Selaras Rasa

By zelakus

385 51 5

Secuil kisah di antara kemelut kehidupan, menghadirkan suatu hasrat yang membawa diri seorang Brielle William... More

Supernova
Selaras ....
Selaras 2
Selaras 3
Dear Friend ....
Selaras 4
Selaras 5
Selaras 6
Selaras 7
Dear God ....
Selaras 8
Selaras 9
Selaras 10
Selaras 11
Selaras 12
Selaras 13
Selaras 14
Selaras 16
Selaras 17
Selaras 18
Selaras 19
End of the Story
Keselarasan Tanpa Titik Temu

Selaras 15

2 0 0
By zelakus

Aku menatap langit, cahaya bulan yang menyapu seluruh area taman dan memantulkan gemerlap dari dedaunan muda yang mengkilat, membuat suasana terasa misterius. Seperti dalam serial film thriller hollywood yang menampilkan layar gelap dengan sorot langit yang membuat penonton kesulitan mengidentifikasi lokasi. Embusan napasku meluncur bebas, menguarkan asap tipis ke udara yang kemudian lenyap. Tidak benar-benar hening karena suara kendaraan yang berlalu-lalang dari sisi gedung terdengar cukup jelas di sini. Pun erikan jangkrik dari hutan di seberang taman ini menambah kesan malam yang menggantung.

Pria paruh baya di sebelahku sama sekali tidak bergerak, tidak juga bertanya. Ia tetap diam menungguku untuk menjawab pertanyaanya. Keterdiaman membuat otakku kembali bermain liar bersama setan-setan kurang ajar yang masih enggan meninggalkan jasad muda ini.

Aku menatap Paman Leon dengan serius dan tajam. "Kalau aku yang mengatakannya, apakah paman akan percaya padaku?"

Pria itu mengendikkan bahu. "Tergantung," ucapnya singkat, kemudian tatapannya beralih pada lalu lalang orang-orang di koridor bangunan yang berjarak sekitar sepuluh meter dari tempat kami duduk. "Keputusan apa yang akan kau ambil."

Aku tersenyum sesaat, kemudian menunduk sembari memainkan jariku yang tampak memutih akibat gugup.

"Paman sudah lihat benda yang dibawa Tuan Stamfold, 'kan?" Paman Leon mengangguk sesaat.

"Itu benda yang dititipkan pada Rosela untuk membantu penyembuhan Seraphine. Ro bilang, Bunda yang memberikannya. Aku tidak tahu apakah 'bunda' yang dia maksud sama dengan Bunda, tapi apa yang Ro lihat benar-benar membuatku takut—maksudku soal ritualnya—sampai aku selalu berpikir apakah ini termasuk dalam sebuah pengorbanan."

"Lalu?"

Aku mengembuskan napas, kemudian mengendikkan bahu. "Aku bertanya-tanya, apa hubungan Sera dengan Bunda."

Paman Leon menatapku penasaran. Ia menaikkan alis sembari tetap terdiam menunggu jawaban. Aku kembali menatap sinar bulan yang tengah berada pada fase cembung awal. Pikiranku mengawang pada kejadian beberapa hari lalu ketika Rosela mengungkapkan tentang rencana ini demi kesembuhan Sera. Mataku melirik ke arah jendela kamar Sera yang tampak jelas dari sini. Sepertinya Ro dan Razel tengah memberitahu Sera.

"Rosela akan melakukan ritual untuk menyembuhkan Sera. Aku tidak tahu apakah dia benar-benar seorang penyembuh. Dia baru saja menyadari dan mulai untuk mempelajari kemampuanya lebih banyak. Awalnya kami dipenuhi rasa khawatir —sangat-sangat khawatir sampai overthinking. Ro juga memintaku untuk memasang barier di sekitar kamar Sera selama ritual berlangsung dan itu membuatku tidak yakin dengan kemampuanku. Kupikir, aku saja tidak bisa melindungi diriku sendiri."

"Itukah yang kau takutkan?"

"Paman harus mengerti, kami melakukan ini untuk Sera. Aku tahu paman terkejut dan merasa bimbang dengan keputusan kami, tetapi aku yakin bahwa jalan keluar sesungguhnya akan Tuhan berikan melalui petunjuk-Nya."

Pria itu menghela napas, tubuhnya menyandar pada badan kursi, kepalanya mendongak mengikuti arah pandanganku. Aku tahu dalam dirinya penuh kekhawatiran. Ia mencintai Seraphine sebagaimana ia mencintai Adam, anaknya sendiri. Gadis itu telah mengalihkan dunianya karena kemiripan karakter dengan mendiang putrinya yang telah lama meninggal. Terlebih ia juga adalah keponakannya. Tatapan kosong Paman Leon mengingatkanku ke sebuah masa di mana menyaksikan sebuah kesakitan dan kehilangan adalah sebuah peristiwa yang akan menjadi sejarah permanen dalam otak. Namun, bagaimanapun hal itu akan mengajarkan kita tentang berbagai aspek kehidupan. Selayaknya yang orang-orang katakan bahwa mata seseorang tidak akan terbuka sebelum adanya penyesalan. Tidak, bukan begitu konsepnya. Itu sebuah pemaksaan.

"Ritual macam apa yang akan kalian lakukan?"

Aku diam sejenak, mengambil sebuah bayangan di dalam kepalaku mengenai semua isi rencana Rosela. Seketika, setan-setan di dalam kepalaku tertawa kencang sampai dengungan di telinga kiriku terasa menyiksa.

"Ro akan memberikan kalungnya pada Sera, kemudian menyayat dadanya sedikit dan meletakkan belati itu tepat di atasnya. Aku tidak tahu apakah akan menggunakan mantra-mantra atau sejenisnya, tetapi aku merasa janggal dengan ritual tersebut. Seharusnya—aku tidak yakin—kita hanya perlu menyerahkan benda itu pada Sera. Kupikir itu miliknya. Sama seperti panah perak yang Paman Herald berikan padaku."

Paman Leon mengembuskan napasnya, tangan besarnya terulur untuk mengusap rambutku, membuat aku sedikit menundukkan kepala karena refleks. Dengan gurat gelisah yang tampak di wajah tegas itu, ia mengingatkan, "Paman tidak tahu ke mana arah ritual itu ditujukan. Sebuah keharusan atau ujian, tetapi satu hal yang harus kau ingat, Nak. Semua aksi menimbulkan reaksi. Dan …."

Dahiku mengerenyit. "Dan …?"

Paman Leon mendekat, membawaku ke dalam rengkuhan hangat yang bagiku, ini pertama kalinya dia memperlakukanku seperti ini. Sebelumnya, ia tidak pernah menunjukkan perhatiannya padaku degan cara selembut ini. Ia tegas, dan berwibawa meski sebenarnya lemah pada putra semata wayangnya itu. "Jangan lupakan kondisimu sendiri. Pikirkan kesehatanmu. Paman tidak ingin ada yang berkorban hanya demi nyawa orang lain."

Kubalas rengkuhannya, kemudian meyakinkan diriku kembali dengan sebuah senyuman. Aku kembali berbisik, "Paman tidak perlu khawatir. Aku tahu sejauh mana batas kekuatanku."

Pelukan itu terurai, sejenak, kami bersemuka dengan senyumnya yang mengembang, seolah-olah tengah bersaing dengan bentuk bulan di atas sana. Sebuah jentikan mendarat di keningku. "Kau pikir aku tidak tahu kebiasaan nekatmu?"

Aku mendengkus. "Paman, aku baik-baik saja!"

"Siapa yang akan percaya?"

Seolah dihujam sebilah tombak. Aku terdiam, membeku—sama sekali tidak berkutik dengan ucapan Paman Leon—karena aku tahu, ada fakta yang ia jabarkan di sana. Aku menunduk pasti, mengerang tertahan dalam hati karena rasa takut itu datang lagi.

"Nak," panggilnya, "Aku tidak ingin membuatmu berpikir berlebihan, tetapi aku ingin kau mengerti apa yang benar-benar hatimu butuhkan."

Aku tidak mengerti, kenapa harus mencari tahu apa yang hatiku inginkan. Aku tidak pernah berpikir apa sebenarnya yang kumau. Aku bertindak sesuai kondisi dan situasi. Bagiku yang plinplan ini, terlalu banyak berpikir tentang tindakan apa yang akan kuambil adalah sebuah petaka. Aku akan melewatkan banyak hal penting dan keputusan cepat sangat tidak membutuhkannya.

Kembali tangan Paman Leon menarik kepalaku, menyandarkanku pada dada bidangnya. Pada detik inilah aku tidak bisa membendung semua rasa yang membuncah. Aku mengerang tertahan akibat luapan emosi yang kurasakan sendiri. Aku tidak tahu … aku tidak mengerti.

"Aku ada di sini, sekarang aku juga keluargamu—pamanmu—katakan jika kau butuh sesuatu. Jangan sungkan."

Tangisku semakin tidak bisa kutahan. Aku mendekap pria seumuran Papa itu dengan erat, menumpahkan semua asa yang terbendung selama beberapa dekade. Seperti yang dikatakannya. Aku yang bahkan saat ini kebingungan dengan permintaan hatiku sendiri tengah terjebak dalan rantai yang mengikatku di persimpangan. Selama beberapa menit hingga tangisanku mereda, Paman Leon tidak melepasku. Membiarkan gadis tersesat ini untuk mencari kenyamanan demi meredakan gejolak emosi yang tak tertahan. Aku tahu betapa bodoh dan lemahnya aku tentang semua ini. Namun, aku sendiri bingung. Jika aku benar-benar menuruti Rosela untuk melakukannya, lalu … apa?

Sesi saling mendekap itu akhirnya terurai ketika aku telah bisa mengatur napasku kembali. Pria itu tersenyum sembari mengusap kepalaku dengan penuh perhatian. "Jangan memaksakan apa yang tidak kau mengerti. Terkadang, diam adalah cara yang lebih baik untuk memberi pengertian."

Aku memiringkan kepalaku—tidak paham apa yang dikatakannya—dan mencoba untuk bertanya. Namun, Paman Leon buru-buru berdiri dan merapatkan jaketnya. "Jangan lupa obatmu. Jangan sampai kau sendiri jatuh sakit karena terlalu peduli pada orang lain. Paman pulang dulu."

Tanpa menunggu jawabanku, ia melangkah ke arah timur. Kembali ke parkiran untuk mengambil mobil, lalu pergi. Sepeninggal pria itu, aku pun buru-buru menghapus jejak air mata yang masih menempel di pipiku, lalu kembali menatap ke arah langit. Memandang ke arah lunar yang masih setia menunggu pungguknya dari atas sana. Aku terdiam, menghitung satu-per satu titik konstelasi yang tampak buram akibat mataku yang masih pedas.

"Lampu rumah sakit yang terang membuat kalian tak terlihat sama sekali," protesku.

Kembali lamunanku terarah pada jendela kamar Sera di atas sana. Gadis itu pastilah syok setelah Rosela memberitahukan maksudnya. Aku tersenyum miris pada diriku sendiri. Hingga sebuah suara dari dalam kepalaku kembali memancing untuk berkelahi.

"Kau kan juga seorang penyembuh, tapi kenapa tidak bisa melakukan apa pun untuk temanmu?" pancingnya dengan gelak tawa.

Aku hanya terdiam, berusaha mengenyahkan pikiran setan yang menyerang tanpa ampun tersebut. Setidaknya itulah yang akan kulakukan ketika seorang teman mencoba menghasutku. Namun, aku tidak tahu apakah itu mempan untuk diriku sendiri. "Bunda …, apa maksudmu melakukan ini untuk Sera?"

Bunyi ponsel di sakuku mengusik, memancing tanganku untuk melihat siapa gerangan yang mengirimkan pesan. Razel.

"Sera sudah kuberitahu, tapi dia menolak—tidak sepenuhnya sih. Dia meminta waktu untuk memikirkan semuanya."

Tidak ada balasan yang bisa kusampaikan, jadi aku langsung beranjak pergi dari sana. Uh, aku harus mencuci muka sebelum kembali ke kamar Sera.

Continue Reading

You'll Also Like

13.8M 1.1M 81
β™  𝘼 π™ˆπ˜Όπ™π™„π˜Ό π™π™Šπ™ˆπ˜Όπ™‰π˜Ύπ™€ β™  "You have two options. 'Be mine', or 'I'll be yours'." Ace Javarius Dieter, bos mafia yang abusive, manipulative, ps...
9.8M 183K 41
[15+] Making Dirty Scandal Vanesa seorang aktris berbakat yang tengah mencapai puncak kejayaannya tiba-tiba diterpa berita tentang skandalnya yang f...
1.4M 6.6K 14
Area panas di larang mendekat πŸ”žπŸ”ž "Mphhh ahhh..." Walaupun hatinya begitu saling membenci tetapi ketika ber cinta mereka tetap saling menikmati. "...