka lo sono! Bau jigong lo semerbak banget bikin muntah.”
“Anak babi! Anak babi! Joanna Babi! Babi-babi-babi!” Usapan brutal diberikan untuk bokongnya yang memanas total. Dia kontan mendelik tajam ke arah pelaku nan bersedekap tangan seolah tidak merasa bersalah atas apa yang sudah diperbuat. Kanaya mengacungkan jari tengahnya di udara dan tergopoh-gopoh mendekati Yezira. “Zir, lo do'ain manusia laknat itu menderita sepanjang hari. Doa anak yatim-piatu itu manjur, lho.”
Terkesan kurang ajar tapi entah mengapa perut Yezira tergelitik tatkala mendengarnya. Ia sungguhan tak habis pikir terlebih ketika Joanna menyahut keki, “Lha, elu juga yatim-piatu. Coba gue tanya, orang tua lo mana? Hayoo, sok-sokan banget, Anak Onta!”
“Lo juga yatim-piatu, Juleha!” tandas Kanaya benar-benar tidak ingin kalah dalam serangan bertubi-tubi lawan. Dia mendesis mengejek, “Masa sakit begini orang tuanya nggak ada yang jenguk. Dibuang, ya? Huhu, kasian.”
“Idih, lagi ngomongin diri sendiri, ya? Aduduh, kasian.”
“APA KAU CAKAP?!”
“APA?! NGGAK TERIMA?! MAJU LO SINI, BERUK!”
Sepersekian detik sebelum perang dunia betulan berlangsung, mendadak sebuah kalimat mengudara suram. Tiada kobaran api semangat. Tiada balutan asa menemani. Tiada secercah kehidupan tersisip. Kosong dan hampa sebab Ghaitsa berceletuk datarㅡ“Lho, mau fisiknya ada ataupun enggak. Kita emang yatim-piatu semua. Peranannya di kehidupan kita masing-masing nol besar.”
Hening.
Terdengar bunyi kicauan burung di luar jendela yang datang bersama semburat jingga malu-malu matahari. Di temani detak jantung jam di dinding sebagai latar musik. Akibat bungkam tertegun paripurna atas rangkaian kata penuh daya tak terbantahkan. Laci demi laci dalam benak mulai terbuka dengan tergesa-gesa guna mencari secuil pertentangan. Namun nihil. Daripada menjumpai sangkalan, malah potongan adegan serupa kaset rusak menikam dada terus berputar. Menyadarkan jiwa yang selalu dibuai sandiwara fatamorgana otak.
Untuk memecahkan kesunyian yang memeluk, puan bermanik rubah mendadak berujar, “Ada yang mau makan bubur?”
🌙🌙🌙
Ketika dingin merunjam menembus tiap jengkal permukaan kulit tiada ampun. Serta-merta semburat jingga perlahan merambat mewarnai awang-awang ditemani kicauan burung yang ikut mengisi kekosongan harmoni fajar. Juga derit gerobak ikut mengiringi rajutan langkah empat perempuan guna mendekat sembari menenteng buku-buku. Yeah, Yezira masih bersikeras jikalau mereka harus belajar pagi buta demi memupuk ilmu. Tidak ada ragam bentuk sanggahan yang mampu membantah puan rubah tersebut hingga menurut menjadi opsi terakhir.
Bubur ayam tandas dihabiskan. Segelas teh hangat juga sudah ditenggak sampai tak bersisa. Sepiring penuh sate ayam dan telur sebagai teman juga telah digasak tanpa ampun seolah-olah empat puan itu di biarkan kelaparan berminggu-minggu lamanya. Sang pedagang bubur di buat menggeleng kaku tak habis pikir. Grup pelanggan pertamanya pagi ini benar-benar menelan masing-masing dua mangkuk sebelum berkutat dengan penjelasan runtut seorang gadis bermanik rubah tentang gerak parabola.
“Ciri-ciri gerak parabola itu adalah?”
Kanaya menggebram meja kelewat bertenaga saat menjawab. “Pertama, dipengaruhi oleh gaya gravitasi di seluruh lintasannya. Kedua, memiliki sudut elevasi, yaitu sudut lemparan awal. Ketiga, kecepatan di setiap titik di sepanjang lintasannya merupakan perpaduan antara kecepatan sumbu-x atau GLB dan sumbu-y atau GLBB. Keempat, selalu memiliki titik tinggi atau maksimum dan jarak terjauh atau jangkauan maksimum. Terakhir, bentuk lintasannya melengkung.” dan merentangkan tangan sebagai bentuk kemenangan. “Asa! Pinter banget gue!”
Sementara itu Ghaitsa bertepuk tangan sebagai tanda kagum sesudah mencatat penjabaran Kanaya secepat kilat, disisipi lengkungan lucu di sudut bibir. “Keren.”
“Wes, iya doㅡ”
“Keren apaan. Nih, liat!” Joanna lantas menyodorkan layar ponselnya yang menampilkan grup fisika kelas mereka pada mereka. “Bu Saphira bilang gerakan parabola nggak masuk ulangan. Katanya itu materi anak SMP yang kita udah pasti bisa, jadi dirombak ulang materi ulangannya. Kisi-kisinya juga diperbaharui.”
Ghaitsa pun tergesa-gesa mengecek ponsel guna memastikan kenyataan menyakitkan demikian. Dia tersenyum hambar. Fakta tersebut bahkan didukung Jeviar serta Yaziel yang mengirim ringkasan materi untuk ulangan fisika sebab kelas mereka mendapat kabarnya terlebih dahulu di bandingkan kelasnya. Puan itu langsung membenturkan dahinya pada ujung meja dan menaikkan tangan di udara. “Gue nyerah. Ini sistem kerja paksa namanya. Paham aja enggak gue. Astaga, sebel banget!”
Di sisi lain Kanayaㅡ“ARGH! AING MAUNG! RAWR!” dan berlarian ke lapangan terbuka guna berteriak memaki entah pada apa dan siapa. Tampaknya gadis itu sangat frustasi hingga menendang-nendang angin dan jatuh tergelincir ke kubangan air bekas hujan. Joanna menggeleng kecil, betulan tidak paham lagi dengan jalan pikirian Kanaya. Bukannya segera beranjak dari sana, anak nakal itu justru berguling-guling sampai-sampai basah kuyup. “Awas kalau sampai dia meluk gue nanti. Gue tabokin sampe ompong, serius, dah.”
Sedangkan di hadapannya, Yezira memasang ekspresi wajah paling muram. Dia duduk tanpa kobaran semangat serupa tadi subuh dan mengunyah lambat sate telurnya sembari memandang nanar buku fisika di depan mata. “Padahal gue udah belajar kemarin malam buat nerangin lagi ke kalian. Eh, malah nggak masuk ke ulangan. Sia-sia aja belajar subuh begini.”
“Enggak, kok.” Ghaitsa mendongakkan kepala dan mengacungkan ibu jari sambil mengulas senyuman manis. “Kata Jeviar belajar itu nggak sia-sia. Waktunya dipakai buat hal bermanfaat soalnya. Jira hebat, lho, neranginnya mudah dipahami. Jadi nggak bingung masukin angka-angka ke rumusnya.”
Joanna manggut-manggut setuju, pun abai terhadap Kanaya yang memekik minta tolong lantaran bajunya tersangkut ranting pohon. “Seenggaknya, 'kan, udah usaha. Yaudah, masih ada waktu dua minggu lagi buat belajar.” dan memangku tangan kemudian. “Dulu sebelum mau daftar ke Atraxia, temen-temen SMP gue bilang kalau di sana sistem belajarnya emang beda. Udah kayak perang militer karena ujian mulu. Guenya aja yang kepala batu mau sekolah di sana. Mau tukar suasana belajar. Eh, beneran stres mampus gue ulangam berkedok ujian tiap bulannya. Untung nggak semua mata pelajaran sekaligus. Di bagi-bagi. Kalau enggak, udah pindah gue. Ngebul, nih, otak.”
Ghaitsa menarik napas dalam-dalam dan dihembuskan perlahan-lahan lalu melipat bibir sejenak. “Tapi setelah gue ngeluh begitu ke bang Archie selaku alumni Atraxia. Abang bilang kalau sistemnya terlihat kaku dan cenderung memberatkan, tapi karena itu juga perkembangan otak semakin di asah. Murid-muridnya makin dipacu buat lebih baik lagi. Program remedialnya pun bagus, nggak semata-mata ulangan lagi tapi juga di terangin soal-soal mereka yang dijawab salah. Singkatnya, efektif buat siswa-siswi yang lambat nangkap pelajaran dan terorganisir laju nilai mereka tiap bulannya.”
“Pantes gajinya gede. Sistemnya terencana begini.” Joanna menyahut singkat untuk kemudian mengelus kepala Yezira. “Jangan patah semangat. Yang bisa diharepin buat belajar cuma elo. Kalau Naya, noh, liat. Malah ngegantung ke balik di pohonㅡANJING, NAY! LO KENAPA BISA NYANGKUT BEGITU, HEH?!”
“GUE UDAH TERIAK-TERIAK MINTA TOLONG, LO BERTIGA BUDEG AMAT, BUSET! GUE DARI TADI BERUSAHA NGELEPASIN BAJU YANG KE SANGKUT MALAH JATOH KEBALIK GINI, NYING! BANGSAT BENER, NIH, POHON!”
“YAA, NGAPAIN DIPANJET, SIH, KANAAAA?!”
“ADA JAMBUNYA, SA!”
“YA ALLAH, KANAYAA! BISA-BISANYA LO MANJET POHON DI RUMAH SAKIT BEGINI! ASTAGAAA!”
Kanaya mulai menangis dengan tangan memukul-mukul udara kosong. “Pala gue pusing bener ini! Tolongin dong!”
“Elo yang tolol! Pake acara manjet-manjet kek monyet begini. Jelmaan bekantan lo emangnya, hah?!” maki Joanna yang berusaha melepas jeratan baju sang kawan dari pohon yang entah ceritanya bagaimana bisa terlilit begini. Atas dasar sebal bukan main, dia menjitak kepala Kanaya. “Duh, gedeg banget gue. Bikin malu mulu lo, Barongsai.”
“Huee, Ziraaa! Aisaaa! Jooo! Tolongin, gue kayaknya mau muntahㅡeh?”
Tahu-tahu seorang pria datang dari arah belakang, melangkah melewati Ghaitsa dan Yezira untuk meminta Joanna mundur agar ia bisa mengambil alih aksi penyelamatan. Menarik pundak Kanaya pelan-pelan lalu memeluk pinggang dengan sebelah tangan sebelum memotong baju si empu yang tersangkut lewat tangan satunya lagi sebelum gadis tersebut diturunkan hati-hati
“E-eh, makasih, Om.”
Sungguh, tidak pernah rasa-rasanya benak membayangkan bahwa adegan ini akan hadir secara nyata dalam kehidupannya saat ini. Sebab penggalan takdir semesta membawa seorang Johan untuk berdiri di depan mata Ghaitsa sekarang.
“Papa?”
Hey-yo!
Hello!
Hai!
Semoga harinya berjalan lancar, ya
Semoga awal hari esok lebih baik lagi dan penutupnya jauh lebih damai lagi
Semoga kita dalam keadaan sehat wal'afiat
Semoga dilimpahkan kebahagiaan sebanyak-banyaknya untuk kita semua, aamiin~
Jangan lupa tersenyum, guys
Becandain aja dulu lelucon semesta sampai akhirnya kita yang ngetawain bebannya
🤗🤗🤗
I have no words to say, tapi makasih banget kalian masih stay di sini
😍😍😍
Jangan lupa share cerita ini ke orang-orang terdekat kalian atau ke siapapun boleh
🤗🤗🤗
Ditulis :
Jumat-Minggu, 03-05 Februari 2023
Bubye-!