Replaying Us

By kianirasa

609K 54.6K 5.7K

Athalia Sharafina menyukai Narado Risyad dalam diam selama bertahun-tahun. Tapi tidak pernah menyatakannya b... More

Bagian Satu : Nyata atau Ilusi?
Bagian Dua: Menuju Masa Lalu
Bagian Tiga: Malaikat dan Donat
Bagian Empat: Ide Yang Buruk
Bagian Lima: Obrolan dan Rencana Menetap
Bagian Enam: Pengakuan, Kesepakatan
Bagian Tujuh: Seragam Putih Abu-abu Lagi
Bagian Delapan: Tidak Terlalu Buruk
Bagian Sembilan: Memalukan
Bagian Sepuluh: Mendadak Galau
Bagian Sebelas: Cinta Segitiga atau Segi Empat?
Bagian Dua Belas: Berbahaya
Bagian Tiga Belas: Dia-lo-gue
Bagian Lima Belas: Semakin Dalam
Bagian Enam Belas: Curhatan dan Sepatu?
Bagian Tujuh Belas: Dalam Gelap
Bagian Delapan Belas: Diluar Dugaan
Bagian Sembilan Belas: Sekali pun Dalam Mimpi
Bagian Dua Puluh: Getaran Aneh
Bagian Dua Puluh Satu: Penguntit, Menguntit
Bagian Dua Puluh Dua: Debaran dan Rasa
Bagian Dua Puluh Tiga: Begitu Berarti
Bagian Dua Puluh Empat: Bisa Jadi
Bagian Dua Puluh Lima: Kebenaran, Ungkapan, dan Perasaan
Bagian Dua Puluh Enam: Pertemuan Pertama
Bagian Dua Puluh Tujuh: Virus Cinta
Bagian Dua Puluh Delapan: Bimbang
Bagian Dua Puluh Sembilan: Tidak Lama Lagi
Bagian Tiga Puluh: Pertama Yang Abadi
[EKSTRA]: Dalam Ingatan
EPILOG
PEMBERITAHUAN

Bagian Empat Belas: Bolos Sekolah

11.9K 1.4K 57
By kianirasa

A/n: Happy reading!

==

Bagian Empat Belas: Bolos Sekolah

==

Atha melirik pemuda yang duduk di sebelahnya dalam bis. Dia mengenakan earphone di kedua telinganya sambil menatap buku catatan kecil yang daritadi di pegangnya. Mengundang rasa penasaran dari perempuan itu.

"Nara. Bentar lagi kita sampai."

Tidak ada balasan. Atha mencubit lengan Nara pelan.

"Aduh, apaan sih sayang." tutur Nara yang langsung melepas sebelah earphone nya dan mengusap lengannya―kemudian menoleh pada Atha.

"Sayang sayang, mbahmu sayang." timpal Atha yang langsung dihadiahi tawa dan cubitan sebelah pipi dari Nara.

"Itu buku apaan sih?" tanya Atha beberapa saat setelahnya. Dagunya mengendik kearah buku kecil yang sama, yang hingga detik itu masih dipegang Nara.

"Oh, ini bukan apa-apa."

"Gue serius."

"Gue dua rius."

"Nar, jangan mulai deh. Ini masih pagi." ucap Atha sedikit membentak.

Nara menggeleng dan malah memasukkan buku catatan itu ke dalam tas selempangan berwarna dongker yang dipakainya sejak tadi. Pagi yang hangat ketika itu, Nara meneleponnya supaya menemani pemuda itu memilih hadiah untuk Irina―secara, Atha kan perempuan.

Alih-alih menjawab, Nara malah memasangkan sebelah earphone nya di telinga Atha sambil tersenyum. Mata coklatnya terlihat mengkilap selaras dengan warna rambutnya akibat pantulan cahaya mentari dari balik kaca bis. "Ini lagu Charlie Puth, yang see you again. Dengerin deh, enak."

Atha berdecak lalu memutar kedua matanya. "Nar, jangan alihin pembicaraan deh."

Setelahnya, Nara membuang muka. Menatap jalanan yang buram seiring bis berjalan pergi. "Tha. Lo percaya sama gue kan?" tanyanya tiba-tiba. Kedengaran aneh karena tidak nyambung dengan apa yang sedang mereka bahas.

"Kenapa lo masih nanya?" Atha balik bertanya.

Nara diam-diam mengulum senyumnya. "Itu artinya, kalau gue bilang apa pun, lo percaya?" Nara kembali mengajukan pertanyaan.

Dengan sedikit ragu saat itu, Atha mengangguk.

"Jadi dulu―gue dekat sama seseorang." Nara menarik napas. "Tapi orang ini hilang tanpa jejak. Gue nggak tahu kenapa ingatan gue tentang dia juga nggak jelas. Tiap kali gue berusaha ingat mukanya, susah. Semuanya kayak ilusi semata."

Atha hanya diam. Sibuk mencerna perkataannya.

"Kayak hari-hari yang gue lewatin sama dia, cuman mimpi." sambung Nara, menatapnya lekat.

》》》

"Gue suka Nara."

Atha menampar kedua pipinya sambil menggerutu kesal di depan cermin. Menyesali perbuatannya sendiri. "Aish, dasar tolol." umpatnya seraya melotot pada pantulan dirinya sendiri di cermin.

Faust yang sedang melipat kedua tangannya dibelakang leher untuk dijadikan bantalan, menghela napas pelan dari langit-langit kamar.

"Aku menyuruhmu menyatakan perasaan ke Nara, bukan Kariza."

"Faust, ini bukan salah gue sepenuhnya. Otak gue lagi korslet kemarin." bantah Atha sambil mondar-mandir.

Gedoran dari arah pintu kamar mengalihkan perhatian keduanya. Kariza membuka pintu tanpa diminta, menampilkan dirinya yang sudah siap dengan tas dan seragam sekolah putih abu-abunya. Yang sedikit berbeda adalah raut wajahnya―Kariza terlihat pucat.

"Ayo, berangkat." ujarnya. Suaranya terdengar lebih berat dari biasanya.

Atha memakai selempangan tasnya. "Lo kenapa?" tanyanya seraya menghampiri pemuda itu.

Kariza menghela napas dan menarik pergelangan tangannya. Menyuruh perempuan itu bergegas. Sebelum Kariza sempat menutup pintu, Atha mengangkat sebelah tangannya―pamit pergi pada Faust yang memilih untuk menetap di rumah. Dasar makhluk malas, batinnya.

"Kari," Atha berusaha melepas genggaman Kariza. "Lo kenapa sih? tangan lo dingin banget." sambungnya.

"Gue flu dikit. Puas?" balasnya agak membentak. "Dan berapa kali gue harus bilang? yang boleh panggil gue 'Kari' itu cuman Nanda."

Atha memutar kedua matanya kesal kemudian menghentakkan kakinya untuk pergi lebih dulu.

"Pagi, Tante, Om."

Diana dan Erik tersenyum membalas sapaan Atha sesampai keduanya di meja makan.

"Duduk dulu, makan sarapannya."

Atha mengangguk mengiyakan lalu menarik bangku sebelum duduk diatasnya.

"Gimana sekolah baru kamu?" tanya Erik sambil menyesap kopi panasnya dan membuka lembaran koran paginya.

Atha mengulum senyum. Melihat Diana dan Erik mengingatkannya pada orang tuanya, Atha mendadak jadi kangen rumah. "Bagus,Om. Sekolahnya luas―sampai keliling aja pegel."jawabnya yang dibalas tawa pelan dari kedua manusia di depannya.

Sedikit terburu-buru, Kariza yang baru datang ke ruang makan langsung meraih segelas susu diatas meja dan meneguknya hingga habis. "Pa, Ma Riza sama Atha berangkat dulu ya. Tha ayo." ujarnya yang kembali menarik Atha.

"Loh, kamu nggak sarapan dulu Za?" tanya Diana, kedengaran khawatir.

"Riza bawa roti Ma. Ini udah telat soalnya." jawab Kariza yang kemudian ngacir ke garasi. Menyalakan mesin motornya tanpa menghiraukan Erik yang meneriaki namanya dari ruang makan.

Harus Atha akui―Kariza terlihat aneh pagi ini.

Atha mengendikkan bahu lalu duduk di bagian belakang motor setelah mengenakan helmnya dan memegang pundak Kariza erat.

"Kari." panggil Atha ketika motor yang dikendarai keduanya baru melintas keluar rumah.

"Udah gue bilang jangan pang―"

"Habis enak Kari, Kariza kepanjangan." potong Atha setelahnya.

"Jangan Kari."

"Yaudah, Rija."

"Nah."

"Jadi Ja, lo lagi kenapa sih? sentimen banget kayaknya. Datang bulan?" tanya Atha.

Tidak ada jawaban. Hanya suara motor dan kendaraan lain yang memenuhi jalanan―yang bisa Atha dengar. Alhasil, hingga keduanya sampai di parkiran sekolah tidak satu pun yang angkat bicara lagi. Atha hanya melirik Kariza yang sering sekali disapa oleh beberapa siswi serta siswa setiap kali melewati lorong kelas. Namun tidak seperti biasanya, yang sekalian tebar pesona―Kariza hanya membalas sapaan mereka dengan senyum tipis selagi mata hazelnya menatap kearah lain.

"Eh ya," ucap Kariza yang tiba-tiba membalikkan badan begitu mereka berada beberapa meter dari pintu kelas. "Beliin gue roti isi daging dong di toko roti seberang sekolah. Kantin masih tutup soalnya."

"Lah, tadi katanya udah.."

"Bohong. Tadi gue bohong. Udah sana cepetan, nanti gue ganti uangnya." suruh Kariza.

Atha mendengus kesal lalu memutar badannya―berniat melakukan apa yang disuruh. Tapi lagi-lagi Kariza menahannya dengan menarik ujung rambutnya pelan.

"Apa lagi?"

"Taruh tasnya dulu, biar bisa masuk. Nanti lo dikira telat."

Atha mengedipkan matanya. Ternyata Kariza bisa dibilang cukup peduli untuk hal-hal seperti ini. Well, mungkin flu yang mempengaruhinya.

Usai menaruh ranselnya diatas meja, tanpa banyak omong lagi Atha kembali ke bawah. Menuruni tangga.

》》》

"Ini aja Kak?"

Atha mengangguk saat menjawab pertanyaan wanita muda yang hendak membungkus roti isi daging pesanan Kariza serta roti keju untuk perutnya yang sudah keroncongan. Ternyata di seberang sekolah benar-benar ada toko roti, seperti yang dia bilang. Letaknya dekat dengan dimana Atha pertama kali mendarat di masa lalu dengan Faust.

Sehabis mengambil kembalian dan roti-rotinya, Atha segera melangkahkan kakinya menuju gerbang sekolah―takut kalau gerbangnya ditutup. Saat ke kelas tadi, Atha memang belum melihat tanda-tanda kehadiran Nara. Bahkan tas pemuda itu belum ada di tempatnya.

Namun sehari di masa lalu tidak boleh terbuang percuma begitu saja. Atha harus memanfaatkan sebaik-baiknya karena saat kembali nanti ―Nara mungkin hanya tinggal kenangan. Atau kah memang mengubah masa depan itu memungkinkan? seperti, Atha bisa menghentikan kecelakaan maut yang menewaskan Nara itu?

Entahlah. Sekali pun bisa, Faust tetap tidak akan memperbolehkannya. Kematian adalah hal diluar batas manusia juga makhluk seperti Faust sekali pun.

"AH PAK! TUNGGU PAK!" teriak Atha yang melotot begitu melihat satpam sekolah baru saja menutup pintu gerbang rapat. Menguncinya dengan gembok berukuran jumbo dan berlalu begitu saja. Tanpa repot-repot menoleh ketika Atha kembali berteriak sambil menggerakkan gerbang, berharap bisa membukanya paksa.

Satpam berbadan gembul itu makin terlihat menyebalkan dengan berpura-pura bersiul dan melemparkan kunci diatas telapak tangannya berulang kali.

"Faust, kalau lo ngelihat gue dari monitor ajaib atau apapun alat sihir lo itu―bisa nggak, lo buat gue nembus aja?" ujar Atha yang memutarkan badannya. Menatap langit biru, mengira-ngira arah Faust mengintainya.

Di lain sisi, lebih tepatnya, di kamar yang kini ditempati Atha―Faust sibuk mengganti saluran televisi sambil berbaring di kamar. Sama sekali tidak ada tanda-tanda dia akan membantu Atha sama sekali. Jangankan membantu, memperhatikan perempuan itu saja tidak.

"Tiga. Ini udah tiga."

Atha mendongakkan kepalanya. Mata coklatnya menyipit untuk melihat sosok di depannya yang kelewat tinggi.
Nara dengan rambutnya yang di cat pirang berdiri di sana. Ketika pemuda itu menunduk, barulah Atha sadar kalau teman sebangkunya kini juga telat masuk sekolah.

"Apa yang tiga?" tanya Atha, sambil berusaha menyembunyikan kegugupannya.

"Tiga kali gue mergokin lo ngomong sama setan. Siapa namanya tadi―Fast?Fest?Fiesta?Vespa?" ujarnya.

Detik berikutnya, Nara membungkukkan badan. Menyamakan tingginya sejajar dengan kepala Atha hingga wajah tampannya bisa dilihat oleh perempuan itu dengan jelas.

Nara mengangkat tangan kanannya lalu menyentil dahi Atha. Mendapatkan ringisan kesakitan darinya yang malah membuat Nara menyeringai tipis.

"Telat juga?" tanya Nara.

"Gue kan bareng Ka―" Atha mengulum bibirnya kedalam lalu menggeleng. Dia hampir saja membeberkan rahasianya.

"Terus kenapa bisa disini?"

Tanpa angkat bicara, Atha memperlihatkan plastik yang berisikan roti yang dibelinya tadi. Menyebabkan alis Nara bertaut menjadi satu.

"Lo beli roti terus gerbangnya udah dikunci gitu aja?"

Kali ini, yang ditanya mengangguk.

Tawa Nara seketika meledak. Dia benar-benar tertawa lepas. Tipikal tawa yang benar-benar Atha rindukan. Yang biasanya hanya muncul saat Nara menertawai kebodohan Atha. Kalau saja boleh, Atha ingin memeluk Nara sekarang juga―mengatakan bagaimana dia merindukannya. Bagaimana Atha selalu memikirkannya. Bagaimana Atha berandai-andai supaya kecelakaan itu tidak nyata.

"Eh gue bercanda. Jangan nangis gitu dong." Nara menatapnya. "Cengeng." lanjutnya seraya menghapus bulir air mata yang tanpa disadari Atha menumpuk di pelupuk matanya.

"Apaan sih, ini debu." balas Atha, beralasan.

"Debu?"

Atha mengangguk.

Nara ber'oh' ria lalu mata coklatnya menyisir sekeliling. Hanya ada keduanya yang berada di luar gerbang sekolah. Itu artinya, hanya mereka yang telat?

Seumur-umur, Atha bahkan hanya pernah terlambat masuk sekolah dua kali. Hitungannya sejak taman kanak-kanak hingga SMA. Sekali karena izin ke dokter gigi, dan yang satunya karena ban mobilnya kempes di jalan.

"Tunggu, berarti tas lo ada di kelas?" Nara memiringkan kepalanya ketika menyadari ada yang ganjil pada Atha.

"Iya."

"Pintar sekali." sindirnya halus. Sesaat kemudian, Nara meraih telapak tangannya. Menggamitnya pergi. Ketika sebuah cidomo (transportasi sejenis delman yang hanya ada di pulau Gili) melintas dihadapan mereka, Nara segera mengangkat sebelah tangannya tinggi-tinggi―berbicara sebentar pada si pengemudi sebelum menarik paksa Atha untuk duduk di sebelahnya.

"K-kita kemana?" tanya Atha. Berdebar-debar karena merasa tidak siap dengan tingkah nekat Nara yang tiba-tiba menggamit tangannya. Walaupun sepertinya itu diluar kesadaran pemuda tersebut.

Suara langkah kaki kuda memenuhi keheningan yang terjadi selama beberapa detik. Namun setelahnya, Nara menoleh dan menyuruhnya mendekatkan telinga.

Karena penasaran, Atha pun melakukan apa yang disuruhnya.

"Penasaran?" bisik Nara.

Atha manggut-manggut.

"Kita mau bolos sekolah."[]

==

A/n: chapter selanjutnya kuusahain besok. Eh ya, maaf maaf aja nih..tapi karna aku pengen cerita ini gajelek2 amat (berkualitas) makanya penulisan, bahasa, ide per chapter, aku perhatiin bener2 jadi harap maklum..

Yang pasti sih kira2 2 hari 1 kali apdet, kalo ujian yaaa beda lagi lah gais hehe. Seperti biasa jangan lupa tinggalkan jejak (vote&komen)!
―sav

Copyright © 2015 by saviranc

Continue Reading

You'll Also Like

3.5K 578 13
∆sasuhina "Eum.... Sasuke-san... -panggil Hinata ragu. Sang pemilik nama melirik, terlihat di sana Hinata menunduk meremas ujung pakaiannya. ... -s...
Metamorvisha By cand

General Fiction

2.1K 314 4
Kata Visha, hidup dalam fase kepompong itu penuh beban dan membuatnya putus asa. Kata Harsa, ketika menjadi kupu-kupu, beban yang Visha rasakan belum...
747K 27.3K 50
"Gue tertarik sama cewe yang bikin tattoo lo" Kata gue rugi sih kalau enggak baca! FOLLOW DULU SEBELUM BACA, BEBERAPA PART SERU HANYA AKU TULIS UNTUK...
Then By hee

Romance

2.2K 428 26
[Sequel of Dear You] Marvelyn dan Harvey memulai kembali kisah mereka. Hubungan jarak jauh yang dulu menjadi alasan mengapa mereka berpisah, tak sang...